Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit Jakarta sore itu tak sedang mendung, tapi dada Ari seakan diselimuti kabut yang tak kunjung reda. Di atas meja kayu ruang mediasi Pengadilan Agama, tergeletak selembar kertas yang mengandung lebih banyak luka dibanding tinta. Tanda tangan di sudut bawahnya bukan sekadar bentuk persetujuan—itu adalah pecahan dari hidup yang pernah ia bangun dengan penuh harap.
Suara hakim yang mencoba netral terdengar bagai gema jauh dari dasar jurang, "Dengan ini, proses perceraian antara Muhammad Ari Pratomo dan Rania Maheswari resmi diputuskan. Hak asuh anak jatuh pada pihak ibu. Sidang ditutup."
Dentang palu kecil itu lebih menyakitkan daripada palu hakim di perkara kriminal manapun yang pernah Ari tangani.
Ia menunduk. Napasnya berat, bukan karena keputusan hukum yang tak bisa ia bantah, tapi karena ia tahu bahwa dalam perkara ini, ia bukanlah seorang pengacara. Ia hanya seorang ayah yang kalah.
Anak laki-lakinya, Rafka, masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dunia orang dewasa bisa sangat rumit. Ia tak tahu bahwa malam-malam sepi akan mulai menjadi kebiasaan baru Ari. Bahwa setiap lagu pengantar tidur akan berganti menjadi sunyi, dan setiap ulang tahun akan terasa seperti upacara kehilangan.
Ari berdiri pelan, memasukkan dokumen ke dalam map lusuh. Rania tak melihat ke arahnya, dan ia tak memaksa. Ia tahu perpisahan bukan soal saling membenci, tapi tentang saling melepaskan ketika hati tak lagi selaras.
Di luar gedung pengadilan, suara motor, klakson, dan tawa orang-orang begitu kontras dengan guncangan batin yang ia rasakan. Dunia tetap berjalan, bahkan saat jiwanya sekarat.
Ia berjalan kaki ke parkiran, menolak tawaran ojek online yang menyapanya. Ia ingin waktu lebih lama sendirian. Ingin mengenang. Ingin menyesal.
Di jok motornya, helm tergeletak bersama satu barang lain—sebuah buku catatan kulit berwarna cokelat tua. Itu bukan buku hukum. Itu adalah jurnalnya. Tempat ia menulis semua isi hati, semua keinginan, semua rindu yang tak bisa dikat...