Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Suara Gemerincing Kereta Kencana Misterius Melaju Membelah Malam
14
Suka
595
Dibaca

Mendengarnya, pikiranku segera memutar adegan film Saur Sepuh dalam format betamax, juga saga Nyi Blorong yang dibintangi ratu horor Suzzanna. Tapi di zaman ini mana ada kereta kencana? Aku bergidik, ada desiran rasa takut, tapi penasaran.

 

Mataku membuka. Dengan kondisi masih ngumpulin nyawa, sejenak aku menoleh ke kiri-kanan. Aku melihat tubuhku masih tergeletak di atas karpet, yang melapisi ubin dingin di rumahku. Lampu-lampu dimatikan, kecuali bohlam di langit-langit di atas kepalaku.

Pukul setengah tiga dini hari, aku melihat waktu pada jam dinding yang menggelantung sekitar satu setengah meter di atas televisi berkaki. Betul, berkaki. Di tahun 1997 ini masih ada keluarga yang merawat tv model tersebut, seperti keluargaku, meski tv dengan remote control mulai bermunculan.

Tv itu masih menyala, menayangkan siaran langsung Liga Spanyol. Rupanya aku tertidur di tengah pertandingan. Di hari-hari liburan sekolah seperti ini, siswa kelas 1 SMA macamku jadi punya kesempatan buat melek semalam-malamnya, sesuka hati, untuk menyaksikan siaran langsung sepakbola. Mulai liga Italia, Inggris, Spanyol, hingga FA Cup dan sebagainya, sebut saja, termasuk pertandingan-pertandingan yang berlangsung di tengah pekan.

Di antara liga-liga sepakbola yang disiarkan oleh tv lokal, menurutku yang paling berat buat disaksikan adalah liga Spanyol, mengingat hampir dipastikan waktunya di dini hari. Alhasil, tidak jarang aku menyaksikannya karena mendusin dan tidak tahu mesti ngapain di kala orang-orang masih pulas, atau kembali tertidur di tengah pertandingan dan tinggal menunggu takdir buat membangunkanku lagi, seperti kali ini.

Tidak lama setelah aku benar-benar terbangun dari ketiduran dan mengambil posisi duduk, aku kembali memusatkan perhatian kepada tv di depanku. Namun perhatianku terusik oleh sebuah bunyi yang datang entah dari mana. Bunyi itu terdengar samar-samar sebelum makin jelas seiring putaran jarum detik pada jam dinding.

Di telingaku, itu adalah bunyi gemerincing yang dibarengi derap tapal kuda, mengingatkanku akan kereta kencana yang tengah berlari di film-film kolosal. Pikiranku segera memutar adegan film Saur Sepuh yang pernah kutonton dalam format betamax kala aku masih kecil, juga saga Nyi Blorong yang rasa-rasanya kurang pas disebut kolosal tapi sang tokoh utama, dibintangi ratu horor Suzzanna, mengenakan pakaian dan mengendarai kendaraan sejenis.

Ya, itu suara kereta kencana, aku bergumam yakin di dalam hati. Tapi di zaman ini mana ada kereta kencana? Aku bergidik, ada desiran rasa takut. Tapi rasa penasaran menarikku bangkit dari duduk untuk mendekat perlahan kepada sumber suara. Aku perkirakan bunyi itu berasal dari luar rumahku. Aku mendekat ke pintu depan rumahku, namun tidak sampai membuka kuncinya, karena suara kereta kencana itu bergerak menuju samping rumahku, dengan volume suara yang makin jelas, makin keras.

Selepas melewati bagian samping rumahku, suara gemerincing dan derap tapal kuda itu terdengar menjauh, makin lama tambah sayup. Tidak ingin kehilangan suara tersebut, aku buru-buru membuka pintu samping yang kuncinya nyantel di situ, kemudian menghambur keluar. Di antara suaranya yang kian menghilang, aku masih bisa melihat setitik warna keemasan kereta kencana itu, yang dilingkupi oleh cahaya kekuningan.

Aku pun berlari sekencang-kencangnya buat mengejar, hingga kemudian napasku terengah-engah. Berlari di tengah dinginnya malam ternyata bikin capek juga, pikirku sambil terus memacu kedua kaki sambil sesekali menyeka keringat di jidat.

Di antara napas yang kembang-kempis, pandanganku agak kabur. Tapi aku masih bisa berpikir, menyadari bahwa selama berlari aku melintasi jalan yang hanya lurus. Rumah-rumah di lingkungan tempat tinggalku seolah menepi agar aku bisa berlari tanpa halangan, sehingga tak mengharuskanku menempuh rute berkelok-kelok. Aneh.

Semakin jauh aku berlari, aku juga samar-samar melihat pemandangan yang makin tidak biasa di sekelilingku. Lingkungan pemukiman lamat-lamat berubah menjadi suasana tanah Jawa tempo dulu. Perkebunan yang luas, rumah-rumah dari kayu yang jaraknya tidak berhimpitan seperti di kehidupanku sehari-hari, hingga aku melihat umbul-umbul di kiri dan kananku, kemudian berhenti di hadapan sebuah gerbang menjulang, yang posisinya di tengah pagar batu berbentuk seperti pura.

Gerbang itu terdiri dari dua bagian, kanan dan kiri, terbuat dari kayu-kayu yang dijajarkan berdiri, makin ke tengah ukuran makin tinggi, dan kayu-kayu itu disatukan oleh lempeng-lempeng besi besar horizontal dengan semacam baut di atasnya, yang menancap hingga ke dalam kayu. Semantara pada pagar batunya, baik yang di sebelah kanan maupun kiri, masing-masing tergantung sebuah obor.

Setelah membungkuk dengan masing-masing tangan bertumpu pada masing-masing lutut, untuk mengatur napas sejenak, aku melangkah lebih dekat ke gerbang tersebut. Pada gerbang bagian kiri, di atas salah satu pegangan pintunya yang terbuat dari besi setengah lingkaran berposisi berdiri, terdapat lubang kotak kecil, seukuran area kedua mata orang dewasa. Sayangnya lubang itu tertutup oleh kayu yang serupa dengan gerbang, dan terkunci.

Aku mundur beberapa langkah, mendongak untuk melihat ujung atas gerbang yang jauh berada di atas kepalaku, dan menatap langit malam yang nampaknya tidak begitu cerah. Tidak banyak bintang di atas sana, sementara pinggiran bulan yang tidak penuh dan berpendar remang itu dikelilingi oleh awan.

Sandal jepit di kakiku menginjak tanah yang lunak yang berair. Becek dan licin. Sebuah patahan ranting pohon yang melintang di belakangku menjegal kaki kiriku hingga aku terjengkang. “Ah, sial!” aku tercekat berbarengan dengan tubuhku menghantam tanah dan mencipratkan air berlumpur.

Di malam yang sunyi ini, ternyata suaraku barusan terdengar cukup keras, sehingga memancing terbukanya gerbang di depanku. Pintu itu dibuka oleh empat orang penjaga.

Aku terperangah sekaligus takjub melihat penampilan mereka, betul-betul seperti di film-film kolosal. Rambut mereka cukup panjang untuk dapat dicepol, mengenakan atasan serupa rompi, pada kedua lengan bagian atas mereka melingkar logam berwarna kuning keemasan, mungkin bermaterial kuningan, telapak tangan menggenggam tombak, serta mengenakan bawahan berupa kain batik berwarna cokelat yang dibebat membentuk celana sebatas betis. Tidak ketinggalan sandal kulit dengan tali-tali yang mengikat ke telapak dan pergelangan kaki.

Wajah mereka nampak tidak begitu ramah menyaksikanku berada di depan gerbang malam-malam begini. Dengan gerakan cepat dan sigap dua orang dari mereka meringkusku, sisanya menggeledahku, memeriksa kalau-kalau aku membawa senjata.

Aku digiring masuk. Melangkah memasuki gerbang, aku dapat melihat betapa luasnya tanah di dalam sini. Areanya berpusat pada sebuah bangunan yang cukup besar, jauh lebih besar jika dibandingkan rumah-rumah penduduk yang tadi aku lewati, dan jelas jauh lebih.

“Malam ini kau kami tahan di pos ini,” kata seorang penjaga begitu kami sampai di sebuah bengunan kecil dari kayu, “pagi nanti baru kami laporkan kepada Akuwu. Adakah yang ingin kau tanyakan?” sambungnya, aku yakin ia mendapati wajahku tampak linglung.

“Aku ada di mana? Dan apa itu akuwu?” balasku sambil mendudukkan diri di lantai kayu pos dan bersandar pada salah salah satu sisi dinding kayunya.

“Ini daerah Tumapel. Akuwu adalah jabatan untuk kepala daerah.” Ia melanjutkan “Dan sekarang tahun 1222, kalau kau ingin tahu juga,” dengan kesan bercanda atau malah mengejek, aku tidak tahu pasti dan tidak penting juga untukku, karena yang jauh lebih penting adalah nama daerah dan tahun sekarang aku berada.

“Apa?!” mataku membelalak.

“Apakah akuwunya bernama Tunggul Ametung?” tanyaku kemudian.

“Iya, betul.”

Setengah sadar, mulutku tiba-tiba nyerocos, “Tunggul Ametung punya pengawal bernama Ken Arok, bukan? Orang itu akan membunuhnya, dan merampas jabatan sebagai akuwu Tumapel.”

Apa yang kukatakan barusan tertera di dalam buku sejarah Indonesia. Sejujurnya, harus aku akui, aku bukanlah penyuka pelajaran sejarah, bahkan membencinya. Namun, karena belum lama ini aku melewati ujian Catur Wulan di sekolah, teks-teks dari buku pelajaran masih menempel di kepalaku.

“Jangan ngawur kau bocah ingusan,” kata penjaga yang lain sambil mengambil gulungan tambang di lantai kayu. Mereka kemudian mengikat kedua pergelangan tanganku di belakang badan. Pergelangan kakiku diikat pula. Dan mereka memerintahku buat segera tidur, sementara mereka melanjutkan tugas jaga malam. Dalam posisiku duduk setengah meringkuk, bersandar pada dinding pos, jelas bukan cara yang nyaman untuk dapat terlelap, apalagi diiringi rasa khawatir soal bagaimana nasibku saat hari terang nanti.

***

 

Kokok keras ayam jantan membangunkanku. Kuperhatikan sejenak, hari baru saja beranjak terang dan udara masih terasa sejuk. Refleks, aku ingin ngulet, tapi tidak bisa, tentu saja. Aku baru ingat kalau tertidur dalam kondisi tangan dan kaki diikat. Tidak seberapa lama, salah seorang pengawal menghampiriku dengan membawa sepiring ubi dan singkong rebus, dan segelas teh tawar panas, buatku sarapan.

“Akuwu memerintahkanmu untuk menemuinya,” ia berkata setelah meletakkan sarapan di hadapanku serta melepaskan ikatanku, “nanti setelah kau selesaikan dulu sarapan ini.”

Pengawal itu bilang bahwa ia telah menceritakan ‘ramalanku’ semalam soal pembunuhan kepada Akuwu. “Nampaknya ia kurang suka,”sambungnya.

“Tentu saja, siapa yang suka mengetahui kalau ia akan mati?”

“Bukan cuma kurang suka kepada omonganmu, tapi pada dirimu juga. Akuwu merasa kau sudah lancang menentukan takdir dirinya,” dia menjelaskan seraya menyuruhku cepat-cepat menghabiskan makanan dan tehku. Tapi mendengar perkataannya barusan, jelas malah bikin aku deg-degan dan kesulitan mengunyah serta menelan makanan secara mulus. Satu dua kali bisa saja aku tersedak kalau tidak buru-buru mendorong makanan yang nyangkut di tenggorokan dengan air teh, yang dengan susah payah kuteguk karena masih panas.

Menyisakan sepotong singkong rebus karena sudah tidak berselera lagi untuk menghabiskannya, aku diantar menemui akuwu yang sudah duduk di singgasana ruang kerjanya. Di sebelah kanannya, pada kursi yang lebih rendah, duduk seorang laki-laki yang terlihat lebih tua, mungkin penasehatnya, pikirku, dan di sebelah kirinya berdiri laki-laki lebih muda yang terlihat seperti pengawalnya. Sementara di sisi kiri-kanan ruangan masing-masing berdiri seorang penjaga, penampilannya sama dengan penjaga gerbang. Begitu pula dengan di sisi kiri dan kanan pintu masuk.

“Benarkan apa yang kau katakan, Anak Muda, soal pembunuhan yang akan menimpaku?” Akuwu bertanya setelah berbasa-basi sebentar memperkenalkan orang-orang yang ada di ruangan ini, dan tebakanku benar.

“Betul, Tuan,” jawabku berusaha sopan.

“Berani benar kau menuduh begitu,” sang pengawal, Ken Arok, angkat bicara, “memangnya siapa kau ini dan dari mana asalmu?”

Aku ceritakan bahwa aku seorang murid sekolah dari masa depan, dan aku mengetahui nasib yang akan menimpanya dari buku pelajaran sejarah. Tentu saja aku mengatakannya secara kurang meyakinkan, di antara nyali yang menciut dan aku masih tidak paham bagaimana aku bisa berada di situasi ini, di tengah-tengah kehidupan Jawa tempo dulu.

Kalaupun aku mengatakannya dengan meyakinkan, siapa juga yang bakal percaya seorang siswa datang dari masa depan?

“Jangan bercanda!” kali ini Arok membentak.

Aku berusaha meyakinkan semampuku bahwa itulah yang sebenarnya terjadi, meski kemudian pasrah saat ceritaku yang tidak masuk akal itu menjebloskanku ke semacam kamar pembantu. Aku memang tidak dimasukkan ke dalam kurungan, seperti yang awalnya kubayangkan, tapi diharuskan membantu pekerjaan bersih-bersih, mulai mencuci piring, mengepel lantai, hingga menyapu area luar bangunan dari daun-daun kering yang mungkin berguguran. Tidak ada gaji sebagai imbalan, tapi setidaknya aku dapat makan dan tempat tinggal di kamar pembantu itu.

Kira-kira nyaris empat bulan aku menjalani kehidupan aneh ini, ketika satu hari saat matahari baru saja terbit istana kecil ini digemparkan oleh tewasnya Akuwu Tunggul Ametung oleh hujaman sebuah keris pada dada kiri yang merobek hingga jantungnya.

Orang-orang dalam kenal keris itu milik Ken Arok. Ia pun tegas-tegas mengakuinya dan segera melangsungkan kudeta. Aku tidak ingat motif di balik pembunuhan ini. Kalau aku perhatikan, bisa saja karena urusan asmara karena kemudian Arok menikahi Ken Dedes, istri mendiang Tunggul Ametung.

Jabatan Akuwu Tumapel tidak bikin Ken Arok puas. Lantas ia bersekutu dengan para Brahmana untuk menaklukkan Kerajaan Kediri, yang menaungi Tumapel. Aku masih ingat bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa ini umumnya bercorak Hindu-Budha, dengan kasta Brahmana menempati kelas atas di masyarakat.

Agresi berhasil memaksa Kertajaya, Raja Kediri, menyerahkan kekuasaan kepada Ken Arok. Dengan wilayah kekuasaannya yang baru, raja baru ini kemudian mendirikan Kerajaan Tumapel, yang beribu kota Singosari. Dalam perjalanannya, nama Singosari ternyata lebih terkenal hingga Kerajaan Tumapel lebih populer dengan nama Kerajaan Singosari.

Setelah apa yang terjadi, Ken Arok nampaknya mulai percaya kepada kata-kataku tempo hari. Ia menangkatku sebagai salah seorang penasehatnya. Nasehatku yang pertama kepada Ken Arok adalah untuk berhati-hati kepada Anusapati, anak tirinya. 

Tentu saja aku gembira dengan jabatanku karena jadi bisa hidup layak, bahkan terbilang berlebih untuk ukuranku. Tapi untuk seorang anak seusiaku, dari zaman yang berbeda, tidak lantas membuatku betah menjalaninya. Aku teringat akan keluargaku, teman-teman nongkrongku, dan pertandingan sepakbola di tv. Maka aku mulai bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitarku, adakah cara untuk aku bisa pulang?

Pada satu sore, salah seorang penjaga gerbang yang menemukanku malam itu memberi jawaban, “Ada seorang pintar bernama Wardana, yang tinggal di kaki gunung di sebelah utara kerajaan ini. Ia mungkin tahu jawabannya. Hanya saja, orang itu terkenal sombong, cuma mau bertemu dengan raja.”

Hmmm, jelas aku bukan raja. Tidak mungkin juga meminta bantuan Raja untuk menemui orang pintar itu, ia berpotensi kehilangan penasehatnya yang sanggup meneropong masa depan. Setelah beberapa malam berpikir, muncul ide di kepalaku buat membunuh Ken Arok dan mengambil alih singgasana rajanya, seperti yang dulu ia lakukan terhadap Tunggul Ametung.

***

 

Ia sama sekali tidak menyadari ketika aku meracuninya saat kami bersantap malam bersama beberapa petinggi kerajaan. Kemudian aku memfitnah pihak Anusapati sebagai pelakunya, lebih tepatnya orang suruhannya. Sebagai putra dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes, Anusapati punya motif balas dendam atas kematian ayahnya.

Terlepas dari cara mati Ken Arok, yang aku tidak tahu pasti dalam sejarah seperti apa, kejadian ini setidaknya akan selaras dengan rangkaian cerita sejarah yang menyertainya kemudian, pikirku; anak kandung Ken Arok, yakni Tohjoyo, akan membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh Anusapati, kemudian Ranggawuni yang tak lain adalah anak Anusapati kelak menggulingkan kekuasaan Tohjoyo, dan seterusnya.

Bedanya, sekarang Singosari punya raja baru yang tidak pernah tercatat sebelumnya dalam dalam literatur manapun, dan semoga begitu seterusnya, yaitu aku. Dengan skenario pembunuhan yang mengganjal Anusapati untuk melakukan kudeta (ya, ia keburu ditangkap dengan barang bukti rekaanku), ditambah ‘penerawanganku’ sekali lagi terbukti benar, aku berhasil meyakinkan para pejabat kerajaan untuk mengangkatku sebagai pengganti Ken Arok.

Begitu menggenggam kekuasaan sebagai raja, aku tidak buang-buang waktu untuk bergegas menemui Wardana, lengkap dengan mengenakan atribut raja – mahkota, jubah, dan keris raja - sebagai bukti statusku. Namun dalam perjalanan, aku ‘bersembunyi’ di dalam kereta kuda sederhana yang memang disediakan kerajaan untuk saat-saat raja ingin berkendara tanpa terlihat mencolok di tengah masyarakat, hingga tiba pada ujung perkampungan yang mengharuskanku berjalan kaki, meninggalkan kusir yang menjaga kereta kuda.

Berada di pertapaannya di kaki gunung, ia sempat terkejut melihat sosok yang agaknya terlalu muda buat menjadi rajanya. Setelah kami bersila berhadap-hadapan dan mendengarkan maksud kedatanganku, laki-laki tua ini menyuruhku, “Kendarai kereta kencana kerajaan untuk memutari istana dalam radius tujuh kilometer, selama tujuh kali, pada waktu sepertiga akhir malam. Itu akan membawamu kembali ke tempat dan masa asalmu, Yang Mulia. Jangan lupa untuk mencuci lebih dulu kereta kencana dan memandikan kuda, untuk mensucikannya.”

Aku bertanya, “Bagaimana dengan kusir kereta kencana yang mengendarainya, apakah ia akan ikut aku pulang?”

“Maaf, Yang Mulia,” kedua telapak tangannya saling bertemu di depan dada dan kepalanya sedikit menunduk, untuk menunjukkan kesopanan. Tapi apa yang dikatakannya kemudian mengagetkanku, “tidak, ia tidak ikut, melainkan akan terbakar kemudian musnah bersama kereta kencana, sebagai tumbal.”

“Tumbal? Kepada siapa ia ditumbalkan?”

“Sekali lagi maaf, Yang Mulia, aku tak bisa mengatakannya,” ia menjawab. Kepalanya makin menunduk, matanya seperti menghindar untuk menatapku. Sekelebat muncul kecurigaan di benakku, apakah tumbal itu ditujukan buat dirinya sendiri?

Esok malamnya, aku sudah siap untuk melakukan perintah Wardana. Menjelang sore tadi para pembantu kerajaan sudah mencuci kereta kencana dan memandikan kudanya. Warna keemasan pada bagian logam yang mendominasi kereta kencana ini tampak berkilau, sementara kuda penarik kereta ini pun tampak lebih segar daripada biasanya.

Kereta kencana milik kerajaan ini, sepenglihatanku, memiliki aura mistis yang kuat. Di luar warna keemasan, bentuknya serupa kuda bersayap dengan kepala naga, yang memiliki gading dan belalai seperti gajah. Mulutnya membuka memamerkan gigi-gigi tajam, dan ujung belalainya terangkat sambil ‘menggenggam’ mata tombak. Membayangkan berada di dalamnya, terasa seperti sedang mengendarai makhluk mistis tersebut. Di bagian luar kabin yang berbentuk persegi, pada masing-masing sudut atasnya menggantung sebuah lonceng kecil yang akan mengeluarkan bunyi gemerincing saat kereta berjalan.

Beberapa waktu lalu, serigala peliharaan kerajaan telah melolong sebanyak tiga kali, yang menandakan malam telah memasuki sepertiga akhir. Begitulah salah seorang penasehat memberitahuku pagi tadi. Setelah merasa sudah siap, aku pun langsung memerintahkan kusir buat menjalankan kereta kencana.

Jantungku berdetak lebih cepat beberapa saat setelah kereta mulai bergerak. Namun sejak putaran kedua aku mulai bisa menguasai diri dan jantungku jadi lebih santai. Kami melaju tidak kencang, tidak pula lamban. Sedang saja. Barulah pada putaran ketujuh aku meminta kusir untuk memecut kuda lebih keras agar berlari lebih cepat, aku ingin segera menuntaskan prosesi ini dan pulang. Tapi memasuki putaran terakhir, aku dikagetkan oleh fenomena aneh.

Di tengah terpaan angin malam yang makin terasa seiring bertambahnya laju kereta kencana, aku menyaksikan ujung kakiku memudar, menjadi tembus pandang, kemudian menghilang. Berikutnya merambat perlahan ke tapak kaki, pergelangan kaki, betis, dan terus naik. Setelah beberapa saat, terbesit perasaan lega bahwa sebentar lagi aku akan menghilang dari tempat serta zaman ini, dan akan segera berada di rumah lagi.

Kini separuh tubuh bawahku sudah menghilang. Namun lagi-lagi aku dibuat kaget, kuda yang menarik kereta kencana mulai mengeluarkan api, terbakar! Mulai dari moncongnya, api perlahan tapi pasti melahap kepala leher badan, dan terus ke belakang kuda hingga musnah. Benar-benar musnah tanpa sisa sedikit pun. Berangsur kemudian kereta kencana juga mengalami nasib yang sama, termasuk kusirku yang duduk di muka.

Sejak menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya, ia nampak berusaha teriak tapi suaranya tidak keluar, hanya bibirnya saja yang terbuka. Seketika gerak tubuhnya terlihat ingin melompat dari kereta untuk menyelamatkan diri dari kobaran api yang sudah dekat tepat di depannya, tapi seperti tertahan. Dirinya tidak bisa berbuat apa-apa saat api akhirnya meluluhlantakkan seluruh tubuhnya. Aku sempat melihat ekspresi terakhir wajahnya yang penuh kengerian, ketika ia menoleh ke belakang, kepadaku, seperti meminta pertolongan.

Tumbal telah lunas.

Kuda dan kusir sudah musnah. Tapi kereta kencana masih melaju. Setelah apa yang terjadi di hadapanku barusan, aku tidak lagi merasa aneh ada kereta yang dapat berlari sendiri. Kini tinggal separuh aku di dalam kereta kencana yang terus dilahap oleh api yang berkobar-kobar rakus.

Hanya saja, api tidak sampai menyentuh tubuhku yang semakin menghilang. Aku membayangkan sebentar lagi sudah berada di rumahku, berada di depan tv, melanjutkan nonton liga Spanyol yang kutinggalkan di tengah pertandingan saat itu. Aku masih ingat, dengan jelas, saat-saat terakhir sebelum aku terdampar di era Jawa kuno ini.

Tapi ketika fisikku tinggal menyisakan bagian kepala, aku merasa disilaukan oleh cahaya dari belakangku. Lantas aku menoleh ke sumber cahaya itu. Asalnya dari salah satu rumah yang terpisah cukup jauh dari rumah-rumah penduduk yang lain. Kereta terus melaju menjauh dari rumah itu, namun masih bisa melihat pintu sampingnya terbuka, kemudian dari situ keluar seorang anak laki-laki, berlari berusaha mengejar ke arahku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Suara Gemerincing Kereta Kencana Misterius Melaju Membelah Malam
Ryan Esa
Novel
Alif Lam Mim
Zainur Rifky
Novel
Who is the killer? [Celine]
I M A W R I T E
Novel
Bronze
Sentinel of Truth
Maquia
Novel
Gold
Suster Misterius
Mizan Publishing
Novel
Rahasia Wicara
Muhamad Ghani Dhafin Ramadhan
Cerpen
Bronze
Cinta Bisa Sehijau Rumputan atau Seguguran Salju
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Cerpen
Melodi Bunga Malam
Dewyrum
Novel
Gold
Disorder
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Sherlock Holmes: Locked Rooms
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
KADES YANG TEWAS KARENA SEGALON AIR LIMBAH
Sri Wintala Achmad
Novel
Matahari Kelabu
Mohammad Sholihin
Novel
The Strange Case of Milan and Madrid
Galilea
Novel
Bronze
Sekolah Atap Tinggi
Agus Puguh Santosa
Novel
Bronze
RITUAL GUNUNG KEMUKUS
Citra Rahayu Bening
Rekomendasi
Cerpen
Suara Gemerincing Kereta Kencana Misterius Melaju Membelah Malam
Ryan Esa
Cerpen
Musik dan Teror Mimpiku Menertawakanmu
Ryan Esa
Cerpen
Jangan Mati Dulu, Dong, Bruh
Ryan Esa
Cerpen
Insta Story Harga Mati
Ryan Esa
Cerpen
Sepenggal Zaman Terhenti di 2025
Ryan Esa
Flash
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
Ryan Esa
Cerpen
Pembunuhan di Indomarket
Ryan Esa
Cerpen
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Ryan Esa