Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Sunyi Terlarang
1
Suka
17
Dibaca

Sunyi Terlarang

Malam itu desa begitu ramai. Jalanan yang biasanya sepi kini penuh orang. Anak-anak berlarian, para pedagang menggelar dagangan mereka, tikar-tikar disusun hingga memenuhi pinggiran jalan. Dari kejauhan suara gamelan mengalun pelan. Aku ikut terbawa arus kerumunan, sampai akhirnya berdiri di depan sebuah arena sederhana yang dikelilingi bambu. Orang-orang menyebutnya jathilan.

Bau kemenyan dan dupa menusuk hidung. Semua orang terlihat antusias menanti para penari yang sudah bersiap dibalik tirai. Suara gong berdentum pelan, lalu semakin cepat, dan semakin keras. Bulu kuduku meremang, entah mengapa mataku tertuju pada pohon sengon yang menaungi tempat ini. Aku menelan ludah ketika para penari keluar, gerakan mata mereka kosong.

"Ra, ayo kita pulang saja," rengek ku pada Rara.

"Santai saja, ini cuma hiburan" tetapi entah mengapa hatiku berkata lain.

Siapa sangka keputusan kecil itu justru menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah ada dalam list kehidupanku.

Pawang-pawang bersiap di belakang penari. Ikat kepala, setelan baju hitam tak lupa jimat yang menjadi ciri khas seorang pawang. Kantong mata hitam, cincin besar bertengger pada jemarinya. Entah mengapa rasa takut muncul ketika aku beradu pandang dengannya. Senyuman penuh misteri.

"Aku takut sama pawang itu, Ra!" Rara menoleh, mencari pawang yang ku maksud.

"Yang mana, Vin?" tanyanya.

"Itu!"

Namun, saat membuka mata hanya embusan angin yang kudapat. Semua pawang telah berjejer rapi, lalu siapa dia?

"Tidak ada, salah lihat kamu."

Aku menggeleng pelan. Tak mungkin salah lihat terekam jelas senyumannya, pakaiannya, cara jalannya, dan jimat sebagai kalung. Aku sebenarnya tidak berniat malam itu, tetapi Rara terus memaksaku. Katanya jarang ada pertunjukan jathilan di desanya. Mataku mengamati mereka yang senantiasa merekam setiap gerakan para penari itu.

"Ada yang kesurupan!" ucap perempuan di sebelahku.

Aku mengikuti arah telunjuknya. Benar saja, di sana ada seorang laki-laki yang tengah memakan beling, aku bergidik ngeri. Pawang segera datang, mengambil cambuk panjangnya. Kukira akan segera disembuhkan tetapi pawang itu terlihat menggila, satu cambukan didaratkan tepat pada perutnya. Aku menutup mata, namun jantungku berdegup kencang. Keringat dingin muncul, entah mengapa semua badanku terasa panas. Tanganku ikut bergerak seirama dengan dentuman gong.

"Ra, tanganku bergerak sendiri ..." bisikku pada Rara

"Jangan bercanda deh, Vin!"

Gerak tubuhku semakin tak beraturan. Aku ingin menari di tengah-tengah mereka! Naluriku terus berperang. Aku tak bisa menari, tetapi entah mengapa langkahku terus bergerak maju memasuki arena para penari.

"Vin!" Rara berteriak memanggil namaku.

Aku tak memperdulikan panggilan darinya. Langkahku terus maju, bergabung dengan para penari yang bergerak mengikuti alunan gamelan. Seluruh tubuhku bergerak semaunya. Ini bukan aku, sungguh!

Para penari kesurupan silih berganti. Mereka dibawa masuk ke arena kostum sedangkan aku, tetap dipertontonkan dihadapan orang-orang. Mataku bergerilya, seolah hendak menggoda para penonton laki-laki. Suasana malam semakin larut, namun aku tak ingin berhenti. Tatapanku tertuju pada Rara, senyumku mengembang tetapi hatiku berteriak meminta tolong. Para penonton terus bersorak, rusak sudah citraku sebagai anak pendiam. Tuhan, cobaan apa lagi ini?

Pawang hendak menyadarkan ku, namun ketika mereka mengambil roh yang ada di tubuhku lagi-lagi mereka datang dan merasuki. Terus berulang-ulang kali.

"Bagaimana ini?" tanya pawang tua.

"Kau ambil arwahnya, aku akan menghalangi jiwanya agar tak ikut bersama arwah itu!" timpal teman nya.

Aku mendengar semua percakapannya. Tubuhku bergetar hebat, seperti ada dua kekuatan yang tarik-menarik di dalam diriku. Nafasku sesak, dadaku seperti diremas sesuatu yang tak kasat mata. Dari sela kelopak mataku yang setengah terbuka, kulihat wajah pawang itu penuh keringat, bibirnya terus komat-kamit membaca mantra.

“Aku tak bisa menahannya lebih lama!” suara pawang tua itu bergetar.

"Jangan lepaskan, jika tidak arwah itu kembali menyatu, nyawanya bisa jadi taruhannya!" sahut temannya.

Aku ingin berteriak, ingin meminta tolong, tapi suaraku tercekat. Di telingaku, bisikan-bisikan asing semakin keras. Ada yang tertawa, ada yang menangis, ada pula yang memanggil namaku dengan nada menyeramkan.

"Kalian tidak akan bisa!" suara menggelegar disusul dengan tawa.

"Fokus saja! Jangan pedulikan omong kosongnya"

Mereka beradu kekuatan. Tubuhku remuk redam dihantam dari berbagai arah. Malam mulai menunjukkan waktunya, suara gong dan gamelan dihentikan sementara agar aku tak bergerak semaunya. Pawang-pawang terus berusaha, tetapi arwah ini masih ingin bersemayam di tubuhku.

"Aku menyerah," ucap salah satu pawang.

Terengah, tubuhnya penuh keringat dan wajahnya pucat pasi. Tangannya bergetar, hampir tak sanggup lagi menggenggam kemenyan yang masih menyala. Pawang tua itu mendengus kesal.

"Kau tak boleh menyerah! Kalau kita berhenti sekarang, arwah itu akan menetap di tubuhnya selamanya!" suaranya parau namun penuh keyakinan.

Aku merasakan sesuatu merayap di punggungku, dingin dan berat, seperti ada yang duduk di sana. Nafasku kian memburu, mataku terbuka lebar meski aku tak mengendalikannya. Dari dalam kepalaku, suara itu tertawa, lirih namun menusuk.

"Heh, manusia lemah! Kalian kira bisa melawanku?"

Pawang tua langsung menepukkan telapak tangannya ke tanah, menyalakan dupa baru, lalu membaca doa dengan suara semakin lantang. Angin bertiup kencang, udara malam semakin menusuk pori-pori. Para penonton khusyuk menyaksikan pertunjukan yang mereka kira hanyalah kesurupan biasa. Namun mereka tak menyadari jika aku dan kedua pawang sedang bertarung nyawa. Tepat saat cahaya itu hampir hilang, tubuhku kembali menghentak keras ke tanah.

Mataku melotot hendak keluar dari tempatnya. Tanganku mengepal keras, bangkit dan memukul wajah pawang tua. Sontak para penonton berteriak histeris. Pawang lain ikut turun tangan hendak membantunya.

"Jangan ikut campur!"

Aku mengambil cambuk dan mengarahkan pada mereka hingga tak ada satupun yang berani melangkah maju. Satu cambukan mendarat tepat pada punggung pawang muda. Ia berteriak kesakitan, menahan hujaman cambuk yang menggila.

"Kau harus merasakan apa yang aku rasakan!" disusul dengan suara tawa amat mengerikan.

Tubuhku diseret keluar menjauh dari lapangan. Mataku nyalang menatap ayah, muncul rasa benci, tangan ini sontak memukul tangan ayah. Namun, dengan sekuat tenaga ayah membawaku pulang. Para pawang berbondong-bondong menuju rumahku. Mereka ingin menyembuhkan, tetapi yang mereka dapat hanya pemberontakan dariku. Hingga pagi menyapa, tubuhku masih berada di ambang antara aku dan para arwah itu.

"Bawa dia ke ustadz!"

"Apa bisa?"

Orang-orang masih setia berada dirumah. Mereka tidak membantu apa-apa, melainkan hanya menambah bumbu-bumbu sedap dalam cerita sebenarnya. Warga menyaksikan saat prosesi ruqyah. Semua mata tertuju padaku. Aku sangat lemah, tenagaku terkuras habis. Bahkan untuk membuka mata rasanya tak mampu.

"Sopo kowe sing mlebu ing awak iki? Ojo ngapusi, ngomong sing jujur,” tanya ustadz itu.

"Aku ora gelem metu! Wong iki saiki omahku. Aku betah ning kene.”

"Awak iki dudu duwèkmu, duwèk Gusti Allah. Metua, ojo gawe sengsara marang wong sing ora salah iki.”

Mereka saling berdialog. Aku hanya bisa diam, rasa sakit ini sangat dahsyat.

"Aku metu, tapi manungsa iki bakal weruh aku lan sebangsaku," suara itu menggema disusul dengan tawa.

Semenjak hari itu, hidupku mulai berubah. Janji itu benar, aku bisa melihat mereka. Berinteraksi dengan mereka, dan manusia-manusia itu menganggap aku gila.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
INFO LOKER
Tulisan Tinta16
Cerpen
Sunyi Terlarang
Ade Vina
Skrip Film
Black
Adri Adityo Wisnu
Novel
Gold
We Have Always Lived in the Castle
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Adel Tersayang
Rere Valencia
Novel
Bronze
Teror Hantu Maryam
Ratna Dks
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Flash
Aku Ingin Melihatmu
Fia Shofia
Cerpen
Bronze
Sahabat Ku Maafkan Aku
Christian Shonda Benyamin
Flash
Bronze
RUMAH DUKA ELISABETH
Okhie vellino erianto
Cerpen
Bronze
MAUT HUTAN TERLARANG
Maldalias
Cerpen
Bronze
PASAR SLOKEN
Wafa Nabila
Flash
Bronze
MIMPI
Rara Kurnia
Skrip Film
Rayuan Maut Pulau Kelabu Script
Arlita Dela
Novel
Cagak Cemani
Noor Angreni Putri Hasim
Rekomendasi
Cerpen
Sunyi Terlarang
Ade Vina
Cerpen
Sepotong Rindu Yang Tertinggal
Ade Vina
Cerpen
Antara Nyata dan Bayangan
Ade Vina