Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sri : Elegi Cinta Sang Penari Serimpi
0
Suka
5,015
Dibaca

Senja turun perlahan. Seorang gadis tengah melanggak-lenggokkan kaki dan tangannya di sebuah batu besar yang berjejak kuat di pinggir tebing. Geraknya halus seiring alunan gamelan khas Yogyakarta yang diputar dari ponselnya. Suara gending sabrangan mengiringi langkah anggun memulai tarian. Gending ageng menemani lentur dan lemah lembutnya tiap gerak geriknya.

Senja di Watu Ngadek makin eksotis sebab gemulai tubuh wanita menyajikan sebuah tarian. Gerakannya sempurna membawakan Beksan Serimpi Kandha, salah satu Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Tari yang bermula di era kerajaan Mataram itu dibawakan begitu apik. Pacak gulu[1] dilakukannya sangat lembut menjadikan tariannya begitu syahdu. Deg[2] sempurna menambah kesakralan tariannya. Jejeran pohon pinus yang menjulang tinggi di sekelilingnya seolah menjadi penonton setia.

Panji berdiri di bawah batu menyaksikan sang kekasih hatu sambil terus sigap mengawasi agar tetap aman membawakan Serimpi. Lelaki berperawakan tinggi besar yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu selalu takjub dan menyaksikan gerak tari yang dibawakan kekasihnya. Sri, namanya. Gadis ayu bermata sendu itu menekuni seni tari yang sudah menjadi hobinya sejak lama. Tak hanya sebagai hobi tapi ia juga kerap kali mengukir prestasi. Kejuaran lokal bahkan internasional pernah membuatnya bangga telah mengharumkan nama bangsa.

Gadis itu begitu fasih membawakan tarian seperti biasa. Namun kali ini gerakan angun nan indah itu berlawanan dengan perasaan remuk di hatinya. Hatinya gamang sebab harus menghadapi sebuah perpisahan dengan orang yang selama ini begitu disayanginya. Bukan karena ada orang ketiga. Bukan karena mereka sudah saling tak cinta. Selama perjalanan cintanya, Panji selalu memegang teguh janjinya kepada Sri untuk setia. Menjalankan amanat dari ayah Sri agar bisa menjaga putri yang sangat dicintainya. Masih terbayang jelas di benaknya saat ayah Sri begitu mempercayai Panji sebagai pemuda baik yang mampu menjaga kehormatan putrinya.

Nek koe tenanan tresno, Ojo koe nggawe eluh banyu motone, Ojo nyakiti atine, Ojo nggawe atine loro[3],” ucap ayah Sri tempo hari.

Pasalnya beberapa waktu lalu, Panji menyampaikan pesan sang ibu. Sebuah pesan yang membuat seolah dunianya runtuh. Tak hanya Sri yang patah hatinya. Panji pun hampir tak kuasa menerima takdir cintanya. Hampir satu tahun menjalani suka duka bersama, nyatanya tak memuluskan jalan mereka untuk mengikatkan cinta di hadapan Sang Maha Cinta dalam sebuah mahligai rumah tangga.

Namun Panji harus menghadapi kenyataan menyakitkan. Ia harus menghadapi pilihan yang begitu berat. Panji berupaya agar Sri tetap menjadi belahan jiwanya. Namun ia juga tak ingin durhaka dengan menyakiti hati orang tuanya. Memilih Sri atau orang tua, terutama ibu yang sangat ia hormati dan disayanginya. Kisah dua anak manusia yang dilanda cinta mendadak menemukan jalan nestapa. Bermula sejak dua minggu lalu saat Panji mengenalkan Sri pada ibunya.

***

Sri belum sempat memperkenalkan dirinya. Panji pun sama, belum keluar sepatah kata pun dari bibirnya memperkenalkan Sri, sang pujaan hati. Namun mata Bu Laksmi melihat kaos yang dipakai Sri bertuliskan nama sebuah sanggar tari. Selendang yang biasa digunakan Sri untuk menari tersembul dari tote bag-nya menyiratkan raut ketidaksukaan di wajah Bu Laksmi. Tanpa perlu mengeluarkan kata-kata, solah Sri tahu isi di dalam hati Bu Laksmi yang seolah ingin mengungkapkan sebuah tanya.

“Saya penari bu,” ucap Sri, gadis asli dari Desa Kasongan berkulit eksotis dengan tutur lembut seraya tertunduk malu.

Sri berpikir orang tua Panji akan menerima dirinya yang berprofesi sebagai penari. Sebab biasanya orang akan begitu menaruh bangga kepada seorang penari, apalagi tak sembarang orang bisa menarikan Serimpi. Namun itu tak berlaku bagi Bu Laksmi. Meski tak ada kata-kata terucap secara langsung kepadanya namun Sri menangkap ketidaksukaan Bu Laksmi kepadanya setelah mengetahui profesinya sebagai penari.

Sejak pertemuan waktu itu Panji sudah berkali-kali meminta Sri agar tak lagi menjadi penari. Setidaknya Panji meminta Sri berhenti setelah mereka resmi menjadi suami istri. Namun Sri teguh dengan pendiriannya. Berat baginya meninggalkan profesi yang telah membantunya memperbaiki taraf hidup keluarganya. Dengan lembut ia menolak permintaan Panji.

“Aku akan terus menari bukan hanya dalam darahku mengalir seni, tapi juga aku membutuhkannya untuk membantu keluargaku.”

Keteguhan hati Sri dan permintaan orang tua Panji tak menemukan titik temunya.

***

“Apa salahnya dengan Sri, Bu?” protes Panji di malam harinya usai pertemuan sang ibu dengan Sri.

“Ibu bukan tidak suka pada Sri. Ibu hanya tak suka dengan profesinya sebagai penari.”

Panji masih belum sepenuhnya menerima penolakan orang tuanya terhadap Sri.

“Apa kamu rela, kelak lekuk tubuh istrimu dilihat banyak orang? Menjadi tontonan para lelaki yang bukan mahramnya?”

“Ta … tapi, Bu ….”

“Bapak dan ibumu ini memang bukan ustad dan ustadzah, Panji. Ilmu kami masih cetek. Tapi kami tak ingin ada dalam keluarga ini yang melakukan pekerjaan yang dilarang agama. Ndak berkah, Panji.”

“Nanti jika Sri menjadi istriku, aku akan minta Sri berhenti dan dia harus taat sebab aku suaminya.”

“Bukan kah tempo hari Sri pernah bilang bahwa sudah belasan tahun hidupnya mengabdi menjadi penari Serimpi? Seberapa yakin kamu bisa merubah kebiasaan orang yang sudah bertahun-tahun hingga mendarah daging? Bukankah kau pun sendiri sulit merubah kebiasaan burukmu sendiri?”

“Tapi aku mencintai Sri, Bu?”

“Tresna kanggo manungsa mung amerga katresnane marang Gusti Allah sing Nyiptaaken manungsa[4],” pungkas Bu Laksmi menutup obrolan.

***

Matahari tenggelam perlahan meninggalkan sedikit jingga hendak berganti malam. Hutang Pinus Pengger di Desa Terong, Kabupaten Bantul, makin ramai. Beberapa orang memang sengaja memilih datang untuk mengintip indahnya Jogja dari Watu Ngadek saat langit berganti malam. Sebab saat matahari mulai terlelap, pagelaran alam yang sungguh luar biasa akan tersaji di depan mata. Pemandangan malam tak kalah indah di kala pagi maupun senja. Gemerlap lampu-lampu kota yang berada di bawahnya begitu memesona.

Panji memanggil Sri yang tengah terbawa suasana membawakan tariannya. Sri menyudahi Serimpi. Di akhir tariannya, sejenak Sri memejam mata. Lalu keluar air bening dari dua sudut indah matanya. Panji mengulurkan tangannya. Sri turun dari atas gundukan batu besar dengan kontur mirip batuan vulkanik yang terdapat di Gunung Api Purba Nglanggeran. Masih ada basah di pipinya bekas air mata. Panji memandangi wajah kekasihnya sesaat Sri menjejakkan kakinya di tanah.

“Aku ora pernah ngerti opo kui tresno, kajaba sak bare ketemu karo sliramu[5],” ucap Panji pelan pada Sri.

Perlahan air bening pun kembali menyusuri pipi Sri.

***

Dengan motor matic berkecepatan sedang mereka meninggalkan Watu Ngadek. Panji menyusuri jalanan rata Hutan Pinus Pengger yang menurun dan berkelok-kelok. Gerimis menemani perjalanan mereka meninggalkan Dusun Sendangsari, menuju pulang ke rumah Sri di Bangunjiwo tepatnya di Desa Kasongan. Udara dingin seolah cerminan suasana hati mereka saat ini. Sepanjang jalan tak ada lagi tangan melingkar di pinggang Panji menuju pulang. Sri memilih memegang ekor motor untuk menjaga duduknya agar tak jatuh. Berbeda seperti saat siang tadi saat canda dan tawa menemani saat mereka pergi.

Motor terus melaju dengan kecepatan sedang menuju selatan Yogyakarta. Kali ini keduanya hanya terdiam seolah menikmati gerimis yang menari-nati di kepala mereka. Gerimis yang menerpa wajah menjadi saksi bisu sekaligus menyamarkan air mata yang luruh dari mata keduanya.

Menjelang magrib mereka memasuki gerbang Desa Kasongan. Ragam produksi gerabah di rumah-rumah yang sekaligus dijadikan workshop dan gelari seni berjejer di kiri kanan sepanjang jalan seolah menyambut keduanya. Di salah satu galeri terlihat seorang bule tengah menawar sebuah Loro Blonyo. Patung sepasang pengantin, yang konon sudah ada pada tahun 1476 sejak masa kepemimpinan Sultan Agung di Kerajaan Mataram, itu memang menjadi souvenir paling diminati turis dari mancanegara. Sementara di tempat lain terlihat beberapa pengunjung salah satu workshop tengah melakukan kursus kilat membuat gerabah yang dipandu langsung oleh seorang Gundi.[6]

Tepat di rumah bercat biru nomer sepuluh, Panji menghentikan motornya. Sesaat mereka mematung di atas motor seolah tak ingin menyudahi kebersamaan di hari terakhir.

“Maafkan aku, Sri …,” ucap Panji pelan.

Sri turun dari motor lalu berdiri tepat di sebelah Panji. Sesaat ia menunduk. Sri mengatur napasnya lalu mengangkat pandangannya menatap mata Panji.

“Kau tahu betapa aku mencintaimu, Sri.”

“Aku sungguh mengerti, Mas.”

“Maafkan aku yang terpaksa harus memilih di antara dua pilihan yang sangat berat.”

“Bukankah Ibu memang selalu nomer satu, Mas?”

Panji mengangguk.

“Maafkan aku karena masih belum mampu mewujudkan itu harapan ibumu.”

“Terima kasih sudah menemani hari-hariku, Mas,” ucap Sri berusaha tersenyum.

Panji berdiri dan hendak turun dari motornya.

“Tak usah mampir ya, Mas,” pinta Sri.

Panji heran. Sikap Sri kali ini tak seperti biasanya. Sebelumnya Sri selalu tak ingin segera berpisah saat Panji mengantarnya pulang.

“Bukan bermaksud tidak sopan, tapi mohon izinkan aku menata hati ini sejenak,” lanjut Sri, “Aku tak ingin makin lama kita bersama, membuatku makin sulit melupakan Mas Panji.”

Pengenku, aku iso muter wektu. Supoyo aku iso nemokne kowe lewih gasik. Ben Lewih dowo wektuku kanggo urip bareng sliramu[7],” lirih Panji.

“Meski aku di ujung dunia dan Mas entah ada di mana, jika Tuhan telah berkehendak mencatatkan takdirNya maka kita akan tetap berjumpa dalam cinta.”

Sri tersenyum. Tak berapa lama azan magrib berkumandang.

“Doakan agar aku bisa membawa harum negara kita lagi di festival internasional bulan depan ya, Mas.”

Panji mengangguk pelan. Sri berusaha tegar. Sementara Panji yang tahu bahwa senja kali ini adalah hari terakhirnya berjumpa dengan Sri tak mampu menutupi kecewa. Beberapa saat lagi waktu akan menyudahi pertemuan mereka. Sungguh hari itu hari terberat. Ada gemuruh di dada Panji. Ada air mata tertahan membendung di kelopak matanya.

“Jenenge seneng kui ono umure. Koyo to mati. Yen wes entek umure, rasah mbok getuni. Ikhlash wae, insya Allah Allah bakal paringi ganti sik luwih apik.[8]

Bendungan di mata Panji pun tak tertahan lagi. Lelaki yang tak pernah sekalipun menunjukkan air matanya di hadapan sang pujaan nyatanya kali ini tak kuasa lagi menahan lara. Sri menghapus air mata Panji yang makin menderas.

****

  1. Gerak indah pada leher.
  2. Sikap badan.
  3. “Jika kamu benar-benar cinta padanya, Jangan hiasi matanya dengan air mata, telinganya dengan dusta, hatinya dengan luka.”
  4. Cinta kepada seorang manusia hanya dikarenan kecintaan kepada Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menciptakan manusia.
  5. Aku tidak pernah tahu cinta itu apa, kecuali setelah bertemu denganmu.
  6. Pengrajin tanah liat.
  7. Aku berharap, aku bisa memutar waktu kembali. Di mana aku bisa lebih awal menemukan dan mencintaimu lebih lama.
  8. Setiap cinta ada umurnya. sebagaimana kematian. Ketika sudah habis umurnya, tak bisa lagi diperpanjang. Iklashkan saja, Allah pasti ganti yang lebih baik.
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Luka Yang Aku Cinta
Sandra Arq
Cerpen
Sri : Elegi Cinta Sang Penari Serimpi
Hadis Mevlana
Novel
Gold
Asta's
Bentang Pustaka
Novel
Dewa dan Mawar Layu
Titin Widyawati
Novel
Bronze
Senandung-senandung cinta
Zainur Rifky
Novel
Tempatmu yang Tak Bisa Kugantikan
Nadia N
Novel
Radit & Dhita
Aji Najiullah Thaib
Komik
I See
I Komang Nopan Adiputra
Novel
Choco Lab
rinano
Novel
Our Weird Relationship
SunJe
Novel
Dear F, Thanks You.
Rara Rahmadani
Cerpen
Bronze
Jasmine and Blueberry Tea
Silvarani
Flash
Ngeteh
Wirdatun Nafi'ah
Flash
Bronze
Insomnia Distraction (Membicarakan Adam 3)
Silvarani
Novel
Aza & Lea #Meredam Rasa
kamal
Rekomendasi
Cerpen
Sri : Elegi Cinta Sang Penari Serimpi
Hadis Mevlana
Skrip Film
Embun di Atas Daun Maple - Skenario FILM
Hadis Mevlana
Cerpen
Undangan Misterius Kazumi Untuk Hiroshi
Hadis Mevlana
Novel
Bronze
Embun di Atas Daun Maple
Hadis Mevlana
Novel
Wellang
Hadis Mevlana
Novel
Ketika Embun Merindukan Cahaya
Hadis Mevlana
Novel
Hujan Paling Jujur Di Matamu
Hadis Mevlana
Novel
Madah Rindu Maria
Hadis Mevlana
Novel
Bumi yang Dihujani Rindu
Hadis Mevlana
Cerpen
Setangkai Mawar Untuk Lelaki Istimewa
Hadis Mevlana
Flash
Pada Hitungan Ketiga
Hadis Mevlana
Flash
Istri Pemakan Bangkai
Hadis Mevlana
Cerpen
Tidurlah di Atas Tempat Tidurku
Hadis Mevlana
Skrip Film
Hujan Paling Jujur di Matamu - Skrip Film
Hadis Mevlana
Novel
Serejang Rindu yang Tak Kunjung Reda
Hadis Mevlana