Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam di kota selalu punya ritme yang aneh. Seperti detak jantung yang tak mau berhenti, meski tubuhnya lelah.
Dari jendela apartemennya di lantai tiga, Rani menatap cahaya oranye dari lampu jalan yang tumpah di genangan air. Sisa hujan memantulkan bentuk-bentuk samar: bayangan mobil yang lewat, langkah orang yang pulang terlambat, dan wajahnya sendiri di balik kaca.
Apartemennya kecil, tapi cukup. Meja kerja di pojok, tumpukan naskah radio, segelas teh melati yang sudah dingin.
Radio tuanya berdengung pelan, memutar noise statis yang entah kenapa menenangkan. Seolah keheningan pun butuh suara untuk merasa hidup.
Rani bekerja untuk sebuah stasiun radio malam. Ia menulis naskah siaran bertema "Cerita-cerita kecil dari kota yang belum tidur."
Lucunya, meski pekerjaanya bercerita untuk orang lain, hidupnya sendiri jarang punya percakapan. Ia bicara lewat kata-kata yang tak pernah ia ucapkan.
Dan di malam-malam seperti ini, ketika jam melewati pukul sebelas dan langit masih basah, suara itu datang. Lembut. Pelan. Nada piano menembus dinding tipis kamar, mengalun seperti bisikan.
Lagu yang sama setiap malam. Melankolis, sederhana, dan selalu berhenti di nada yang tak selesai. Rani tak tahu siapa yang memainkannya. Ia hanya tahu suara itu datang dari kamar 304, tepat di sebelah kamarnya.
Kadang, ia berhenti menulis hanya untuk mendengarkan. Kadang, ia menyesuaikan irama ketikan jari-jarinya dengan tempo lagu itu.
"Mungkin ia juga sedang menulis," pikirnya suatu malam.
"Menulis lewat suara, bukan huruf."
Suara itu tidak pernah terlalu keras, tapi cukup untuk mengisi ruang antara dirinya dan tembok.
Dalam diam, Rani merasa seperti punya teman tak kasat mata. Seseorang yang tidak menuntut apa-apa, tidak menanyakan kabar, hanya hadir dengan caranya sendiri.
Suatu kali, listrik di apartemennya padam. Ia menunggu, gelap gulita. Namun, di tengah pekat itu, nada piano tetap mengalun.
Dan untuk pertama kalinya, Rani menutup mata dan tersenyum. Karena bahkan dalam gelap, seseorang masih memilih untuk memainkan sesuatu yang indah.
Malam-malam pun terus berlalu dengan pola yang sama: ia menulis, suara piano menemani, lalu keduanya diam bersamaan sekitar tengah malam. Seolah mereka berjanji tanpa berkata.
Namun malam itu, entah kenapa, setelah nada terakhir berhenti, Rani merasa ada sesuatu yang berubah. Tipis, nyaris tak terdengar, tapi terasa seperti udara yang kehilangan harum hujan.
Ia menatap dinding itu lama-lama, seakan bisa menembusnya.
Di kepalanya, muncul satu kalimat untuk naskah siaran esok hari:
"Kadang, keheingan bukan pertanda akhir... tapi tanda seseorang sedang belajar berhenti di tempat yang tepat."
Ia menuliskannya di buku cacatan kecil di samping tempat tidur. Dan sebelum tidur, ia sempat berpikir:
Jika suatu hari suara itu berhenti untuk selamanya, apakah ia akan sadar?
Atau lebih menakutkan lagi, apakah ia akan berhenti menulis juga?
Malam berikutnya datang tanpa aba-aba. Hujan turun lagi. Lebih pelan, lebih dingin. Rani menyalakan radio, menyiapkan teh, dan membuka naskah barunya.
Jam digital meja menunjukkan pukul 22.58. Ia menunggu.
Satu menit. Dua.
Tangannya diam di atas papan ketik. Matanya menatap ke arah dinding sebelah, seperti seseorang yang menunggu detak pertama dari lagu yang ia hafal di luar kepala.
Namun kali ini, tidak ada suara.
Tidak ada nada pembuka. Tidak ada dentingan pelan dari kamar 304. Hanya bunyi hujan yang menetes dari talang air dan suara pendingin ruangan yang menua.
Rani menunggu lima belas menit lagi.
Lalu tiga puluh.
Setelah itu, ia menyerah... atau mencoba menyerah.
Tapi keheningan itu tidak sekedar diam, ia seperti sesuatu yang hilang, bukan sesuatu yang tidak ada.
"Ada malam-malam yang sepi karena kehilangan suara."
Namun kata-kata itu terasa kosong, seperti huruf tanpa napas. Ia hapus, lalu menatap ruang yang dulu diisi melodi.
Malam semakin larut.
Rani membuka jendela, mungkin udara malam bisa membawa sedikit bunyi. Tapi di luar hanya ada sirene jauh dan langkah orang yang terburu. Kota tetap hidup, tapi bagian kedcil yang membuatnya berarti telah padam.
Selama beberapa hari setelah itu, suara piano tak pernah kembali. Setiap malam Rani tetap duduk di meja kerja yang sama, menunggu entah untuk apa. Ia mencoba memutar musik sendiri, tapi justru terasa palsu. Seperti mengganti kehadiran seseorang dengan rekaman.
Di hari ketiga, rasa ingin tahu berubah menjadi gelisah. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil: lampu kamar 304 yang tak pernah menyala lagi, sandal di depan pintu yang hilang, bahkan bekas noda kertas yang dulu sering terselip di bawah pintu, kini tak ada.
Pada malam keempat, Rani memberanikan diri mengetuk pintu kamar itu.
Sekali. Dua kali.
Tidak ada jawaban.
Ia menempelkan telinganya di permukaan kayu, berharap ada suara langkah, napas, atau apapun. Tapi yang ada hanya gema dari dirinya sendiri.
Rani turun ke lobi dan bertanya pada petugas keamanan yang sedang berjaga.
"Mas, penghuni kamar 304... dia ke mana, ya?"
Petugas itu menatap daftar nama, lalu menjawab singkat,
"Pindah, Mbak. Tiga hari lalu. Katanya dapat tempat baru. Cuma bawa koper kecil. Kenapa, Mbak?"
Rani menggeleng pelan.
"Nggak, cuma... mau nitip pesan."
"Bisa saya sampaikan kalau dia balik."
"Mungkin nggak akan balik," katanya pelan.
Petugas itu mengangkat bahu.
"Namanya juga orang kota, Mbak. Cepat datang, cepat hilang."
Rani tersenyum kecil, tapi hatinya seperti menyimpan gema yang belum selesai. Ia berjalan kembali ke kamarnya, menyalakan radio, dan menulis cacatan baru:
"Di kota ini, orang-orang berpindah tanpa pamit. Tapi kadang, suara mereka tetap tinggal. Di udara, di ingatan, di tembok yang menahan gema."
Malam itu, ia tidak menulis naskah.
Ia hanya duduk di lantai, menatap dinding yang dulu memantulkan suara piano. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa sepi bisa terasa seprti kehilangan seseorang yang tak pernah benar-benar ia kenal.
Hari-hari berikutnya berlalu seperti lembar kosong yang menolak diisi. Rani tetap menulis, tapi tulisannya seperti kehilangan napas. Ia memutar radio hanya untuk mendengar dengung sunyi. Kota terus berjalan seperti biasa. Motor berderu, hujan turun sebentar, lalu reda tanpa janji. Tapi bagi Rani, sesuatu di dalam dirinya berhenti di satu titik yang tak bisa ia lewati: kamar 304.
Suatu malam, setelah menatap kursor berkedip selama satu jam penuh, ia berdiri. Mungkin karena lelah, mungkin karena tak tahan lagi dengan rasa “tidak tahu”. Ia mengambil jaket, lalu turun ke lobi dan meminta izin pada petugas yang sudah mengenalnya.
"Boleh saya masuk ke kamar 304 sebentar saja?"
"Itu kamar kosong, Mbak. Tapi kalau cuma sebentar, nggak apa."
Petugas itu menyerahkan kunci cadangan.
Langkah Rani bergema di koridor yang setengah gelap. Lampu di langit-langit berkelap-kelip. Cahaya putihnya dingin dan samar.
Pintu kamar 304 terbuka dengan bunyi klik pelan. Udara di dalamnya berbeda. Agak lembap, berdebu, tapi ada aroma yang familiar: sisa kayu piano.
Di tengah ruangan berdiri sebuah piano hitam tua, sendirian, mentap jendela yang tertutup tirai.
Rani berjalan mendekat. Tangannya ragu, tapi akhirnya ia menyentuh salah satu tuts. Dingin. Sunyi. Ia menekan nada pertama, sumbang, tapi nyata.
Dan di atas papan piano itu, ada secarik keras yang dilipat rapi. Tulisannya sederhana, dengan tinta biru yang sedikit pudar:
Terima kasih sudah mendengarkan.
Hanya itu. Tanpa nama, tanpa tanggal. Tapi kata-kata itu terasa lebih berat dari apapun yang pernah ia tulis.
Rani duduk di kursi piano. Ia memandangi jari-jarinya yang dulu hanya menulis, kini diam di atas tuts. Ia mencoba memainkan satu nada. Lalu dua. Lalu tiga. Sampai akhirnya ia berhenti di nada yang sama, nada terakhir yang selalu tertinggal setiap malam.
Untuk sesaat, Rani merasa orang itu masih di sana. Mungkin tidak di ruangan itu, tapi di antara ruang-ruang sunyi yang mereka bagi.
Ia menutup piano perlahan, mengantongi kertas kecil itu, lalu kembali ke kamarnya. Malam sudah larut ketika ia menyalakan radio dan membuka naskah baru. Layar kosong di depannya tak lagi menakutkan.
Ia mulai mengetik:
“Kadang, kita tidak benar-benar bertemu. Kita hanya saling mendengarkan dari kejauhan, dan entah bagaimana, itu cukup.”
Kalimat itu terasa seperti melodi — lembut, jujur, dan tenang. Ia terus menulis, dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, kata-katanya mengalir lagi.
Beberapa jam kemudian, menjelang subuh, siaran malamnya mengudara. Suara Rani yang lembut menyapa pendengar:
“Malam ini, aku ingin berbicara tentang seseorang yang tak pernah aku temui, tapi suaranya membuatku bertahan.”
"Mungkin, yang membuat kita tetap hidup bukanlah kehadiran, tapi gema yang mereka tinggalkan di hati.”
Suaranya menyatu dengan bunyi hujan yang kembali turun di luar jendela. Di kamar 304, piano diam, tapi gema lagunya terasa mengisi udara.
Rani menutup naskah, mematikan lampu, dan sebelum tidur, ia berbisik pelan:
"Selamat malam, pemain piano yang tak bernama."
Lalu, di antara dengung radio dan gemericik hujan, ia mendengar... atau mungkin hanya membayangkan... nada terakhir yang akhirnya menemukan tempatnya untuk berhenti.
***
Naskah Radio Rani
“Malam ini… aku ingin bercerita tentang seseorang yang tak pernah aku temui. Tapi setiap malam, aku mendengarnya bercerita lewat nada. Tidak dengan kata, tidak dengan wajah — hanya suara yang datang menembus dinding, lalu berhenti di antara nada terakhir. Lalu, entah kenapa, keheningan setelahnya terasa seperti doa.”
...
“Kau tahu, kadang kita tidak perlu mengenal seseorang untuk merasa dekat dengannya. Ada pertemuan-pertemuan yang cukup terjadi di ruang sunyi — antara dua jiwa yang saling mendengarkan, tanpa sengaja.”
“Mungkin, yang membuat kita tetap bertahan bukanlah siapa yang datang… tapi siapa yang meninggalkan keheningan yang masih bisa kita dengar.”
“Untukmu yang pernah memainkan lagu itu, di kamar 304… Terima kasih sudah membuat malam terasa hidup. Di sini, aku masih mendengarkan.”
****
Ada kalanya, hal paling sulit bukanlah kehilangan seseorang, tapi kehilangan suara yang pernah membuat dunia terasa sedikit lebih hangat. Suara itu bisa datang dari mana saja: sebuah tawa, dentingan piano, pesan yang tertinggal di layar, atau bahkan langkah seseorang yang selalu datang pada jam yang sama.
Rani tidak mengenal siapa penghuni kamar 304. Namun di antara dinding tipis apartemennya, ia menemukan bentuk koneksi yang tak membutuhkan tatap mata, hanya keberanian untuk mendengarkan.
Aku menulis cerita ini untuk mengingatkan, bahwa dalam hidup yang bising dan tergesa, kita masih punya ruang untuk keheningan yang berarti. Bahwa mendengarkan... benar-benar mendengarkan... bisa menjadi bentuk cinta yang paling sunyi, tapi juga paling tulus.