Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sugeng Ricuh
0
Suka
1,093
Dibaca

Hari ini tak seperti biasanya. Suasana mencekam, atmosfer dingin, hawa tercekat benar-benar tak terendus di tempat ini. Sebuah keajaiban. Aku melangkah tenang sedikit awas. Bersiap melayangkan elbow kick yang kupelajari dadakan semalam jika ada yang menyergap. Tapi ternyata tidak.

Ternyata pula si sumber kekhawatiran tengah asyik bercengkrama bersama beberapa murid yang mengelilinginya dengan canggung.

Apa yang terjadi? Ini mengherankan.

Sugeng tak membuat kericuhan. Itu patut diwaspadai. Kuputuskan untuk kembali melangkah seraya menelan ludah getir, berupaya mengeluarkan teknik mengendap-endap seolah mengenakan jubah transparan Harry Potter. Kelasku ada di depan. Lima langkah lagi aku mencapai pintu, tapi sial suara Sugeng mengudara merambat ke telingaku. Jangan lagi. Aku malas harus bercerita ke Ibuku apa alasan aku babak belur tiap pulang sekolah.

"Sudah sarapan?" Pertanyaan menggelitik.

Sampai terasa udara remang menjalar melewati tengkuk. Lebih mengerikan dari Ndas Kluntung yang ditemukan oleh Bapakku sebulan silam. Lalu tangansawo keling itu menepuk bahuku keras, membuatku tersadar.

Dia menanyakan pertanyaan tadi sekali lagi. Aku menjawab pendek dingin dan bergegas masuk ke dalam kelas. Bertemu mata dengan Adip yang tampak bugar dan sedikit tenang.

Benar tidak terjadi apa-apa. Berarti aku harus lebih waspada.

"Kamu gak kenapa-napa kan Dip?" tanyaku dan dibalas anggukan ringan oleh kepala Adip yang plontos.

Alis busurku mengerut. Aku duduk masih dengan perasaan aneh. Sampai Bu Wati tiba pun aku masih kepikiran dengan Sugeng yang tumben tak membuat ribut.

Apa berarti sia-sia aku berlajar Jet Kune Do kemarin?

Lamunanku terus berlanjut sampai bel istirahat bergaung. Mengabaikan ajakan Sari untuk ke kantin, aku memusatkan mata dari jendela pojok kelas ke arah lapangan. Lebih tepatnya ke arah Sugeng. Dia nampak riang. Tak lagi ganas seperti sebelumnya. Sampai sudut mataku tak sengaja mulirik meja Adip.Aku terkejut. Disana kosong. Sial, jangan bilang antek-antek nya yang berulah.

Kupecut lari secepat kilat tak peduli menabrak bahu Pak Suwirto yang beristri tengah menggoda Bu Nining untuk diajak menonton layar tancap. Lebih penting lagi aku harus ke belakang WC laki-laki.

"Adip!"

Tidak ada.

Aku berpindah empat kali. Gudang, WC perempuan, atap sekolah, lalu kantin. Dan benar sosok itu disana. Langsung dikenali oleh mataku karena bentuknya yang berbeda dengan murid kebanyakan. Tapi anehnya Adip terlihat makan dengan lahap. Bahu keringnya dirangkul erat Anam. Kaki tangan Sugeng.

Aku berjalan mendekat semakin merasa ada yang tidak beres. Tak kugubris sapaan beberapa perempuan yang ingin mencuri perhatianku. Sampai kakiku di depan meja yang disinggahi Adip, Anam yang sadar lantas menyapaku.

"Yo Bro. Makan gak?" Tawaran menggelikan lagi.

Aku menatap Adip yang sedikit bergetar memegang sendok.

"Jangan ganggu Adip!" titahku tegas.

Anam, Rubert, Jojon, lalu Sugeng yang baru datang memasang raut heran bersamaan. Menatapku seolah aku Saitama yang baru saja tumbuh rambut. Tidak. Aku benci Saitama. Aku suka InuYasha.

"Kita gak ganggu Adip. Kita ajakin dia makan bareng," jawab Sugeng penuh riang.

Tapi kecurigaanku tak kunjung pudar. Perubahaan sikapnya dari tukang ricuh jadi anteng ini menganggu. Aku tidak bisa membiarkan Adip terbully lagi hanya karena dia kurus kering, berkepala plontos, dan hidungnya mirip jambu mete.

"Kenapa kau berubah? Apa rencana kau?" tudingku terang-terangan.

Dahi Sugeng mengerut. Membuat jerawat batu di tengahnya ikut mengerut. Dia mengangkat bahu, mengatakan bahwa dia ingin berubah dan berniat menebus kesalahan dengan mentraktir Adip.

Aku tak percaya. Ini terlalu mendadak. Melihat polah Sugeng sebelumnya tak sedikit yang ikut mengumamkan kata tak percaya. Sugeng anak pengusaha gula. Dia paling kaya di daerah ini. Biasanya pula dia akan koar-koar menindas siapapun dengan dalih, 'harus menurut karena ibu-bapak kalian kerja sama bapakku' dan sebagai anak yang ibu-bapaknya kerja dengan bapaknya aku risih.

Bukan satu dua kali aku adu jotos dengannya yang main keroyokan sedangkan aku main solo. Seringnya aku bakalan melindungi Adip yang jadi sasaran tindasan utama karena bentuknya yang aneh.

Kini dia merangkul Adip terang-terangan siapa tak curiga? Aku duduk di seberang Adip. Meminta tolong Jerry yang baru lewat untuk memesankan semangkok bakso. Setidaknya aku ingin Adip merasa aman di tengah komplotan badung sekolah ini.

Adip tampak melongo membaca baris-baris semut di buku setebal kitab di depan kami. Tangannya yang bekas kurap bergerak mencatat dengan alot. Aku sendiri memimpinnya merangkum cepat. Supaya Adip yang terlanjur polos tak mencatat semua tulisan itu satu bab.

Suara detikan jam terinterupsi oleh suara Bu Anik yang bertanya mencatatnya sudah atau belum jika sudah maju untuk presentasi. Gila saja, baru setengah jam. Terburu sekali. Setidaknya sedikit jelaskanlah apa maksud materi ini. Kenapa tiba-tiba menyuruh presentasi?

Tak perlu dijawab. Dia hanya ingin sebanyak mungkin bermain benda kotak itu tanpa susah payah membuka mulut. Membiarkan otak berkembang kami menerka-nerka apa yang ingin si pembuat buku curahkan.

Kurikulum macam apa ini? Hanya mencatat lalu presentasi tak akan membuat kami pintar. Hanya hafalan saja tak membuat kami bisa berkreasi. Terlebih lagi sebentar lagi ujian semester. Kami terlalu bergantung dengan kisi-kisi dan pilihan ganda. Hanya belajar apa yang akan di corehkan pada kertas ijazah nanti. Bukan benar-benar untuk apa yang bisa berguna untuk masa depan kami.

Ini tidak salah sih. Toh, masa depan kami sepertinya jelas menjadi karyawan pabrik gula Bapak Sugeng. Hanya bermodal otot dan ijazah kertas saja pasti diterima nanti.

Jangan berpikir negatif Rambo. Ini permulaan seperti halnya yang dilakukan Rancho. Dia belajar keras, tekun, dan kompeten. Aku tidak akan berakhir menjadi buruh pabrik, aku ingin menjadi atlet. Dan itu dimulai dengan adanya Sugeng yang ricuh sehingga aku tau harus aku apakan bakat bela diriku ini. Tapi sekarang apa yang terjadi?

Sekolah terlihat damai. Samsak gratisanku otomatis menghilang. Tenang, ini bukan akhir. Belajar saja terus Rambo. Belajar seperti Rancho, itu kata Bapak. Tidak ada Sugeng dan anteknya, aku bisa menggunakan batang pisang sebagai samsak.

Sekiranya 10 menitan aku menyemangati diriku. Giliran aku dan Adip maju untuk presentasi. Aku tidak berharap banyak pada Adip, yang penting kontribusi dan toleransi.

Waktu pulang berlalu sangat damai. Pohon beringin didepan sekolah tak lagi jadi tempat Sugeng nongkrong sembari menyulut rokok. Adip terlihat lebih tenang disampingku. Itu bagus.

"Eh, tunggu Dip," ucapku menghentikan langkah. Mataku lamat-lamat memperhatikan beberapa tukang yang tengah memasang baliho caleg di depan warung Mbok Darmi.

Hah, itu Bapak Sugeng. Pantas Sugeng tak lagi ricuh, mungkin karena bapaknya nyaleg. Benar-benar menggelikan. Aku yakin Bapak dan Ibu akan menerima bonus bulan ini. Seketika perjalanan pulangku terasa menggelikan, seolah-olah sepatuku terbuat penuh dengan bulu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Esensi Asasi Afeksi
Rairaa
Cerpen
Bronze
Berjalan Menuju Merdeka
ardhirahma
Cerpen
Ibu dan Segala Kompleksitasnya
Siti Aminatus Solikah
Cerpen
Harapan Yuna dan Yuni
Mutia Ramadhanti
Cerpen
Bronze
Mendung Masih Bergelayut
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Rencana Lain
Munkhayati
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
sepenggal kisah yusa
D.Agustin
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
Bronze
Arcanum Hall
jasmine
Cerpen
Kisah Masa Orientasi Sekolah
Nadia Safa Nurmalacita
Cerpen
Orang-Orang Pojok
Aniq Munfiqoh
Rekomendasi
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Bronze
Patriot Monalisa
Siti Qoimah
Cerpen
Sepenggal Malam di Tahun 83
Siti Qoimah
Flash
Atlantis Hanya Endapan
Siti Qoimah