Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SUARA TERAKHIR
2
Suka
610
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Bangun nak, sekolah!”, suara ibu terdengar di telinga yang ditutupi rambut sedikit mengembang namun terurai ini, panggilan itu aku hiraukan sejenak dan berpikir untuk menidurkan kembali tubuhku di ranjang yang berdiri kokoh oleh besi, beratapkan tabir halus penangkal gigitan malam sampai panggilan kedua dari ibu terdengar. Namun, panggilan yang ku tunggu -tunggu tak  kunjung datang, hanya ada suara meteran listrik yang aku dengar disela hening pagi itu, seolah memanggil untuk diisi kembali.

Tidak lama setelah aku bermonolog dalam tidurku yang setengah sadar itu, samar-samar aku mendengar teriakan ayah dari ujung pintu kamar, aku tidak tahu apa yang ia ucapkan di dalam teriaknya, semakin jelas suara itu perlahan menyusup ke telingaku, “toloong!”  teriakan nyaring ayah yang retak oleh ketakutan dan kekhawatiran yang memekik. Sontak aku terlecut dari tidur ketika mendengar suara itu dan perlahan aku mengikuti jejak suara ayah.

Sesampainya di ujung pintu kamar, nafasku berhenti sejenak menahan getar yang tak terucap, mataku terpaku pada sosok ibu yang terkapar kaku di pangkuan ayah, seperti bunga layu yang memeluk sunyinya. Bagian tubuh sebelah kiri ibu seolah terbelenggu, tak mampu bergerak, membisu dalam kekakuan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain terus memanggil nama ibu dengan suara yang berusaha menahan tangis, siapa tahu dengan pertolongan kecilku bisa membawa ibu kembali dari sunyi yang hampir saja memisahkan kami, pikirku.

Tidak lama dari itu ibu dilarikan ke rumah sakit dan diagnosis terkena penyakit stroke. Sejak saat itu separuh jiwaku terasa hilang bagai jam dinding yang tak memiliki baterai, ia tak akan mampu bergerak jika tidak memiliki baterai. Begitu juga denganku, aku tak mampu melangkah tanpa dorongan ibu.

Sosok ibu ada, tapi tidak seperti dulu. Ibu hanya bisa terdiam kaku di atas kursi roda, tatapannya kosong menembus waktu seolah rindu ingin bicara. Tidak ada lagi suara panggilan ibu yang kudengar setiap paginya, tidak ada lagi senyum ibu yang semerkah dulu.

“Bu...aku berangkat sekolah dulu ya” ujarku setiap paginya. Ibu hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, tapi terkadang ibu menangis setiap melihatku berangkat sekolah. Entah apa yang dipikirkan oleh ibu.

Tahun demi tahun telah ibu lewati untuk terus berjuang melawan penyakitnya. Ibu hanya bisa duduk diam di atas singgasana roda kecil miliknya, menatap hari yang terus berlalu tanpa mampu melangkah. Terkadang, hati ini remuk setiap kali melihat ibu, ibu yang dulunya begitu lincah untuk menjalani harinya, tapi kini ibu terkurung dalam tubuh yang tak lagi bisa diajak bekerja sama.

Tak ada banyak hal yang bisa kulakukan, selain setia berada di sisi ibu setiap harinya, membantunya menjalani terapi, menuntun langkahnya dari satu ruang ke ruangan lainnya di rumah sakit, dan berharap setiap langkah kecil itu adalah harapan baru.

Pernah disuatu malam, pada saat dunia terlelap dalam mimpi, aku membaca sebuah tulisan di media sosial mengenai stroke. Tulisan itu berisi informasi tentang betapa kecil kemungkinan orang-orang yang terkena stroke akan bisa sembuh. Terlintas dibenakku “kalau suatu saat ibu benar-benar pergi, bagaimana denganku? apa aku bisa menjalani hariku tanpa ibu? aku belum siap!” ucapku dengan berbisik, tanpa sadar air mataku mengalir dan tak mampu kubendung lagi. Aku menangis dalam kegelapan, menutup mulutku agar pilu tak bersuara. Pertanyaan itu terus menurus muncul dalam kepalaku, bayang-bayang bagaimana hidupku tanpa ibu menari liar dipikiranku, perlahan mengoyakkan tenangku, menciptakan badai dalam hati yang tak bersuara ini.

Terkadang, aku menangis dalam diamku, menyaksikan ibu harus terus berjuang melawan penyakitnya. Hingga ada satu momen di mana aku melihat sorot mata ibu nyaris padam karena lelah dengan keadaannya, segala macam cara sudah dilakukan agar ibu cepat pulih dan kembali menjadi manusia yang sibuk akan aktivitas dan keluarganya. Tapi, semua itu tidak membuahkan hasil, hanya rasa letih yang semakin dalam. Itulah yang membuat ibu hampir menyerah. Namun, ayah, aku, dan saudara-saudaraku terus memberikan semangat kepada ibu agar ibu bisa hidup lebih lama lagi. Kami berusaha menjadi lentera yang terus menyala di sekelilingnya, menguatkan hatinya agar tidak mudah putus asa, tetap bertahan meski dunia seakan enggan untuk berpihak kepadanya.

Satu hal yang harus kalian tahu, selama ibu sakit sekolah sering aku tinggalkan. Dalam seminggu, mungkin hanya tiga kali aku hadir di bangku sekolah. Bukan karena malas, tapi karena bagiku dunia paling berharga itu berada di sisi ibu. Aku lebih memilih untuk menemani ibu di rumah maupun pada saat ibu di rumah sakit. Dan jika kalian ingin tahu, aku tak menyesal sedikitpun. Karena setiap detik bersama ibu, lebih berarti dari segala pelajaran di dunia.

Hari demi hari terus berlalu, waktu berlalu perlahan seperti embun yang menyusut di bawah sinar matahari. Tubuh ibu kian rapuh, kali ini ia tak sanggup lagi memikul derita yang bersarang di raganya. Dengan langkah yang tergesa dan dengan hati yang penuh gamang, ibu dilarikan ke rumah sakit, tapi kali ini bukan untuk terapi melainkan menyerahkan diri sepenuhnya pada takdir yang tak menentu. Bukan lagi harapan yang menyambut di balik pintu kamar rumah sakit, melainkan kecemaan yang menggantung seperti awan gelap yang enggan bergerak, membekukan langit, menanti hujan yang tak kunjung turun.

Ibu terlihat tidak sesegar biasanya, berbagai alat medis menyatu di tubuh ibu, seolah mencoba menggantikan nafas yang dulu begitu hangat. Kali ini aku hanya terdiam melihat ibu dan tak ada satu kata pun yang terucap dari mulutku. Hanya ada tatapan kosong, sementara pikiranku dipenuhi tanda tanya yang tak berani aku ucapkan. “Setelah ini apa yang akan terjadi pada ibu?” pertanyaan itu terus muncul dalam benakku, bayang-bayang tulisan yang pernah aku baca mengenai stroke pada malam itu terus memutar di kepalaku.

Hari terus berganti, ibu masih terbaring lemah di rumah sakit dan belum juga ada perubahan. Keluarga dari ayah dan ibu terus berdatangan, bahkan para tetangga pun beramai-ramai datang untuk melihat kondisi ibu dan tak lupa menyisipkan doa dalam setiap tatapan, berharap langit mendengar bisik harapan mereka, dan waktu berbaik hati memberi ibu kekuatan.

Aku tidak tahu, apa ini sudah menjadi tradisi di lingkunganku, yang jika setiap ada orang sakit mereka akan berbondong-bondong untuk menjenguk, atau ini merupakan bentuk kepedulian meraka terhadap sesama. Aku berpikir, entah kebaikan apa yang telah dilakukan oleh ibu semasa hidupnya sehingga banyak yang datang dan berdoa akan kesehatannya. Hari ini telah berlalu, ditutupi dengan malam yang sunyi dan hanya terdengar detak jarum jam yang berjalan perlahan, seolah ikut menghitung sisa waktu yang tersisa bagi ibu di ranjang putih itu.

Hari mulai berganti dan langit mulai menggeliat, mengusir sisa-sisa malam. Lampu lorong rumah sakit mulai padam, digantikan dengan sinar matahari yang tembus dari balik jendela rumah sakit. Langkah-langkah petugas mulai terdengar dan bergema jauh, bau obat-obatan yang menggantung di udara seperti kenangan yang enggan pergi dari ruang sepi. Setiap harinya, aku tak sanggup melihat ibu yang kini hanya ada selang yang menempel di hidungnya berusaha menggantikan sendok di meja makan. Mulut ibu tak lagi bisa mengecap rasa, hanya diam membisu dalam pelukan waktu. Sementara kenangan makan bersamaku tinggal bayang-bayang yang berulang dalam ingatan.

Seporsi pop mie menjadi sarapan pagiku kala itu, bukan karena lapar, melainkan karena hanya itu yang sanggup masuk ke perut yang penuh dengan resah ini. Semuanya terasa hambar, seperti hidup yang perlahan kehilangan warnanya, sebab ibu…terbaling lemah dan nafasnya pun terdengar seperti bisikan terakhir langit kepada bumi. Pada saat aku menyendokkan suapan berikutnya, kulihat langkah kaki ayah mendekat pelan ke arahkku, seolah setiap langkahnya membawa kabar yang tak ingin kudengar. Padahal sebelumya, ayah duduk di samping ranjang ibu, memegang erat tangan ibu.

Ayah duduk di depanku dengan mata yang sedikit basah tapi mencoba tegar. Dengan hati yang gugup, aku meletakkan sendok dan memandang ayah dengan penuh tanya. Kemudian suara ayah terdengar lirih mengatakan, “biarkan ibumu pergi ya? ikhlaskan dia”. Kalimat itu mengalir begitu saja seolah ayah tahu bahwa ibu tidak akan bertahan lama lagi. Aku terdiam, menatap makanan di tanganku yang kini kehilangan rasa. Tanganku gemetar, namun aku memaksa diri menyuapkan sisa makanan ke mulutku, hanya agar tidak runtuh sepenuhnya di hadapan kenyataan. Setelah merenung dan mencoba mencerna apa yang dikatakan ayah. Aku sadar, kalimat itu bukan sekedar ajakan untuk rela, tetapi sebuah kebenaran pahit yang harus aku telan dengan terpaksa walau hati belum siap.

Aku menatap wajah ibu dari kejauhan, ibu masih terbaring, masih diam, hanya ada damai yang menyelimutinya seakan memberikan isyarat bahwa waktunya memang hampir tiba. Dalam hening itu, aku mencoba mendekati ibu dan berbisik ditelinganya.

“Jika memang harus pergi, pergilah dengan tenang bu, aku ikhlas. Terima kasih karena telah mencintaiku sepenuhnya, bahkan saat dunia belum mengajariku cara mencintai kembali.” Dan untuk pertama kalinya, aku mencoba melepaskan, bukan karena aku kuat, melainkan karena cinta menuntunku untuk mengikhlaskan.

Tak lama setelah itu, aku pergi menyendiri, menenangkan hati yang riuh di pojok ruangan ini. Aku menarik nafas panjang, berharap bisa sedikit meredakan gemuruh dalam hatiku. Namun, ketenangan itu hanya sebentar, karena tiba-tiba aku mendengar suara mesin oksigen berbunyi yang menandakan bahwa oksigen di rumah sakit ini habis. Dan bersamaan dengan itu aku mendengar suara lirih dari adik ibuku “wah ndeq ne arak iyak ne!” dan seketika aku langsung berlari mendekati ranjang ibu, seluruh tubuhku bergetar seolah tak percaya dengan semua ini. Aku mencoba memperhatikan nafas dan mencari denyut nadi ibu, tapi yang kutemukan hanya keheningan abadi. Dan disitu, di tengah banyaknya petugas yang membantu ibu, di bawah cahaya putih yang kini terasa dingin, aku menangis. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena aku tahu, rumah bagi hidupku telah kembali ke surga.

Aku mengantar Ibu ke peristirahatan terakhirnya dengan langkah yang penuh rapuh. Setiap langkah menuju liang lahat adalah langkah menjauh dari kepastian bahwa ibu benar-benar pergi. Aku berdiri paling dekat saat jenazah ibu diturunkan. Dadaku sesak, tak percaya bahwa tubuh yang dulu memelukku hangat kini terbaring diam, tak lagi bisa kujangkau.

Doa mengalir, dipimpin dengan suara parau oleh seorang ustazd yang sebelumnya juga mengenal ibu. Tangisan pecah saat tanah mulai ditimbun perlahan, bunyinya seperti menutup sebuah bab yang takkan pernah kubaca ulang. Aku menggenggam segenggam bunga terakhir, menatapnya sejenak, lalu menjatuhkannya pelan. Setiap lembaran kelopak itu, ada perpisahan, ada doa, dan ada harapan bahwa ibu benar-benar pulang ke tempat yang lebih damai.

Satu hal yang terus membayangiku seperti duri kecil yang tak pernah bisa dicabut, adalahh ketika aku tak sengaja melemparkan kaleng tepat ke arah ibu dan mengenakan kepalanya. Bukan karena amarah, bukan karena benci, tapi karena hilang kendali dalam sekejap yang kusesali seumur hidupku. Perempuan yang selama ini memeluk luka-luka ku, justru kuhajani dengan luka yang tak pantas. Bukan hanya pada kulitnya, tapi pada hatinya. Dan kini, saat segalanya telah usai, saat aku hanya bisa berbicara pada bayangannya di dinding kamar, aku ingin berteriak “bu..maafkan aku, aku tak pernah berniat menyakitimu, kaleng itu, tanganku…ini semua salahku”

Seandainya waktu bisa diulang, aku tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Tapi kini yang bisa kulakukan hanya menangis, dan berdoa setiap malam. Semoga ibu tahu bahwa aku menyesal, dengan seluruh hidupku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
When Rael Ends in The Cat Kingdom
Chyruszair
Skrip Film
Bid'ah Cinta (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Cerpen
SUARA TERAKHIR
Nur Khalisa Pratiwi
Novel
From script to screen
Aish
Komik
CHILDHOOD
Dwirns
Skrip Film
NAMA BELAKANGKU ISKANDAR
zae_suk
Flash
Bronze
Tak Ingin Terulang
Nabilla Shafira
Cerpen
Cerita yang Dilupakan
Kwikku.com
Novel
MENUNTUN CINTA
Aries Supriady
Komik
Bronze
Salvation
Mery Shera
Flash
Kutunggu Kau di BIL
Martha Z. ElKutuby
Cerpen
Menyayangi anakmu tanpa orang lain tau
Beben mahesta
Novel
PESAN KISAHKU
Fitri Nurhasna Fauziah
Novel
Lakuna
yuliandap
Novel
Ranum
Merta Merdiana Lestari
Rekomendasi
Cerpen
SUARA TERAKHIR
Nur Khalisa Pratiwi