Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernahkah kau pergi? Pernahkah kau berada di sepinya malam? Pernahkah kau melihat kerumunan kota yang berlalu-lalang dan berpapasan dengan asingnya wajah dan gelagat satu orang yang entah mengapa menarik perhatianmu? Namun kamu terlalu tinggi dalam memasang standar untuk dirinya dan terlalu rendah dalam memasang standar untuk dirimu, sehingga apa yang kamu cita-citakan hanyalah sebuah mimpi kecil yang melintas di kepala sehingga kamu memilih menyerah.
Dan perasaan itu jatuh,
dan ia jatuh...
dan jatuh...
dan ia mendarat di hati. Cukup keras,
Hingga ia berteduh di sana. Ia tidak keluar dari dadamu yang membuatmu semakin sesak. Kamu hanya bisa berharap tanpa mencoba. Sampai-sampai kata 'sudahlah' menjadi alasan untuk menyerah dan 'aneh' serta 'takut' bergantian mencaci diri karena kau melepasnya begitu saja. Pernahkah?
Pernahkah kita bertanya-tanya tentang siapa yang seharusnya kita cintai? Apakah mereka salah satu dari mereka?
Pernahkah kamu?
Iya, cerita ini cukup sederhana untuk mewakikan perasaan itu.
Cerita saat aku berada di Ibukota Periangan, di kala kakiku menjajak halte bis di kawasan Asia-Afrika. Hari itu, hujan turun tanpa bilang-bilang. Ia menerobos masuk ke bumi dan menggeratak isinya hingga basah semuanya. Hujan hari itu deras dan seolah saling menyerobot untuk terjun.
Aku meniup napasku yang berwujudkan kabut. Kabut itu menggumpal dan hilang ditelan udara tipis. Selelah-lelahnya kabut itu menggantung di udara, demikian juga penatnya kakiku melangkah di aspal berdebu dan keras ini.
"Aku ingin hari ini berakhir. Aku ingin pulang, mandi, makan, dan tidur-tiduran." Keluhku sebal.
Tidak jauh dari sana, aku melihat sesosok manusia tinggi namun kecil. Seketika itu juga, aku tak bisa berpaling dari wajahnya. Wajahnya menyiratkan pola yang entah mengapa menggetarkan hati. Padahal jika dibilang tampan, ia biasa saja. Namun wajahnya itu, apa ya? Menarik?
Ia baru turun dari bus. Sepertinya ia sama sepertiku. Bernasib sial karena harus berteduh di sini sebelum transit ke bus berikutnya. Ia memilih untuk menutupi laptop yang ia peluk di dadanya dengan punggungnya yang kecil itu dari hujan yang jatuh. Dengan terburu-buru, ia datang seperti anjing kecil yang menghampiri rumah. Ia buru-buru berteduh di bawah halte. Halte ini, menggantung kita berdua. Sepasang orang asing yang terjebak hujan.
Ia ternyata membawa jaket. Jaket itu ia letakkan di bawah lampu halte. Mungkin supaya cepat kering. Aku bisa melihat bahwa jaket tersebut tidak terlalu basah.
Ketika ia hendak duduk, ia agak kaget melihatku. Mungkin ia tidak sadar ada seorang gadis sendirian yang juga sedang menanti bus di sini. Kami berdua berdiam diri dalam kecanggungan. Ia hanya diam sambil sesekali menatapku. Aku tidak memerhatikan, namun ia melihatku terus seakan aku adalah aksi sirkus atau semacamnya. Kami memilih diam, seperti orang kebanyakan. Namun rasa sepi pun tidak kuat bertahan lama-lama. Kita semua memang adalah makhluk yang banyak bicara. Manusia bukanlah makhluk sosial. Tapi juga makhluk anti-sunyi.
Entah kenapa dari semua orang di dunia, harus dia. Entah kenapa dari semua waktu yang ada, harus hujan. Entah kenapa,
Rasa-rasanya pertanyaan 'kenapa' tidak bisa mendapatkan alasannya lagi saat ia menyapaku.
"Hujannya deras ya?" Sebersit tanya untuk membunuh kesepian.
Aku menengok. Sedikit terkejut dengan ucapan itu. Ia tidak hanya membunuh sepi dengan pertanyaan itu.
"Ummm... Hehe." Aku hanya mengangguk sekali.
Ia balas juga dengan tersenyum.
"Kamu pulang ke arah mana?" Sekali lagi ia bertanya.
Orang ini, penuh rasa penasaran ya.
"Aku, ehhh ke Cihampelas. Lagi nunggu bus. Kamu?" Tanyaku balik, sambil berharap percakapan ini cepat berakhir setelah ia jawab pertanyaanku.
"Aku ke arah PVJ. Sama, lagi nunggu bus juga." Katanya.
Padahal aku tidak tanya ia sedang menunggu bus atau tidak. Tapi aku hargai inisiatifnya. Ya, kami perempuan menilai seseorang dari hal kecil. Aku mulai menikmati percakapan yang sederhana ini.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu gak? Jurusan bus yang ke arah Cihampelas, barusan aja udah jalan loh."
"Hah? Apa?" Aku nyaris jantungan.
"I-iya. Aku baru turun dari busnya." Katanya polos.
Kepalaku langsung pening.
"Ah bener juga ya...? Astaga..."
"Kamu harus nunggu satu putaran lagi berarti, sampai busnya ke sini lagi." Katanya.
Kenapa bisa-bisanya aku malah melewatkan bus tersebut?! Aku mengutuk diri sendiri. Mungkin karena aku salah fokus saat melihatnya.
Tiba-tiba, datang bus yang pria ini tunggu-tunggu.
Kenek bus memanggil-manggil. Namun ia tetap tidak bergeming.
Haruskah kuberitahu dia? Mungkin dia lupa. Tapi aku tidak mau dia pergi. Jangan sekarang, tunggu sampai aku naik bus dulu baru kau boleh pergi! Tanggung jawab, karena telah membuatku melewatkan bus milikku....!
Tapi yang terucap malah,
"Kamu gak naik yang ini?" Kataku tidak ikhlas.
Ia tidak menjawab. Menggaruk-garuk kepala dan berdehem sebelum menjawab.
"Ehem. Enggak. Nanti aja. Aku, hmmm.... masih basah kuyup. Takutnya bangkunya basah juga, kasian keneknya." Katanya sambil mengelap-lap laptopnya.
Jawaban yang aneh. Tapi masa bodolah, ia tidak pergi yang penting.
"Oh begitu, syukur deh." Ucapku.
"Syukur? Hehehe." Ia membenarkan.
"Ah.. Maksudnya eh..."
Sial, aku malu setengah mampus. Kenapa kata-kata tidak tahu malu itu bisa-bisanya keluar dari lobang terbesar di wajahku? Aku mau lenyap!
"Kamu mau kopi?" Aku menawarkannya kopi pada akhirnya untuk pengalihan isu.
Dari situ, pembicaraan kami bergerak kemana-mana. Ia bertanya tentang kegiatanku, pekerjaan, bahkan hingga ke almamater kuliah.
"Kamu anak Unpad? Wahh, sama dong. Lulus tahun berapa?"
"2017. Kamu?"
"Lah sama! Jurusan?"
"Aku jurusan HI. Kamu?"
"Oh aku sipil. Pantas kita gak ketemu."
"Iya ya? Hehehe."
Sudah pukul 10 malam. Kami nyaris setengah jam berada di sini. Antara menanti hujan berhenti, atau bus datang.
Atau lebih ke menebak-nebak kapan percakapan ini berakhir. Aku tidak mau ini berakhir. Aku tidak tahu dengannya. Mungkin ia sebenarnya tidak mau ngobrol juga denganku. Namun tidak punya pilihan karena aku adalah satu-satunya orang di muka bumi yang duduk di halte ini bersamanya.
"Sebentar ya."
Ia bangun dan menginjak bangku tempatnya duduk. Ia menggapai jaket yang tadi ia hangatkan itu. Entah ada efeknya atau tidak.
"Kamu, pakai ini ya." Katanya sambil memberikan jaket berwarna hitam itu kepadaku.
"Hah? Enggak, gak papa kok. Aku gak kedinginan."
Kok dia sok romantis? Apalagi ini?!
"Udah pakai aja. Perjalanan kamu masih lumayan jauh juga kalau nanti naik bus. Kamu gak perlu kembaliin ini kok. Anggap aja permintaan terimakasih buat kopi yang tadi. Hehehe." Katanya memaksa.
"Tapi, serius. Aku gak papa. Gak dingin kok." Aku memang tahan dingin orangnya.
"Iya, mungkin gak terlalu pengaruh untuk menghangatkan suhu badan kamu, tapi..."
Ia berhenti sejenak sambil mencuri tatap ke arahku. Ia seolah menghindari melihatku langsung sejak tadi.
"Ini buat hal hmm.... yang lain." Katanya.
Saat yang bersamaan, sebuah mobil bak sedang membawa kaca berhenti sejenak di depanku persis.
Aku melihat ke refleksi dari kaca itu.
"Astaga!"
Cepat-cepat kuambil jaket tersebut.
Kumasukkan badanku ke dalam jaket hitam itu. Mau tahu apa yang kulihat di kaca?
Aku nyaris telanjang! Kemeja putih binal ini memang kena hujan tadi sampai basah. Namun aku sama sekali tidak sadar kalau ia akan berubah jadi transparan dan mengekspos tubuhku sebegininya. Hanya pakaian dalamku saja yang menutupi tubuhku. Itu juga warna pink muda.
Aku malu setengah mati. Aku semakin mau lenyap. Haduh....!
"Um.... Oke, ku-pinjam dulu... ya... Heheh.. Kamu daritadi kok diam saja?" Tanyaku meminta kejelasan dengan raut wajah sedikit kesal.
"Hmmmm..... Aku... baru sadar sekarang." Katanya sambil melirik ke atas.
Dasar pembohong, aku mengutuk dalam hati.
Hening.
Aku mau pulang! Aku tidak bisa menahan malu lebih lama lagi.
Setelah itu ada serentetan orang naik sepeda lewat halte kami. Mereka kelihatan lelah dan mulai mendorong sepedanya masing-masing.
"Ummmm.... Jaketnya terbalik deh kayaknya."
Aduh!!!
Betul saja kata orang ini. Apakah dia bisa diam saja?!
Jaket yang kukenakan terbalik. Bagian kupluk yang seharusnya ada di belakang malah menggantung di leherku. Aku seperti orang bodoh.
"Ah bener. A... Aku betulin dulu sebentar."
"Tunggu! Gini aja dulu!" Orang-orang yang lewat sambil membawa sepeda, kaget karena dia nyaris berteriak.
"Ah, sorry ya. Aku gak bermaksud ngagetin. Tapi lebih baik gak usah dibuka dulu. Na-nanti aja ya."
"Ah oke. Bener juga hehehe."
Tahu-tahu saja ada sepeda MTB yang jatuh dan merosot menuruni tanjakan. Bel sepeda itu bunyi terus-terusan seiring ia jatuh.
"Awas! Awas!" Si pemilik sepeda gemuk tersebut mengejar sepedanya.
Akhirnya satu rombongan itu kembali balik badan dan mengejar sepeda tanpa pengendara tersebut. Entah mengapa, sepeda itu bisa seimbang. Benda itu melintasi halte kami kembali.
"Hekp! Bwahahahahaha!"
"Hehehehe! Aahahahaha kok bisa begitu ya?!"
Kami pecah dalam tawa. Beberapa orang yang membawa sepeda juga ikut tertawa. Sebagian lain memilih panik juga.
Tapi aku tahu bahwa itu adalah hal yang sungguh lucu untuk ditertawakan.
"Jangan-jangan sepedanya juga capek dinaikin yang punya!" Katanya.
"Bwahahahahaha! Aduh perutku! Hahahahaha." Aku terbahak-bahak menyaksikan hal barusan.
Rombongan yang di belakang untungnya bisa menangkap sepeda hantu tersebut. Akhirnya mereka berjalan beriringan dan mendahului kami.
Kami dibiarkan sendirian kembali. Semua lebih tenang dan sepi. Seperti sebelumnya, ketika kami hanya berdua. Hujan sudah daritadi reda. Tapi bus kami belum kunjung tiba.
Hening lagi.
Aku dan dia tidak ada yang membuka pembicaraan apa pun lagi. Hanya menikmati momen ini. Tidak seperti sebelumnya, aku tidak merasa bersalah karena mendiamkannya. Aku cukup mengenalnya untuk bilang bahwa hal ini tidak apa-apa baginya.
Dari kejauhan, aku melihat bus kota. Bus tujuan Cihampelas. Bus yang kutunggu, akan sampai. Degup jantungku berdegup cepat.
Ketika bus akhirnya sampai, aku malah tidak ingin beranjak dari sini.
Dengan sekali tepian, bus berlabuh di dekat halte kami. Pintu terbuka.
"Busnya sampai."
"Iya, akhirnya ya." kataku lirih.
Kenek mulai memanggil.
Aku melihatnya untuk yang terakhir kalinya.
"Simpen aja jaketnya." Katanya sebagai salam perpisahan.
Aku tidak rela meninggalkannya. Tapi aku harus pulang.
"Oke. Thank you ya." Kataku sebelum kami benar-benar berpisah.
"Hati-hati di jalan!" Kataku kembali.
Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Aku masuk ke dalam bus. Kembali melanjutkan rutinitas hidup, yang seharusnya satu jam yang lalu sudah selesai kulakukan.
Satu jam itu, membuatku kabur dari realita untuk sejenak. Sungguh menyegarkan bisa menghabiskan waktu dengannya. Aku masih ingin bertemu dengannya.
Aku duduk di kursi penumpang. Bus ini hangat, tapi serasa jauh lebih dingin ketimbang halte tadi. Kursinya dari busa, namun entah kenapa lebih nyaman kursi halte keras yang kududuki tadi. Mungkin ini semua hanyalah kisah biasa. Mungkin pertemuanku dengannya hanya akan sampai di sini dan menjadi kenangan. Setidaknya aku membawa jaketnya.
Kucium wangi dari kupluk jaketnya.
Rasanya tenang sekali. Ada aroma yang biasanya melekat pada orang yang suka bepergian, wangi parfum samar-samar, dan bau hujan. Aku langsung menyukai jaketnya.
"Astaga! Sial!" Aku mengumpat hingga orang di depanku dengar. Mereka jelas kaget. Aku tersenyum canggung sambil meminta maaf.
Aku baru ingat. Aku belum tahu namanya! Kami bahkan belum berkenalan!
"Siapa namanya ya?"
Hujan turun lagi. Sederas yang tadi jatuh menimpa halte kami.
"Kasihan sekali dia."
Apakah dia akan baik saja? Dia bisa saja sakit sampai rumah? Apakah aku akan membiarkannya? Ia sangat baik. Ia baru mengenali tapi memberi perhatian yang tidak akan kudapatkan dari orang asing mana pun. Aku merasa bahwa, kami telah mengenal satu sama lain lebih dalam. Aku ingin bersamanya lagi. Aku ingin berada di halte itu lagi!
Aku berpikir cepat.
Aku tidak mau kehilangan kontak dengan orang ini begitu saja. Aku ingin menjadi temannya suatu saat nanti. Dia terlalu sayang untuk dibiarkan saja di halte bus. Aku merogoh sakunya. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Mungkin saja ada tanda pengenal. Namun tidak ada. Hujan semakin deras. Petir mulai menyambar dan angin kencang mulai melanda Bandung.
Aku ingin membantunya.
Akhirnya aku memutuskan. Kukumpulkan semua keberanianku untuk menghabiskan sisa-sisa uangku di ponsel pintarku. Kubuka ponselku. Baterainya sisa 5%.
Aku buka aplikasi taksi online. Kupasang area titik penjemputan di halte yang tadi. Tujuannya?
Tujuan ke PVJ.
Kuberikan catatan di bawahnya.
Tolong antar orang ini sampai rumah. Nanti akan saya transfer kembali jika uangnya kurang.
Langsung kupesan. Tanpa pikir panjang lagi. Padahal aku naik bus supaya ongkosku jauh lebih hemat. Tapi tidak apa-apalah.
Kutunggu hingga si sopir sampai di tempat penjemputan. Waktu berjalan lama. Apakah dia masih di sana?
Bateraiku tinggal 4%. Tolonglah. Jangan sampai bateraiku keburu habis. Si sopir sampai di titik penjemputan. Buru-buru kutelpon.
Kujelaskan bahwa ia seharusnya mengangkut satu penumpang pria di sana. Si sopir menggeleng.
"Enggak ada siapa-siapa bu." Katanya.
"Yah, serius pak?" Tanyaku lirih.
"Iya bu."
Aku pasrah. Yasudahlah, batinku. Mungkin memang aku dan dia hanya sampai di sini. Kami tidak harus mengenal lebih jauh lagi dari ini. Seorang yang belum kutahu namanya, yang jaketnya memeluk tubuhku hari ini. Seseorang yang akan selalu ada dalam ingatanku, ketika hujan. Ketika sendirian. Atau ketika aku berada di halte bus. Itu sudah cukup. Mengingatnya sudah cukup untukku.
Aku menyiapkan diri untuk menerima kenyataan ini. Bahwa dia dan aku sudah berangsur menjauh.
Bateraiku merosot hingga 2% karena melakukan panggilan itu.
"Yaudah deh pak. Dicancel a-"
"Nah, itu ada sih bu. Orangnya bawa laptop ya?" Kata si sopir.
Langsung mataku berbinar-binar.
"Iya! Dia pakai kaos warna biru!"
"Oh iya betul bu, nanti akan sa-"
Tut...
"Halo? Halo pak?"
Baterai ponselku habis. Ia tidak bisa menyala sama sekali. Aku bengong sendiri menatap kursi bus di depanku.
Apakah dia berhasil naik? Atau tidak?
Apakah aku bisa bertemu dengannya lagi? Atau sebenarnya kita seharusnya terus menjadi orang asing yang tidak pernah kenal sama sekali.
Aku tidak tahu lagi. Aku hanya bisa menunggu dan berharap bahwa si sopir akan berinisiatif sendiri. Aku juga sudah merencanakan jika memang harus membayar ongkos yang lebih mahal, aku akan langsung mentransfernya sesampainya aku di rumah.
Sepanjang jalan, aku mengingat-ingat tentang apa yang ia katakan kepadaku. Tidak ada hal yang benar-benar penting. Tapi jika disatukan seluruh percakapan itu, semuanya membekas dalam benakku. Aku membayangkan jika ia bisa naik taksi online yang kupesan. Di tengah lebatnya hujan, ia berpikir tentang diriku yang mentraktirnya ongkos pulang. Dia seharusnya bersyukur! Mana ada gadis sepertiku, yang baru kenal sudah berani begini.
Aku tertidur lelap di kursi bus. Sambil membayangkan dirinya naik mobil yang nyaman tersebut.
BRAK!
Aku terbangun dari mimpiku. Penglihatan terakhir yang kulihat, ia malah terlibat kecelakaan karena naik taksi yang kupesankan. Apakah dia baik-baik saja? Aku benar-benar khawatir setelah bangun.
Bus yang kutumpangi sudah sampai di halte tujuanku. Aku turun dan melanjutkan perjalanan ke rumah dengan jalan kaki.
Aku buru-buru berjalan dengan kecepatan yang berbeda dari biasanya. Rumahku sepi, seperti biasa. Damai, hening, dingin, dan angker. Tapi tidak mengapa, ini sudah biasa.
Cepat-cepat aku mengeluarkan charger ponselku. Kusambung kabelnya ke ujung ponsel.
Kutunggu hingga ponselku siap beroperasi. Namun setelah kutunggu hingga bermenit-menit, sinyalnya tetap tidak berubah dari SOS. Sebenarnya ada apa sih ini? Aku tidak bisa apa-apa. Mungkin karena cuaca buruk membuat perangkat keras seperti tower jaringan dan sebagainya menjadi rusak. Aku tidak bisa menghubungi siapa pun, setidaknya sampai sinyalnya kembali. Aku tidak suka hal ini.
Hari itu cepat berlalu. Karena sudah terlalu lelah, aku membersihkan diri dan langsung tertidur. Aku hanya membayangkan perjalanan si cowok itu baik-baik saja. Atau setidaknya ia sampai di rumah dengan selamat. Aku keluarkan jaket yang ia berikan padaku. Aku menggantungnya di dekat jendela agar benda itu tidak lembab. "Mudah-mudahan dia baik-baik aja." Kataku sambil memandang ke arah jaket tersebut.
Pagi-pagi betul, aku sudah bangun seperti biasa. Buru-buru kulihat ponselku. Jaringannya sudah bisa. Tampilan ikon 4G di atas layar ponselku membuatku bahagia sekali. Cepat-cepat kuperiksa aplikasi taksi online semalam. Tidak ada pesan sama sekali dari si sopir. Selain itu juga tidak terdaftar dalam riwayat pemesanan. Tidak ada alamat akhirnya. Hanya terdapat alamat awalnya saja. Yang kutahu dari aplikasi, ia bahkan tidak naik taksi yang kupesan itu.
Aku menghela napas kecewa. Sayang sekali, sopir yang kupesan semalam kurang inisiatif. Tapi salah juga jika aku kecewa karena menggantungkan harapan pada seorang sopir taksi yang aku tidak pernah temui sebelumnya. Aku mencoba menelepon sopir tersebut.
Satu nada sambung. Dua nada sambung. Terus begitu hingga terdengar suara operator telepon. Dia tidak bisa dihubungi. Waktu sudah menunjukan pukul 6.30 pagi. Aku harus segera bergegas untuk berangkat kerja. Kuambil jaket yang tergantung di jendela kamarku. Dengan cepat langsung kusemprotkan parfum dan menaruhnya ke dalam tas karton dengan berharap bahwa kita akan bertemu lagi.
Aku bekerja sebagai seorang karyawati di salah satu kantor perusahaan swasta di Bandung. Memang jam kerja kami cukup sadis, namun bayarannya lumayan. Biasanya aku selalu fokus bekerja. Tapi tidak hari ini.
Beberapa kali aku mencoba menelepon si sopir taksi yang berani-beraninya membuatku begini. Awas saja jika dia berhasil kuhubungi. Akan kucaci maki dia karena tidak mengangkat teleponku. Aku ini pelanggan!
Hari berjalan lebih lambat dari biasanya. Satu-satunya hiburanku adalah pemandangan di luar jendela kantorku yang menyuguhkan kawasan pegunungan Lembang di Utara. Walau hari ini lambat, tanpa kusadari tahu-tahu saja sudah malam lagi.
Cepat-cepat aku bergegas pergi ke halte bus yang semalam kukunjungi. Waktu baru menunjukan pukul 7 malam. Tapi aku sampai dua jam lebih cepat dari hari kemarin.
Aku harap-harap cemas duduk sendirian di halte bus ini. Walau halte ini ramai oleh orang yang juga hendak pulang, aku merasa sepi. Bus demi bus mulai datang silih berganti. Bus tujuanku juga sudah datang beberapa kali. Tapi aku tetap tidak beranjak. Ada sedikit keraguan setiap kali aku melihat bus-bus yang datang. Apakah seharusnya aku pulang saja? Aku lelah. Aku ingin pulang.
Namun selalu sirna ketika bus yang harus kutumpangi telah benar-benar sampai. Aku memilih duduk dan menunggu. Ketika bus tersebut pergi, barulah aku mengutuk diri sendiri. Semua kekesalanku kulimpahkan ke sopir taksi yang sedari tadi pagi tak bisa kuhubungi ponselnya. Sebenarnya apakah dia masih niat jadi sopir taksi? Menyebalkan sekali.
Hujan datang lagi. Orang-orang yang tadinya ramai berangsur sepi. Kini hanya tinggal aku sendiri, menanti entah apa. Mungkin aku sudah gila. Menukar waktu dua jam untuk orang asing yang tidak pasti datang. Tapi aku tahu satu hal yang pasti. Ia layak dinantikan.
Pukul 9 malam. Aku benar-benar sudah muak dengan hujan.
Tiba-tiba datang orang gila. Ia langsung beranjak duduk di tempat kosong yang ada di sebelahku. Jarak kami hanya 3 meter. Ia berbaring di sana dan tertidur. Aku mencoba tenang walau jantungku berdegup kencang, panik. Aku tidak habis pikir. Ini benar-benar berbahaya. Aku merasa keberadaannya di sini sudah cukup mengkonfirmasi kegilaanku juga. Ia seperti belum mandi bertahun-tahun. Aku semakin menjauh darinya.
Pukul 9.30 Waktu Indonesia Barat. Aku masih luntang-lantung di halte bus berisi orang gila ini. Kemarin malam, aku bisa bercakap-cakap dengan orang baik. Sekarang aku bahkan tidak ingin memulai pembicaraan dengannya. Aku mulai lapar.
Setelah ke sekian kalinya, bus tujuan Cihampelas datang lagi. Keneknya membuka pintu bus. Mungkin ia bosan karena pekerjaannya hanya itu-itu saja. Ia bertanya kepadaku yang sedari jam 7 duduk di situ.
"Sendirian aja neng? Gak pulang naik bus ini?" Tanyanya dengan aksen Sunda yang kental.
Aku berpikir. Apakah seharusnya aku pulang saja ya?
"Enggak pak." Kataku sambil menggeleng.
"Oh yaudah. Hati-hati neng, gak baik cewek pulang malam-malam." Kata kenek tersebut sambil Sedikit-sedikit melirik ke arah orang gila yang tiduran di halte yang sama denganku.
Bus tersebut melaju setelah si sopir yakin tidak ada penumpang.
Setelah ia pergi, aku menunduk dan mulai mengacak rambut. Aku depresi sekali. Kenapa orang ini bisa jadi sepenting itu sih?
Pukul 9.47, aku sudah gusar. Sudahlah, cukup. Biarlah orang asing tetap menjadi asing. Mungkin ia sudah melupakanku. Mungkin juga ia sebenarnya tidak benar-benar menganggapku ada.
Mataku berkaca-kaca. Hanya aku yang menganggapnya spesial. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Ada apa sebenarnya?
Kring! Kring!
Ponselku berbunyi.
Aku tidak ingin diganggu sama sekali. Siapa gerangan yang meneleponku?
Nomornya tidak terdaftar di dalam kontak ponselku.
"Halo." Kataku lirih.
Orang diujung telepon diam saja.
"Halo?" Kataku lagi.
"Ayo, aku anter pulang ya."
Aku terdiam sejenak.
Siapa ini?!
"Maaf ini si-"
"Maaf, aku gak perkenalkan diri sebelumnya."
Tahu-tahu saja, ada sebuah mobil Mercedes kelas A terparkir di depan halteku.
Pintunya terbuka.
"Namaku Ray, orang yang kemarin pinjami kamu jaket. Kulihat kamu ternyata masih di halte ini ya?"
Dari halte, aku bisa melihat isi mobil tersebut. Seorang cowok memegang ponsel sedang menelepon. Ia tersenyum ke arahku. Aku kaget bukan main. Ia keluar dari bangku belakang mobil. Kelihatannya ia datang bersama sopirnya. Ia mematikan teleponnya. Aku mengenal sosok itu. Sosok yang sama. Si tanpa nama yang memberikanku jaket ini.
"Terimakasih untuk bantuanmu kemarin." Katanya membuka percakapan.
Aku tidak kuasa untuk tidak berdiri sambil memasang ekspresi terkejut yang tidak tertahankan lagi.
"Kemarin aku dirampok. Hehehe, Hp, kunci mobil, dan dompetku hilang. Aku hanya punya uang sisa lima ribu rupiah untuk pulang. Jadi mau tidak mau aku naik bus. Untungnya laptopku cuma lecet doang. Akhirnya hari ini, aku diantar pakai sopir saja. Biar lebih aman." Katanya menjelaskan.
"Aku terlalu malu untuk minta tolong. Jujur aja sih, aku tidak pernah berharap akan bertemu kamu di sini. Tapi mungkin aku bisa sedikit bersyukur karena dirampok. Karena bisa ketemu orang asing baik seperti kamu. Bukan gombal ini. Hehehe." Katanya sambil cengar-cengir.
Aku masih diam. Aku tidak sanggup berkata-kata. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku kesulitan mencerna kejadian yang ia ceritakan. Tapi aku senang sekali ia datang.
"Kamu pesan taksi online 'kan ya? Hehehe, kalau gak ada itu, aku mungkin masih nungguin bus. Sekali lagi, makasih ya."
"Ummm, iya sama-sama. Hehehe." Kataku. Aku tidak kuat menahan senyum.
Semua penantian laknat itu terbayar. Aku hanya ingin melihat senyum itu lagi. Tawa itu lagi. Aku sangat kehilangan dirinya di halte ini. Bahagia sekali rasanya. Aku sadar kembali dari lamunanku. Aku harus mengembalikan jaketnya.
"Ini jaketmu. Terimakasih ya karena sudah pinjami aku ini."
"Sama-sama." Ia tersenyum.
Orang gila di belakang kami mulai berteriak-teriak.
"Ayo, naik dulu aja ke mobil. Tenang aku bukan orang jahat kok. Gak niat menculik."
Hal itu tidak perlu kukhawatirkan sama sekali. Aku sudah tahu ia orang baik.
Aku mengangguk bahagia dan naik mobil mewah tersebut. Aku duduk persis di sebelahnya. Ia masih sama seperti yang kutemui kemarin. Hanya saja, kali ini lebih keren sedikit.
"Tujuannya kemana pak?" Tanya si sopir.
"Kita makan dulu aja ya. Gak terlalu malam 'kan kalau kita makan dulu?" Tanyanya ramah.
Aku mengangguk.
"Oke pak, kita ke restoran yang biasanya saya kunjungi aja." Katanya memberi perintah.
"Baik pak."
Aku terus-terusan mencuri pandang. Aku ingin melihatnya terus. Apakah tidak boleh? Sepanjang perjalanan, kami menghabiskan waktu bercakap-cakap bersama. Ia bertanya tentang keseharianku, hobi, warna kesukaan, tanggal lahir, bahkan alamat rumah. Ia bercerita bahwa ia adalah seorang pendiri perusahaan Start up yang sudah memiliki partner kerja dimana-mana. Salah satu partnernya adalah dengan perusahaan tempatku bekerja. Ia kemudian menawarkan untuk langsung membuatku menjadi sekretarisnya. Aku kaget bukan main. Tapi kemudian ia bilang bahwa ia tidak ingin menjadikanku pekerja. Ia hanya ingin seorang partner. Seorang rekan yang satu level dengannya. Bukan hanya tentang dunia kerja, namun tentang membangun kehidupan ini. Aku hanya tertawa menahan gejolak perasaan di hatiku. Kami menghabiskan malam dengan hangat. Ditemani makanan enak dan cerita tentang diri kami satu sama lain. Malam ini sungguh indah. Semua penantianku terbayar ketika bersamanya.
Inilah akhirnya. Mungkin orang asing, bukanlah seseorang yang selalu asing. Ia lebih dekat dari yang kita pikirkan. Ia juga adalah seseorang yang mungkin sedang mencari-cari di tengah kemelut kota yang padat, apakah ada yang sepadan dengannya. Atau ia sebenarnya hanya ditakdirkan sendiri? Mungkin yang sepadan tidak berasal dari lingkungan orang-orang yang kita kenal. Mungkin tidak dari keluarga, sekolah, lingkungan pekerjaan. Mungkin saja yang sepadan bisa kita temukan di halte bus. Atau di tengah jalan raya sekali pun. Kehidupan ini luas. Kita semua menemukan dan ditemukan dalam sebuah sungai deras bernama kehidupan. Yang perlu kita lakukan adalah percaya dan lompat ke dalam sungai. Niscaya, bagi siapa yang bersedia mencari, mereka akan menemukan. Bagi mereka yang menunggu, akan dipuaskan. Terakhir yang paling penting, bagi mereka yang memberikan kopi, mungkin akan diberikan jaket.
Alunan musik di restoran bintang 4 ini begitu indah. Suasana restoran ini begitu menyejukan hati. Tapi yang lebih membuatku terpana adalah keberadaan orang ini. Namanya Ray, kami baru kenal 3 jam dan ia sudah seperti mengenalku seumur hidupnya. Ceritaku dan ceritanya sudah berkelanjutan bagaikan keran yang dibuka terus menerus.
"Hehehe, seru juga ya! Memang SMA masa-masa terindah."
"Heheh, aku setuju!" Sahutku. Tidak ada lagi rasa gengsi yang kusembunyikan di depannya. Ray telah menjadi temanku.
"Gak kerasa ya udah dua jam kita di sini."
"Hehehe iya ya? Waktu cepet banget ya berjalan?" Kataku mengiyakan.
"Astaga, kita ngobrol-ngobrol gini ada hal paling penting loh yang aku lupa daritadi. Hahahaha! Ray, Ray... kok bisa kamu lupain sih?"
Aku terheran-heran. Kenapa dia tertawa sendiri?
"Astaga... astaga, kamu cerita panjang lebar tentang hidupmu. Tapi aku belum tahu loh nama kamu siapa. Nama kamu siapa sih?" Katanya sambil menahan gelak tawa.
"Ahahahahaha, iya ya. Aku belum kenalan ya?"
Aku ikut tertawa.
"Hehehe, oke. Giliranku untuk kasih tahu namaku ya?" Kataku sambil tersenyum.
"Perkenalkan, namaku..."
Tamat.