Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Frekuensi Tengah Malam
Udara dingin bulan November merayap masuk melalui celah jendela ruang siar Radio Rona FM, menyelimuti Adit dengan pelukan beku. Jam menunjukkan pukul 23:57. Di luar, Kota Makassar sudah terlelap, diselimuti kegelapan yang pekat. Hanya lampu-lampu jalanan yang bersinar samar, membentuk untaian permata di kejauhan. Di dalam studio, hanya suara desiran AC dan kerlip lampu-lampu indikator yang memecah keheningan. Adit, seorang penyiar muda dengan rambut ikal acak-acakan dan kemeja flanel yang sedikit kedodoran, menyesap kopi pahitnya. Malam itu adalah jadwal siaran tengah malamnya yang pertama. Rasanya mendebarkan, tapi juga sedikit hampa. Ia terbiasa dengan keramaian siaran pagi, canda tawa rekan-rekan, dan interaksi langsung dengan pendengar. Siaran malam ini terasa seperti masuk ke dimensi lain, di mana ia hanya ditemani mikrofon dan kesunyian.
Adit menata ulang naskah siarannya, memastikan semua lagu sudah siap di antrean. Ia melirik jam. Pukul 23:59. Beberapa detik lagi ia akan mengudara. Jantungnya berdebar, bukan karena gugup, melainkan karena ada sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan. Seolah ada sesuatu yang menanti di balik tirai waktu. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, lalu memposisikan diri di depan mikrofon.
Tepat saat jarum jam menunjuk angka 00:00, sebuah suara berat dan dingin muncul tanpa ada peringatan. Bukan dari Adit, bukan dari rekaman yang ia siapkan. Suara itu begitu jernih, seolah-olah pemiliknya berdiri tepat di belakangnya, membisikkan kata-kata langsung ke telinganya. Adit tersentak, menoleh cepat. Ruangan kosong. Ia bahkan tidak melihat adanya indikator sinyal masuk dari mixer audio. Suara itu seolah-olah berasal dari udara kosong itu sendiri.
"Selamat tengah malam, para pendengar setia," suara itu memulai, nadanya datar namun memiliki resonansi yang membuat bulu kuduk Adit merinding. "Malam ini, izinkan saya membacakan daftar yang tak terhindarkan."
Adit mematung. Ia yakin ini adalah lelucon. Prank dari rekan kerjanya yang iseng, mungkin. Tapi bagaimana caranya? Tidak ada seorang pun di studio selain dirinya. Sistem otomatis radio? Tidak mungkin. Semua sudah diatur secara manual untuk siaran tengah malamnya.
Suara itu melanjutkan, menyebutkan empat nama lengkap, alamat, waktu, dan penyebab kematian. "Pertama, Abdul Rahman, Jalan Anggrek Nomor 17, pukul 06:15, kecelakaan tunggal. Kedua, Siti Aminah, Komplek Permata Indah Blok C Nomor 5, pukul 09:00, serangan jantung mendadak. Ketiga, Wayan Sutrisno, Jalan Kenanga Nomor 22, pukul 13:40, terjatuh dari ketinggian. Keempat, Lilis Suryani, Gang Melati Nomor 3, pukul 17:00, tersambar petir."
Setiap detail diucapkan dengan presisi yang mengerikan. Suara itu berhenti, diikuti oleh keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Lalu, seperti suara sebelumnya, suara itu menghilang begitu saja, secepat kedatangannya.
Adit tercengang. Ia menatap mikrofon, lalu ke konsol mixer, seolah mencari jejak dari suara misterius itu. Tidak ada. Indikator sinyal tetap diam. Ia bahkan mencoba memutar ulang rekaman siaran yang baru saja berlangsung, tapi yang terdengar hanyalah keheningan sesaat setelah ia mengucapkan salam pembuka, sebelum ia sempat berbicara lagi. Suara itu tidak terekam di sistem digital radio. Seolah-olah suara itu hanya ada di kepalanya, atau d...