Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Yudis menghidu aroma nasi goreng kecap di hadapannya. Aroma sedikit gosong yang berasal dari kecap yang dipanaskan bercampur aroma bawang merah dan cabe merah. Beberapa iris sosis dan telur orak-arik menyembul malu-malu di antara timbunan nasi matang yang dimasak ulang dengan mentega yang dilelehkan. Manis, gurih, dan agak pedas. Belum dicicipi saja sudah terbayang rasanya seperti apa.
Bangun tidur, Yudis merasa lapar. Padahal tadi malam dia sudah makan yang banyak. Sepiring nasi plus tumis bihun pedas dan ayam goreng. Tetapi kenapa pagi-pagi sudah merasa lapar, Yudis sendiri tidak mengerti dan tidak mau memikirkannya. Seperti anak-anak pada umumnya, kalau lapar berarti harus makan. Tidak peduli menunya apa. Yang penting kenyang.
Yudis menyendok nasi goreng dengan semangat dan buru-buru, seolah-olah tidak ada waktu untuk merasakan setiap bumbu yang membalut butiran-butiran nasi. Baginya, nasi goreng buatan ibunya sedap pol dan tidak boleh disisakan barang sebutir pun. Apalagi di saat sedang lapar seperti ini. Bahkan, dia tidak rela jika masih ada minyak yang melapisi piring dan sendok bekasnya makan. Menurutnya, membersihkan lapisan minyak itu adalah bentuk rasa syukur atas makanan yang dia peroleh.
“Jangan sia-siakan makanan biarpun hanya sedikit. Itu rezeki,” pesan ayah Yudis.
Mereka bukan orang kaya. Penghasilan ayah Yudis sebagai tukang listrik tidak pernah tetap. Tergantung berapa banyak pelanggan yang menggunakan jasanya. Supaya tidak kekurangan, mereka harus mengelola uang dengan baik.
Yudis tidak punya kakak atau adik. Di rumah, tidak ada pesaingnya dalam kuliner. Dia bisa makan sepuasnya apapun yang ada di rumah. Soal makanan, orang tua Yudis tidak pelit, tetapi juga tidak boros. Mereka hanya ingin Yudis makan dengan lahap, sebab bagi mereka, sepiring makanan adalah bekal untuk masa depan.
“Makan yang banyak, biar sehat dan pintar,” katanya.
Yudis telah menyelesaikan sarapannya dan bersiap berangkat sekolah. Dituntunnya sepeda keluar rumah, lalu dia menyalami orang tuanya.
“Ini uang jajannya. Tapi kalau sudah kenyang dengan MBG, jangan dipakai. Simpan buat besok atau kalau ada keperluan mendesak,” pesan ibu Yudis.
Ya. Hari ini, SD Wufi kebagian makanan bergizi gratis. Tetapi bukan dari pemerintah seperti yang diperoleh di daerah-daerah lain. Sebagai wilayah yang memencilkan diri, Desa Wufi terbiasa hidup mandiri dengan menyediakan segala kebutuhan mereka sendiri. Termasuk makanan bergizi gratis bagi anak-anak sekolah. Pihak swasta, termasuk Universitas Wufi, mengakomodasi program ini. Mereka menyediakan dana dan mengontrak sebuah katering untuk memasak menu MBG selama kurun waktu tertentu.
Pembagian makanan bergizi gratis ini dilakukan secara bergiliran antara tiap jenjang sekolah. Hari ini, SD Wufi yang kebagian jatah MBG.
“Akhirnya,” ibu Yudis mengucap syukur setelah semalam menerima informasi itu dari Pak Dani, wali kelas Yudis, melalui grup WA. Sebagai seorang ibu, dia juga ingin anaknya mendapatkan makanan bergizi gratis meski bukan yang diworo-worokan pemerintah. Paling tidak, ada beberapa pihak yang peduli dengan kebutuhan nutrisi anak-anak Desa Wufi. Demi masa depan desa mereka tercinta.
***
Yudis merasakan kantuk bukan kepalang saat sedang belajar di kelas. Dia tidak bisa mencerna penjelasan Pak Dani tentang berbagai norma dalam kehidupan. Badannya baik-baik saja. Tidak pegal ataupun sakit. Yudis juga cukup tidur tadi malam dan seingatnya, dia sudah meninggalkan kantuk di tempat tidurnya. Tidak tahu bagaimana kantuk itu sampai ikut ke sekolah.
Yang membuat mata Yudis kembali segar adalah datangnya waktu istirahat pertama. Semua anak di SD Wufi menanti-nanti saat ini sejak lama.
Pak Dani membantu Mbak Sisi, salah seorang pegawai sekolah, membagi-bagikan nampan berisi makanan bergizi gratis. Begitu nampan tersebut diletakkan di atas meja, Yudis merasa tidak mampu lagi membendung air liurnya. Namun, semua anak harus menunggu aba-aba Pak Dani untuk mulai makan.
“Selamat makan. Dihabiskan, ya, makanannya,” kata Pak Dani.
Hanya beberapa anak yang mengindahkan pesan Pak Dani. Sisanya, termasuk Yudis, langsung menyendok nasi, ayam panggang, tahu goreng, dan cap cay di atas nampan. Sementara Pak Dani merekam kegiatan tersebut dengan ponselnya, anak-anak makan dengan lahap.
“Bagaimana, anak-anak? Enak, nggak, makanannya?” tanya Pak Dani sambil terus merekam.
“Enaaaak…,” jawab anak-anak serempak.
“Mau lagi?”
“Mauuuu…”
“Supaya lebih bergizi, menunya ditambah apa?” tanya Pak Dani lagi.
“Susu.”
“Buah.”
“Kue.”
“Gorengan.”
Jawaban anak-anak berlainan. Pak Dani merasa harus meluruskan jawaban mereka supaya terkesan kalau anak-anak sebetulnya membutuhkan makanan bergizi.
“Buah atau susu, ya. Jangan gorengan atau kue-kue.”
Anak-anak menghabiskan jatah MBG mereka. Harus diakui, menu makanan bergizi hari itu memang lezat. Termasuk capcay yang biasanya dihindari anak-anaka. Tidak ada yang tersisa di atas nampan.
“Kurang banyak, Pak, makanannya,” ujar salah seorang anak.
Pak Dani yang selesai merekam, bertanya, “apanya yang kurang banyak?”
“Semuanya, Pak. Nasinya sedikit, ayamnya cuma sepotong kecil. Capcaynya enak, sayang tidak ada baksonya. Terus, tahunya cuma digoreng biasa, bukan goreng tepung. Kurang mantap.”
Tanpa diminta, anak itu mereviu menu makanan bergizi. Pak Dani hanya tertawa. “Mudah-mudahan di waktu lain, makanannya bisa lebih enak lagi,” ucapnya.
Yudis meneguk air putihnya. Sejujurnya, dia juga belum kenyang dengan porsi makanan bergizi yang diterimanya barusan. Namanya juga gratisan. Sudah bagus dapat ayam, bukan hanya tempe.
Karena masih lapar, Yudis pergi ke kantin. Uang jajan dari ibunya tidak banyak, karenanya dia tidak akan membeli makanan dulu. Nanti saja, saat istirahat kedua. Sekarang, Yudis hanya membeli segelas es teh manis. Selain bisa menghemat bekal air minum, rasa manis dari teh juga bisa mengenyangkan perutnya yang masih terasa belum penuh.
***
Minggu ini ekskul Pramuka dimulai lebih awal. Yudis lekas-lekas ke musala untuk salat. Dia tidak sempat membeli makanan di kantin, sehingga saat pulang sekolah, perutnya lapar sekali. Saat mengikuti kegiatan Pramuka tadi pun Yudis merasa lemas dan pusing. Dia hampir jatuh saat akan berdiri dari posisi jongkok untuk latihan semafor. Program MBG ternyata tidak efektif meredakan rasa lapar. Gara-gara porsinya kurang banyak, batin Yudis.
Sialnya lagi, siang itu mendung. Yudis yang tidak membawa jas hujan, enggan kehujanan. Dia mengayuh sepedanya cepat-cepat. Meski begitu, dia sempat mampir ke warung Bu Endel dan membeli lima potong gorengan.
“Di sekolah nggak jajan?” tanya Bu Endel sambil memasukkan bakwan, tahu isi, bakwan jagung, pisang goreng, dan singkong goreng ke dalam kantong plastik.
“Nggak sempat, Bu Endel. Keburu Pramuka.”
“Oalah.”
Bu Endel menerima uang dari Yudis. “Makasih, ya. Cepat pulang sana, keburu hujan.”
Bocah itu mengayuh sepedanya dengan kencang agar lekas sampai di rumah. Seperti awan yang merasa harus segera menurunkan hujan untuk memadamkan hawa panas, Yudis pun harus segera memadamkan rasa laparnya.
***
“Bagaimana MBG-nya? Enak?” tanya ibu Yudis melihat anaknya sudah datang.
Yudis pun menjelaskan perihal menu MBG di sekolah dan mengeluhkan porsinya yang terlalu sedikit.
“Namanya juga gratis,” komentar ibunya. “Mau makan lagi, nggak? Ada sayur bayam dan tempe goreng tepung. Sambal juga ada. Tuh!”
“Nggak, Bu. Aku barusan beli gorengan di Bu Endel.” Yudis memperlihatkan kantong plastik berisi gorengan.
***
Yudis menjawab “tidak” ketika ibunya memanggil untuk makan malam.
“Masih kenyang,” dia memberikan alasan.
“Kamu beli gorengan terlalu banyak.” Ibu Yudis mengeluh. “Ya, sudah. Kalau nanti masih lapar, ambil makanannya sendiri di meja makan, ya,” pesan ibu Yudis.
Namun sampai pukul sembilan malam, Yudis tidak juga mengambil makan malamnya. Dia tidur sangat lelap karena perutnya penuh.
Yudis baru merasa lapar saat bangun keesokan harinya. Hampir sama seperti hari-hari sebelumnya. Bedanya, kali ini, malam sebelumnya Yudis melewatkan makan malam, sehingga pagi ini perutnya terasa kosong.
Ibu Yudis hanya menggoreng tempe dan ikan asin. Plus, sambal terasi.
Yudis makan dengan lahap sekali. Berkali-kali dia menambah porsi nasinya.
“Ini lebih enak dari menu MBG kemarin,” katanya dengan mulut penuh makanan.
Yudis berangkat sekolah dengan perut kenyang dan hati riang. Dia bahkan meminta ibunya untuk membuat menu yang sama untuk makan siang. Sungguh, ikan asin dan sambal adalah paduan menu yang meningkatkan mood.
***
“Nggak ke kantin, Yud?” tanya Mara, teman sekelas Yudis sambil membawa sepiring makanan yang dia beli di kantin.
“Ke kantin, dong, sebentar lagi. Aku selesaikan PR-ku dulu.”
“Kenapa nggak dikerjakan kemarin?”
“Aku ketiduran. Semalam ngantuk banget,” jawab Yudis seraya melirik piring Rama. “Eh, kamu beli ayam geprek, tempe goreng tepung, dan kentang goreng, tapi, kok, nggak pakai nasi?” tanyanya keheranan.
Mara menjawab tenang sambil mencomot kentang goreng, “Memangnya kenapa? Kan, ada kentang sama tempe goreng tepung. Ayamnya juga pakai terigu.”
“Tapi, itu semuanya, kan, lauknya. Nasinya mana?” Yudis bersikeras.
Mara pun tidak mau kalah. “Nggak perlu. Ayam dan tempenya sudah digoreng pakai tepung. Tepung, kan, karbohidrat. Kentang juga.”
Yudis geleng-geleng. “Aneh banget, sih. Kalau nggak pakai nasi, berarti nggak makan.”
Mara tidak mau ambil pusing. “Terserahlah. Buatku, ini sudah cukup. Cuma kurang sayur dan buah.”
Yudis sudah selesai mengerjakan tugas sekolahnya. Dia lalu meninggalkan Mara untuk ke kantin.
“Ayam geprek satu pakai nasi, bakwan jagung dua,” pesannya pada penjaga kantin dengan tak sabar.
Standar kenyang Yudis terpenuhi setelah mengosongkan piring itu.