Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siang ini aku pulang ke istanaku dan disambut oleh penduduk di gerbang masuk ibu kota. Orang-orang menyerukan namaku dan ucapan selamat datang kembali. Sudah tiga tahun aku merantau ke luar kerajaan demi menempuh pendidikan dan di sini aku kembali untuk menyebarkan semua yang selama ini kupelajari.
Aku adalah putri keempat dari selir yang sudah lama meninggal dunia. Karena itu raja terkesan – atau memang – tidak peduli padaku, tapi aku tak akan membiarkan desa asal ibuku ikut terabaikan.
***
“Selamat datang, Putriku,” kata ayahku itu tanpa menoleh. Siang ini ayah dan ketiga saudaraku sedang menikmati teh dan camilan manis di taman istana raja.
“Ya, Ayah. Saya sudah pulang, senang akhirnya bisa kembali melihat Ayah. Bagaimana kabar Ayah selama ini?” aku membungkukkan badan.
“Ya, sangat baik,” jawabnya, juga tanpa melihatku.
Semua diam. Tak ada yang mengangkat bicara ataupun mengajakku untuk bergabung setelah sekian lama.
“Kalau begitu saya izin undur diri, Ayah. Semoga Anda diberi kesehatan yang melimpah,” aku membungkuk dan berbalik kanan.
Tak jauh di belakang sana, aku bisa mendengar suara kakak pertamaku menyatakan ketidaksukaannya terhadapku yang ditanggapi oleh dua kakakku yang lain.
Hatiku mencelos mendengarnya. Kau tidak akan mengerti jika hanya membaca tanpa mengiris jarimu.
***
Malam ini aku bersiap untuk ikut makan malam di ruang makan bersama ayah, ibu tiriku, juga kakak-kakakku. Aku berusaha tidak memikirkan ucapan kakak pertamaku siang tadi.
Sampai di ruang makan, ternyata seluruh anggota keluarga sudah duduk di kursi mereka masing-masing menyisakan kursi paling ujung dan paling jauh dari kursi sang raja, kursiku. Aku segera duduk di sana, hanya diam dan memperhatikan yang lain berbincang hangat sembari memakan makanan pembuka yang baru saja datang.
Suasana menjadi lebih sunyi saat makanan utama datang. Sampai kemudian ayah memanggilku.
“Aku akan mengirimmu ke Desa North Snow sebagai ketua dan pengarah kegiatan pengajaran di sana. Kau akan pergi esok lusa.” Ayah berkata tanpa basa-basi di ujung meja sana.
“Tapi, Ayah. Saya baru saja pulang setelah sekian lama-”
“Jadi, maksudmu Kau tak ingin menerima tugas yang terhormat ini, Putri Keempat?” tanya ratu memotong perkataanku.
“Bukan begitu, Ratuku. Tentu tugas ini sangatlah terhormat dan tak ada siapapun yang enggan menerimanya. Tapi, saya membutuhkan waktu untuk beristirahat dan saya sangat merindukan rumah saya ini.” Jelasku dengan sedikit geram. Padahal aku ingin setidaknya bisa dekat dengan ayah.
“Maaf, Putriku. Tapi, kegiatan ini akan dilakukan setelah perbincangan panjang. Penduduk Desa North Snow pasti sudah menantikan ini sejak lama, sedangkan jarak ibu kota ke Desa North Snow cukup jauh,” terang ayah di tengah-tengah kecamuk pikiranku.
“Betul. Sebetulnya aku ingin menggantikanmu barang sementara. Tapi Kau tahu? Aku akan segera menikah dan calon suamiku selalu saja ingin bertemu denganku,” kata kakak keduaku dengan nada menyesal.
Aku diam sejenak. “Baik, akan saya laksanakan tugas terhormat darimu, Ayah. Dan, Kakak Kedua, selamat atas pernikahanmu yang akan datang, mungkin nanti aku tidak akan bisa hadir di pernikahanmu.” Aku mencoba tersenyum seperti biasa.
***
Sekarang aku sudah di dalam kereta kudaku, berjalan menuju Desa North Snow yang berada di dekat perbatasan kerajaan di bagian utara.
Kemarin, aku sama sekali tidak keluar dari kamar. Aku terus menerus membuka buku-buku kembali yang sudah kutulis tiga tahun terakhir. Meskipun seringkali aku kehilangan konsentrasiku dan berujung lupa apa yang sedang dan akan kulakukan.
Butuh hampir dua minggu untuk sampai di desa tempat asal ibuku itu.
“Putri Keempat, senang menyambutmu di desa asal yang mulia selir, Desa North Snow ini” kepala desa menyambutku dengan baik, bahkan ia sampai repot-repot menyuguhkan acara penyambutan.
“Perlu Kau ingat, Kepala Desa. Saya datang ke sini sebagai ketua pelaksana juga pengarah kegiatan pengajaran untuk penduduk Desa North Snow yang pantas menerimanya setelah sekian lama, bukan sebagai putri. Jadi, bisa kita langsung mulai?”
“Baik. Sebelumnya, biarkan saya antar ke tempat Anda tinggal sampai kegiatan pengajaran selanjutnya” Kepala Desa menengadahkan tangannya, mempersilakanku mengikutinya.
***
Ini sudah tiga bulan kegiatan pengajaran di Desa North Snow dan aku memiliki banyak sekali kenalan juga pengalaman. Tentunya tidak mudah, sangat, tapi kami belajar bersama dan mengajar bersama yang membuat semuanya menjadi lebih mudah. Orang-orang juga mengenal baik ibuku, membuatku kembali rindu dan merasa berada di rumah yang sebenarnya. Penduduk Desa North Snow semakin memperlihatkan peningkatan. Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang mudah belajar, tapi karena keterbatasan biaya dan wilayah yang terpencil, Desa North Snow tidak begitu dilirik oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Aku juga bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda itu sangat manis dan selalu menolongku dengan cekatan, bahkan banyak yang menggodaku, berkata bahwa pemuda itu jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Dan aku hanya menanggapi mereka seadanya.
Hari ini ada kabar baik. Raja mengirim surat berisikan tentang ia yang tertarik untuk berkunjung ke Desa North Snow karena peningkatan luar biasa yang dimiliki. Semua orang pun suka ria menyiapkan acara penyambutan sang raja, ratu, juga putra mahkota dengan hidangan khas Desa North Snow.
Dan malam ini, acara yang kami siapkan dengan penuh semangat dan harapan ini akhirnya berjalan.
“Sungguh sebuah kehormatan tanah ini dipijak olehmu, Yang Mulia Raja.” Kepala Desa membungkuk di sampingku. Aku ikut memberi salam.
“Saya sangat senang mendengar kabar bahwa Anda akan datang, Ayah,” kataku tersenyum lebar. Apakah ayah melirik usahaku?
“Ya. Kau bekerja keras, Putriku.” Senyumku semakin lebar ditambah binar mataku yang kuyakini sangat terang. “Kudengar, Kau sangatlah hebat sampai mencuri hati penduduk ibu kota. Namamu menggema di mana-mana.” Pipiku menghangat mendengarnya.
Makan malam dimulai dengan hangat dan khidmat di kediaman Kepala Desa. Sampai akhirnya aku mengangkat bicara atas apa yang kupikirkan selama sebulan terakhir.
“Ayah, saya ingin menyampaikan pendapat saya untuk kegiatan yang selama ini saya pimpin.” Kuletakkan dengan perlahan garpu dan pisauku.
“Apa itu, Putriku?” ayah ikut meletakkan garpu dan pisaunya.
Aku berdeham kecil dan menarik napas agar tidak terlalu bersemangat dan berakhir kacau. “Saya ingin mengusulkan supaya anak-anak Desa North Snow juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh beasiswa yang disediakan oleh lembaga pendidikan dari istana, yang putra mahkota pimpin” aku mengatakannya dengan lancar dan dengan percaya diri.
Tapi, semua orang terdiam mendengarnya. Entah hanya perasaanku atau apa, tapi tatapan mereka – terutama ayah, ratu, dan putra mahkota – terlihat tidak suka dengan usulanku.
***
Setelah percakapan makan malam tadi, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Entahlah, perasaanku tidak enak. Tadi, ayah hanya menjawab seadanya tanpa memberi kepastian, apalagi kakak pertamaku itu. Aku terus memikirkannya dan berakhir merasa buntu. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tempatku menginap.
Sampai aku tiba di suatu lorong. Aku mendengar suara-suara itu dengan jelas. Suara-suara yang memaki diriku, baik tentang pendapatku tadi, maupun posisiku yang hanya sebagai putri dari perempuan miskin dari desa yang miskin.
“Bakar saja desa kecil ini. Baik penduduknya, maupun perempuan rendahan itu!” seruan kakak pertamaku terdengar jelas membuatku hancur saat itu juga. Aku terdiam, masih tak percaya akan perintah yang putra mahkota serukan kepada prajurit-prajuritnya.
Aku segera tersadar dan lari menuruni tangga-tangga batu. Berlarian sambil berteriak agar semua orang bangun dan segera menyelamatkan diri. Tapi terlambat, aku mendengar suara ambruk dari rumah-rumah dan suara tangisan wanita juga anak-anak. Aku terlambat, semuanya menjadi abu dengan cepatnya. Aku terlambat, pemuda manis itu, tertimpa reruntuhan panti asuhan yang selama ini ia rawat dan mati di hadapanku dengan tatapan mata yang tak lagi memancarkan cahaya manisnya.
Aku terduduk. Dapat kurasakan pedang di punggungku yang semakin lama semakin menusuk. Dan sepersekian detik, darahku jatuh ke tanah membara malam itu.
“Makanya, sudah kukatakan, ‘kan? Jangan mencoba untuk mengambil hati ayah.” Kudengar suara kakak pertamaku itu. “Lagipula apa sih, bagusnya desa ini? Desa terpencil nan miskin ini? Yang indah bagi ayah hanyalah kenangan wanita itu. Tapi, sekarang tak akan kusisakan satu pun kenangan itu. Sudah cukup ibuku dikhianati, aku tak akan membiarkannya terus seperti itu” langkahnya semakin menjauh, dapat kulihat ia mengelap darahku yang menempel di pedangnya dengan kain yang memerah dan membuangnya ke kobaran api.
Aku merangkak, mendekati pemuda manis yang menempatkan bara hangat ke dalam hatiku. Aku bangun susah payah dan memangku kepalanya. Sekitarku sudah menjadi abu, tak ada lagi suara tangisan wanita dan anak-anak. Hanya tersisa suaraku yang berteriak sampai serak. Suara dari salju utara itu, tinggal menjadi gema di malam hari untuk para pengembara.
-BERSAMBUNG-