Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma cabai yang pedas bercampur dengan sentuhan asam dan harum serai yang segar tercium samar-samar di tengah dinginnya udara. Seorang pria menghentikan langkah, menarik napas dalam-dalam, membiarkan wangi itu mengalir masuk memenuhi dadanya. Kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang hitam lurus tampak kontras di antara orang-orang berambut pirang dan berkulit pucat, yang berjalan terburu-buru masuk ke Bremen Hauptbahnhof.
“Entschuldigung,” beberapa orang berkata pelan saat melewati Wira yang berdiri diam di tengah trotoar. Sesekali tatapan mereka melintas ke arah Wira, namun tak lebih dari satu detik sebelum beralih. Mereka bergerak cepat, riuh dengan percakapan yang tak bisa ia pahami, sementara ia hanya berdiri tak bergerak. Sorotan lampu di sepanjang jalan membuat wajah asingnya terlihat lebih menonjol di tengah arus keramaian ini.
Jam besar ikonik pada fasad depan Bremen Hauptbahnhof menunjukkan pukul lima lewat lima belas. Langit di atas telah berubah dari biru tua menjadi hampir hitam, menyisakan sedikit rona jingga di cakrawala. Lampu-lampu jalan di sekitar stasiun telah menyala, memantulkan cahaya kekuningan di atas lapisan salju yang menumpuk di tepi trotoar.
Setelah berhenti sejenak, Wira berjalan pelan ke arah sumber aroma yang memanggilnya. Pandangannya tertuju pada sebuah restoran Thailand yang terletak sekitar dua blok toko di depan. Papan namanya yang bertuliskan huruf-huruf Thailand berkilauan di bawah cahaya kuning keemasan. Dari jendela besar yang memancarkan cahaya hangat, terlihat para pengunjung yang asyik menyantap hidangan mereka. Tangan-tangan mereka mengaduk mangkuk berisi sup berwarna merah-oranye, lalu uap hangat berputar-putar di atasnya.
Sekilas, Wira melihat senyum-senyum kecil dan gelak tawa yang terpantul di balik jendela yang berembun. Kontras dengan siluet dirinya yang tampak sendu pada permukaan kaca. Ketika pintu restoran itu terbuka, uap hangat berusaha kabur dari sela-sela pintu, membawa serta aroma pedas, asam, dan segar yang lebih kuat. Aroma itu begitu menggelitik hidungnya, seolah menggoda Wira untuk masuk dan menikmatinya.
Namun, Wira hanya tersenyum kecil. Ia lalu melanjutkan langkahnya melewati restoran itu, dan berbelok menuju sebuah toko Asia yang terletak tepat di sebelahnya. Ketika ia mendorong pintu dan melangkah masuk, lonceng kecil berdenting pelan. Aroma kecap asin, rempah-rempah kering, dan wangi sayuran segar langsung menyergapnya.
Ia mengambil keranjang dan berjalan menyusuri lorong sempit di antara rak yang penuh dijejali bahan makanan. Ada beras, mie instan, kaleng sarden, serta botol-botol saus dari berbagai negara Asia yang tertata rapi. Ia meraih botol kecap ikan, memeriksa tulisannya, lalu memasukkannya ke keranjang.
Lalu, langkahnya beralih ke bagian sayur yang terletak di ujung lorong. Cahaya putih neon memantul di atas tumpukan sayuran yang dibungkus rapi dalam plastik. Batang-batang serai yang panjang dengan warna hijau muda terhampar di depan, tersusun dalam ikatan kecil. Wira memeriksa satu per satu, memilih ikatan dengan batang serai yang paling segar.
Sebuah bayangan samar-samar mulai muncul di antara cahaya lampu. Berlatarkan dapur kecil yang hangat, sebuah tangan kecil meraih batang serai. Seorang anak laki-laki menyentuh permukaan serai dengan jari-jari mungilnya. Ia meraba-raba dengan ragu, sebelum akhirnya mendekatkan batang serai itu ke hidung. Hidung kecil itu bergerak-gerak, geli dengan aroma serai yang asing baginya.
“Baunya kayak rumput… tapi ada bau lemonnya sedikit,” gumamnya pelan.
“Mamah, kenapa masaknya pakai rumput?” seru anak laki-laki itu.
Sosok wanita di sampingnya melirik sekilas, alisnya sedikit terangkat. “Ari kumaha, rumput?” sahutnya sambil terkekeh pelan. “Itu bukan rumput. Itu mah serai, Wira. Biar masakan wangi. Nanti kuahnya jadi enak, lihat aja nanti.”
Wira berkedip. Tangan besarnya masih memegang seikat batang serai, lalu memasukkannya ke dalam keranjang, sementara bayangan samar itu memudar perlahan, larut dalam cahaya putih lampu di atasnya.
Tak jauh dari situ, tumpukan jahe dengan kulit coklat keemasan tampak mengkilap di bawah lampu, sebagian lain terlihat agak kusam di ujungnya. Ia meraih satu bonggol yang masih segar, kemudian berpindah ke kotak di sebelahnya, tempat lengkuas yang besar dan kokoh tersusun rapi. Setelah memastikan keduanya dalam keadaan baik, ia memasukkan jahe dan lengkuas itu sekaligus ke dalam keranjang.
Di rak atas, beberapa bungkusan plastik berisi daun-daun hijau tersusun rapi. Ia meraih satu bungkus kecil berisi daun kemangi Thailand, memperhatikan permukaan daunnya yang halus dan berkilau di bawah cahaya. Daun-daunnya lebih besar dan lebih gelap dibandingkan kemangi biasa, dengan tangkai berwarna ungu kehitaman. Setelah memasukkannya ke dalam keranjang, tangannya bergerak meraih satu bungkus lagi, yaitu daun jeruk segar. Ia menyimpannya dengan hati-hati ke dalam keranjang di antara bungkusan bahan lainnya.
Setelah mengambil semua bahan yang ia perlukan, Wira berbalik melangkah menuju kasir dengan keranjang yang kini terisi kecap ikan, serai, jahe, lengkuas, daun jeruk, dan daun kemangi Thailand.
Wanita di belakang meja kasir tersenyum kecil padanya. “Guten abend,” sapanya pelan. Wira tersenyum membalas sapaan itu. Lalu satu demi satu, barang-barangnya dipindai, bunyi bip mesin kasir bergaung lembut di antara keheningan toko.
Ia mengeluarkan dompet, lalu membayar belanjaannya dengan cepat. Ketika kantong belanja plastik berpindah ke tangannya, Wira tersenyum singkat. “Danke schön,” ucapnya sebelum melangkah keluar dari toko.
Udara malam yang dingin menyergapnya seketika, menyelinap di sela-sela mantel tebalnya. Wira mempercepat langkahnya, melintasi beberapa deretan rumah menuju apartemennya. Beberapa saat kemudian, bunyi pintu apartemen yang berat berderit pelan saat ia mendorongnya, dan kehangatan ruangan menyambutnya dengan lembut.
Wira meletakkan kantong belanja di atas meja, lalu mengeluarkan bahan-bahan yang baru dibelinya. Setelah melepas mantel tebal yang membungkus tubuhnya, ia berjalan menuju kulkas dan membukanya. Aroma dingin sayuran segar langsung menyapa, bercampur dengan wangi samar bawang bombay yang sudah terpotong setengah. Satu per satu, ia mengeluarkan bahan-bahan: fillet ikan beku, tomat merah, jeruk nipis, daun bawang, seledri, bawang merah, bawang putih, dan bawang bombay.
Ia meraih sebuah piring keramik, menata potongan fillet ikan dengan rapi di atasnya. Setelah meletakkan piring itu ke dalam microwave, jari-jarinya menekan beberapa tombol. Sesaat kemudian, suara dengung lembut memenuhi dapur kecilnya.
Sementara menunggu, Wira mengupas bawang-bawang lalu mengirisnya tipis-tipis di atas talenan. Suara ketukan pisau berpadu dengan aroma segar bawang putih yang baru diiris menguar memenuhi ruangan. Perlahan muncul bayangan sepasang tangan kecil yang bersandar pada meja dapur. Seorang anak laki-laki berdiri di atas kursi, sedang menatap lekat sebuah baskom abu-abu. Di sebelahnya, seorang wanita sibuk menaburkan garam kasar ke seluruh permukaan ikan gurame segar di dalam baskom itu.
Tubuh ikan itu masih basah, bercampur dengan butir-butir garam yang berkilauan di bawah cahaya lampu dapur. Tangan wanita itu menggosok tubuh ikan dengan hati-hati, menghindari sirip-sirip yang masih terbuka lebar dan tampak tajam di ujungnya.
“Mah, kenapa gurame lagi, gurame lagi? Wira bosen atuh,” keluh anak laki-laki itu.
Wanita itu tersenyum tipis, “Ya gimana lagi, daerah kita kan penghasil gurame. Ikan segar dari kolam sendiri. Lagian, masak gurame itu gampang, tinggal kasih bumbu, jadi deh.”
“Tapi kenapa nggak masak ayam aja, Mah? Teman-teman Wira di sekolah makan ayam sama bakso. Gurame tuh... bosen.”
Wanita itu terkekeh, tangannya terus menggosok garam ke permukaan ikan. “Iya, tapi kan enak. Ikan gurame di sini besar-besar dan segar. Di kota lain nggak ada gurame seenak ini,” jelasnya sambil menatap anaknya yang masih mengerutkan dahi.
“Mah, Wira mau cobain juga!” seru anak lelaki itu, tiba-tiba tertarik dengan kegiatan menggarami ikan.
“Kumaha atuh? Siripnya tajem, bisi kena jari,” sahut wanita itu sambil melirik sekilas, tangannya masih sibuk menggosok garam ke kulit ikan yang licin.
“Wira hati-hati kok, Mah.”
Wanita itu berpikir sejenak, lalu menghela napas. “Yaudah, Wira taburin garamnya ya. Mamah yang gosok ikannya.”
Anak itu langsung tersenyum lebar. Ia mengambil garam dengan tangan kecilnya, lalu mulai menaburkannya pelan-pelan di atas tubuh ikan.
“Kenapa ikannya dikasih garam banyak, Mah? Biar asin ya?” tanya anak itu polos.
Wanita itu tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Bukan biar asin. Dikasih garam buat ngilangin lendir sama bau amisnya,” jawabnya sambil meratakan garam ke permukaan kulit ikan yang licin.
“Kenapa ikannya ada lendirnya, Mah? Kayak siput, ya?” tanyanya sambil mengerutkan hidung.
Wanita itu terkekeh, “Iya, mirip sih. Tapi kalau siput lendirnya buat jalan, kalau ikan lendirnya biar nggak kering pas di air,” jawabnya sambil terus menggosok garam di atas kulit ikan. “Makanya, pas mau dimasak lendirnya harus dihilangin biar bersih.”
Anak itu mengangguk, matanya melebar seolah-olah baru saja menemukan fakta penting. “Jadi kalau ikannya nggak dibersihin, jadi kayak makan siput ya?”
“Ih, jijik ah!” serunya dengan cepat sambil bergidik geli.
Wanita itu tertawa, “Makanya, ayo ratain garamnya. Biar nggak jadi siput lagi.”
“Ding!” suara microwave berdenting, menandakan fillet ikan yang dipanaskan sudah siap. Wira membuka pintunya, membiarkan uap tipis keluar perlahan dan tercium wangi ikan yang gurih. Ia mengangkat piring dengan hati-hati, meletakkannya di atas meja, lalu mulai menyiapkan bahan-bahan lainnya.
Pisau di tangan Wira bergerak perlahan, mengiris jahe hati-hati di atas talenan kayu. Aroma jahe yang hangat menguar seiring dengan ruas jahe yang teriris. Di sampingnya, muncul bayangan seorang wanita yang sedang mengiris jahe dengan lebih cepat dan tegas, seolah sudah melakukannya ribuan kali. Wajahnya tenang dan fokus dengan pisau besi berwarna kusam di tangannya.
Lalu Wira meraih bonggol lengkuas segar, seiring dengan tangan wanita yang juga meraih bonggol lengkuas yang tampak lebih besar dan berdebu. Bau khas lengkuas yang berdebu itu tercium lebih tajam daripada lengkuas yang dipegang Wira. Tangan wanita itu mulai memotong batang lengkuas kuat-kuat, terdengar bunyi yang nyaring saat pisau besinya mengenai talenan kayu yang bergoyang. Wira juga mulai memotong lengkuas dengan cara yang sama, namun lengkuas ini tampak lebih mudah dipotong, sehingga tidak ada bunyi ketukan pisau yang terdengar.
Ketika Wira beralih ke batang serai, wanita itu juga bergerak bersamanya. Keduanya merajang batang-batang serai dengan ukuran yang sama, sepanjang telunjuk orang dewasa. Lalu wanita itu memiringkan pisaunya dan menekan bagian pipih pisau di atas batang serai dengan tangannya, gerakannya tegas dan tampak ahli.
“Kenapa serainya dipenyet, Mah?” suara anak kecil tiba-tiba terdengar di telinga Wira. Seketika, sosok anak laki-laki muncul, berdiri di atas kursi kecil di samping wanita itu. Matanya bulat menatap gerakan tangan wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Biar wanginya lebih keluar. Kalo cuma dipotong aja, wanginya nggak keluar,” jawab wanita itu dengan nada datar tapi lembut. Tangannya menekan batang serai sekali lagi, sehingga batang itu sedikit memar dan aroma segarnya langsung memenuhi udara.
“Wira mau coba cium?” tangan wanita itu menyodorkan batang serai yang sudah penyet ke hidung anak laki-laki itu.
Anak itu menggeleng seraya menutupi hidungnya dengan tangan. “Udah ah, wangi rumput banget.”
Wanita itu terkekeh pelan dan Wira ikut tersenyum mendengar percakapan itu. Ia lalu memiringkan pisaunya, menekan bagian pipihnya dengan cara yang sama yang dilakukan wanita itu. Seketika aroma khas serai yang segar dan tajam memenuhi dapur kecilnya.
“Mah, Wira mau ikut motong, ya?” suara anak kecil itu terdengar lagi.
Wanita itu menoleh, ragu sejenak, “Hmm, Wira bisa?”
“Iya Wira jago loh! Gampang kok,” jawab anak itu dengan mata berbinar, tersenyum lebar dengan penuh percaya diri.
“Yaudah, Wira potong bawang daun aja, ya,” wanita itu menata batang daun bawang di atas talenan kayu, lalu menyodorkan pisau kecil ke tangan mungil anak itu.
Anak itu mengangguk kecil, “Oke, Mah!”
Tangan mungilnya bergerak perlahan, meniru tangan wanita di sampingnya memotong daun bawang. Pisau kecil merayap di atas daun bawang, menyisakan potongan-potongan yang tidak sama panjang di atas talenan kayu tua yang telah menghitam. Matanya fokus pada potongan yang ia buat, wajahnya serius seolah sedang mengerjakan misi besar.
Wira tersenyum lembut, melanjutkan gerakan memotong yang teratur di atas talenan kayu yang licin. Talenan kayu itu berwarna cerah, kontras dengan talenan kayu tua gelap yang dipakai sosok anak laki-laki di sampingnya. Suara ketukan pisau Wira terdengar teratur mengiringi setiap potongan daun bawang dan seledri yang jatuh rapi di atas talenan. Potongan-potongan hijau itu lalu ia pindahkan ke dalam mangkuk kecil, sebelum beralih ke tomat merah segar yang sudah menunggu di ujung meja dapur.
“Lihat, Mah! Wira bener kan motongnya?” seru suara anak kecil itu penuh antusiasme. Mata kecilnya berbinar saat ia menatap potongan daun bawang yang berserakan di atas talenan.
Wanita itu melirik sekilas dan tersenyum. “Wah, iya bener. Tapi coba potong yang sama panjang dengan ini ya,” ujarnya sambil memberikan sepotong daun bawang yang teriris rapi.
Anak laki-laki itu mengangguk cepat, “Oke, Mah.” Ia melanjutkan gerakan memotong dengan pisau yang bergetar pelan di tangan mungilnya. Irisan demi irisan jatuh di antara potongan-potongan hijau yang berserakan di atas talenan. Meski hasilnya belum sempurna, senyum kecil tampak di bibirnya setiap kali ia menghasilkan potongan yang mirip dengan contoh yang diberikan.
Wanita di sampingnya mengawasi sebentar, lalu memindahkan potongan daun bawang dan seledri ke mangkuk kecil. Lalu ia meraih beberapa buah tomat dan belimbing wuluh dari keranjang anyaman di dekatnya.
Wira meraih sebuah tomat merah besar, pisaunya bergerak mantap ketika mengiris tomat itu di atas talenan kayu yang bersih. Cairan tomat merembes keluar, menyebarkan aroma manis dan sedikit asam yang memenuhi dapur kecilnya. Di sebelahnya, bayangan tangan wanita itu bergerak dengan sama anggunnya. Pisau wanita itu lebih besar dan sedikit kusam, memotong tomat hijau yang kecil dan keras, menciptakan bunyi ketukan nyaring setiap kali pisaunya menghantam permukaan talenan kayu.
Dari sudut matanya, Wira melihat tangan wanita itu bergerak yang lincah memotong belimbing wuluh, di antara irisan-irisan yang telah terpotong rapi. Belimbing wuluh yang asam, lebih tajam daripada tomat hijau, mengeluarkan cairan bening yang sedikit lengket di ujung-ujung irisan. Aroma asamnya menguar lebih kuat bercampur dengan aroma segar serai dan wangi jahe yang telah dipotong.
Wira memandangi irisan tomat merah di atas talenannya. Tidak ada tomat hijau kecil yang keras, tidak ada belimbing wuluh yang asam. Sepertinya ia harus menambahkan lebih banyak perasan jeruk nipis, dan mungkin sedikit cuka, untuk memastikan rasa asam yang kuat pada masakannya. Ia juga telah menyiapkan beberapa buah cabai merah besar untuk menambah kekayaan rasa. Asam dan sedikit pedas akan sempurna jika dipadukan dalam satu masakan.
Wira mulai memasak, tangan kanannya terulur meletakkan panci anti-lengket hitam di atas kompor induksi berlapiskan kaca tebal yang mengkilap. Cahaya lampu dapur memantul lembut pada permukaan kompor dan pinggiran panci. Di sampingnya, bayangan wanita bergerak bersamaan. Wanita itu meletakkan wajan stainless steel di atas kompor gas dengan tungku yang nyala apinya berkedip-kedip biru. Bunyi api gas berdesis pelan, kontras dengan keheningan di dapur kecil Wira.
Ketika minyak dituangkan, Wira mengamati ceceran kecil minyak yang mulai berdesis di dalam panci. Ia mengambil irisan bawang merah dan bawang putih, menebarkannya dengan gerakan yang hati-hati. Bawang-bawang itu mengeluarkan suara mendesis lembut, berubah warna perlahan menjadi transparan, menebarkan aroma hangat yang memenuhi dapur.
Sosok wanita di sampingnya juga memasukkan irisan bawang merah dan bawang putih ke dalam wajan yang mulai panas. Minyak di dalam wajan itu bergolak sejenak, menciptakan letupan kecil yang membuat bawang putih segera berubah menjadi kecoklatan, mengeluarkan wangi yang lebih tajam dan kuat.
Setelah bawang merah dan bawang putih tampak layu, Wira memasukkan irisan bawang bombay yang lebih tebal. Wira bisa melihat uap tipis mulai menguar, menyebar ke seluruh ruangan, membawa serta aroma manis dari bawang bombay yang mulai terkaramelisasi. Ia melanjutkan dengan bahan-bahan lain yang sudah disiapkan: irisan jahe, lengkuas, serai, dan daun jeruk. Terdengar bunyi irisan jahe bertemu dengan permukaan panci yang panas. Lalu sesaat kemudian, wangi pedas dan segar menyeruak dari dalam panci.
Aroma jahe dan serai juga menguar dari dari wajan yang mengepul, ketika rempah-rempah itu dimasukkan. Uapnya berputar-putar di udara, seiring dengan bunyi berdesis yang nyaring terdengar.
“Wah, wanginya!” seru sosok anak laki-laki seraya memajukan hidungnya.
Sosok wanita itu tersenyum. Ia meraih teko air di dekatnya, lalu menuangkannya ke dalam wajan. Uap panas langsung naik dengan bunyi mendesis yang lebih keras. Kuah sup mulai terbentuk, mengeluarkan aroma harum yang pekat dari campuran lengkuas, jahe, dan serai yang tergenang dalam air mendidih.
Wira melakukan hal yang sama. Ia menuang air dari sebuah teko transparan, lalu memperhatikan irisan bawang dan bumbu yang mengapung di permukaan air. Uap tipis mengepul perlahan, bersamaan dengan aroma hangat dari campuran rempah yang menguar di dapur kecil itu.
Potongan bawang daun dan seledri dimasukkan. Sedangkan wanita itu menambahkan dengan irisan tomat hijau dan belimbing wuluh, yang segera terapung di permukaan kuah yang mulai mendidih. Irisan belimbing wuluh menambahkan aroma asam yang segar dan pekat pada aroma kuah yang kini menyatu sempurna dengan bumbu-bumbu.
Wira menatap uap yang mulai naik dari permukaan panci non-stick di depannya. Aromanya lembut, tapi ia tahu ini belum cukup. Ia harus menunggu hingga kuahnya mendidih.
Sosok anak laki-laki mendekatkan wajahnya ke tepi wajan yang sedang mendidih perlahan. Uap hangat menggelitik pipinya, membuat tubuh kecilnya terasa lebih nyaman. Ia menatap kuah berwarna bening di dalam wajan, penuh dengan rempah-rempah dan daun yang terapung. Tak lupa, sosok wanita di sampingnya memasukkan perasan air jeruk nipis yang sudah disiapkan sebelumnya. Aromanya terasa lebih kuat sekarang, asam dari jeruk nipis bercampur dengan wangi hangat dari bumbu-bumbu yang menguar setiap kali uapnya membumbung ke atas.
“Udah laper?” tanya wanita itu sambil meraih baskom berisi potongan-potongan ikan gurame.
Anak laki-laki itu mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada uap yang berputar lembut di atas wajan.
Wanita itu kemudian memasukkan potongan demi potongan ikan gurame segar secara perlahan ke dalam wajan. Kuah mendidih mengelilingi tubuh ikan itu, perlahan membuat kulitnya yang licin berubah warna menjadi lebih putih. Wira juga melakukan hal yang sama, ia memasukkan potongan-potongan fillet ikan yang ada di piring keramik ke dalam panci anti-lengketnya. Fillet ikan itu mengapung lembut di permukaan kuah yang mendidih, terselip di antara potongan rempah-rempah.
Bumbu-bumbu bubuk ditaburkan ke dalam panci dan wajan secara bersamaan. Wanita itu mengambil secubit garam dengan gerakan yang cepat, lalu menaburkannya ke seluruh bagian kuah, diikuti oleh sejumput gula, merica, dan sedikit penyedap rasa. Sementara itu, Wira melakukan hal yang sama dengan gerakan yang lebih lambat. Tak lupa Wira juga menambahkan sedikit cuka putih dan kecap ikan. Kedua cairan itu bercampur dengan kuah yang mendidih, menghasilkan aroma khas yang menyatu dengan aroma rempah-rempah.
Tidak sampai lima menit berlalu. Potongan ikan mulai matang sempurna, kuah di dalam wajan itu telah berubah menjadi lebih keruh, sementara kuah di dalam panci Wira terlihat lebih jernih. Sebuah sendok kuah mengaduk masakan dalam panci dan wajan itu bersamaan, mengeluarkan aroma gurih yang lembut berpadu dengan aroma asam dan segar.
Wanita itu menuangkan sedikit kuah pada telapak tangannya, lalu mencicipi kuah yang beruap tipis.
“Mamah, Wira mau coba juga!” seru anak laki-laki yang sedari tadi memperhatikan wanita itu.
Sebuah sendok kecil berisi kuah beruap tipis, bergerak mendekati mulut anak laki-laki itu dan Wira. Kemudian keduanya mengangguk-angguk dan mengangkat jempol, menandakan rasa kuah sudah pas.
Wira dan wanita itu memasukkan segenggam daun kemangi ke dalam kuah yang mendidih, dan segera mematikan kompor. Sebuah sendok kuah menekan daun-daun kemangi yang tersebar di permukaan kuah, agar terbenam sempurna bersama bahan lainnya. Aroma wangi kemangi memenuhi ruangan dengan cepat, menciptakan kesan segar yang menenangkan.
Wira baru saja meletakkan panci sup di atas meja makan ketika pintu apartemen tiba-tiba terbuka. Udara dingin dari luar mengalir masuk sejenak sebelum tertahan oleh aroma sup ikan yang memenuhi ruangan. Seorang pria dengan senyum lebar berdiri di ambang pintu, hidungnya terangkat sedikit, mengendus-endus aroma yang menyebar di sekelilingnya.
“Wah, wanginya!” seru pria itu serentak dengan suara lain yang lebih kecil, lebih nyaring.
Wira menoleh, ia melihat bayangan sosok kecil Raga, adiknya, yang melompat-lompat riang di depan pintu dapur.
“Wah, wanginya!” Raga kecil berseru, menghampiri sosok wanita yang sedang menuang kuah panas dari wajan ke dalam mangkuk-mangkuk di meja makan.
Wira hanya bisa tersenyum kecil melihat gerakan yang serupa dari adiknya yang sekarang sudah dewasa. Raga maju, mencondongkan tubuhnya ke arah panci anti-lengket di atas meja makan.
“Wah, masakan Mamah, nya?” tanyanya, wajahnya seketika berubah cerah. Tapi kemudian, alisnya terangkat, ekspresinya berubah jahil. “Tapi, bukannya maneh dulu bosen, Wir, tiap hari gurame?”
Wira tertawa kecil. “Kan eta dulu. Tiap hari makan gurame, masa teu bosen?”
“Ck, alasan!" Raga menggeleng sambil nyengir. "Sekarang malah masak ini. Jadi kangen Mamah, tau.”
Raga menyikut Wira dengan tawa kecil. “Inget nggak, Wir? Dulu kita rebutan kepala ikan. Siapa cepat, dia dapat.”
“Siapa cepat, dia kenyang,” sahut Wira sambil menahan tawa. “Ayo, kita makan sekarang.”
Keduanya duduk di meja makan kecil yang telah diatur rapi oleh Wira. Asap tipis mengepul dari mangkuk-mangkuk sup ikan yang tertata di atas meja. Meski tidak ada belimbing wuluh atau tomat hijau seperti dulu, aroma kuah yang hangat dan segar membuat ruangan kecil itu terasa lebih hidup.
Di masa lalu, mereka semua duduk di meja makan kayu yang lebih besar, Mamah dan Bapak di ujung, sementara Wira kecil dan Raga kecil saling berhadapan. Di tengah meja, mangkuk besar berisi sup ikan gurame diletakkan, dengan kuah bening yang masih mengepul.
“Wira, Raga, makan yang banyak, ya,” sahut Mamah sambil meletakkan sendok besar di tengah meja.
“Raga mau kepala ikan, Mah!” seru Raga kecil dengan tangan terulur ke arah mangkuk besar.
“Biar Mamah ambilin, bisi tumpah,” sahut Mamah sambil terkekeh, mengambil potongan kepala ikan dengan hati-hati. “Nih, buat Raga. Tapi makan sayurnya juga, ya.”
Raga kecil mengangguk cepat, meski ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan pada potongan belimbing wuluh di dalam mangkuknya. “Iya, Mah...”
Raga, Raga kecil, dan Wira kecil menyeruput kuah hangat itu bersamaan. “Hmm, enak, Mah!” seru Raga kecil nyaring, wajahnya berseri-seri.
Raga menutup matanya sejenak, seolah membiarkan rasa asam pedas dari kuah mengalir di tenggorokannya, memenuhi dadanya dengan kenangan lama yang tiba-tiba menyeruak.
“Hmm, seger, Wir! Jago maneh,” seru Raga, matanya berbinar saat menatap Wira. “Nggak nyangka, rasa kayak gini bikin kangen rumah.”
Wira tersenyum kecil. Ia menatap mangkuk sup di depannya, uap hangat masih mengepul perlahan. Saat ia menyeruput kuahnya perlahan, rasa hangat itu mengalir memenuhi rongga dadanya, memunculkan rasa nyaman yang pernah ia nikmati ketika kecil. Rasa nyaman yang dulu pernah ia anggap remeh dan membosankan.
“Jadi, maneh ada ide nggak buat cerpen tentang Rumah dalam Diri?” suara Raga memecah keheningan, matanya menatap Wira dengan rasa ingin tahu.
Wira mengangkat alisnya, “Cerpen?” ulangnya, seolah-olah ia tidak yakin dengan pertanyaan Raga. “Ohh, buat lomba maneh itu?”
“Iya,” Raga mengangguk pelan. “Urang kan hidupnya datar-datar aja, nya. Nggak ada drama atau konflik besar. Jadi nggak kebayang, mau bikin cerita yang maknanya dalem itu gimana,” jelasnya sambil mengangkat bahu.
“Hmm...” Wira tampak berpikir sejenak, seraya mengunyah nasi dan ikan gurame di piringnya. Matanya menerawang, lalu akhirnya menatap Raga dengan tatapan tenang.
“Menurut urang sih, Rumah dalam Diri enggak harus dari konflik yang besar atau cerita yang kompleks,” ujarnya pelan.
“Terus?” kening Raga berkerut.
“Justru,” Wira tersenyum sebelum melanjutkan, “Rumah dalam Diri itu muncul dari hal-hal yang sederhana dan akrab. Sesuatu yang sering kita anggap remeh, tapi bikin nyaman. Sesuatu yang udah jadi bagian hidup kita sejak lama.”
Raga menatap mangkuk sup di depannya, lalu menoleh ke arah Wira lagi. “Maksud maneh, kayak rasa sup ini?”
Wira mengangguk. “Iya. Dulu kita makan ini terus sampai bosan, tapi sekarang, justru rasanya bikin kangen, kan? Karena di baliknya, ada kenangan dan kehangatan. Sesuatu yang bikin kita merasa... pulang.”
Raga terdiam, mencerna kata-kata Wira sambil menatap uap hangat yang masih mengepul dari mangkuk sup di depannya. Ia menyeruput kuah itu sekali lagi, matanya terpejam sejenak mencoba mengolah ide yang diberikan Wira.
Ada hening sejenak sebelum akhirnya Raga tiba-tiba mengangkat sendoknya tinggi-tinggi, seolah-olah sedang membuat sebuah pengumuman penting. Ia berseru dengan penuh semangat, “Baiklah. Urang mau bikin cerpen Rumah dalam Diri tentang... Sup Ikan Gurame!”
Kata-Kata Asing
Bremen Hauptbahnhof (Bahasa Jerman): Stasiun Utama Kota Bremen
Entschuldigung (Bahasa Jerman): Maaf, Permisi
Ari kumaha (Bahasa Sunda): Bagaimana maksudnya
Guten abend (Bahasa Jerman): Selamat Malam
Danke schön (Bahasa Jerman): Terima kasih banyak
Kumaha atuh (Bahasa Sunda): Bagaimana, dong?
Bisi (Bahasa Sunda): Kalau-kalau
Maneh (Bahasa Sunda): Kamu
Urang (Bahasa Sunda): Aku
Nya: ya
Eta: Itu
Teu: Tidak