Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Suara Tanah Niskala
0
Suka
183
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 Tidak ada jalan beraspal menuju desa itu.

Hanya jalur batu yang dilumat akar, menanjak pelan melalui rumpun bambu dan pohon-pohon tua yang tak menyebutkan namanya sendiri. Di sanalah Niskala dilahirkan—di kaki Gunung Sriman, jauh dari kota, di tengah udara yang membawa wangi tanah dan debu getah.

Ia anak sulung dari Atma dan Prana, pasangan sederhana yang menyimpan sunyi di dalam rumah, tapi menjalin hidup mereka dengan bebatuan dan embun. Di rumah kecil beratap ijuk itu, suara langkah pun terasa suci. Ayahnya, Atma, tak banyak bicara. Ia lebih sering duduk bersila di tanah belakang rumah, mendengar gerak bawah permukaan seolah mendengarkan bisikan para leluhur. Kadang, ia menggambar garis aneh di tanah liat, lalu menghapusnya sebelum malam turun. Katanya, "Tanah pun menyimpan rahasia, Niskala. Dengarkan. Bukan lihat."

Niskala tumbuh dengan mendengarkan.

Ia tahu kapan akar mulai retak karena kekeringan, kapan suara serangga berhenti karena suhu terlalu tinggi, kapan embun berubah rasa. Tak ada yang mengajarkannya secara gamblang—ia hanya memperhatikan, lalu merasakan. Dan suara itu, suara yang hanya ia sebut sebagai ritme, mulai tinggal di tubuhnya sejak usia sembilan.

Hari itu hujan datang sebentar. Ibu menanak nasi merah, dan Surya menari-nari di teras sambil menyanyikan lagu yang tak punya melodi tetap.

“Kak Niskala,” katanya, “kalau kita kasih nama sumur kita ‘Sumur Langit’, kira-kira airnya bisa nyambung ke awan?”

Niskala tersenyum, lalu mencolek hidung adiknya dengan bubuk kunyit. “Kalau kau naik ke awan, jangan lupa turun. Kakak belum bisa terbang.”

Ayah mereka hanya tertawa kecil dari sudut rumah. Lalu, seperti biasa, ia mencatat sesuatu di lembar kulit pohon kering, menggambar garis yang tampak seperti akar yang menjulur dari langit ke bumi.

Malam itu, mereka tidur dalam satu ruangan.

Surya sudah lelap lebih dulu, kepalanya bersandar di lengan ibunya, napasnya pelan seperti daun yang jatuh ke tanah.

Lampu minyak diletakkan di tengah, cahayanya lembut, menyentuh langit-langit anyaman bambu seperti gema pelita dari dalam dada.

Atma bersandar di dinding. Wajahnya teduh, suaranya pelan.

“Kalau suatu hari tanah ini tak bisa lagi bicara... kau yang harus mendengarkannya kembali, Niskala.”

Ia menoleh, menatap putrinya lama, seolah tak hanya melihat tubuhnya—tapi waktu yang akan ia tempuh.

“Jangan jadi kuat. Jadilah lembut. Karena tanah pun memeluk benih dengan kelembutan.”

Prana menyikut pelan lengan Atma, terkekeh kecil. “Kau kira anak kita tak bisa tidur kalau tak diberi pidato filsuf?”

Niskala tertawa lirih, menarik selimut lebih tinggi. “Aku suka mendengarnya, Ayah… seperti... suara yang keluar dari dalam tanah.”

Prana mencubit pipi Niskala. “Kalau begitu, besok kau bantu ibu cuci kendi-kendi besar.”

“Iya, Bu,” balas Niskala dengan senyum lelah tapi hangat.

Saat itulah, Atma meletakkan telapak tangannya ke tanah di sampingnya. Diam sejenak.

Itu malam terakhir mereka merasa utuh—dan Niskala menyimpannya dalam dirinya, seperti mantra yang tak akan bisa dirampas siapa pun.

-------

Di pagi yang dingin, Niskala duduk di pelataran rumah sambil membersihkan wadah tanah liat. Adiknya, Surya, masih tidur. Ia mendengar sesuatu, kesenyapan yang tak biasa. Tanah di bawahnya bergeser. Sangat halus, seperti hela napas tertahan. Bukan guncangan, bukan suara gemuruh. Hanya semacam... perubahan getar.

"Niskala."

Itu suara ibunya dari dapur. "Kau dengar tadi?"

Ia mengangguk.

Ibunya tidak bertanya apa-apa lagi.

Karena di desa itu, jika seseorang berkata “aku mendengar tanah”, tak perlu penjelasan. Hanya doa, dan diam panjang setelahnya.

Hanya satu jam setelah suara tanah itu datang, terdengar langkah kaki menapak pelan di depan rumah. Niskala berhenti menumbuk dedaunan di lumpang tanah. Ayahnya sudah berdiri di ambang pintu sebelum tamu itu sempat mengetuk.

“Atma,” ujar Kepala Desa, Mahri, suaranya serak oleh dingin dan usia. “Kami membutuhkanmu di balai. Ada yang ingin dibicarakan.”

Atma hanya mengangguk. Tidak bertanya apa. Tidak menunda.

Ia menyambar jubah kusamnya dan melangkah pergi bersama Mahri, melewati halaman depan, menuruni jalur bebatuan yang masih basah oleh embun.

Niskala berdiri di balik jendela bambu. Ia tak melihat wajah ayahnya. Langkahnya—yang biasanya ringan dan berayun ritmis—kini pendek dan berat. Seperti tanah yang kehilangan arah gema.

Ibunya keluar dari dapur, membawa panci berisi air. “Kau lihat?” bisiknya lirih.

Niskala mengangguk, tak melepaskan pandangan dari jalur batu.

“Ayah tak membawa tongkatnya,” katanya pelan.

------

Pekan berlalu seperti gerimis di musim panas—lambat, dan tanpa jeda.

Ayahnya semakin sering pulang dari balai desa dengan bau logam di lengan bajunya. Kadang hanya duduk berjam-jam di belakang rumah, matanya menatap ke satu titik di tanah yang bahkan tak bergerak.

Ibu mulai sakit. Ia mengira itu masuk angin biasa. Tapi ramuan yang dulu manjur kini tak menghangatkan tubuh. Surya berhenti berlarian di pekarangan. Anak itu hanya duduk di ayunan bambu dan kadang menunduk, mendengarkan tanah. “Tanahnya berat, Niskala,” katanya pelan.

Niskala menyimpan semua perubahan itu di buku catatannya. Ia tak bertanya langsung pada ayah, karena sejak pertemuan di balai itu, Atma tak lagi berbicara tentang tanah. Seolah ritme yang biasa mereka dengar bersama—telah dihentikan paksa.

Hujan tak pernah datang sejak awal bulan keenam.

Tanah di ladang retak seperti kulit tua, dan air sumur terasa pahit di ujung lidah. Bau itu… menyengat seperti karat besi, menyelip di sela jari, bahkan di lipatan daun telingamu saat malam.

Warga desa mulai jatuh satu per satu.

Awalnya Pak Karwan, yang tinggal di ujung selatan. Ia batuk tak henti, lalu muntah darah seperti ibu Niskala seminggu setelahnya. Lalu Bu Jarinah. Lalu anak kembar milik Pak Arya.

Mereka bilang itu demam, masuk angin, kutukan musim. Tapi ramuan tua tak lagi bereaksi.

-------

Malam itu, ibunya memanggil dengan suara rendah.

“Niskala... tolong carikan air dari atas.”

Ia menurut. Ia naik ke arah jalur bambu, menuju pancuran kecil di balik batu, air tak mengalir. Tetesan lambat dari dinding batu yang menghitam di pinggirannya.

Ketika ia kembali, ibunya sudah tiada.

Tangan Prana masih menggenggam kain basah, dan matanya terbuka setengah, seperti masih menunggu sesuatu yang tak datang.

Ayahnya duduk di sisi ranjang. Diam. Tak menangis.

Tak menyentuh jasad istrinya.

Ia hanya berkata satu kalimat, lirih:

“Tanah ini sudah pecah dari dalam. Kita... terlalu lambat mendengarnya.”

Surya menangis. Tangis terpendam dari dada kecil yang terhimpit sesak. Ia menggenggam kain ibunya, memeluknya seperti tak akan melepaskan apa pun yang masih hangat. Tubuh Prana mulai dingin.

“Ibu belum selesai meracik jamu sore tadi…”

Suara Surya pecah, lalu tenggelam dalam diam.

Niskala hanya menatap.

Air matanya jatuh satu-satu, tapi tak ada isak. Seolah suara pun akan mengganggu keheningan yang diciptakan ibu mereka malam itu.

Ia duduk perlahan di lantai tanah, tangannya menggenggam lembaran catatan ayahnya yang tercecer.

Beberapa simbol tergurat jelas di sana—lingkaran patah, akar terbelah, dan satu garis yang memanjang jauh tanpa ujung. Ia tak mengerti semuanya. Tanah sedang bicara dalam luka.

Atma berdiri pelan, lalu menyelimuti tubuh Prana.

Hanya itu. Tak ada doa, tak ada mantera. Ia menunduk dan menyentuhkan dahinya ke dahi istrinya, sangat lama.

Tanah yang dulu basah dan hidup, pagi itu terasa rapuh.

Mereka menggali liang sempit di belakang rumah, di bawah pohon aren tempat Prana biasa menggantung bumbu dapur dan kulit kayu pengering.

Tak ada wangi bunga. Hanya satu selimut tipis yang membungkus jasadnya, dan segenggam kunyit yang diletakkan Atma di atas dada istrinya.

“Kau pulang ke akar,” bisik Atma pelan. “Dan kami... menyusul dengan lambat.”

Niskala menunduk. Tangan dan kakinya kotor lumpur. Ia tidak membersihkannya. Itu tanah yang mengenal ibunya. Ia taburkan segenggam terakhir.

Yang hilang terlalu dalam untuk dijangkau kata.

Petang harinya, Surya mulai panas. Nafasnya pendek, dan keringatnya mengandung aroma logam yang aneh.

Ia mulai mengigau. Tentang suara dari dalam batu, tentang cahaya yang tenggelam di perut gunung, tentang air yang panas… seperti mendidih.

“Jangan masuk ke goa itu, Kak…” katanya pelan.

Niskala menahan tangis. Ia usap dahi adiknya dengan daun sirih, menggumamkan nama ibunya, ayahnya, namanya sendiri—seolah nama-nama itu cukup untuk memanggil kembali kesehatannya.

Atma berdiri lama di ambang pintu. Pandangannya menyisir langit yang menggantung rendah.

Menjelang tengah malam, Atma membungkus tubuh kecil Surya dengan kain sarung, lalu menggendongnya pelan.

“Ke mana?” bisik Niskala.

“Gunung tak akan mengambilnya, kalau aku lebih dulu mendengar,” jawab Atma.

Ia menyerahkan sebuah kantong kecil ke tangan Niskala. Di dalamnya ada catatan yang digulung rapat dan sebentuk batu pipih dengan gurat melingkar di tengahnya—seperti pusaran yang terpotong.

“Kalau kau dengar tanah mulai bergetar…” katanya tanpa menatap. Ucapan terhenti. Suaranya pecah, seperti menahan batu yang terlalu lama dipikul dalam dada.

Ia tidak menoleh lagi. Hanya langkahnya yang menghilang dalam kabut malam.

Niskala menahan tangis. Menggenggam benda itu, kaku. Ia tak tahu harus bertanya apa.

Desa mulai sunyi.

Pintu-pintu tidak lagi terbuka di pagi hari. Burung-burung berhenti berkicau.

Dedaunan jatuh tak tersapu. Kabut turun tak pernah naik kembali.

Dalam sebulan, hanya tersisa satu rumah yang masih mengeluarkan asap tungku: rumah Niskala.

Di sanalah, ia bertahan. Sendiri. Menyalakan api setiap pagi, menunggu ayahnya pulang, bertahan dari getaran tanah, masih ada yang hidup di atasnya.

Api tungku menyala lebih lambat.

Kayu bakar tinggal sedikit, dan bau lembab mulai masuk ke dalam rumah.

Niskala menatap pintu yang tidak pernah diketuk lagi. Di baliknya, dunia mengecil jadi kabut dan bayang.

Ayahnya belum juga kembali.

Tak ada suara langkah, tak ada tanda kain yang digantung di dahan kenari—sandi yang biasa mereka gunakan untuk memberi isyarat pulang.

Malam itu, saat duduk sendirian di pojok dapur, Niskala mendengar bunyi dari bawah tanah.

Bukan suara angin, bukan serangga. Bukan juga ilusi.

Ketukan pelan berulang, dari balik bumi yang kering:

duk... duk... duk...

Seolah ada sesuatu di dalam tanah yang ingin menjawab kesunyiannya.

Ia buka kembali catatan ayahnya. Tidak berhenti di simbol. Di baliknya, tertulis kalimat pendek:

“Jika napas tanah melemah, kau harus ke tempat yang memperkuatnya. Di sanalah ritmemu akan menyatu, dan kau tak akan merasa sendiri.”

Dalam kesedihan yang tak kunjung sirna, ia mulai melangkah untuk mencoba mendengar lebih dalam.

“Suara tanah akan membimbingmu jika hatimu lebih sunyi dari luka.”

Kini, Niskala menemukan arah. Meneguhkan hati untuk pergi melangkah, Ia tinggalkan rumah, menyusuri jalur bambu yang dulu biasa dilewati ibunya menuju pancuran batu—tempat pertama yang membisikkan arah. Jalur kini gelap oleh semak liar, dan air yang dulu jernih hanya menetes dalam warna kusam seperti cairan karat.

Ia naik lebih jauh. Menembus semak berduri, melewati dinding batu yang retak dan tanah lembap yang mengeluarkan uap asing.

Di titik tertentu, langkahnya terhenti.

Tanah di bawahnya terasa hangat—seperti kehadiran tubuh besar yang tertidur di dalam. Dan ia merasakannya: ritme.

Perlahan, ia letakkan telapak tangan di permukaan tanah.

Terasa sebuah getaran seperti hembusan napas tua.

Nafas yang terluka.

Niskala melanjutkan langkah. Semak liar tumbuh menyilang, akar-akar pohon menggembung seperti urat menolak lupa. Langkah Niskala berat, tiap jengkal tanah mengandung ingatan.

Ia berhenti sejenak di tepi jurang kecil, memandangi lembah yang kini diselimuti kabut keabu-abuan. Dulu, tempat itu penuh suara—burung, desir angin, dan gemericik dari sela bebatuan.

Kini, hanya bunyi langkahnya sendiri yang menjawab sunyi.

Di dalam dada, ritme itu tetap berdetak.

Pelan, dalam, kadang tak jelas. Selalu ada.

Langkah demi langkah. Terarah pada satu lembah dan melihat suatu tempat. Teras seperti altar alami: batu-batu besar yang tersusun tak beraturan, ditumbuhi lumut tua dan akar menjuntai dari atas. Di tengahnya ada celah tanah yang terbelah, menganga sunyi seperti mulut bumi yang mengucap doa tanpa kata.

Niskala mendekat, Ia pegang batu pipih itu erat, seperti menyangga napasnya sendiri.

Batu itu menghangat saat ia menapaki undakan batu cadas yang mulai menampakkan bentuknya—tanda bahwa ia hampir sampai.

Duduk bersila di sana. Meletakkan kedua tangannya di atas tanah. Menutup mata.

Saat itu, pandangannya kabur sejenak, oleh sesuatu yang melintas dari dalam—sebuah bayangan Prana sedang menumbuk ramuan di beranda, Surya tertawa di ayunan bambu, dan Atma menoreh simbol di tanah basah.

Gambaran itu tak berlangsung lama, namun cukup untuk membuat langkahnya berhenti.

Dari dalam dada, ia rasakan satu getar berbalas dari tanah di bawahnya—ritme yang mengulang suara masa lalu, namun kini berpadu dengan napasnya sendiri.

Seolah untuk sesaat, dirinya dan tanah tak lagi berbeda.

Dan untuk pertama kalinya sejak keluarganya pergi, ia merasa...

hidup.

Tanah di bawahnya bergetar lembut—sebuah sambutan.

Ada aliran hangat yang naik dari pori-pori tanah ke tubuhnya, mengalir ke dada, lalu ke ujung jari. Bahasa yang pernah diajarkan Atma.

“Dengarkan, jangan lawan. Dengarkan sampai kau tahu mana pertanda, mana peringatan.”

Dalam ketenangan itu, muncul suara samar dalam pikirannya. Gema yang seperti berasal dari sangat dalam.

Niskala menunduk. Di sela sela bebatuan, tumbuh setangkai lumut air yang mengeluarkan embun bening. Ia meminumnya.

Tak ada rasa, tapi tubuhnya menjadi ringan, dan tanah di sekeliling terasa lebih hidup dari sebelumnya.

Ia tidak tahu bahwa tempat ini kelak akan menjadi tempat penyembuhan.

Yang ia tahu saat itu hanyalah satu hal:

ia tidak sendirian.

Hari-hari berlalu. Waktu tak lagi ia hitung.

Di antara cadas dan akar, ia membuat gubuk kecil dari bambu dan anyaman daun palem.

Setiap pagi, ia menyapa tanah dengan tangan telanjang.

Setiap malam, ia tidur ditemani gemuruh pelan dari dalam bumi—seperti jantung yang belum berhenti berdetak.

Niskala tak menunggu siapa-siapa.

Ia hanya menjaga apa yang masih hidup.

Di sela doa sunyi dan catatan yang terus ia tulis:

Tanah belum menyerah.

Maka ia pun tidak.

Jika suatu hari seseorang datang—mencari suara yang hilang, atau tubuh yang harus disembuhkan,

maka ia akan tahu: tempat ini tak pernah benar-benar ditinggalkan.

Karena di sini, suara tanah tetap hidup.

Bersama Niskala.

 

 

 

 

Tentang Penulis & Semesta Cerita

Suara Tanah Niskala ditulis oleh Andri Hasanuddin, penulis fiksi sunyi dan spiritual-ekologis yang mengeksplorasi hubungan batin manusia dengan alam melalui simbol-simbol tubuh, tanah, dan waktu.

Cerita ini merupakan bagian dari semesta Resonansi Bayangan Menyala, dunia fiksi yang berlatar pegunungan Arthabumi—tempat suara, kehilangan, dan kekuatan tersembunyi dalam diam saling bersahutan.

Niskala, sang penjaga ritme tanah, akan kembali muncul dalam novel utama sebagai salah satu mata rantai penting dalam perjalanan melawan kerusakan yang tak terlihat namun mengakar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Suara Tanah Niskala
andri hasanuddin
Skrip Film
JARUM BESI
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Pencuri Waktu (III)
Penulis N
Cerpen
Bronze
Misteri kamar Bapak
muhamad zaid
Flash
Api yang Berdamai dengan Hujan
Ravistara
Cerpen
Bronze
Garnet
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Duet Maut Penjerat Burung
Ron Nee Soo
Skrip Film
Big Mouth (Script)
Jeffry D. Kurniawan
Cerpen
Bronze
Sepucuk Surat dari Masa Lalu
Fahri Nurul A'la
Flash
The Singularity
Rama Sudeta A
Flash
Bronze
Pacar Seorang Pesulap
Afri Meldam
Cerpen
Saranggola
Chesar Kurniawan
Cerpen
Bronze
Risalah Masa
hyu
Novel
Mind vs. Machine
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
03 Rumah di Keabadian
Bima Kagumi
Rekomendasi
Cerpen
Suara Tanah Niskala
andri hasanuddin
Novel
Resonansi Bayangan Menyala
andri hasanuddin
Cerpen
Bronze
Tragedi Lembah Raranggi
andri hasanuddin
Cerpen
Bening Membasuh Langkah
andri hasanuddin