Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Museum seni berada di antara keramaian dan kesunyian. Suara-suara manusia berdengung semu bertabrakan dengan kehidupan orang lain juga sisa kehidupan yang sudah lampau jauh sekali terkubur dalam lukisan-lukisan di sana.
Zoe si gadis penyendiri yang belum menemukan kisah cintanya terpaku pada satu lukisan berukuran sedang di salah satu sudut, sudut yang tidak menarik minat selain dia. Lukisan yang berjudul “Sorrow Lady” tidak seindah lukisan-lukisan yang lain, hanya lukisan dengan seorang kesatria dan nona yang ia lindungi terjebak dalam kesedihan mendalam dalam pelukan kesatria itu. Lukisan itu pun tidak memiliki teknik khusus yang membuat terpikat. Namun, sesuatu bergejolak di kedalaman relung hati Zoe. Perlahan gejolak itu menjadi sesuatu yang mendidih dan akan meledak tak lama lagi.
“She never looked nice. She looked like art, and art wasn’t supposed to look nice;
it was supposed to make you feel something.”
Rainbow Rowell
***
Sudah menjadi kebiasaan Themis bersatu dengan nemophila di taman kediaman para putri dan pangeran. Themis, sang putri yang suka sekali duduk dengan alas tikar di sana bersama buku juga kesatrianya yang gagah dan tampan, Raymond, menghabiskan berjam-jam harinya yang membosankan.
“Tuan Putri, mari masuk kembali. Matahari siang akhir-akhir ini mulai lebih terik dari biasanya, saya khawatir Anda akan kembali mengalami ruam kulit dan mengganggu waktu Anda yang menyenangkan di luar kamar,” Raymond menunduk, mengingatkan Themis.
“Duh. Aku masih ingin lebih lama di sini, Ray...” Themis menggerutu.
“Kalau begitu, saya akan membiarkan Anda selama lima menit, jika Anda masih menolak saya tak akan segan mengangkat Anda,” ancam Raymond.
“Aku tahu. Tak perlu disebutkan” Themis bergidik ngeri saat mengingat kemarin ia menolak untuk kembali ke kamar. Raymond mengangkatnya dengan cara yang memalukan dan yang lebih menyebalkan yaitu ternyata hal itu adalah perintah dari sang kakak, Putra Mahkota Helios.
Raymond tampak berpikir. “Sudah kuduga. Kau pasti berlama-lama di sini untuk melihat si Holas Holas itu,” ucap Raymond. Kedekatan mereka semenjak kecil membuat Raymond lebih santai dalam bersikap kepada Themis.
“Nicholas! Holas holas apaan, sih? Sebut nama calon suamiku dengan benar, Ray. Dia akan menjadi pangeran karena itu Kau juga harus menghormatinya sebagaimana Kau menghormatiku.” Themis berbicara dengan mata yang berbinar dan pipi yang merona. “Hm? Kenapa? Kau cemburu, Ray?”
“Hah. Cemburu? Percaya diri seka-”
“Oh! Itu dia!” terburu-buru Themis berdiri dan merapikan penampilannya. “Bagaimana? Apakah aku terlihat cantik?”
“Ya ya. Kau cantik, Putri,” jawab Raymond malas. “Selalu,” lanjutnya dengan gumam, tak yakin Themis mendengarnya atau tidak.
“Tuan Putri Ketiga,” panggil Nicholas, ajudan dari Helios. Ia membungkuk. “Rambutmu indah seperti biasanya, Tuan Putri. Selalu indah nan sebiru nemophila di taman ini” Themis tersipu malu mendengarnya.
“Rambut ini kudapatkan dari ibuku.” Themis menyisir rambutnya dengan jemari. “Aku juga suka dengan rambutmu. Perak yang berkilau di bawah sinar matahari membuatnya indah tanpa menyilaukanku.” Setelah mengatakannya, Themis semakin tersipu malu.
“Pernyataan cinta yang aneh,” Raymond kembali membatin.
“Bagaimana harimu, Tuan Putri? Aku harap harimu selalu indah seindah taman nemophila yang abadi ini.”
“Tak ada hari yang lebih indah selain bertemu denganmu, Nicholas.”
“Anda memuji saya terlalu berlebihan, Tuan Putri.” Keduanya saling berbalas senyum dengan semburat merah di pipi mereka yang samar.
Raymond berdeham. “Tuan Putri sudah terlalu lama terkena sinar matahari, jadi Tuan Putri harus segera masuk kembali.”
“Oh. Apa yang dikatakan Sir Raymond benar. Tuan Putri, kalau begitu saya pamit undur diri.” Nicholas melangkah mendekat dan mencium tangan Themis dengan lembut. Kemudian ia pergi setelah memberikan salam.
“Mari, Tuan Putri.” Raymond membuka tangannya untuk mempersilakan Themis jalan lebih dulu. Themis menurut dan berjalan kembali ke istana.
“Tidak seperti biasanya, dia tidak protes ataupun merajuk,” batin Raymond. Ia menyentuh kain kerahnya, merasakan sesuatu yang mengganggu di hatinya. Namun, ia berusaha untuk mengabaikannya seperti yang sudah-sudah dan mengikuti langkah sang putri.
***
“Tuan Putri Ketiga sangat bijak. Anda tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Putra Mahkota. Tuan Putri akan menjadi penasihatmu yang bijak suatu hari nanti,” puji Nicholas di pertemuan dengan beberapa bangsawan tinggi.
“Kau betul, Pearl. Adikku ini sangat layak untuk itu,” sahut Helios.
Kali ini Themis tidak menunjukkan wajahnya yang tersipu, tapi ia memandang Nicholas serta sang kakak dengan percaya diri. “Terima kasih, Putra Mahkota, Tuan Nicholas.”
Beberapa orang tampak terkesiap dengan ucapan Themis barusan. Memanggil seseorang di ruang umum dengan namanya, bukan marga ataupun gelarnya, menandakan sebuah hubungan yang lebih dalam dari sekadar atasan dan bawahannya. Sedangkan Nicholas melebarkan senyumnya pada Themis, senyum balasan dari Themis menjadi penegas akan dugaan orang-orang terhadap hubungan mereka.
Sejak saat itu hubungan yang diimpikan Themis mulai menjadi kenyataan. Nicholas Pearl mengajukan proposal pernikahan kepada Helios dan sang raja. Helios yang mengenal baik Nicholas tentunya menyetujui proposal itu tanpa berpikir dua kali, sedangkan sang raja, untuk sejenak mengalami dilema terhadap Nicholas.
“Ada yang anak itu sembunyikan dariku,” ucap raja pada Helios secara pribadi di ruang kerjanya.
“Sembunyikan? Tidak mungkin, Ayah. Dia adalah anak yang selama ini Ayah rawat. Nick juga selalu melaporkan apa pun tentang kesehariannya,” bela Helios.
“Ya, tidak ada yang tahu apa yang ada di pikiran anak itu sejak dulu, ‘kan?” raja menghela napas. “Apakah Themis begitu mencintainya?”
“Ya, Ayah. Aku bisa melihatnya. Mata hijaunya berkilau setiap mereka bertemu”
“Kalau begitu tak ada yang kukhawatirkan. Themis juga pasti sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum memilih Nicholas Pearl.” Jeda beberapa saat di ruangan itu, membiarkan raja mempertimbangkan sekali lagi. “Baiklah. Aku menyetujui pernikahan mereka. Semua orang juga pasti akan menyetujuinya.”
***
Hari ini adalah hari keberangkatan Themis ke kediaman Pearl untuk hari terakhir pesta pernikahan mereka yang akan diselenggarakan esok hari.
“Putri,” panggil Raymond.
Themis yang sedang berdandan menoleh. “Ya, Ray? Ada apa?”
“Kudengar Kau tidak akan membawaku bersamamu” suara Raymond yang hangat kali ini terdengar dingin dan dalam.
“Soal itu, maaf karena aku tidak memberitahumu secara langsung. Aku sibuk akhir-akhir ini-”
Tiba-tiba Raymond berjalan cepat pada Themis dan berlutut di hadapan gadis itu. “Tidak. Tidak boleh, Themis. Kau tidak boleh meninggalkanku begini. Aku adalah pedangmu, aku terlahir untuk itu. Jangan meninggalkanku, jangan membuangku.”
Themis mengerutkan keningnya. “Sudah menjadi hukum di negara ini untuk meninggalkan yang kita punya setelah menikah. Itu artinya aku harus meninggalkanmu juga,” jelas Themis. “Maafkan aku, Ray. Aku tetap menyayangimu, kesatriaku, sahabatku sampai kapan pun.”
Pernyataan cinta Themis pada Nicholas sudah cukup melukainya, luka itu pun semakin tergores kala sumpah yang mereka ucapkan, dan kini hati itu tak lagi utuh. Kesayangannya meninggalkannya di sini, di istana yang tak ada lagi cinta di dalamnya.
Themis tetap melakukan perjalanan pada kehidupan barunya, kepada kekasihnya. Namun, wajah kecewa dan putus ada milik Raymond tetap menggelantung di ruang hatinya yang paling besar.
“Tidak apa-apa. Ini karena aku sudah bersamanya bertahun-tahun, aku jadi terlalu sayang untuk meninggalkannya,” batin Themis.
Tiga jam perjalanan berhenti tepat di depan pintu masuk kediaman Pearl. Themis disambut dengan sangat baik. Nicholas pun memberikan kejutan yang menyenangkan pada istri tercintanya itu. Namun, perasaan-perasaan tadi masih menggelayut mengganggunya.
***
Begitu malam tiba, kediaman Pearl menjadi hening dan dingin. Sesuatu yang tak biasa untuk Themis, sang putri yang menyukai kehangatan. Nicholas pun tak ada di sisinya karena sesuatu menjadi sangat mendadak untuk ia tangani di istana, sehingga gadis cantik itu hanya meringkuk di ranjangnya dengan lilin di meja tengah ruangan. Perasaan aneh semakin menyelimuti hatinya.
TOK TOK TOK! Sesuatu mengetuk kaca pintu beranda kamar itu. Themis yang sudah merasakan sesuatu yang tak enak segera mendekat ke asal suara. Begitu Themis buka pintu beranda, seseorang dengan pakaian serba hitam masuk dan menyuruhnya untuk diam.
“Ray? Apa yang Kau lakukan di sini? Bagaimana bisa?” Themis dilanda kebingungan dengan keberadaan Raymond juga pakaiannya yang serba hitam dan menutup wajahnya.
“Kita harus segera kabur dari sini, Themis,” Raymond berbisik dengan tegas.
“Apa? Kenapa? Terjadi sesuatu di istana?”
“Kau cepat mengerti, ya. Benar. Sesuatu telah terjadi. Nicholas Pearl, suamimu itu menyerang istana dan membantai semua orang di sana, termasuk yang mulia raja dan ratu, putra mahkota, juga saudara-saudarimu, bahkan para dayang pun ia bantai habis. Sekarang, ayo kita kabur.”
BRAK! Tiba-tiba pintu kamar terbanting keras, menampakkan sosok Nicholas dengan pedang yang sudah siap di tangannya.
“Tampaknya aku kalah cepat." Nicholas, pria tampan dengan senyum hangatnya yang melelehkan hati banyak wanita, kini menyeringai seram. Ada sesuatu yang jahat menguasai pria itu. "Sir Raymond, kesatria kerajaan memang tak bisa diremehkan” suara Nicholas mendominasi ruang kamar dengan mengerikan. Nicholas berjalan mendekat dan memeluk Themis dengan tiba-tiba. “Oh. Aku tahu Kamu pasti sangat terkejut, sayang, tapi percayalah, aku memiliki alasanku sendiri. Aku memang betul mencintaimu dan aku tak akan membuatmu menyusul mereka. Jadi, jangan takut, sayangku” tangannya yang terselimut darah mengusap rambut Themis.
“Lepaskan tanganmu dari tuan putriku!” seru Raymond dengan pedangnya yang teracung.
“Aku lupa denganmu. Tapi, sayangku sangat menyukaimu, jadi aku juga tak akan membunuhmu, Sir Raymond.”
“Kubilang lepaskan tanganmu!” Raymond berlari dengan pedangnya. Kesatria istana yang terlatih tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyerang targetnya tanpa melukai tuannya.
TRANG! Nicholas terlempar cukup jauh meskipun sudah menangkis serangan itu dengan pedang. Pada dasarnya, Nicholas memang bukanlah seorang kesatria dan tak memiliki kemampuan untuk bertarung.
“Kenapa? Kenapa Kau melakukannya, Nicholas? Aku begitu mempercayai dan mencintaimu.” Themis mulai terisak.
“Tanyakanlah hal itu pada ayahmu, Themis. Dia melakukan hal yang sama dengan keluargaku jauh sekali sebelum Kau lahir.” Themis terbelalak. Melihat itu Nicholas tertawa keras. “HAHAHA. Kau tidak tahu, Themis? Hahaha” tawa itu terdengar menyeramkan dan menyedihkan di saat yang sama.
“Themis, berikan dia penilaianmu. Aku akan menghukumnya sesuai dengan hukum yang Kau berikan” pedang Raymond terhunus ke leher Nicholas.
Mendengarnya membuat Themis bingung. Sebagaimana namanya, ia harus memberikan keadilan hukum pada permasalahan yang ada di depannya. Tapi, ia ragu. Ia begitu mencintai Nicholas. Setelah suaminya membantai habis seluruh keluarganya pun ia masih mencintainya. Namun, jika ia memberikan hukum yang setimpal, ia akan kehilangan orang yang ia cinta lagi.
“Tidak, Ray. Aku akan memaafkannya.”
Raymond terkesiap. “Apa?”
“Aku memaafkannya. Aku begitu mencintainya, Ray. Aku tak bisa menghukumnya”
“Kau tahu apa artinya itu, Themis? Kau telah melanggar ‘hukummu’ sendiri.” Raymond menatap tajam.
“Aku tahu. Tapi, aku tak mau kehilangan orang yang kucintai lagi. Aku... Aku memaafkannya, aku memaafkan Nicholas Pearl atas kejahatannya, mengkhianati dan membunuh keluarga kerajaan,” tukas Themis.
“Themis...” sebut Nicholas. Ia sendiri tak menduga bahwa Themis akan memaafkannya begitu saja. Ada sedikit rasa haru menyelinap ke hatinya.
Sedangkan kecewa dan amarah memenuhi tatapan Raymond. Ia merasa telah dikhianati oleh semua orang. Raja yang begitu ia hormati telah melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan, serta putri tercintanya membela pengkhianat karena cinta yang terikat di antara mereka.
“Baiklah. Namun, aku akan tetap menghukum Nicholas Pearl atas pengkhianatannya pada rajaku.”
“Apa? Tidak! Aku memerintahkanmu untuk berhenti, Ray” seru Themis hendak berlari mencegah Raymond.
“Jangan salah, Themis. Aku bukan lagi kesatria yang menerima perintahmu.”
“Tidak!”
SRING! CRAT! Seruan Themis menggema bersamaan dengan dengung pedang Raymond yang memisahkan kepala Nicholas dari lehernya. Themis berteriak histeris, tangisannya semakin menjadi. Kepala Nicholas ia peluk erat tak peduli dengan darah yang mengotori baju tidurnya.
Di tengah Themis menangis meraung, tiba-tiba ia terkesiap dan berteriak kesakitan.
“Themis? Themis! Ada apa?” Raymond memegang tangan Themis yang meremas kepalanya sendiri. Themis hanya bisa berteriak sakit dengan air mata yang bercucuran dan perlahan memerah. “Themis?!”
Sampai akhirnya teriak dan tangisan itu berhenti seketika. “Raymond,” panggil Themis.
“Ya. Aku di sini.”
“Aku telah dihukum” Themis terisak kecil. “Dewa menghukumku atas keputusanku yang salah dengan mengambil mataku.”
“Themis...”
“Jangan panggil aku Themis lagi, Ray. Aku sudah tidak pantas memiliki nama itu.”
***
Zoe merasakan perasaan sakit yang semakin dalam dan membuatnya terisak sampai bahunya gemetar, air mata mengalir tanpa ia berniat untuk menghapusnya.
“Themis,” panggil seorang pria di belakang Zoe membuatnya menoleh. Pria itu tampan dan gagah di matanya. “Themis,” panggilnya lagi dengan senyuman dan setitik air mata di tangkai matanya.
“Ray?”
“Kau menghilang begitu saja dari pelukku di pagi hari setelah aku membunuh Nicholas. Kau menghilang sampai ribuan tahun.” Raymond melangkah dan memeluk Zoe atau Themis dalam ingatannya. “Aku menemukanmu, Themis. Dan jika Kau kembali hilang, aku akan terus mencari dan menemukanmu.”
***
Raymond akan selalu menemukan Themis yang ia cintai dan ia akan mencintai Themis selamanya. Mungkin lebih dari sekadar selamanya.
TAMAT