Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Sulitkah bersyukur itu?
0
Suka
288
Dibaca

Aku kenal tempat ini, ruangan yang tidak terlalu luas. 3 x 3 meter kira-kira, didalamnya terdapat kamar mandi yang juga mungil. Cat tembok kuning terang serta terpajang bingkai-bingkai lukisan bunga tulip dan kaligrafi. Kamar Atma yang bersih dan rapi. Aku jadi teringat dulu sebelum menikah sering sekali menginap di kamar Atma. Ketika Atma dilanda kegalauan atau ketika aku sedang bosan dan kesepian. Kami menghabiskan malam untuk bercerita, tertawa bahkan pernah menangis bersama. Wanita jika sudah berkumpul ada saja bahan obrolan. Dan  kamar ini tidak banyak berubah. 

"Foto-foto artis papan atasnya kemana?" Tanyaku pada Atma, yang ku maksud adalah fotoku dan Atma. 

Dulu di kamar ini foto kami terpajang hampir di setiap sudut. Di tembok, di meja rias, di kaca lemari baju dan dibalik pintu. Seperti orang yang sedang terobsesi. Akupun melakukan hal yang sama, dikamarku aku memajang satu foto berukuran 40 x 60 centimeter. Foto Liburan kami di Jogjakarta ketika rekreasi tahunan di desa kami. Tepatnya di depan Museum Benteng Vredeburg. Foto yang selalu mengingatkan kebersamaan kami. 

Ah, rindu sekali. Sekarang aku sudah tidak pernah ikut rekreasi tahunan di desa ini karena sekarang aku tinggal di kota yang berbeda dan setiap akhir tahun ku habiskan berlibur bersama suamiku. Ya, suamiku yang kini sudah mencampakkan aku dan memilih bersama wanita masa kecilnya.

"Haha..foto kita?" Atma kembali bertanya dengan tawa kecil karena ucapanku yang menurutnya lucu.

"Sudah pensiun, ku letakkan di dalam laci meja rias. Nih lihatlah." Lanjutnya sambil menarik laci meja riasnya.

 Benar saja foto-foto itu sudah terbungkus rapi di dalam plastik transparan dan diletakkan ke dalam laci.

"Ihh jahatnya, kenapa? Kau sudah tak sayang lagi padaku kah?" Aku khawatir jika ada hal yang membuat Atma pernah marah dan rasa sayangnya hilang padaku. Hingga ia harus menyingkirkan foto-foto kebersamaan kami.

"Ih enggak lah."

"Suatu hari aku pernah ikut kajian. Dalam kajian itu membahas mengenai larangan memajang foto makhluk bernyawa. Ustadz menjelaskan, dalam satu hadist menyebutkan para malaikat tidak akan masuk rumah yang terdapat gambar makhluk hidup bernyawa.

Aku hanya paham sebatas ini saja, tidak boleh memasang foto makhluk bernyawa dalam ruangan dimana kita sering beribadah, karena malaikat tidak akan masuk. Makanya aku melepaskan semua foto. Termasuk foto kita" 

Penjelasan Atma membuatku menerawang betapa banyak foto dan lukisan makhluk bernyawa di dalam rumahku. 

" tenang saja rasa sayangku tidak akan berubah meski foto-fotomu tak terpajang di kamarku. Selama kau tidak menyebalkan. Hehe" lanjutnya lagi yang membuat aku tersenyum manja. Atma selalu bisa membuat aku lupa akan masalah yang sedang ku hadapi.

" ini ambilah dan bersihkan dirimu." Atma menyerahkan baju piyama berwarna merah muda. Akupun langsung masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Atma dan membersihkan diri.

Aku telah bersih dan merasa segar. Kurebahkan tubuhku diatas kasur busa milik Atma dan berguling-guling. Rasanya nyaman sekali. Suara musik dangdut dari luar terdengar jelas hingga kamar Atma, sepertinya ada yang sedang menggelar pesta di kampung ini. Jika benar maka aku akan mendengarkan musik dangdut ini hingga subuh. Ini sudah menjadi hal biasa untuk kami orang kampung, yang jika mengadakan pesta pernikahan atau khitanan. Tidak lengkap jika tidak mengundang biduan desa bersama kelompok organ tunggal dan menikmatinya hingga pagi hari. Meski Suara musik dangdut itu sedikit mengganggu, sejenak aku bisa melupakan kesedihanku. 

Atma telah duduk di tepian kasur, ia telah selesai membersihkan diri, rambutnya yang basah ia keringkan dengan handuk di tangannya, aku bergegas duduk disampingnya dan menatap wajahnya yang manis. 

"Syahlan tadi menghubungiku, katanya nomor teleponmu tidak aktif. Aku sudah meminta izin agar malam ini kau menginap di rumahku, besok akan ku antarkan kamu ke rumah." Ucap Atma. 

***

Aku membuka mataku meski berat. Sisa menangis semalam dan tidur yang larut membuat kelopak mata ini terasa kesat. Dingin yang menggigit seakan membuatku ingin menarik selimut dan terlelap lagi. Namun Sayup-sayup suara Azan subuh terdengar saling bersahutan. Membangunkan jiwa-jiwa yang haus akan kasih sayang Sang Pencipta. Sejenak ku sandarkan punggung ke ujung kasur menatap Atma yang keluar dari kamar mandi dan telah basah oleh air Wudhu. 

Ku paksa rasa malas yang masih menggelayut di diriku ,untuk bangkit dari tempat tidur dan membersihkan diri. Kesejukkan terasa ketika tubuh ini dibasuh dengan air wudhu. Seakan membentak hatiku, "Kenapa tidak dari tadi?". 

Kami pun menjalankan rukun islam yang kedua, Sholat. Melaksanakannya didalam kamar yang mungil tapi rapi dan bersih. Dengan hati ikhlas dan semangat, berharap malaikat hadir dalam ruangan ini dan ikut meng-amin-kan doa-doa yang kami panjatkan. Salah satu doaku adalah agar Allah memberikan jalan keluar dalam setiap masalah yang kuhadapi. Aku yakin, karena setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Seperti yang telah tertulis dalam surah Al-insyirah.

Jendela kamar Atma dibuka, langit terlihat sedikit demi sedikit mulai menguning menandakan matahari mulai menampakkan diri dari persembunyiannya. Terdengar suara seretan sapu lidi dari ibu-ibu yang rajin membersihkan halamannya. Sepeda motor terdengar seperti menggerung bersahutan dengan kicauan burung yang tak mau kalah. Suara tawa anak-anak yang berlarian melengkapi pagiku. Ini yang ku rindukan suasana desa dengan segala aktifitasnya. Aku sangat menikmatinya. Tak lama terdengar suara pintu kamar diketuk.

"Atma, ajak Vebi sarapan. Sudah ibu siapkan di meja." Ternyata ibu Atma, bernama Sofia.

"Iya bu terimakasih" ucap kami bersamaan.

Kami keluar dari kamar menuju ruang tengah. Benar saja di meja ruang tengah sudah ada gorengan, nasi goreng dan teh dalam gelas transparan. Ayah Atma yang bernama Ardan terlihat sedang membaca buku saku kecil, bertuliskan Dzikir pagi dan petang di sampulnya. Ia berbaring di balai-balai atau tempat tidur dari bambu yang terlihat dilapisi busa tipis di dekat jendela ruang tengah. Tempat biasa Ayah Ardan berjemur. Karena jendela itu bertatapan langsung dengan matahari. Jadi ketika jendela dibuka maka sinarnya akan terpancar ke arah Ayah Ardan. Aku memberikan salam, ia menoleh ke arahku membalas salam dan tersenyum. Setelah itu melanjutkan membaca buku kecil itu lagi. 

Ayah Ardan masih di atas tempat tidurnya, rasa iba merasuk membuat diri merasa menjadi orang yang tidak bersyukur.  Mengapa aku yang sehat selalu berputus asa dalam hidup, lupa akan nikmat yang telah Allah berikan. Hanya karena masalah yang aku hadapi, padahal tak sebanding dengan apa yang ayah Ardan alami. Ayah Ardan yang entah sudah berapa lama terbaring ditempat tidur, tidak pernah membenci Tuhannya. Ia tetap mencintai dan mengingat-Nya meski dalam keadaan tubuh yang lemah. Badannya kini terlihat kurus, padahal terakhir kali ku lihat tubuh Ayah Ardan masih gempal. Membuat ibu Sofia dan Atma kesulitan saat membopongnya. Ayah Ardan tidak pernah terdengar mengeluh, kini ku tahu sifat Atma diturunkan dari siapa.

Kunikmati sarapan yang telah disiapkan ibu Sofia, nikmat sekali. Nasi goreng kampung, rasa ini tidak pernah gagal di lidahku. Irisan bawang putih, bawang merah dan cabai rawit yang di tumis. Nasi yang khas pedesaan tidak keras dan juga tidak terlalu lembek hanya dibumbui sedikit garam dan tentu saja penyedap rasa, micin. Nasi goreng putih ini  disandingkan dengan gorengan tempe yang sama enaknya. Ku seruput teh hangat yang pekat dan wangi bunga melati, sangat memanjakan alat indra penciuman dan pengecap secara bersamaan. 

Kami telah menyelesaikan sarapan, aku berpamitan pada Ayah Ardan dan ibu Sofia. Berterima Kasih atas keramah tamahan dan jamuannya padaku.

"Vebi si anak cantik, sering-sering main ke sini ya. Semoga kamu sekeluarga selalu sehat, tercapai semua keinginan, diberi jalan keluar setiap permasalahan dan dimudahkan jalan hidupnya." Ayah Ardan mendoakan aku dengan tulusnya. 

Beliau mendoakan aku sehat, rasanya aku ingin menangis. Bahkan ia yang sedang sakit saja berharap orang lain tetap sehat.

"Terimakasih ayah dan ibu, semoga Allah selalu melimpahkan banyak kebaikan. Aamin" ucapku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Sulitkah bersyukur itu?
Alhuyaz
Novel
Bronze
Malaikat Bermata Hazel
iqbal syarifuddin muhammad
Flash
Senandika di Peron Dua Belas
Ravistara
Novel
Gold
Istri Kedua Gus
Falcon Publishing
Novel
HARUN HILWA
Daud Farma
Novel
IYYAAKI HUBBII
Daud Farma
Novel
Gold
Siapa Sebenarnya Markesot?
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Pemimpin yang Tuhan
Bentang Pustaka
Novel
Ijazah Untuk Ayah
Dwiyan Sebastian
Novel
Bronze
Di Tepian Pasifik
Akhmad Zamroni
Novel
Gold
Perjumpaan dengan Iblis
Mizan Publishing
Flash
Dompet Natal
Rafael Yanuar
Novel
Gold
Melampaui Mimpi Bersama Anies Baswedan Twitterland
Mizan Publishing
Novel
Gold
195 Pesan Cinta Rasulullah untuk Wanita
Noura Publishing
Flash
Bersyukur
Mahmud
Rekomendasi
Cerpen
Sulitkah bersyukur itu?
Alhuyaz
Cerpen
Mendadak indigo
Alhuyaz
Cerpen
Salah Tingkah
Alhuyaz
Cerpen
Korban Semu
Alhuyaz
Cerpen
Catatan suami PELOR (nempel molor)
Alhuyaz