Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gemuruh hujan di luar sana tidak mampu meredam suara mesin cetak yang saling bersahutan. Lantai pertama rumah yang dikelilingi kaca itu tampak gelap dan sepi, namun bangunan kayu di atasnya memancarkan cahaya lampu yang terang-benderang, seolah semua kehidupan ada di sana.
Nina, gadis empat belas tahun yang dahulu sangat menyukai hobinya itu kini seakan merasa muak. Hobi menggambar yang semula menjadi sumber kebahagiaan dan tawanya, kini justru menjadi penyebab air mata yang tumpah hampir setiap waktu.
"Kutunggu sampai lusa ya," teriak Bu Dini, pengasuhnya sejak kecil yang sebentar lagi akan menjadi ibunya. "Tidak bisakah kau membuat ... paling tidak lima ratus lembar setiap hari? Aku tidak mau toko kehabisan stok meski sebentar lagi kita akan ada acara."
"Tapi mesinku juga butuh istirahat, bahan-bahannya sebagian juga belum sampai." Nina menjawabnya dengan pelan.
Bu Dini mengambil salah satu hasil karya Nina di dekat mesin cetak, kemudian membolak-balik kertas itu, mengangkatnya tepat di dekat sinar lampu. Diturunkannya kacamata sampai ujung hidung, lalu ia mendelik ke arah Nina.
"Bahannya beda ya?"
"Kertas yang biasanya habis, jadi aku cetak dulu di kertas stiker lalu kutempel di kertas tebal sisa potongan kemarin."
"Lihat ini!" Bu Dini kembali membawa kertas itu ke dekat sinar lampu, kemudian didekatkannya wajah Nina ke kertas itu. "Jadi kelihatan tidak rapi. Orang-orang akan tahu kalau ini dari kertas sisa."
"Semuanya terlihat normal kok. Lagipula tidak akan ada yang repot-repot membawanya mendekat ke lampu dan mengamati sedetail itu." Nina terus berusaha membantah. Tubuhnya sudah cukup lelah untuk mencetak ulang gambar-gambar itu.
"TERUS SAJA MEMBANTAH," bentakan Bu Dini berhasil membuat tubuh Nina mundur menjauh. Sedetik kemudian, Bu Dini mendekat dan membelai rambut panjang Nina yang sedikit acak-acakan. "Mama tidak memaksa. Mama hanya ingin membantumu untuk belajar berjuang. Dunia luar lebih kejam, Sayang." Bu Dini tersenyum, kemudian melenggang pergi setelah melempar kertas yang ada di tangannya.
Nina yang seolah tak berani bernapas di depan Bu Dini, kini langsung mendengus kesal sambil mencoba menahan air matanya agar tak keluar lagi. Tubuhnya sudah lelah, namun souvenir untuk pernikahan ayahnya dan Bu Dini belum selesai. Ditambah pesanan dari berbagai marketplace pun membludak.
Menggambar yang semula adalah hobinya, tempatnya untuk istirahat, kini menjadi hal yang paling ia takuti, yang paling membuatnya terluka. Namun, tetap saja ia tidak bisa berhenti. Ia selalu berpikir ucapan Bu Dini ada benarnya. Dunia luar lebih kejam, jadi kemungkinan ini tidak ada apa-apanya. Terlebih, ia juga tidak ingin ada keributan di dalam rumahnya.
"Tapi, aku lelah," rintihnya sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang berbalut perban.
Nina menyandarkan kepalanya pada mesin cetak yang masih terus bekerja. Ia meraih kertas yang tadi dilempar Bu Dini, kemudian mengangkatnya, tepat di bawah salah satu cahaya lampu ruang kerjanya. Gambar lain tampak bertabrakan dengan gambarannya. Namun, ketika ia menurunkannya, gambar itu menghilang. Seolah seperti sebuah sulap, atau jadi sebuah gambar tersembunyi.
"Gambar tersembunyi?" Nina menegakkan tubuhnya secepat kilat. Buru-buru diambilnya spidol hitam di kotak pensil beludru berwarna cokelat dan selembar kertas di bawah meja kerjanya. Entah mengapa tangannya bergerak menuliskan Help Me di permukaan kertas itu, kemudian ia menempelkan salah satu stiker yang baru saja keluar dari mesin cetak. Diangkatnya kertas itu mendekati lampu, dan benar saja, tulisan itu terlihat di antara kartun gambarannya.
Mata Nina terpejam, ia mengambil napas pelan nan panjang, kemudian mencoba mengingat kembali saat-saat ia pertama kali menggambar menggunakan ponselnya. Ia bisa mengingat dengan jelas banyaknya apresiasi yang datang padanya begitu orang-orang melihat hasil karyanya. Kebahagiaan itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Bu Dini mengetahui bahwa Nina menghasilkan uang dari gambarannya.
Sejak saat itu, Bu Dini mencoba mengatur segalanya, membuat jadwal kapan Nina harus mulai menggambar dan kapan harus istirahat. Nina pikir itu tidak akan lama. Namun ternyata ia salah. Bu Dini justru semakin leluasa mengatur hidupnya ketika ayah Nina memutuskan akan menikahi wanita itu. Anehnya, Nina tidak bisa menolak. Ia seperti merasa takut akan kehilangan ayahnya, sekaligus menganggap ia memiliki hutang budi pada Bu Dini yang telah merawatnya dan tetap bertahan ketika ayah Nina tak sanggup memberikan upah yang layak.
"Apakah ini akan berhasil?" Nina mulai ragu, namun suara-suara dalam dirinya seakan terus memaksa.
Sembari tangannya bergerak cepat menuliskan 'Help Me' di puluhan atau bahkan hingga ratusan lembar kertas, Nina berkali-kali menoleh ke pintu ruang kerjanya. Jantungnya berdegup semakin kencang membayangkan Bu Dini tiba-tiba muncul dan memergokinya. Ia semakin takut ketika memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja menimpanya.
Rasa lelah yang semula menguasainya kini tak lagi ia pedulikan. Bertumpuk-tumpuk kartu pos serta kartu ucapan dengan gambar buatannya kini mulai ia masukkan ke dalam beberapa kotak yang akan dikirimkan besok.
Ketika kotak terakhir telah tersegel, Nina langsung menghempaskan tubuhnya ke lantai. Tangan kanannya bersandar pada kursi yang hampir menjauh darinya. Ia memejamkan mata sambil mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. Dilihatnya kotak-kotak seukuran kotak botol air mineral yang ada di atas meja, sembari berharap suatu hari akan ada yang menyadari bahwa seseorang yang membuat karya itu sedang tidak baik-baik saja.
***
Langit malam itu begitu gelap, nyaris menelan seluruh cahaya kota yang mulai sepi. Di antara lampu jalan yang berjarak, seorang gadis melangkah sendirian. Langkahnya ringan, seakan tas selempang di bahunya yang tampak berat itu sama sekali tak membebaninya. Di tangannya, selembar kertas bergetar lembut tertiup angin. Sebuah kartu ucapan dengan sampul depan yang menampilkan gambar sepasang kekasih dalam versi kartun, membuatnya berkali-kali melempar senyuman pada udara kosong.
Di bawah lampu di persimpangan, ia mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah cahaya, sambil mengagumi keindahan tiap detailnya. Namun, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyum yang semula menghiasi wajahnya kini pudar. Dengan ditemani suara serangga dan desiran angin yang melewati kabel-kabel listrik di atas kepalanya, ia menatap kartu ucapan itu cukup lama. Di bawah cahaya lampu jalan, sesuatu yang samar pun terlihat. Sebuah tulisan 'Help me' membuat malam itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, seolah tiba-tiba saja ada angin dingin menembus kulitnya.
Dirinya yang terlalu fokus pada kartu ucapan itu membuatnya tak sadar sebuah mobil perlahan mendekat. Kaca mobil diturunkan pelan, kemudian seseorang melongok dari dalam.
"Ada apa?"
Gadis itu terlonjak mendengar suara seorang pria yang tiba-tiba muncul di antara sunyinya malam. Ia menoleh, kemudian tersenyum tipis. Kembali dilihatnya kertas itu, lalu ia mengangkat bahunya singkat.
"Tidak ada."
Ia langsung masuk ke dalam mobil setelah menutup pintunya dengan keras, kemudian ia memasukkan kartu ucapan itu ke dalam tasnya, menganggap tulisan yang tersembunyi di kartu ucapan itu hanyalah sebuah kesalahan pihak percetakan. Tanpa ia sadari, ia telah mengabaikan seseorang yang kini tengah mendapat mimpi buruknya yang baru.