Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kurasa hubungan kita cukup sampai di sini," ucap Arya, membuat hati Selly yang awalnya terasa terbang, kini jatuh dan remuk.
"Kenapa, Ya? Apa kau tidak sayang aku lagi?" tanya Selly sembari memegang tangan Arya, yang mana malah dihempaskan oleh pemuda itu.
Arya menggeleng. "Aku hanya tidak ingin menyakitimu."
Selly mulai meneteskan air mata hingga suara tangisnya terdengar, sedangkan Arya memalingkan wajah, ia mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk dan menghapus air mata gadis itu.
"Sampai awal Juli," ujar Selly. "Biarkan kita tetap bersama sampai saat itu, setelah itu, aku akan pergi dari kehidupanmu."
Arya menggeleng. "Aku tidak bisa."
"Kumohon, Arya." Selly mengapai tangan Arya. "Ini permintaan terakhirku, setelah itu aku bersumpah tidak akan muncul lagi di kehidupanmu."
Arya tampak menimbang-nimbang, walaupun sebenarnya dia sendiri tidak ingin berpisah dengan Selly, ia sungguh mencintai gadis itu. Namun karena satu hal, ia harus melepaskan Selly.
"Baiklah," jawab Arya pada akhirnya. "Tapi kenapa sampai bulan Juli?"
Selly tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahumu alasannya."
Selly lantas memeluk Arya, bibirnya mengulas senyum kecil walaupun air matanya menetes. Tangan Arya perlahan membalas pelukan gadis itu.
Karena awal Juli itu hari terakhirku hidup, Arya.
***
Dua hari lagi bulan Juli akan datang, waktu berjalan begitu cepat. Padahal Selly rasa, baru kemarin bulan Juni datang dan sekarang, Juni akan segera berakhir.
Selly menunduk, memperhatikan telapak tangannya. Di sana, samar-samar tertulis angka yang setiap detiknya berkurang. Waktu kematiannya.
Dan angka di sana semakin lama semakin menghitung mundur hari terakhirnya dan itu berarti dua hari lagi. Sialnya, Selly salah satu orang yang bisa melihat kapan orang lain akan meninggal. Semua orang bisa ia lihat, kecuali Arya, Selly tidak bisa melihat waktu kematian Arya.
Selly tersenyum tipis menatap pantulan dirinya di cermin, malam ini dia ada janji kencan dengan Arya.
Selly harus bahagia. Bukankah alasannya untuk meminta Arya agar tidak memutuskannya supaya di akhir hidupnya Selly bisa bahagia? Lantas, kenapa dia sekarang merasa sedih mengingat fakta bahwa waktunya dua hari lagi di dunia ini?
Selly mencoba menguatkan hatinya. Tidak apa-apa, setidaknya saat ia pergi nanti, Selly pergi dengan perasaan bahagia karena kini Arya selalu ada di sisinya.
Suara klakson motor dari luar rumah membuat Selly buru-buru turun dan menemui Arya.
"Hei, kenapa lari-lari? Santai aja, nanti jatuh," ujar Arya, lantas pemuda itu terkekeh dan mengacak pelan rambut Selly.
Selly cengengesan. "Aku takut kamu nunggu lama, Ya."
Setelah bicara beberapa patah kata, Selly kini naik di jok belakang.
"Peluk yang erat, Sel. Aku mau ngebut," kata Arya.
Belum sempat Selly memprotes, Arya lebih dulu meraih tangan Selly dan melingkarkannya di pinggang Arya. "Yang erat, nanti jatuh."
"Iya, aku sudah peluk erat nih." Selly menduselkan kepala di punggung Arya.
Arya tidak berbohong saat dia bilang akan ngebut, karena dia benar-benar melakukannya. Selly yang awalnya takut kini mulai terbiasa, dia semakin mempererat pelukannya.
"Sel, apa yang akan kau lakukan jika besok adalah hari terakhirmu di dunia?" Arya melajukan motornya lebih pelan dan bertanya.
Selly masih bertahan di posisinya, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan Arya. "Aku akan menghabiskan waktuku dengan orang yang kucintai dan bersenang-senang. Jadi, saat aku pergi nanti, aku meninggalkan kesan yang baik."
***
Dua jam tersisa.
Tidak ada hal yang lebih menghawatirkan bagi Selly saat melihat waktu di tangannya tersisa dua jam.
"Ayo kita bertemu sebentar," ujar Selly.
"Sekarang jam sepuluh malam, Sel," kata Arya di seberang telepon. "Apa nggak bisa besok saja?"
Selly menggeleng. "Besok sudah Juli, ini hari terakhirku."
"Hari terakhir apa---" Ada jeda beberapa detik sebelum Arya melanjutkan ucapannya. "Baiklah, aku sampai tiga puluh menit lagi."
"Di tempat biasa," balas Selly.
Tut tut tut ....
Selly menunggu Arya di taman kota, untung saja masih banyak orang berlalu-lalang, juga suara kendaraan terdengar berseliweran. Setidaknya membuat Selly tidak terlalu takut.
Sesuai janjinya, Arya datang tiga puluh menit kemudian. Arya hendak bertanya sesuatu, tetapi dia urungkan karena melihat mata Selly yang sembab.
"Kamu habis nangis?" Arya duduk di sebelah Selly dan mengelus pelan pipi Selly.
Selly menggeleng.
"Mau bicara apa?" tanya Arya lembut.
"Aku hanya ingin kau ada di sisiku, aku hanya ingin kau ada di sini, di sisa-sisa waktuku," ujar Selly, walau bibirnya tersenyum, air matanya menetes seakan-akan menertawakan Selly yang berusaha tegar.
"Kenapa kamu bicara begitu, Selly?" tanya Arya kesal. "Seakan-akan kamu mau meninggalkanku."
Selly menggeleng. "Kan sudah kesepakatan awal kita, aku akan pergi darimu saat bulan Juli, dan beberapa jam lagi Juli akan datang."
Arya mengelus pelan tangan Selly. "Lupakan perjanjian itu, aku ingin selalu bersamamu. Aku sadar ternyata keputusanku salah."
Selly menggeleng, tangisnya makin menjadi-jadi. "Tapi Tuhan tidak mengizinkannya."
Arya mendekap gadis itu erat, seakan-akan takut kalau dia lepaskan dekapan itu, Selly akan hilang. "Jangan bilang begitu."
Dalam posisi seperti itu, Selly tidak tahu berapa lama ia habiskan waktu untuk memeluk Arya, mendengarkan kata-kata penenang dari Arya. Waktu ia bersama Arya terasa begitu cepat.
Selly memeriksa telapak tangannya. "Tinggal sepuluh menit lagi."
Arya melepas dekapannya, keningnya berkerut. "Apa maksudmu, Selly?"
Selly menunjukkan telapak tangannya yang menunjukkan hitungan mundur hidupnya. "Waktuku tinggal sedikit, sekarang sembilan menit lagi."
Arya melototkan mata, dia meraih telapak tangan Selly. "Apa kau juga bisa melihat ... hitungan mundur itu?"
Selly terkejut. Bagaimana Arya bisa tahu?
"Juga?" tanya Selly.
Arya memeluk Selly erat dan memberikan kata-kata dukungan. "Angka itu bohong, Selly. Jangan percaya. Angka itu bohong. Kematian hanya tuhan yang tahu."
Suara jam berdentang dua belas kali terdengar, dan bertepatan pula dengan badan Selly yang tiba-tiba memberat. Napas Selly tidak lagi Arya rasakan berhembus di perpotongan leher pemuda itu.
"Selly! Jangan becanda, Sel!"
Arya menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk tubuh Selly semakin erat, tangannya mengelus pelan rambut Selly. Tangis pemuda itu terdengar memilukan.
"Jangan tinggalin aku sendirian, Sel. Katanya kamu sayang padaku. Selly, jangan pergi. Bukan begini cara berpisah yang baik, bukan begini, Sel."
Arya semakin memeluk erat tubuh kaku Selly. Air matanya sampai-sampai membasahi rambut Selly.
Jika orang lain mendengar suara tangis pemuda itu, mereka akan langsung tahu kalau pemuda itu sangat berat untuk kehilangan Selly.
"Aku belum siap merasa kehilangan, Sel."
Bulan Juli datang, dan mulai hari ini, Arya membenci bulan itu.
Arya memperhatikan telapak tangannya, di sana tertulis hitungan mundur satu hari. Dia juga bisa melihat hitungan mundur seperti Selly. Sebuah kebetulan yang aneh bukan?
"Padahal aku memintamu putus hari itu agar kau tidak terlalu sedih saat nanti aku tinggal mati. Aku tidak ingin menyakitimu."
Arya sesengukan, tangannya mengelus kepala Selly. "Tapi, kenapa kau malah meninggalkanku duluan, Selly? Kenapa?"
"Aku sadar, lebih baik menghabiskan hari terakhirku bersama orang yang kucintai daripada menjauhinya. Aku bodoh, Sel."