Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Narendra selalu ingin menjadi pengusaha roti. Tapi, bapaknya selalu bercanda, “Ren, ren. Nama elu itu Aren, bukan Pasir. Yang begituan itu pakainya gula pasir, bukan gula aren.”
Apaan sii?!
Maklum, bapak-bapak umur segitu memang lagi lucu-lucunya.
Biarpun begitu, ia paham maksud bapaknya. Mimpi itu yang realistis aja. Lihat-lihat duit, kalau miskin, udahlah. Bahan-bahan kue dan roti yang kebarat-baratan itu mahal. Sulit dijangkau, dari yang mudah dan murah aja dulu. Nasi uduk, misalnya. Ya iya itu sih memang dagangan Emak dan Bapak.
Sejak usia enam, Narendra sudah berkecimpung di dunia dagang, utamanya nasi uduk. Mulai dari nasi uduk lauk semur, telur dadar, ayam goreng, tongkol, sampai yang paket hemat untung seuprit sudah pernah Narendra jajakan semua. Ia selalu membantu Emak dan Bapak menjaga warung. Belakangan, nasi uduk mereka lebih ramai pada malam hari, jadi tiap Narendra pulang sekolah kejuruan, ia harus berganti baju dinas (kaus gembel dan celana pendek) untuk berjaga nasi uduk sejak pukul lima sore hingga tiga subuh.
Enggak usah kaget. Beginilah cara paling normal untuk bertahan hidup di Kampung Kalong.
Seperti namanya, kampung di pusat ibu kota itu mendadak aktif selepas matahari tenggelam. Kayak film animasi “Spirited Away” itu, lo—termasuk demit-demitnya.
Seumur hidup Narendra berada di sana, ia makin paham beragam seni menyambung hidup di tengah mencekiknya kesenjangan sosial di kota besar. Mulai dari menarik bajaj, jadi supir odong-odong, biduan karbit keliling—mereka enggak bernyanyi, speaker-nya yang nyanyi—pengamen lintas usia, pemungut sampah plastik, tukang jaga palang kereta, penyelundup ekstasi ilegal, pendekar tawuran, si cantik malam hari, sampai pedagang. Nah, ngerti ‘kan mana yang Narendra maksud demit-demit?
Lebih demitnya lagi, mereka semua hidup amat berdempetan. Tidak ada ruang bagi dinding tebal kedap suara. Permasalahannya, luar biasa vibes rimbanya. Umpatan binatang ternak, peliharaan, sampai primata sudah menjadi napas di kehidupan mereka yang sumpek dan berjejalan.
Narendra terbangun pada suatu pagi dengan getaran dinding di punggungnya. Ia pikir, gempa. Lalu lolongan nyaring disertai gedebuk barang yang teredam meramaikan pagi yang cerah itu. “Monyet lu, ye! Kagak ada nurutnya sama orang tua! Anak set—” Nah, kalau sudah masuk ke ranah gaib, Narendra buru-buru cek ponselnya untuk menunaikan ibadah subuh, takut ia terbangun sudah beda alam. Ternyata, baru pukul setengah enam pagi dan masih di alam dunia. Duh, tapi Narendra kesiangan.
Salat, mandi, sarapan. Sesudah tuntas semua, suara tetangga yang mengomel-omeli anaknya itu belum juga tamat. Narendra pamit kepada kedua orang tuanya dan memberi anggukan ke tetangga lain, bukan yang tengah mengamuk.
Ah, hari yang biasa di Kampung Kalong.
Narendra berangkat menuju sekolah kejuruannya. Lama bergelut di dapur, tak dapat dipungkiri bahwa keahlian memasaknya telah membuat ia lolos beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan tata boga. Narendra cukup cakap di sekolah, banyak kawan kelasnya kongkalikong mentraktirnya jajanan, asalkan Narendra membantu mereka memasak untuk penilaian.
Narendra sikat semua. Lumayan ‘kan bisa nyemil McDonalds dan Starbucks tiap akhir bulan. Ha-ha-ha.
“Cuy, ada lowongan nih!” suara Narendra memecah keramaian kawan-kawan lelakinya di kelas. “Dicari pegawai toko donat. Ketentuannya enggak ada minimal lulusan, yang penting ada kemauan bekerja. Tugasnya cuma ngebolong-bolongin donat.”
“Serius lu?”
Narendra mengangguk. “Tapi gak pake celana.”
“Si Goblook!” Siswa lelaki di sekeliling Narendra segera riuh, tertawa, menoyor kepala Narendra yang kini terbahak-bahak sembari menunjukkan isi ponselnya bahwa lowongan itu betulan muncul di linimasa media sosialnya.
Tawa mereka belum juga usai sampai pintu kelas mendadak terbuka dan seorang siswi senior memasuki ruangan. Tawa kawan-kawan Narendra menyusut perlahan, melihat siapa yang hadir, bocah-bocah itu sekali lagi menoleh ke arah Narendra, tawa mereka berubah bisik dan siul-siul tak bersuara.
Narendra hanya bisa sok cool, padahal hatinya deg-degan. Semringah.
“Pagi, semua. Hari ini Bu Laila enggak masuk, jadi saya yang menggantikannya untuk sementara,” ujar si kakak kelas tanpa keramahan di wajah.
Kamaratih. Senior tata boga yang sudah merangkap tangan kanan Bu Laila. Jutek, tapi pintar memasak, cantik pula!—menurut Narendra. Sejak beberapa kali ia menggantikan Bu Laila di mata pelajaran bakery dan pastry, Narendra tidak bisa mengelak dari pesonanya. Biarpun lebih tua, Ratih tidak menyalahi kualifikasi mana pun untuk jadi perempuan idaman Narendra. Belum apa-apa Narendra sudah sering membayangkan saja dirinya membuka usaha roti bersamanya. Uwadu ….
Sembari menyalakan laptop dan mempersiapkan layar proyektor, Ratih melanjutkan instruksinya, “Materi hari ini adalah bakery. Menurut Bu Laila, kelas ini sudah belajar croissant pekan lalu. Jadi, hari ini kita belajar roti lokal yang sangat mudah dibuat,” Ratih berjeda. “Donat.”
Kawan-kawan Narendra menoleh lagi, kali ini dengan seratus wajah penuh cemooh. Mereka menahan tawa sekuat-kuatnya, ada yang mengentukkan kaki, menutup mulut sejadi-jadinya, satu lagi menggerakkan telunjuknya seperti membolong donat seraya menunjuk-nunjuk celana Narendra.
Sialaan .., batin Narendra. Niat hati membuat lawakan, justru ia kini menjadi bulan-bulanan. Senjata makan tuan!
“Di sebelah sana ketawa-ketawa, ada yang lucu?” tanya Ratih tajam.
Kawan-kawan Narendra menyembunyikan wajah mereka dengan menunduk, meski begitu masih menahan tawa yang meluap-luap.
“Narendra, Kak,” imbuh salah satu kawan Narendra. “Katanya mau buka usaha donat.”
“Eh, Kambing!” bisik Narendra sembari menjitak kepala kawannya. Berusaha sekecil mungkin suaranya keluar, agar tidak terdengar Ratih.
Ratih melangkah mendekat ke meja Narendra dan menyuruhnya untuk maju, menggantikan Ratih mengajar teori dan praktik membuat donat. Ini hukuman yang memalukan. Ketahuan berimej buruk, di depan gebetannya, pula! Pada bagian teori, Narendra menyerah, ia hanya bisa ngang-ngong-ngang-ngong karena tidak mengerti seratus persen sehingga tidak bisa mengajar. Akibatnya, Narendra ditahan lebih lama lagi di depan kelas. Mana kawan-kawannya sesekali berteriak penuh gurau, “Celananya, Ren, dipake.”
Memang kambing jahanam bocah-bocah itu!
Akan tetapi, keberuntungan menghampiri Narendra ketika Ratih menyuruh Narendra menjadi asisten ketika praktik tiba. Narendra gembira, apalagi ketika diam-diam Ratih meliriknya terkesan. Narendra bisa mengolah donat! Karena mimpinya yang ingin menjadi pengusaha roti, tentu olahan tepung yang termudah sudah Narendra pelajari. Ia bahkan memperbaiki lubang-lubang buatan Ratih yang terlalu lebar.
“Eh, eh! Aren, ngapain?” pekik pelan para kambing jahanam itu.
Kampret!
***
Sepulang sekolah kejuruan, Narendra menyibukkan diri dengan teori pastry yang didapatnya. Ia mencatat dan mencoba mencari tahu lebih banyak di ladang internet, siapa tahu ia bisa membuka toko roti dari berjualan donat—tentu saja pakai celana.
Berhubung dinding kamarnya tipis, konsentrasinya mendadak tergangggu oleh suara tinggi tapi bisik-bisik tapi kedengaran yang menembus dinding rumahnya bagai angin ribut.
“Eh, Mpok, denger-denger nih si Amel udah tiga bulan isi!” ujar suara pertama penuh sensasi.
“Ah, yang bener, Mpok?!” sambut suara kedua, lalu disusul bisik-bisik tak jelas.
“Hih, bener! Anak-anak gang kite aje nih mangkanye pada kagak pulang, ribut, Mpok, sama kampung sebelah.”
“Iya, lo. Katanya pelakunya bukan Bang Lando, tapi selingkuhannya si Amel.”
“Hm, pantes! Udah gue duga!”
“Waduh, bisa-bisa tawuran lagi bakalannye.”
Ibu-ibu bergunjing. Narendra cuma bisa garuk-garuk kepala, enggak bisa konsentrasi. Iya, perasaan mereka sih mungkin bisik-bisik, tapi kok tembus tembok tetangga. Mana earphone murah Narendra baru rusak.
Narendra mendecak. Belum selesai ia mengumpat, tiba-tiba terdengar suara colokan speaker, lalu lagu dangdut sejuta umat berkumandang. Suara yang menyusul lebih membuat bergidik lagi. “Ke mana, ke mana, ke mana~” Mirip lolongan serigala jadi-jadian. Mana sumbang bikin pekak kuping, pula!
Ini tetangga yang lain lagi. Si paling karaokean, yang kayaknya kena sindrom menjadi penyanyi, tapi tidak kesampaian. Maka, beginilah dia sehari-hari.
Kanan gosip, kiri berisik.
Narendra cuma bisa menenggelamkan wajahnya ke halaman buku dan mengerang kesal. Belum lagi, suara Emak memanggil, “Aren! Udah jam lima! Jaga warung!”
“Iyee!!”
Aren mengempas bukunya ke kasur beralas lantai. Ia merutuk kebiasaan buruk Kampung Kalong menjelang malam. Kalau malam, bisa lebih parah lagi. Bedanya, suara-suara tersebut digantikan oleh biduan speaker, geng Ondel-Ondel, dan boyband barongan. Kadang-kadang kuda lumping, yang belum juga diminta duit, Narendra sudah bergidik duluan.
Sekira pukul tujuh menuju delapan, ingar-bingar yang biasa di Kampung Kalong itu mendadak terasa lain. Ada udara bahaya yang merambat pelan ke permukaan rumah-rumah pinggiran kali itu. Termasuk rumah Narendra. Ibu-ibu yang biasanya sudah berada di dalam rumah, mendadak keluar dengan baju kebangsaan mereka—daster. Lalu mengeluarkan bisik-bisik panik yang tak dapat Narendra tangkap maksudnya.
Lalu, Emak turut keluar dari kamarnya yang kecil. Semestinya, pukul segini ia sudah bersantai, akan tetapi rupanya Emak memanglah emak-emak. Bagai bertelepati, ia turut keluar seperti bangsa emak-emak lain.
“Lah, Emak kok belum istirahat?”
“Sst!”
Tidak lama setelah Emak menyuruh Narendra bungkam, ketua RW melintas dengan toa-nya. Bapak yang sedang ngopi dan para pelanggan yang sedang makan di tempat mendadak berhenti dan mendengarkan.
"Bapak-Bapak! Ibu-Ibu! Informasi peringatan! Mohon untuk segera menutup toko, pintu, dan jendela rapat-rapat. Antisipasi akan ada tawuran! Dimohon kepada warga Kampung Kalong untuk segera berlindung di dalam rumah! Waspada!”
Pak RW mengumandangkan kalimat berulang. Terdengar pula toa peringatan serupa di ujung lain yang dilakukan oleh RW lain.
Akan ada tawuran.
Sakti juga gosip emak-emak di samping rumah Narendra itu. Dugaannya betul terjadi.
Tanpa menunggu lagi, Narendra, Emak, dan Bapak segera bergegas. Para pelanggan pun buru-buru bayar dan hendak pergi, akan tetapi Bapak menahan mereka, menyuruh untuk berlindung di rumahnya saja dulu sampai keadaan betul-betul aman. Khawatir mereka malah bertemu para pasukan gadungan itu di jalan.
Biasanya, sebelum tawuran terjadi, ada mediasi terlebih dahulu berhubung desas-desus tawuran selalulah lebih dulu menyebar, sebagaimana gunjingan emak-emak siang tadi. Permasalahannya, tidak selalu mediasi tersebut berhasil. Bisa saja anak-anak muda itu iya-iya di depan para tokoh kampung, akan tetapi tetap melancarkan serangan pada malam hari. Nah, kayaknya inilah yang kejadian.
Setelah merapikan seluruh dagangan, menutup warung, mengunci pintu, dan menahan bukaan ventilasi dengan palang kayu—berhubung rumah Narendra tidak punya jendela—Emak segera keluar dari kamar mandi seraya membawa pasta gigi.
“Nih, pake. Pake,” titahnya kepada Narendra, Bapak, bahkan dua pembeli yang terpaksa mengungsi sejenak. “Pake di bawah mata lu, ye. Biar kalau sampe ada gas air mata, gak perih-perih amat.”
Semua menurut.
Belum berjalan tiga puluh menit, kekacauan mulai terdengar. Huru-hara, langkah kaki, teriakan pemuda-pemuda, denting senjata tajam, pecahan botol kaca, dan api. Orang-orang itu tidak membawa obor, tetapi banyak dari mereka membawa petasan, salah satu dari mereka bahkan menyalakan flare. Suasana mendadak kacau-balau.
Dari celah palang kayu yang menghalangi ventilasi, Narendra mengitip sembari menutup telinga. Suasana merah mencekam. Sampah senjata tumpul dan beling berserakan di mana-mana, orang-orang mengerang saling membacok, melempar kata kasar, lalu mulai terdengar teriakan kesakitan.
Narendra tidak pernah menyukai suasana begini. Kayaknya perang, kayaknya jantan, tapi dalam rangka apa? Untuk apa? Nyawa melayang atas pengorbanan yang tak bisa dikatakan perjuangan. Mati konyol adalah predikat terbaik bagi para korban tawuran.
Kadang-kadang, pemicunya sepele. Orang-orang itu saking gabutnya mencari kesibukan dan hiburan dengan cara yang tak ada keren-kerennya.
Hal besar lain yang dikhawatirkan adalah melayangnya petasan ke atap rumah salah satu warga sehingga dapat menimbulkan kebakaran—mengingat kebanyakan rumah di Kampung Kalong ini dibangun dari kayu.
Setelah kekacauan mulai tidak terkendali, sirene polisi baru mulai meraung-raung dari kejauhan. Beberapa orang bubar, tetapi lainnya memilih tetap ‘melawan’. Ketika polisi tiba, keributan masih sempat memuncak, sampai para petugas itu beberapa kali menembakkan pistol ke arah udara, lalu demi membubarkan massa, gas air mata dilancarkan.
Pedih memang, tetapi itulah satu-satunya cara efektif mengurai keributan tawuran. Para pemuda itu tak mungkin berani melawan polisi bersenjata lengkap. Pada akhirnya, orang-orang itu bubar dan keributan selesai menyisa sampah, abu, dan bercak darah.
Sering Narendra berpikir … sebetulnya siapa yang bertanggung jawab atas peradaban yang sebegini kacau padahal letaknya di jantung ibu kota negara?
***
Siang pada keesokan harinya, hujan turun.
Semestinya, hari ini Narendra berangkat sekolah sebagaimana biasa, akan tetapi pagi-pagi tubuhnya meriang. Narendra demam dan mesti bergelung di bawah selimut. Tidak berangkat sekolah.
Biasanya, Narendra jarang sakit meskipun tiap pulang sekolah harus menjaga warung hingga pukul sepuluh malam.
Semalam, sesudah tawuran, seisi rumah dibuat tidak tidur hingga pukul tiga pagi, dan pada waktu itu pula dua pembeli yang terpaksa berlindung di rumah Narendra baru berani pulang menggunakan motor.
Entah kenapa Narendra tidak enak badan pada pagi harinya. Meski begitu, tidak ada yang berubah dari rutinitas harian para tetangga di Kampung Kalong. Narendra masih terbangun oleh tetangga yang berisik marah-marah pagi buta, entah dia sedang memarahi anak-anaknya atau bertengkar dengan suaminya. Siang sedikit, digantikan oleh ritual karaoke yang berubah jadwal (biasanya sore), lalu berlanjut ke bisik-bisik tetangga. Hingga malam hari, barongan dan Ondel-Ondel beraksi kembali. Sungguh ramai, sumpek, dan tidak pernah tidur. Padahal hujan turun sepanjang hari.
Sudah meriang, tidak bisa istirahat. Mau mengadu, kepada siapa? Ini bukan negara maju yang kalau tetangga mengganggu, bisa lapor polisi.
Meski begitu, Narendra sudah terbiasa hidup dalam sarang manusia setengah demit. Jadi, walaupun ia tidak cukup beristiarahat, malamnya tubuhnya sudah membaik. Ia bahkan bisa melihat chat kawan-kawannya yang menanyakan kabar, bercanda, sampai mengirimkan bingkisan agar Narendra lekas sembuh.
“Ren, ada kiriman nih dianter ojek,” ujar Emak sambil membuka pintu kamar Narendra.
Begitu tiba di tangan, Narendra membuka plastik tentengannya dan menemukan sekotak donat isi dua belas rasa dengan merek yang ditimpa kertas bertuliskan: Donat Aren, dengan lubang melingkar sempurna!
“Kunyuk …,” Narendra tertawa, lalu menyantapnya.
Donat Aren.
Sebuah ide cemerlang muncul di kepala Narendra. Bapaknya selalu bilang, kalau aren tidak akan ditemukan dalam dunia roti. Bapak salah! Donat aren itu ada!
Entah mendapatkan energi dari mana, meriang ringan yang sedang dialaminya bagai sirna mendadak. Narendra mencari-cari buku catatan kosong, pulpen, dan ponsel beserta paket internetnya. Ia mulai berselancar melakukan riset terhadap ide cemerlangnya. Sebelum toko roti Narendra berdiri, langkah pertamanya akan dimulai dari menjual donat aren!
Mulai dari berbagai resep dari berbagai sumber, buku-buku resep kue lokal dan roti, catatan simpanannya seputar membuat donat, sampai pada tips dan trik memulai wirausaha.
Malam itu juga, Narendra bergegas ke toko buku dengan motor bututnya. Melalui jalan-jalan tikus yang becek dan bau, banyak anak-anak kalong berkeliaran tak diawasi orang tua—mereka disebut anak-anak kalong karena jam main mereka adalah pada malam hari. Mereka semua ini masih tetangga Narendra. Oleh karenanya, tidak heran jika anak-anak itu dengan usilnya mengejar motor Narendra hingga Narendra bertemu jalan besar.
Emak sebetulnya marah, karena tahu Narendra belum benar-benar sehat. Tapi mau kapan lagi, kan?! Sepanjang hari Narendra sibuk akan kewajibannya sebagai siswa dan anak?!
Setibanya di toko buku, Narendra segera menyusuri rak buku resep. Sembari menelusuri jarinya di antara punggung-punggung buku, telunjuknya menabrak telunjuk orang lain yang juga melakukan hal serupa.
“Eh, sori,” kata Narendra seraya menoleh ke arah si pemilik jari yang ditabrak.
Jahanam.
Itu Ratih.
Refleks Narendra buru-buru berbalik badan dan pura-pura mencari resep lain. Yang semula tubuhnya sudah enakan, sekarang kembali dibanjiri keringat punggung seperti mengulang meriang pagi hari itu.
Kok dia di sini? batin Narendra, Kenapa harus ketemu sekarang?! Atau jangan-jangan ini takdir Tuhan? Apakah ini saatnya gua PDKT?
Pikiran Narendra berputar-putar campur aduk. Sampai akhirnya, ia memberanikan diri berbalik untuk memulai perbincangan kasual pertamanya dengan Ratih.
“Hai—”
Ratih raib. Perempuan itu sudah hilang, lenyap dari pandangan mata.
Bangke, batin Narendra bersedih hati.
Mau tidak mau Narendra kembali pada tujuannya mencari buku resep, akan tetapi pikirannya sudah buyar tidak fokus. Sial, sial betul hidupnya, entah kenapa.
***
Keesokan harinya adalah hari libur. Di mana-mana, yang namanya libur itu bisa dinikmati. Lain cerita kalau memasuki dimensi Kampung Kalong. Makin libur, makin kacau.
Yang semula melakukan ritual karaoke hanya satu, ini bisa dua sampai tiga, sahut-sahutan padahal rumah mereka enggak jauh jaraknya. Yang kena dampak siapa? Rumah Narendra!! Yang letaknya di antara para biduan bersuara kodok tidak berperikemanusiaan. Narendra pusing tujuh keliling, rasanya ia sedang diberi suguhan penyiksaan seperti para tahanan Rusia yang proses penyiksaannya melalui suara memekakkan telinga.
Belum lagi ada pasar dadakan yang main tutup jalan besar tanpa tedeng aling-aling. Bikin macet ke sana-kemari, makin siang makin ramai. Mana di jalan depan rumah Narendra banget, pula!
Masih ada bengkel yang aduhai gema ketak-ketoknya, suara mesin motor yang diuji coba, asap mengepul bagai ada balap motor racing. Sudah aja ini jadi sirkuit dadakan.
Untung bukan hari raya atau hari libur nasional. Karena kalau iya, bakalan ada pawai yang makin membuat pecah jalur-jalur pembunuh nadi di Kampung Kalong. Tinggal di sana mendadak mau mati aja, rasanya.
Kacau. Amat kacau.
Nah, karena Narendra sudah sejak kecil berada di sana, ia sudah berancang-ancang sejak pagi buta. Narendra cabut ke luar Kampung Kalong untuk menongkrong dengan kawan-kawannya. Biasanya, mereka akan bertemu di kafe, atau restoran mal, untuk setelahnya menonton bioskop bila ada film bagus. Weh, keren bukan, Narendra si anak Kampung Kalong bisa main di mal?
Akan tetapi, ada yang ganjil pada pertemuan kali ini. Tempat-tempat tadi ‘kan biasanya. Hari ini agak tidak biasa karena kawan-kawan Narendra menentukan titik temu mereka di sebuah kafe yang lumayan jauh dan belum pernah mereka jamah sebelumnya. Karena Narendra memang sangat ingin menemui kawan-kawannya itu, ia nurut saja kepada mereka.
Selepas menempuh perjalanan sekira tiga puluh menit lamanya, Narendra pun tiba di tempat yang telah disepakati. Ia memarkirkan motor dan segera memasuki kafe besar yang layak banget untuk dijadikan bahan foto-foto.
Dari kejauhan, Narendra sudah mampu mengenali selingkaran orang-orang yang sedang berkumpul di sana, lengkap dengan asap vape mereka—yah, mereka sih mampu lah, biar aja.
Melihat Narendra masuk, kawan-kawannya segera menyapa dengan lambaian tangan yang akrab. Narendra buru-buru mendekat dan bergabung Bersama mereka.
Satu hal yang baru Narendra sadari adalah ada seorang perempuan di tengah-tengah mereka.
“Anjing!” latahnya refleksaking terkejut bukan alang kepalang. Ia sampai mengangkat kaki termundur bagai melihat anjing betulan.
Satu tongkrongan mengakak.
K-kok ada Ratih?!! Batin Narendra menjerit, meski tidak disuarakan.
Untuk pertama kalinya, Narendra melihat Ratih tersenyum tipis, ringan, dan kasual. Penuh canda. Waw, Ratih bisa begini, ya?
“Parah, Kak! Parah! Suruh push up!” sahut salah seorang.
“Gak sopan ya lu, sama senior!” timpal yang satu lagi menirukan senior ala-ala pada masa orientasi siswa.
Narendra masih bengong kebingungan. “M-maaf, Kak.”
Mereka makin mengakak. Kali ini Ratih ikut tertawa mengakak.
“Ini apaan sih, udahlah gua pulang aja,” kata Narendra seraya membalikkan badan bercanda.
Kawan-kawan Narendra langsung menarik Narendra kembali sampai duduk di kursi dengan rapi.
“Enggak apa-apa, Ren,” Ratih bicara. “Gue cuman inget kemarin ketemu lo di toko buku, terus gue ngeliat lo langsung pucet dan balik badan. Gue entah kenapa enggak berani nyamperin langsung, malah gue kontak salah satu temen lo nih,” Ratih menunjuk satu yang di ujung. “Eh, dia malah ngajak satu RT ketemu gue hari ini, termasuk lo. Sebenernya sih niat gue cuma mau ngabarin dia, kayaknya lo sakit, gitu. Tapi enggak apa-apa lah sekalian main.”
“Ooh …,” jawab Narendra kelewat canggung. Ia deg-degan banget, gila!
“Denger-denger, lo tertarik sama bakery, ya? Kemarin waktu di toko buku juga kayaknya lo ada di rak resep kue-kue dan roti,” mula Ratih.
Narendra masih mendengarkan.
“Gue lagi ada proyek nih, kecil-kecilan aja sih. Lo mau ikutan, enggak?”
Sepasang mata Narendra yang berkantung mendadak berbinar-binar samar. Inikah yang dinamakan bagai kejatuhan bulan?
Apakah … ini … sebuah … pertanda?
“Wah … mau, Kak.”
Ratih tersenyum.
“Awas, Ren. Nanti lo buka celana lagi, pas bolong-bolongin donat.”
Satu lingkar meja tertawa lagi, menggila. Kecuali Ratih.
Bajingan!
***