Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut pagi telah menyelimuti desa ini, dengan kedua mata sembab setelah merayakan seremonial akan ketidaknyamanan di tempat yang baru saja kusinggahi selepas 32 jam bersemayam. Disambut kicauan burung liar yang saling bersahutan. Rupanya aku telah gagal menikmati suasana pedesaan ini sebelum matahari terbit dan bersinar terang.
"Sejuknya nyaman banget, tapi keadaan hati yang bikin mual saat ini." Aku bergumam kesal.
Kedua jarum jam sedang berada pada posisi 180° di angka enam dan dua belas. Dari sisa gelas minuman penenang semalam, tertinggal butiran-butiran air kerinduan. Bunga-bunga pun layu menyembunyikan harum wanginya.
"Tidak ada kabar hari ini. Apa aku harus terus mengurung diri di dalam ruang senyap ini? " Aku menimang ulang, meraba isi ruang yang masih sangat berantakan.
NINGNOONGGGG.....
Seketika aku terkejut setelah mendengar suara bel ruang yang tiba-tiba menggema tanpa memberi aba-aba.
"Makananku datang, tapi dengan siapa harus aku habiskan?"
Setelah kubuka pintu kamar, terlihat seorang pria dewasa dengan pakaian dapurnya yang penuh aroma rempah dan bumbu. Tersenyum hangat seakan menyampaikan salam dari mentari pagi yang tak sempat kupandangi dengan teliti.
"Selamat pagi Nona. Gudeg Jawa dengan Sate Klathak ini siap menjadi santapan Nona di pagi hari yang tenang ini," ucap pria dewasa tersebut.
Aku hanya mengangguk dan mempersilakannya masuk untuk meletakkan makanan-makanan yang entah rasanya seperti apa itu.
"Nanti Nona bisa meletakkan piring-piringnya di depan kamar Nona. Selamat Pagi dan selamat menikmati hidangan," pamitnya diiringi dengan senyum kehangatan lagi.
Aku mengangguk kedua kali dan segera menutup pintu selepas pria tersebut menghilangkan diri.
"Entahlah, manusia-manusia asing saat ini begitu mengakrabkan diri. Padahal belum kenal secara rinci," simpulku menilai sikap pria pengantar makanan tadi.
Aku segera mendekati makanan-makanan yang telah tersaji di atas meja dekat jendela. Sembari menelanjangi cahaya-cahaya yang samar-samar memikat dari balik gorden berwarna coral ini.
"Weekend bagiku terasa weekdays bagi orang-orang di sekitar sini. Ayolah Nira, nikmatilah liburanmu kali ini."
Selepas habis menyantap sajian makanan, moodku kembali dengan baik. Meski tak sepenuhnya membaik. Hm, ini memang kali pertama. Seharusnya aku turut bahagia, bukan malah larut tenggelam dan banjir air mata.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi, driver tour guide sudah menghubungiku dan siap mengantarkanku pada beberapa lokasi tujuan untuk menjadi objek pengamatanku.
"Nira harus tuntas hari ini," gebrakku menguatkan diri di depan cermin persegi di sudut kamar ini.
Terdengar suara ketukan pintu di depan kamar, sepertinya ada seseorang yang sedang berada di luar ruangan ini.
"Selamat Pagi kembali Nona."
Seorang pria dewasa yang masih mengenakan pakaian dapur ini menyapa dan tersenyum lagi kepadaku.
"Saya mau ambil piring makan dan gelas minum. Permisi," ucap pria dewasa ini dan bergegas masuk untuk mengambil benda-benda yang disebut tadi.
'Untung saja aku sudah selesai dandan,' aku membatin kepada diri sendiri.
"Terima kasih Nona. Permisi," pamitnya kembali menghilangkan diri.
Notif ponselku berbunyi, drive tour guide sudah bersiap di depan Sundeis Homestay. Aku segera keluar menuju halaman depan.
"Nona." Seseorang memanggil dari arah belakang.
Aku menghentikan langkah tepat di lobby homestay dan membalikkan diri untuk mengarah padanya.
"Nona mau ke mana?" tanya pria dewasa yang mengantarkan makanan ke kamarku.
Aku mengernyitkan dahi, seseakan heran dengan pertanyaannya. Apa harus aku melapor terlebih dahulu padanya?
"Saya mau travelling, apa harus bilang dulu?" jawabku sembari bertanya padanya.
Dia membalas dengan senyum dan tawa, lalu berjalan mendekat ke arahku. Mau ngapain dia?
"Bukan begitu Nona, saya kira Nona mau check out dari homestay. Baiklah kalau Nona mau jalan, apa mau saya antar?"
Aku terkejut saat pria ini menawarkan jasa, bukannya ia harus berada di dapur ya?
"Maaf Mas, saya sudah pakai jasa tour guide. Sudah di depan," ucapku dengan menolak tawarannya dan mengarahkan jari telunjuk ke arah luar.
"Nona hati-hati di jalan. Have a good trip!" sahutnya dengan intonasi yang cukup menarik perhatian.
Aku mengangguk cepat dan segera meninggalkan pria dewasa yang sama sekali belum kutahu dengan pasti.
Suasana sejuk di luar penginapan sangatlah menenangkan. Aku segera memakai helm dan duduk di belakang driver tour guide.
"Lokasi pertama, menuju ke Candi Arjuna ya Kak."
"Siap Kak."
Motor pun melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, beruntung sekali aku mendapatkan tour guide seorang wanita kisaran usia 22 tahun. Sehingga di perjalanan nanti tidak perlu khawatir kalau seandainya ada sesuatu terjadi yang tidak bisa dikira.
"Kak, 10 menit lagi kita sampai. Kakak nggak pengin mampir buat beli minum?" ucap driver tour guide dengan santun.
"Mmm, boleh sih. Biar nanti nggak dehidrasi."
Setelah selesai membeli minum dan camilan, kami pun melaju dan menuju ke gerbang pintu masuk Candi Arjuna. Setengah ramai para pengunjung berdatangan untuk berwisata di candi yang penuh dengan sejarah ini.
"Kak, kita parkir motor dulu. Nanti masuknya jalan kaki."
"Oke Kak."
Hampir dua setengah jam kami berada di lokasi Candi Arjuna, menggali informasi dan menambah stok wawasan dari tour guide dan juru bicara candi peninggalan masyarakat terdahulu.
"Kak, berteduh dulu yuk." Aku menawarkan waktu jeda pada tour guide yang sudah banyak bermandikan keringat.
"Kakak saja silakan, saya izin ke toilet sebentar. Hehe," sahutnya dengan santai dan izin untuk ke kamar mandi.
Aku menatap layar ponsel yang sangat penuh dengan notifikasi-notifikasi beraneka ragam. Mulai dari pesan pribadi ataupun percakapan di grup, beberapa panggilan suara yang tak terjawab dari teman maupun keluarga, dan juga undangan kegiatan yang masuk ke email pribadiku.
"Menjadi asing ternyata seberat ini ya. Harus tega mengistirahatkan rutinitas harian dan mengisi kekosongan dengan hal-hal baru yang membantu penyembuhan dari depresi sedang," gumamku sembari memasukkan ponsel ke dalam saku jacket-ku.
Selepas travelling seharian, aku merebahkan diri di kasur penginapan yang aku sewa selama 5 hari ini. Sedikit kecewa, karena di hari ketiga yang seharusnya mengunjungi 2 lokasi tak terwujudkan. Akhirnya terlampiaskan dengan rehat di dalam ruang yang sangat sunyi ini.
"Jam 4 sore rupanya," ucapku memandang angka 4 digit di lock screen ponselku.
NINGNOONGGGG.....
"Hmmm, siapa lagi yang ganggu siang-siang begini?" cercaku pada udara yang bertahan di dalam ruang kamar ini.
Aku mengambil beberapa langkah untuk membuka pintu.
"Selamat sore Nona, maka...."
"Iya, silakan masuk." Aku menyahut tanpa membiarkan pria dewasa ini menyelesaikan ucapannya.
"Baik. Terima kasih Nona," ucapnya dengan anggukan kecil dan senyuman yang sama seperti tadi pagi.
'Please deh, orang satu ini kenapa harus ada di dunia yang kayak gini sih?' Aku membatin dengan penuh kesal.
Masih dengan pakaian dapur yang penuh aroma bumbu dan rempah, pria dewasa itu meletakkan piring saji dan gelas minum di atas meja, sembari menyebutkan jenis-jenis hidangan yang sama sekali tak kupedulikan.
"Silakan menikmati Nona...."
"Iya." Aku menjawab dengan begitu singkat.
Pria dewasa itu berpamitan dan kembali menghilangkan diri selepas keluar melewati pintu kamar yang kusewa.
"Ramah dan mudah menawarkan jasa, kenapa harus ada pria semacam itu?" ucapku pada cermin yang memperlihatkan wajah kusutku dengan bekas make-up yang samar-samar menghias di kedua pipiku.
Aku segera melahap hidangan siang hari ini dan segera menaruh piring serta gelas di depan ruangan. Sangat lelah harus bertemu dengan pria dewasa tersebut, apalagi menerima senyuman yang sangat membuatku muak.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar, panggilan suara dari Ibu yang tersemat di layar ponsel hitamku.
"Apa Ibu sudah rindu denganku?"
Aku menerima panggilan tersebut, dari arah sana terdengar suara isakan yang begitu dahsyat.
"Ibu menangis?" tanyaku dengan spontan.
"Nira di mana, Nak?" sahut Ibu dengan menjeda tangisnya.
"Nira masih di atas bumi kok Bu. Ibu nggak perlu khawatir, Nira pasti baik-baik saja." Aku menjawab dengan begitu gamblang.
"Nak, kamu yang semangat ya. Ibu rindu sama kamu. Kami di sini, semua sangat rindu sama Nira. Nira cepat pulang ya... Kita sama-sama lagi."
"Nira akan pulang Bu, tapi nggak sekarang. Nira juga butuh waktu. Nanti kalau Nira sudah siap, Nira akan kembali. Ibu dan Ayah sehat-sehat terus ya..."
Aku mengakhiri panggilan suara dan meletakkan ponsel di tepian meja. Beranjak serta melangkahkan kaki menuju jendela kamar, memandang pemandangan yang penuh sajian dataran tinggi Dieng serta orang-orang yang sedang berlalu lalang.
"Mereka semua punya harapan dan tujuan. Mereka semua punya kebahagiaan dan kesedihan. Mereka semua pernah ramai dan kesepian. Tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan, apa pernah mereka merasa jatuh dan berada di ujung kepasrahan?"
Aku mengembuskan napas dengan begitu puas, menyeka rerintikan yang kembali jatuh di hamparan pipi kanan dan kiriku. Sembari menghapus make-up yang sudah terlihat samar tadi, rerintik pun tengah berganti menjadi guyuran tangis yang semakin menjadi-jadi. Meskipun terik mentari bersinar terang, di sudut ruang inilah kudapati mendung kepedihan yang sangat menyesakkan.
*
Empat hari sudah aku berada di Sundeis Homestay dengan seorang diri, bertemu dengan pria dewasa yang selalu berganti kostum saat berpapasan denganku, dan juga beradaptasi dengan penduduk di desa yang begitu nyaman ini.
"Selamat sore Nona, ada yang bisa saya bantu?"
Aku terkejut seketika, saat menyeruput red velvet hangat di balkon penginapan ini. Pria dewasa yang tengah mengenakan kaos kasual berwarna putih dengan celana panjang yang senada, rupanya dia bisa berganti pakaian sebanyak ini dalam sehari.
"Uhukkkk..."
"Nona tidak apa-apa?"
"Lain kali kalau negur tuh lihat situasi dulu!" Aku berucap dengan penuh ketegasan.
Pria dewasa itu membalas dengan senyum dan anggukan kecil, "Mohon maaf sebelumnya, Nona sedang luang? Saya boleh bercengkerama sebentar dengan Nona?" ucapnya tanpa ada ragu sembari menunjuk ke arah tempat duduk di sebelah kananku yang sedang kosong.
'Berani sekali pelayan dapur ini, dari hari pertama hingga detik ini pun tak ada takutnya denganku. Apa sebaiknya aku lapor ke owner-nya saja? Biar dia enggak terlalu berlebihan denganku.' Aku membatin dengan menampakkan raut wajah yang kesal.
"Baiklah, silakan saja." Aku menjawab dengan penuh keangkuhan.
"Sebelumnya, perkenalkan...."
"Mas, elu tau etika nggak sih? Dari awal gue masuk di penginapan dan sampai detik ini, elu makin menjadi-jadi. Mau lu apa sih sebenarnya?" Aku menyela ucapannya sembari meluapkan kekesalan yang ada.
"Nona, saya hanya ingin bertukar pikiran dengan Nona. Menambah tali persaudaraan bukannya perbuatan yang baik ya?" ucapnya dengan begitu tenang.
"Benar, memang. Tapi lu tau nggak? Nggak semua orang bisa leluasa nerima sikap lu. Cara lu yang bikin gue muak tau nggak!"
Kali ini aku terbawa emosi karena kedatangannya yang tak diminta dan mengubah mood-ku menjadi buruk seketika.
"Nona sedang ada masalah? Nona bisa cerita ke saya... Mungkin saya bisa menjadi pendengar buat Nona."
"Gila ya! Dari awal lu tuh emang nggak pernah tepat banget datangnya. Gue nggak suka!"
"Nona kenapa menangis?"
Aku segera beranjak untuk masuk ke dalam kamar penginapan, akan tetapi langkahku tertahan oleh genggaman tangan pria dewasa itu yang menatapku begitu lekat.
'Sumpah ini orang berani banget!' Aku membatin dengan sangat kesal kepadanya.
"Nona belum jawab pertanyaan saya yang terakhir, Nona tidak boleh pergi dulu."
Aku mengembuskan napas dan kembali duduk di tempat semula dengan genggaman tangan yang masih melekat di lengan kananku.
"Bisa nggak sih, datang di waktu yang tepat? Gue tuh ke sini cuma pengin sembuh dari depresi gue. 4 hari yang seharusnya membuat mood gue balik, lu malah hancurin dengan sapaan dan tawaran jasa lu yang bikin eneg di gue!"
"Nona bisa cerita, kenapa Nona jauh-jauh ke sini hanya untuk sembuhkan luka Nona."
"Gue nggak kenal sama lu, males gue cerita dan ngabisin waktu dengan percuma sama lu!"
"Baik, sekarang saya tanya... Di mana letak kesalahan saya?"
"Lu selalu bersikap baik ke gue, seakan lu udah kenal dekat sama gue. Dan gue paling enggak suka dengan hal yang kayak gitu. Paham?"
"Baik, Nona ke sini mau nyembuhin depresinya Nona kan? Apa boleh saya yang membantu Nona sampai pulih?"
"Gue nggak kenal! Please jangan nge-deket kayak gini!"
"Oke, izinkan saya memperkenalkan diri."
"3 menit, kalau lu malah belibet terus, gue akan balik ke kamar dan check out dari penginapan ini."
"Baik."
Sesaat suasana menjadi hening dan membuatku semakin kesal dengan pria yang entah dari mana asal muasalnya.
"Lu kok malah diem? Buang-buang waktu banget si!"
Aku beranjak dan segera pergi meninggalkan pria dewasa yang tidak jelas itu.
"Saya belum selesai bicara. Perkenalkan, saya pemilik Sundeis Homestay di desa ini."
Langkahku terhenti setelah mendengar pengakuan yang mengejutkan dari pria dewasa itu.
"Saya Sunde, salam kenal Nona." Pria dewasa itu beranjak dari tempat duduknya dan segera menghampiriku.
Aku membalikkan diri sembari memastikan atas pengakuan yang telah diucapkannya. Apa benar dia pemilik dari penginapan ini?
"Lu ngomong apasi? Basi!"
"Nona belum memperkenalkan diri,"
"Gue Nira, puas?"
"Salam kenal Nona...."
"Udah?"
"Besok Nona mau travelling ke mana?"
"Bukan urusan lu!"
"Dini hari nanti saya mau ke Bukit Sikunir, Nona mau ikut?"
"Gue nggak kenal sama lu."
"Saya nggak akan berbuat jahat ke Nona."
"Buktinya apa?"
"4 hari ke belakang, apa saya bertindak kejahatan kepada Nona?"
"Ya enggak." Aku menjawab dengan singkat.
"Apa saya terlihat seperti orang yang jahat?"
"Enggak!"
"Jadi?" sahutnya menggantung.
Aku mengernyitkan dahi dan menatap tajam ke arah pria dewasa ini.
"Jam 2 nanti saya tunggu di depan pintu kamar Nona. Nona bisa pakai pakaian yang tebal, supaya tidak kedinginan."
Aku memejamkan kedua mata dengan sangat lama, sembari menimang ajakan dari pria yang begitu melelahkan diri ini.
"Gue nggak pernah nerima ajakan orang baru, bahkan gue ragu. Gue nggak bisa percaya begitu saja sama orang yang sama sekali belum gue tau asal muasalnya. Gue nggak yakin sama lu, mau lu bilang baik atau jahat. Gue nggak semudah itu."
"Selamat sore Kak Nira."
Aku mendengar sebuah suara dari seorang wanita, sepertinya dia sedang berdiri di belakangku.
"Sore," sahutku membalik badan dengan diikuti raut wajah yang penuh dengan tanda tanya.
"Kak Jein, kok bisa ada di sini?" ucapku dengan sedikit gelisah.
"Iya nih, kan nanti kita mau lanjut travelling. Ya kan Mas Sunde."
"Iya dong Jein."
Aku membelalakkan kedua mataku dengan perasaan yang tak karuan, ini mimpi apa gimana sih?
"Sebentar, apa kalian saling kenal?" tanyaku yang sudah hilang kesadaran.
"Mas Sunde yang seperti ini, masak tidak dikenal oleh orang-orang desa sih Kak?" sahut kak Jein dengan santainya.
Dengan senyuman yang khas, pria dewasa itu menyambut ucapan dari kak Jein dan mengangguk kecil tanpa ada rasa malu.
"Nona tidak perlu khawatir, Jein akan ikut ke Bukit Sikunir."
"Benar Kak Nira, Mas Sunde ini baik banget loh. Udah rela ikut sama kita buat travel ke Bukit Sikunir. Baru kali ini, Mas Sunde berkenan hati ikut antar saya... Apalagi dengan Kak Nira." Kak Jein berbisik lirih di telinga kiriku.
"Oke. Jam 2 saya ikut ke Bukit Sikunir." Aku menjawab dengan penuh kepasrahan.
"Yes!" sahut kak Jein dengan lesung pipit di kedua pipinya.
"Mas, kamar saya di mana?" tanya kak Jein pada pria dewasa tersebut.
"Seperti biasa Jein...."
"Kak Nira, saya balik ke kamar dulu ya. Sampai jumpa...."
Kak Jein pun pergi, kini tersisa aku dan pria dewasa ini.
"Gue masuk dulu," pamitku tanpa banyak kata.
"Nona, emm... Aku boleh panggil kamu Nira?"
Tanpa berbalik badan, aku menyahut dengan singkat serta tak memperbanyak keluhan. "Silakan."
Setelah berhasil menjauh pergi dari tatapan pria dewasa itu, kini berhasil sudah kurebahkan tubuhku di atas ranjang kasur yang telah menjadi tempat pelampiasan untuk meleburkan perasaan kesal di sore menjelang petang ini.
"Malam ini menunya apa ya?" Aku berucap dengan santainya.
"Eh, kok aku kepikiran pria itu sih. Benar-benar nggak terduga banget." Aku melanjutkan pikiran yang semakin tidak terkontrol ini.
"Kenapa dia sampai berinisiatif ajak aku ke Bukit, padahal dia nggak tau siapa aku... Dia nggak kenal aku. Kenapa sih, orang-orang tuh mudah banget ajak pergi atau jalan-jalan dengan seseorang yang nggak dia kenal. Tujuannya apa sih?" kini pikiranku dipenuhi oleh ucapan-ucapan dari pria yang mengaku pemilik penginapan ini.
Mentari pun telah tenggelam begitu sigap, mengiringi Nira pada pikiran dan perasaannya yang sedang berkecamuk. Tipikal yang abai dan bersikap tertutup dengan setiap pria asing saat bertemu dengannya, setelah kejadian kelam yang menimpanya sebelum datang ke sebuah desa yang membuatnya nyaman seperti ini.
DRRTTTT...DRTTTT....
Nira terbangun setelah mendengar getar suara ponselnya yang tergeletak di atas meja. Sayup-sayup membuka kedua mata, panggilan suara dari Kak Jein lah yang telah membuat Nira mengakhiri lelap tidurnya.
"Hhalo...."
"Selamat pagi Nona, Selamat pagi Nira. Aku sudah di depan pintu kamar sama Jein," sahut seorang pria dari seberang sana.
'Hah, demi apa?' Aku membelalakkan kedua mata. Seketika teringat bahwa aku telah membuat sebuah janji bersama pria itu dan tour guide-ku.
"Eee.. Iiiii.. Iya, 5 menit lagi gue keluar!" Aku menimpal sahutan dari pria tersebut dan mengakhiri panggilan suara untuk berganti pakaian.
Dua menit kugunakan untuk membasuh muka dan ganti pakaian, kemudian tiga menit sisanya kuhabiskan untuk merapikan kamar dan barang-barangku yang terpencar-pencar.
"Selamat pagi Kak Nira," sapa Kak Jein dengan senyum mungilnya.
"Pagi."
"Nira sudah siap?" tanya pria dewasa dengan memastikan keadaanku.
"Ya." Aku menyahut dengan sangat cuek dan berjalan untuk mendahului mereka berdua.
"Kita jalan kaki Nira," ucap pria dewasa yang tengah mengenakan jaket berwarna coklat tua.
"Capek banget nggak sih!" Aku menyela begitu kasar.
"Enggak kok Kak Nira, saya sering begini juga. Jaraknya cukup dekat, jadi lebih baik kita jalan kaki. Yaaa, hitung-hitung juga olahraga." Kak Jein menimpal dengan penuh keyakinan.
"Nanti sore aku bakal balik, nggak mau kalau jalan kaki!"
"Apa mau aku gendong?" tawar pria dewasa dengan santainya.
"Lu tu apa sih! Ya udah, ayo berangkat!" Aku menggertak dan mengisyaratkan untuk segera menuju ke lokasi.
Sesampai di gerbang utama, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan untuk menaiki bukit hingga sampai di puncak. Pukul empat pagi, kami sudah berada di puncak. Menggelar sepetak permadani untuk mengistirahatkan bagian bawah kaki, sembari menunggu terbitnya mentari pagi.
"Nira mau kopi?" tawar pria dewasa ini dengan menyodorkan segelas kopi yang masih benar-benar panas.
"Nggak! Gue mau teh."
"Kopinya buat Jein aja Mas Sunde," sahut kak Jein dengan ramahnya.
'Kenapa harus menyaksikan drama se-pagi ini sih?' batinku di dalam hati.
"Nira, kamu setelah pulang ke rumah. Apa ada niatan untuk balik ke desa ini lagi?" tanya pria dewasa itu sembari menyeduhkan segelas teh panas dengan kompor portable mini.
"Nggak tau."
"Kak Nira harus balik ke sini ya... Jein akan setia antar kakak travelling ke manapun itu." Lagi-lagi, Jein menyahut sekaligus menyambung ucapan dari pertanyaan Sunde.
"Doain aja gue bisa ke sini lagi."
"Pasti." Sunde menjawab dengan senyum yang paling tulus sembari menyodorkan segelas teh permintaanku.
Kedua tanganku menyambut segelas teh tersebut dan tangan kami saling bersentuhan. Hangat tiba-tiba terasa atas gesekan dari sentuhan yang tak lama tersebut.
Pukul lima pagi, kini tinggal aku dan Sunde yang duduk di atas permadani ini. Kak Jein berpamitan untuk menemui temannya yang berjarak 5 meter dari tempat singgah kami.
"Setelah ini, kamu akan menyaksikan keindahan yang begitu menenangkan."
"Lu kenapa sih, harus bersikap baik seperti ini sama gue? Apa gue terlihat begitu memprihatinkan di mata lu?" Aku membalas ucapan Sunde dengan begitu penasaran.
"Seperti mentari," jawabnya begitu yakin.
"Gue butuh jawaban yang logis, bukan syair-syair murahan yang puitis."
"Nira, sampai kapan kamu melawan diri seperti ini?"
"Maksud lu tuh apa sih?"
"Semua orang pernah ada di titik rapuhnya, kamu nggak harus sendirian menahan seperti ini."
"Ngomong apa sih Lu?" Aku menyahut dengan perasaan yang sangat kesal.
"Jadilah seperti Nira yang sebagaimana mestinya. Meskipun aku belum kenal kamu sepenuhnya, tapi aku yakin kalau kamu bisa kembali bersinar."
"Lama-lama gue balik turun nih! Mau lu tu apa sih?"
"Nira buang dulu ya emosinya.... Aku nggak bermaksud buat ikut campur masalah kamu, tapi kalau aku diperkenankan untuk turut serta bantu kamu pulih. Aku bersedia...."
"Sunde, ngapain lu peduli ama gue?"
"Karena kamu sebenarnya itu wanita yang begitu lembut dan penuh kepedulian."
"Tap...."
Sunde menatapku begitu lekat, "Kamu itu kuat, kamu wanita yang hebat. Mungkin sebelumnya kamu merasa hancur lebur, tapi kini kamu bisa berdiri dengan tegak."
"Jangan buat gue nangis di sini!"
"Menangislah dengan bentuk kebanggaan. Bangga ketika detik ini kamu sudah bisa merelakan sesuatu yang bukan untuk kamu. Bangga ketika mentari terbit dengan malu-malu ini mampu membuat segala keadaanmu damai. Dan bangga ketika kamu percaya bahwa semua akan menjadi lebih baik dengan sempurna."
Aku menatap jauh ke arah mentari yang berwarna jingga itu, dengan menerima sugesti positif dari Sunde yang sudah merelakan waktunya untuk menemaniku menyambut terbitnya mentari.
"Golden Sunrise, di mana setiap orang selalu menikmati pemandangan yang tersaji dengan begitu damai. Tak selalu sama, di saat kita mulai terbiasa menyaksikan mentari pagi dengan harapan-harapan baru lainnya. Perjalananmu tidak berhenti di situ saja, kejarlah yang sebenarnya perlu dikejar. Bisa saja sebelumnya tidak tepat untuk masa depanmu, maka Tuhan menakdirkan untuk saling menjadi masing-masing. Supaya kamu bisa bertemu dengan seseorang yang memang tepat untuk kamu," ucap Sunde.
"Kenapa kamu selalu membaca di setiap gerak-gerikku? Apa kamu memang selalu begitu pada semua penyewa penginapanmu? Bukan itu, apa kamu tidak lelah berusaha mengerti keadaan orang lain yang sama sekali tak kamu kenal dengan pasti?"
"Kamu istimewa, maka aku hanya membacamu saja."
"Untuk apa?"
"Nira, apa yang kamu ketahui dengan keputusanmu berlari ke desa ini... Sementara kamu meninggalkan orang-orang yang sayang dan peduli kepadamu?"
"Ketenangan."
"Apa kamu lebih merasa tenang?"
"Tak sepenuhnya, setidaknya depresi yang kualami tak se-berat saat aku masih ada di sana."
"Jadi?"
"Aku akan kembali, nanti sore. Kurasa cukup 5 hari saja, meski masih ada puing-puing kesedihan di tiap jalan pulang."
"Kamu harus bisa bersimpangan dengan itu. Bukankah di dalam hidup ini kita perlu menerima segala yang diberi kepada kita sebagai manusia?"
"Akan kucoba."
"Aku pengin lihat, kalau kamu memang Nira yang bisa kembali berdiri tegak dengan kebanggaan yang kamu punya. Tanpa harus memikirkan sesuatu yang tak perlu dipikirkan lagi. Nira yang berjalan menuju ke arah depan, mengejar impian-impian dengan penuh keteguhan."
"Kenapa kamu begitu yakin?"
"Kamu bisa menjaga diri dan tidak melampiaskan kerapuhan dengan motif yang buruk."
"Aku ini mulanya seorang penakut yang begitu penurut. Tetapi keadaan yang memaksaku menjadi seperti ini, ya karena aku nggak bisa membiarkan kesedihan berdiam diri di dalam hidupku dengan melarut akut."
"Kamu wanita yang mandiri. Kamu hebat, Nira."
"Makasih."
Dari percakapan yang tak sebentar ini, mentari pun telah terbit dan bersinar begitu terang. Bukit yang tengah kusinggahi bersama pria pemilik penginapan di desa ini, kini begitu terlihat memukau penglihatan. Panorama yang sangat menjamu di kedua mata ini sangatlah begitu menawan. Meski berangkat dengan kekesalan yang amat menggemaskan, semua memudar tanpa meninggalkan bekas yang mengganjal di dalam hati dan pikiran.
Lautan awan yang turut menghias seperti soft ice cream yang terbalik ke atas. Semburat kuning keemasan yang menyita perhatian. Betapa indah nian Negeri di atas awan ini...
"Golden sunrise yang cantik," ucapku mengakui sajian kehendak Tuhan.
"Seperti kamu dan perilakumu."
Aku tertegun tanpa menoleh ke arahnya, apa barusan ini juga ucapan yang tak dibuat-buat olehnya?
"Makasih sudah datang ke desa ini dengan tujuan yang baik," tambahnya melanjutkan ucapan yang sempat terjeda.
"Aku juga berterima kasih, sudah menuntunku untuk bisa memahami. Meski di sebelumnya kemampuanku hanya sebatas mengetahui."
"Tak apa Nira... Nikmatilah hidangan Tuhan yang luar biasa ini. Terbit mentari, bisa saja menjadi sebab seseorang membangun harapan yang baru. Cerita yang sudah selesai biarkanlah untuk selesai. Akan ada cerita baru yang lebih bisa menghargai perjuangan dan keberadaanmu."
Aku memejamkan kedua mata, berdoa kepada Tuhan agar tetap diberikan durasi hidup yang lebih panjang untuk bisa sampai pada tujuan-tujuanku.
Pukul 6 pagi telah berlalu, sorot mentari kini mengarah padaku dan Sunde. Kami memang dua orang asing yang dipertemukan di desa ini. Sebuah pedesaan yang paling tinggi di Jawa Tengah karena letak geografisnya. Mungkin sudah saatnya untuk kembali terbuka dengan manusia-manusia lain, karena sibuk dengan diri sendiri juga bisa membuat sakit hati bagi orang lain yang membutuhkan.
"Kamu masih orang yang sangat asing untukku, tetapi aku berterima kasih... Atas segala bentuk perhatian dan ucapanmu yang membuatku paham, bahwa hidup tidak sebatas mengetahui saja... Tetapi juga harus benar-benar memahami makna dari tiap bentuk kepunyaan dan kehilangan yang ada di hidup ini."
"Aku juga berterima kasih, kamu sudah kuat bertahan sampai detik ini."
Sunde menatapku begitu hangat, seperti menyaingi sorot mentari yang belum saja berpindah dari tempat kami berdua. Garis-garis senyum yang setiap hari tersaji dikala mengantarkan makanan ke kamar, kini terukir dan membuat diri ini terlena akan sikapnya.
"Nira, nanti kalau kamu balik. Apa bisa kita berbincang lepas seperti ini tadi?"