Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Suara Bising
0
Suka
1,167
Dibaca

Di kampung Babakan telah masuk waktu dzuhur dan segera suara azan berkumandang dari segala sisi. Suara tersebut bergemuruh menggetar kaca, bercampur aduk, tidak terdengar lagi lafal-lafalnya arab dengan jelas, dari suara yang cempreng, berlogat jawa, betawi hingga yang benar-benar bagus pelafalannya tidak lagi penting ketika suara speaker-speaker yang disetel pol itu telah menyatu menjadi suara yang membisingkan telinga yang asing dengannya. 

Demikian, ini adalah hal yang wajar bagi kuping warga Babakan mau apapun agamanya, yang barangkali merupakan contoh harmonis nan toleran antar warga, ataupula suatu adaptasi alami indra pendengaran mereka terhadap lingkungannya sehingga masih ada saja orang yang tidur nyenyak hingga melewatkan shalatnya.

Hal berbeda terjadi di Mushala At-Taqwa. Amplifier mushala kecil tersebut rusak, sudah digetok-getok oleh Ramli, si pengurus mushala, tetap tak bergeming. Tentu orang tetap berdatangan, dan mungkin hanya Ramli yang tahu amplifier mushala tersebut sesungguhnya rusak. Demikian, dia tetap merasa ada hal yang kurang jika dia tidak ikut memeriahkan riuh azan di tempatnya belum lagi malam ini ada acara haul akbar. 

Tak lama shalat segera berlangsung di mesjid tersebut. Tiba-tiba selagi imam masih melafalkan Al-Fatihah di rakaat pertama, muncul teriakan yang segera memecahkan suasana hening di mushala, “Maliiiingg!!!”, terlihat di antara ibu-ibu mukenaan yang telat ke mesjid, seorang pemuda berandal kesusahan menyimpan helm para jemaah shalat ke dalam tasnya yang kecil, dan paniklah sang berandal mendengar teriakan tersebut, insting-nya cukup terlatih untuk menggagalkan misinya dan segera melarikan diri.

Orang-orang shalat yang mendengarkan itu segera membubarkan diri meninggalkan shalat mereka, dengan cukup beringas dan bersemangat mengejar sang maling yang gagal membawa apa-apa.

Pengejaran itu terjadi cukup lama, namun berandal itu begitu cakap berlari dan hilang di antara gang-gang berpagar tinggi. 

“Kalo gw tangkep gw matiin tuh maling.” Ucap Tejo, kemudian di amini orang-orang yang turut mengejar si maling.

Kaki Tejo kini kotor karena tak sempat ia memakai sendalnya saat melakukan pengejaran, mengalir deras pula keringat dari dahinya bersama para pemuda lain yang turut mengejar. Tejo kembali ke mushala, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan shalatnya karena bajunya telah basah oleh keringat, dan sadarlah dia saat itu sendalnya telah hilang di bawah tangga batas suci mushala yang kini sepi dan hanya menyisakan sendal swallow hijau butut berlubang.

“Bangsaaaaaatt, sendal Eiger gw, bajinggaaaaan!!!” Teriak Tejo dalam hati, dan pulanglah dia berpasrah diri menggunakan sendal berlubang tersebut.

***

Di antara suara azan Dzuhur, Yadi muncul dengan baju kusut yang tak digantinya dari kemarin hari, dengan wajah lusuh ia bernapas lega akhirnya bisa pulang setelah bekerja semalaman penuh walau tanpa membawa uang sepeserpun. Di dalam rumahnya, ia melewati banyak televisi, speaker, dan ampli bekas yang tak laku walau sudah diperbaiki dan berfungsi dengan baik. Di depan meja terdapat tempe, sambel dan nasi yang segera Yadi habiskan dengan lahap. Semalam tadi ia belum makan sama sekali.

“Pulang-pulang langsung serobot makan.” Ucap Wati, istri Yadi sambil mengelus-ngelus perut hamilnya yang telah mendekati 3 bulan waktu kelahiran. “Uang makan ada pak?”

“Nanti yah Ti, malem bantu kabelan orkes belum cair duitnya,” Ucap Yadi, yang hidupnya melakukan segala kerjaan ketika barang-barang elektronik bekas yang diperbaikinya tidak laku, “Aku mau nagih uang Pak Saipul, ini Amplinya udah jadi. Nanti kukasih kamu semuanya.” 

“Jangan buat rokok yah,” Ucap Wati yang biasanya langsung muntah jika mencium bau asap tembakau, “Awas kalo kecium.”

“Iya, iya…” Ucap Yadi, kembali menghabisi tempe yang terasa begitu nikmat dengan kecap dan sambal. Setelah selesai ia berdiri, mengabaikan kopi hitam yang dibuatkan istrinya dan pergi membawa ampli.

“Aku berangkat dulu,” Yadi berkata demikian sambil mencium kening istrinya. 

“Hoekk!” 

“Yaaah Ti… ughh… hueekk…”

Telah basah baju Yadi oleh muntah, lagi bau itu membuat Yadi muntah juga karena baru saja ia makan. Baru ingat Yadi sebelum pulang ia merokok dulu barang kawan-kawan. “Pes, apes…” Ucap Yadi segera mengganti bajunya dan bau muntah itu belum hilang juga. 

***

Setelah mengganti baju, Yadi segera mengikat ampli tersebut di motor tanpa mandi terlebih dahulu dan pergi meninggalkan istrinya yang masih bete dengannya. Tak lama ia sadar dirinya belum shalat Dzuhur. Jika dia berkunjung ke rumah Pak Saipul bisa dibuat lama dia bertamu sampai lewat waktu shalat.

Di tengah jalan akhirnya Yadi memutuskan untuk shalat di mushala paling dekat. Terlihat mushala yang sudah sepi kegiatan, Mushala At-Taqwa, mushala yang cocok karena ia tidak ingin orang-orang menciumi baunya yang masih kurang sedap. Memparkir motor butut Vega-R 2003 miliknya, terlihat di halaman mushala banyak orang-orang berkeringat pulang sambil berkata-kata kotor, tapi Yadi tak hiraukan.

Ketika shalat, entah kenapa ia begitu susah mengabaikan pandangannya pada pengurus mesjid yang mengotak-ngatik ampli. 

Selesai shalat yang agak terganggu tadi, berdoalah Yadi saat itu.

Ia begitu merasa pusing oleh Istrinya yang kini tengah hamil, bagaimana beberapa bulan ini ia begitu kesusahan mencari uang. Bagaimana dia mampu membayai persalinan anaknya? Bagaimana cara ia menafkahi istri dan calon anaknya nanti dengan sumber penghasilan yang tak jelas ini? Dahulu selama membujang tak pernah terpikir hal-hal demikian, tapi kini tanggung jawabnya sudah begitu besar bukan hanya terhadap diri sendiri saja. Ia berdoa, begitu lama, dengan harap-harap agar rejekinya dilancarkan, istrinya mampu melahirkan dengan lancar, dan banyak hal lainnya sehingga rasa-rasanya doa itu tak ada henti-hentinya mengalir. 

Tanpa sadar mushala itu sudah kosong, dan entah kenapa pandang Yadi kembali ke ampli yang diotak-atik oleh pengurus mushala tadi. 

*** 

Teguh, salah satu pemuda yang ikut mengejar maling helm tadi masih merasa gusar. Di depan warung kopi ia terus mengumpat, dan orang-orang sekitarnya mewajari sikapnya. Teguh adalah supir ojek dan baru-baru ini motornya dimaling di dalam rumahnya sendiri yang terletak di kampung padat penduduk, menandakan bahwa maling hari-hari ini semakin berani dan menjadi-jadi. Laporan telah diberikan ke polisi, tapi bagai hilang kambing, melapor malah hilang sapi, mengurus kehilangan ternyata tidak semulus itu dan banyak uang yang harus dikeluarkan, itupun hasilnya nihil. 

Teguh kini menganggur dan ia selalu menyalahkan segalanya: para maling yang mengambil mata penghasilan satu-satunya, presiden terpilih yang kemarin membikin dia tidak akrab dengan mertuanya hingga susah meminjam uang untuk sehari-hari, dan ternyata benar saja tebakannya tentang rezim sang presiden, di mana sampai hari ini semakin sepi lapangan pekerjaan dan harga sembako terus saja naik sehingga wajar maling-maling itu bermunculan karena kemiskinan. Polisi semakin kelihatan korupnya yang baru bekerja jika beritanya viral atau ada uang pelicin, warga-warga juga tidak bisa saling menjaga satu sama lain karena kesibukan mereka masing-masing untuk bertahan hidup, masa tak ada satupun yang bisa cegah orang asing masuk ke rumahnya untuk maling? Padahal rumah mereka hanya sebatas berapa meter saja di antara gang sempit itu, pikir Teguh.

Obrolan-obrolan di dalam warkop itu selalu panas ketika Teguh muncul, dan selalu, topik yang ditunggunya adalah cerita kemalingan, dan pemuda pemuda kini semuanya tengah berkumpul di dalam warkop.

“Kalo dibiarin terus, kampung kita bakal kemalingan terus. Liat aja.”

“Mau diapain?” 

“Matiin. Kasih peringatan ke maling lainnya jangan main-main di kampung kita.”

“Kalo ditangkep mau lu?”

“Kalo yang kroyok puluhan orang, polisi mau tangkep satu-satu?”

Tiba-tiba muncul Tejo memasuki warkop, matanya terbuka lebar, wajahnya memerah dengan banyak luka juga tanah yang menempel, terlihat sendal bututnya yang diperolehnya dari sisa sendal di mesjid tadi, tali sendalnya telah lepas rusak.

“Ada maling!” 

Mendengar itu, terdapat perasaan bahagia dari diri Teguh, inilah saatnya gw kasih pelajaran, pikir Teguh.

Keluarlah orang-orang warkop dengan wajah marah. 

“Dimana malingnya Jo?!”

“Mushala!” 

“Anjing, mesjid lagi yang dimalingin. Iblis, setan bener tuh maling!!”

“Bawa motor, semuanya, pelakunya bawa motor buat kabur.” 

Ke arah mana?” 

“Pasar Muara Semut, orangnya bawa ampli mesjid diiket di jok, Pak Ramli juga lagi kejar.” 

Tak lama mereka semua sudah naik motor bergoncengan, masing-masing membawa pentungan dengan adrenalin dan napas yang berderu-deru. Tejo celingak-celinguk di antara pemuda mencari boncengan, tapi semua sudah cabut meninggalkannya. Tejo berlari, memutuskan melempar sendal bututnya itu, tak mau ketinggalan acara ngeroyokin maling. 

***

Pak Ramli baru kali ini mengebut dengan motor Astrea. Teriaknya dia, “MALIIING!! WOI BERHENTI WOII!!!”, tapi tak didengarnya oleh pria di depan yang malah menaikan kecepatan kendaraannya.

Beberapa waktu yang lalu Ramli memanggil tukang elektronik untuk membenarkan ampli, dan ketika ia memeriksa mushala yang sempat ditinggalnya itu sadarlah dia bahwa ampli rusak tersebut sudah hilang. Ia mencari-cari, tapi tapi tidak ada, hanya tercium waktu itu bau muntah yang samar, dan diikutinya bau tersebut dan terlihat olehnya terdapat pemotor dengan ampli terikat di motornya melaju meninggalkan mushala.

Ramli yakin benar melihat ampli tersebut adalah ampli mushala.

Teriaklah dia, Maliiing, maliiing dan Tejo sekeluarga yang tinggal di sebelah mushala segera muncul bertanya-tanya. Setelah Ramli menunjuk motor yang sudah jauh di pelupuk mata, segera Tejo menyuruh Ramli mengejar maling tersebut dengan motor astrea-nya selagi Tejo memanggil para pemuda desa untuk turut mengejar.

Sambil mencoba menyalakan motor butut tersebut, terlihat Tejo terjatuh selagi berlari, tali sendalnya ternyata putus, tapi Tejo yang begitu bersemangat telah kembali berdiri dan berlari lagi sampai hilang rupanya ke arah warkop. 

Ramli kemudian yang berhasil menyalakan motor Tejo segera mengebut mengejar, tak lama dilihatnya dari kejauhan pria yang membawa Ampli Mushala yang terlihat tidak terburu-buru karena berada di gang sempit kampung, dan saat itu segera Ramli berteriak ke arah pria tersebut: “WOOI MALING, BALIKIN!!”

Pria tersebut melihat ke arah Ramli, wajahnya pucat, dan tiba-tiba mengencangkan motornya. Warga sekitar yang melihat itu mencoba melemparkan barang-barang mereka, beberapa kali maling itu hampir oleng jatuh, tapi berhasil dia menyeimbangkan motornya. Orang-orang mulai berlarian mengejar, dan semakin pol gas dikencangkan maling tersebut hingga ia berhasil keluar dari komplek kampung yang masyarakatnya mulai kompak mengejarnya.

Aksi kejar-kejaran makin seru ketika para pemuda muncul dengan motor motor mereka yang memang cocok untuk kejar-kejaran.

“Di mana pelakunya Pak Ramli?!”

“Itu depan, motor Vega R yang ada ampli di belakangnya itu”

“Oke Pakk, kejaar semuaa!!!”

Motor Satria cepernya di gas pol, dan mereka tanpa helm dengan sikap badan menunduk mencoba untuk tidak menghalangi angin segera membalap Pak Ramli dan sekian motor lainnya hingga dekat dengan pelaku. Teguh tanpa ragu, dengan pentungan besinya, berhasil mementung kepala pria tersebut yang terpelanting jatuh jauh di antara aspal. 

Tanpa sadar mereka sudah berada di pasar, dan orang-orang mulai berkumpul memperhatikan ada ribut apa di sini. Pak Ramli masih berteriak: “Maliiing, maliing, ini maliing, jangan di lepas!” 

Motor-motor berhenti pada jarak yang cukup jauh, dan pria yang jatuh tersebut, yang terlihat kepalanya sudah bopeng mengucur darah seperti air mancur, masih terlihat memiliki tenaga untuk meninggalkan motornya. Awalnya orang-orang ketakutan melihat sosok yang kini tampangnya telah begitu mengerikan oleh luka-luka yang terlihat mematikan, masih bisa bergerak setengah berlari sempoyongan menjauh sampai salah satu pemuda berteriak:

“Kejaaar! Kejaar pelakunya jangan sampe lepas!”

***

Janji Yadi adalah tidak merokok ketika menikah dengan Wati. Wati bilang bapaknya meninggal karena kanker paru-paru, dan kanker adalah vonis mati bagi masyarakat ekonomi kalangan mereka. Ia tidak mau menjanda dan anaknya menjadi yatim, merasai kesusahan yang dialaminya semasa kecil, dan Yadi menjanjikan itu padanya.

Beberapa bulan kemudian setelah menikah ia langgar janji itu ketika dirinya dilanda stress oleh sepinya pekerjaan dan statusnya yang hanya lulusan SMP, lalu bertengkarlah mereka. Yadi kemudian berjanji lagi sembari membuka bisnis servis elektronik, lalu tak lama ia langgar lagi ketika sepi pelanggan dan barang bekas rusak yang dibelinya murah dan diperbaikinya itu tak kunjung laku. Selalu begitu siklusnya selama ini.

Kini Wati telah hamil, dan Yadi sekali lagi telah berjanji, sampai tadi malam ia langgar ketika uang ngurus kelistrikan di orkes yang ternyata tidak bisa langsung turun. Rokok seakan menenangkan syarafnya yang tegang, setiap asap yang memenuhi paru-parunya membuatnya mampu menghela napas menikmati hidup, hidup yang tidak pernah menyayanginya. 

Seakan ketika merokok, ditemani kopi hitam, segala kesusahan hidup rasanya hilang untuk sementara waktu.

Dan kini ia sangat ingin merokok. 

… 

“Maling, Anjing!!” 

Brakk!! Tangannya meliuk tak karuan dihantam pentung besi, dan teriak Yadi sejadi-jadinya di atas aspal. 

Sekumpulan manusia berkumpul menyaksikan seperti menonton acara pagelaran tanpa satupun berusaha menolong. Pada saat itu, ia tidak bisa lagi melarikan diri. Sudah memohon-mohon dia dengan kepalanya yang bopeng itu, tapi hanya dibalas dengan tendangan, pukulan, lemparan batu dan pentungan hingga ia tidak bisa lagi berkata-kata dan pandangnya telah buyar oleh darah yang memenuhi matanya. Ia telah menjadi tontonan dengan kamera-kamera yang menjepret dan merekam kekejaman ini. 

Selagi itu terdapat seseorang memegang batu bata, ia menaikan tinggi batu bata tersebut tapi tak dilempar-lemparnya juga karena ragu.

“Lempar! Lempar aja!!!”

Batu bata tersebut kemudian menghantam kepalanya, merobohkannya. 

***

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan!” Kutipan Al-Insyirah selalu dibisikan ke telinga Yadi oleh Ibunya ketika ia menangis karena tidak bisa melanjutkan ke SMA untuk membantu pekerjaan Bapaknya yang bekerja sebagai tukang servis televisi.

Kehidupan seakan tak pernah membaik setelah itu, Bapak meninggalkan mereka sehingga Yadi harus menghidupi sang ibu dengan 3 adiknya. Pekerjaan menjadi dua kali lipat, dan lagi dilantunkan Ibu, sesudah kesulitan itu ada kemudahan, ucapan tersebut terus diucapkan sampai liang lahat Ibu yang mengikut Bapak lima tahun kemudian.

Setiap harinya kehidupan semakin keras, semakin mahal harga sembako dan biaya pendidikan adik-adiknya. Jika Bapak tak ajari dia ilmu bongkar bongkar barang elektronik apakah dia bisa hidup dalam masa-masa sulit itu? Barangkali, dia akan jadi maling, bajing loncat, mencopet, dan merampok seperti kawan kawannya yang lain yang juga tidak pernah punya kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Belum lagi, lama-kelamaan ilmu memperbaiki barang elektronik ini ternyata tidak cukup untuk menghidupi hidup. Yadi karenanya harus hidup menjadi kuli, buruh pabrik, membantu manen padi, harus hidup menjadi apa saja. Secapek apapun, selelah-lelahnya, sehancur-hancurnya, kehidupan tak pernah lebih sejahtera dari kemarin, seakan hidupnya sehari hanya untuk mampu bertahan hidup untuk keesokan harinya, dan tak lama ia mulai lupa cara bersyukur.

Kini adik-adik Yadi sudah mulai dewasa, yang satu menikah, yang satu menjadi pembantu di Jakarta, dan yang satu menjadi TKI.

Yadi setelah itu pergi meninggalkan kampung halamannya, berharap kehidupan yang lebih baik dekat dengan ibukota. Awal menjadi buruh pabrik, hingga membuka tempat reparasi elektronik di rumah sewaan. Lalu menikahi gadis kampung yang ia senangi ketika mengutang nasi uduk di depan pabrik tempatnya menjadi kuli dulu.

Benar kata ibunya, kehidupan ternyata bisa menjadi lebih baik, walau waktunya lama sekali.

Tapi nyatanya memang, kemujuran memang ada batasnya.

Hidup tak sesederhana pikiran, hal yang dahulu dipikir cukup ternyata sama sekali jauh dari kata cukup, hutang semakin mudah didapat tapi ternyata membengkaknya bukan main, ah aku kan hanya lulusan SMP pikir Yadi, gampang ditipu-tipu. Lalu ia harus hidup lebih keras lagi, lebih keras lagi, dengan harap kemujuran akan muncul lagi, seperti berharap mungkin suatu saat togelnya akan mujur.

Dalam renung pikirnya tapi kadang terlintas, apakah anaknya akan senasib dengan dirinya, apakah dia akan merasakan susahnya kehidupan seperti ibunya Wati jika saja dirinya pergi mencari penghidupan dan ternyata tidak kembali hidup-hidup?

Ketakutan ini selalu muncul ketika ia bangun dari tidurnya.

Lalu ketakutan itu semakin demikian nyata ketika ia bangun dari atas aspal, bersimbah darah. 

*** 

Ia bangkit lagi, entah kekuatan dari mana, darah telah mengalir dari hidungnya. Rasa sakit meluap-luap. Kencing tumpah memenuhi celananya. Pikiran dan tubuhnya kompak berteriak, ia masih ingin hidup!

Tejo datang dengan keringat memenuhi keningnya setelah berlari sekian lama menuju pasar. Segera ia masuk di antara kerumunan, dan dengan kaki hitamnya yang kotor berhasil menendang ke arah Yadi. Betapa senangnya Tejo saat itu, namun tiba-tiba tangan Yadi meraih kaki kotor Tejo.

“Tolong, saya punya anak, istri… mohon ampun… Saya bukan maling… Anak saya sebentar lagi mau lahir, tolong jangan yatimkan anak saya…”

Yadi tidak ingin melarikan diri lagi. Ia tahu hal itu akan sia-sia di mata orang orang yang semuanya sudah dirasuki setan.

Yadi hanya ingin percaya, bahwa pria yang menendangnya, yang kini ia peluk kakinya, adalah manusia juga, yang sehari-hari mengutuk berita pembunuhan di koran poskota yang dibacanya tiap pagi. Ibu-ibu yang merekam dengan handphonenya bisa melihat bahwa orang di hadapannya, yang kini bersimbahkan darah, adalah anaknya atau saudaranya. Bahwa pria berkacamata dengan baju safari yang menjatuhkan batu bata di kepalanya, adalah seorang guru yang selalu ramah tamah pada anak-anak dan tak pernah sekalipun melukai orang seumur hidupnya. Mereka semua adalah orang biasa yang tidak haus akan darah. Mereka semua adalah orang baik yang tidak pernah sekalipun berpikir bahwa suatu hari mereka akan benar-benar mencabut nyawa manusia. 

“Anjing! Lepasin babi!!!”

Tejo tendang kepala Yadi dua kali, tapi tak bergeming Yadi dibuatnya. 

Tangis Yadi membuat orang-orang semakin merasa kasihan, dan lama lama tendang pukul dan lempar batu itu makin sepi juga, bahkan Tejo yang dari tadi berupaya melepaskan diri dengan memukuli Yadi-pun berhenti melakukannya karena rasa iba. 

Tapi Teguh tidak senang dengan suasana itu.

Ia memiliki suatu ide, dan ide tersebut sungguh brilian di kepalanya hingga rasa-rasanya ia ingin membohongi dirinya sendiri bahwa dirinya telah dirasuki oleh setan.

***

“Guh, jangan guh!!”

“Minggir kalian semua, minggir!!”

Bau bensin tercium dan orang-orang mulai melarikan diri ketakutan, beberapa berteriak menyuruh Teguh berhenti, tapi tidak dihiraukan.

“Ampun… ampun…” Ucap Yadi, ia sudah begitu lemas hingga tak mampu lagi memeluk kaki Tejo, wajahnya sudah mulai pucat kehilangan darah.

“Astagfirullah…” Pak Ramli berdoa dari kejauhan sembari memangku Ampli mushala yang baru dilepasnya dari motor Yadi.

Tak lama suara bising Azan Ashar memenuhi pasar, membuat sadar beberapa bahwa ternyata sudah cukup lama pengeroyokan ini terjadi. Suara azan tersebut begitu bising hingga suara-suara warga yang berteriak menghentikan Teguh kalah.

Teguh sendiri sudah tak mampu mendengar suara azan, teriakan manusia, juga hati nuraninya, seperti ketika ia bisa tidur nyenyak di antara bising azan pada subuh hari. Barangkali iblis, setan atau jin benar-benar telah merasuki tubuhnya, menutupi kedua telinganya.

Tak lama telah tumpah ruah bensin di badan Yadi, dan semua orang menjauhi Yadi. 

Yadi sudah pasrah saat itu, ia hanya berdoa bahwa segala rasa sakit ini hilang dengan cepat. 

Bahwa semuanya berlalu dengan cepat.

Bahwa ia terbangun, dan semua ini hanya mimpi buruk belaka. 

Ia pulang kecapaian semalam belum tidur, matanya terlalu berat untuk melanjutkan makan tempe dan roboh tepat di sofa ruang tamu.

Ia bangun oleh sentuh tangan Wati yang lembut di pundaknya. Ia bangun, meminum kopi yang diletakan Wati, yang ia ingat tidak diminumnya tadi di dalam mimpinya.

Ia merasakan keheningan, suara azan samar-samar memasuki telinganya, sudah Ashar. Yadi wudhu, shalat, berdoa dengan khusyuk bahwa segalanya akan baik-baik saja, untuk Wati dan anaknya, agar ia terlahir dalam dunia yang baik, dikelilingi orang baik, di mana dia tidak harus hidup sesusah payah dirinya… 

… 

Api tak lama telah berkobar di badan Yadi, dan terlihat pada dirinya seperti pentul korek yang api berkobar-kobar di atas kepalanya.

Tubuh yang penuh gelora hidup itu, yang sehari-hari telah berupaya sepenuhnya untuk hidup dan menghidupi keluarganya, menunjukan daya akhir hidupnya, dia berdiri dan berjalan walau diselimuti oleh bara api. Orang-orang menghindar, bahkan Teguh-pun dibuat tertegun sadar dan kini dipenuhi ketakutan yang teramat. Lalu tubuh yang bergerak itu terperosok dalam got kotor, seketika memadamkan api tersebut dalam air yang bercampur limbah-limbah kotor pasar.

Hari itu semerbak bau memenuhi pasar, bau daging terbakar yang membuat orang-orang muntah dibuatnya. 

***  

Kesedihan pecah di rumah Yadi, dan telah terjadi kemalangan oleh Wati yang keguguran setelah mendapati kabar yang menimpa Yadi di halaman rumahnya.

Beberapa jam kemudian, dirinya dihadapkan badan Yadi yang telah menjadi seperti arang yang tak mampu dikenali lagi rupanya. Warga sekitarpun tak percaya dengan penjelasan orang-orang mengenai penyebab kematian Yadi, bahkan hampir-hampir saja pecah tawuran antar warga karena ini.  

Tak lama awak media mulai meliput kejadian ini setelah dikuburkannya Yadi. 

Wati dalam rupa yang masih pucat lemas mengatakan pada media yang meliput, “Yadi tidak mungkin maling. Lagian jika iya, kenapa juga perlu dibakar seperti ini suami saya? Kenapa tak diserahkan ke kepolisian saja? Suami saya manusia, bukan hewan…” 

Berita ini demikian viral, video-video yang tersebar di mana puluhan orang mengeksekusi mati Yadi, dan polisi menetapkan dua tersangka dari video sebagai barang bukti. Salah satunya Teguh, dan entah pasal apa yang mengenainya. Ketika ditanya, dia hanya bilang bahwa ia kerasukan setan hari itu, tanpa rasa penyesalan terlihat di wajahnya. 

“Memang berapa harga Ampli?”

“300 ribu.”

“Bah, orang mati karena begituan.” Ucap salah satu warga yang mendatangi persiapan haul akbar di mushala yang sempat tertunda.

Ketika itu Ramli telah kembali dari kepolisian mengambil barang bukti berupa ampli yang dibawa Yadi. Teringat-ingat di kepalanya tadi, Ramli lihat istri Yadi yang wajahnya masih pucat, marah-marah di depan polisi karena motor suaminya tidak bisa dikembalikan karena uang tebusannya kurang padahal sebelumnya warga sekampung juga sudah patungan uang untuk mengeluarkan mayat Yadi di rumah sakit polisi Kramat Jati, Ramli yang kasihan dan merasa bersalah akhirnya diam-diam membayar uang tebusan tersebut ke polisi. 

Ramli sesungguhnya sedikit menyesal. Jika saja Ramli tidak berteriak, jika saja ia merelakan semua ini, tak perlu segala petaka ini terjadi pikirnya. Tapi betul benar bahwa beberapa hari ini tak ada kemalingan lagi terdengar di kampung. Obrolan warung kopi dengan bangga mengatakan tindakan mereka benar efektif mengusir para maling tersebut dari kampung, dan dalam bisik-bisik, Teguh, sudah dijadikan pahlawan kampung oleh para pemuda. Sedangkan malang nasib Tejo, video dia menendang Yadi begitu jelas memperlihatkan tampangnya dan dia juga turut diseret ke penjara bersama Teguh. Tadi ketika warga berkunjung ke penjara, menangis sejadi jadinya Tejo, dia bilang baru menendang tiga kali karena telat, tapi tak dihiraukan polisi.

Sekarang Ramli sedang berdiri di hadapan ampli bersama tukang yang dipanggil untuk memperbaiki dan sekalian memasangnya, dan tiba-tiba terdengar suara kencang dari sound sistem mesjid, dan tukang itu bilang ke Ramli dengan wajah heran:

“Katanya rusak pak amplinya? Ini gak rusak kok pak?” 

Mendengar itu kaki pak Ramli seketika lemas. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Titik Balik
Rinaha Ardelia (Seorin Lee)
Novel
Gold
Super Bunda
Mizan Publishing
Novel
Sulur Luka
FA NELA
Cerpen
Suara Bising
Liopolt09
Novel
Bronze
Warna-Warna Mirna
Dimarifa Dy
Flash
Perfect Blue
Pamella Paramitha
Novel
Bronze
Buku Harian Alana
Nur Chayati
Novel
Alexa & Angkasa
trinihutapeaa
Novel
Permaisuri Mati suri
Sarjana Goblok
Novel
Bronze
Akar Masalah
yurisa
Novel
Cinta Phoenix
Galexia_xia
Novel
Bronze
love Mosquito
Herman Sim
Novel
Gold
R [Raja, Ratu & Rahasia)
Coconut Books
Novel
Bronze
Akhi-akhi Kosan Sebelah
Meilia Ningrum
Novel
I Will Always...
Wildan Ravi
Rekomendasi
Cerpen
Suara Bising
Liopolt09
Cerpen
Sarang Peluru
Liopolt09