Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi di kota kecil itu berjalan seperti rambut yang disisir sabar: pelan, teratur, memastikan tak ada helai tertinggal. Udara masih dingin, aspal mengilap sisa embun, dan matahari baru meraba ujung atap seng berbaris miring.
Di gang sempit yang menurun lalu menikung ke arah bengkel tambal ban, seekor kucing oranye-putih duduk menunggu. Ujung ekornya bengkok seperti tanda koma—seolah kehadirannya hanyalah kalimat yang belum selesai.
Raka berhenti, napasnya masih tersengal karena lari pagi. Jam di ponselnya menunjukkan 07.12. Ia merogoh kantong kanvas pudar dengan noda pakan yang tak pernah hilang. “Pagi,” gumamnya pelan.
Kucing itu mendekat hati-hati. Raka menuangkan pakan kering ke mangkuk plastik biru yang sudah retak di tepinya. Butir-butir kecil itu jatuh, lalu segera disambut kunyahan renyah. Raka menonton sebentar, lalu membuka ponselnya. Pagi 07.12—Oyen makan lahap, ekor lebih santai, pupil mengecil. Catatan kecil yang mungkin tak penting bagi orang lain, tapi penting baginya.
Setelah membilas mangkuk dengan air botol, ia menutupnya rapat. “Sampai besok,” ucapnya. Kucing itu menjilat kumis, lalu bersembunyi di bawah kursi plastik bengkel Mas Prapto. Raka tersenyum sebentar, kemudian melanjutkan larinya.
Sore hari, jalan itu punya nada lain. Suara motor lebih ramai, udara lebih hangat, aroma kopi dari warung Bu Rumi melayang keluar.
Sena berjalan dengan hoodie tipis, lelah tapi ringan. Jam di ponselnya 17.43. Di tas kainnya ada kaleng makanan basah yang ia sisihkan dari uang tip.
“Bos kecil!” panggilnya pelan. Kucing itu muncul dari bawah kursi plastik. Sena jongkok, membuka kaleng, menuang ke mangkuk yang sama. “Hari ini menu premium, ya.”
Ia selalu bicara pada kucing itu seperti teman lama: tentang pelanggan yang iseng, tentang sepatu lari yang belum kebeli, tentang tugas kuliah yang molor. Kucing itu makan dengan tenang, bulu oranye-putihnya mengilap diterpa cahaya senja.
Sena menatapnya. “Kalau kamu punya rumah, masih betah gak tidur di bawah kursi plastik itu?” Ia tersenyum kecil, lalu merapikan mangkuk setelah kucing selesai. “Sampai besok, bos kecil.”
Ia melangkah pergi. Di belakangnya, bunga kamboja jatuh tepat di sisi mangkuk.
Bulan-bulan berjalan. Raka selalu datang pagi, Sena selalu sore. Mereka tak pernah bertemu, seakan waktu menjaga jarak.
Mas Prapto sering melihat Oyen tidur di bawah kursinya. Bu Rumi tersenyum tiap kali melihat mangkuk biru berpindah isi. Bagi mereka, itu pemandangan biasa: ada dua orang asing, di jam berbeda, yang sama-sama peduli pada seekor kucing.
Sampai hujan memutus kebiasaan.
Suatu Selasa, langit runtuh sejak siang. Hujan deras turun miring, jalanan cepat tergenang. Raka terjebak di halte, melirik jam—07.04—dan merasa gelisah. Biasanya ia sudah sampai. Ia meraih payung biru tua di rak halte, entah milik siapa. Ujungnya bengkok, tapi masih bisa dipakai.
Di tikungan, ia melihat seorang perempuan berdiri di bawah pohon kamboja, basah dari lutut ke bawah, memeluk tas kain. Di bawah kursi plastik, Oyen duduk menggigil.
Mata mereka bertemu.
“Eh… kamu juga?” suara perempuan itu kalah oleh hujan. Ia mengangkat kaleng kecil. “Aku biasanya sore. Tapi pulang lebih cepat.”
Raka menunjukkan kantong kanvas. “Aku biasanya pagi. Tapi hujan bikin telat.”
Mereka sama-sama tertawa canggung. Raka mendekat, menawarkan setengah payung. Perempuan itu—Sena—berjalan setengah kikuk ke sisinya.
“Dia… namanya Oyen ya?” tanya Raka.
Sena terkekeh. “Kamu juga manggil Oyen? Aku sih biasanya panggil bos kecil. Kayak dia yang punya otoritas di gang ini.”
Raka ikut tertawa. “Cocok. Emang kayak juru parkir diam.”
Mereka menuang makanan bersama, diam-diam menyadari kucing itu lebih lahap saat ada dua tangan. Hujan jadi musik latar yang tak usai.
“Terima kasih payungnya,” kata Sena.
“Bukan punyaku. Payung ini memang selalu ada di halte,” jawab Raka.
“Masih lebih gentleman daripada cuma nonton dari jauh,” Sena menggoda, matanya berbinar.
Mereka tertawa, lalu berteduh di warung Bu Rumi.
“Lho, akhirnya ketemu juga kalian berdua?” sapa Bu Rumi. “Pantesan si Oyen rajin makan, ternyata punya dua koki.”
Raka dan Sena saling pandang, lalu menunduk sambil tersenyum.
Mereka ngobrol panjang untuk pertama kalinya: tentang kerja, kuliah, tentang kucing. Mereka bertukar nomor. Janji tipis terucap: lain kali, mereka akan koordinasi.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai sengaja berpapasan. Membawa carrier pinjaman, mencoba membujuk Oyen masuk. Gagal berkali-kali. Kucing itu kabur, mereka tertawa.
Duduk di selasar, mereka mulai terbuka. Raka cerita tentang obsesinya mencatat jam. Sena cerita tentang masa kecilnya yang sering pindah-pindah, membuatnya takut komitmen.
“Kucing gak bisa terus dibawa-bawa di tas,” kata Raka.
“Makanya aku butuh partner gila buat bawa tas lebih besar,” jawab Sena sambil terkekeh.
Perlahan, mereka menyusun rencana: memastikan Oyen benar-benar liar, menabung biaya klinik, mencari cara adopsi. Nama “bos kecil” mulai bergeser jadi “Oyen,” tapi sesekali Sena tetap memanggilnya begitu, hanya untuk lucu-lucuan.
Sampai akhirnya, di hari gerimis, Oyen masuk ke carrier. Mereka menahan napas, lalu mengunci pintunya.
Di klinik, dokter tersenyum. “Sehat. Tinggal vaksin dan nanti steril.”
Mereka berbagi biaya. Untuk pertama kalinya, mereka berjabat tangan dengan mantap.
Namun masalah datang. Kontrakan Raka melarang peliharaan. Sena mendapat tawaran shift tambahan. Jadwal bisa kacau lagi.
“Kita bisa bagi waktu,” kata Raka.
“Aku takut dia kesepian,” jawab Sena.
Hari-hari itu penuh kebingungan. Lalu satu pagi, Oyen menghilang. Selimut kosong, mangkuk tak tersentuh. Mereka mencari seharian, panik, lelah.
Malamnya, Raka mengirim pesan: Besok pagi aku cari lagi.
Balasan Sena cepat: Aku ikut. Kita panda bareng kalau harus begadang.
Mereka menyisir gang-gang. Hingga suara meong serak terdengar dari atap. Oyen ada di sana, terpincang. Raka memanjat tangga, Sena menahan bawahnya. Dengan siulan pelan, akhirnya Oyen mau digendong turun.
Air hujan menetes, tapi hati mereka hangat.
“Kita adopsi,” kata Raka.
Sena mengangguk. “Kita adopsi.”
Mereka pindah ke kontrakan baru—rumah kecil pet-friendly, tak jauh dari gang lama. Oyen punya kardus besar dengan dua pintu buatan Mas Prapto, selimut lembut dari Sena, dan karpet kecil hadiah Bu Rumi.
Hari-hari menemukan ritme baru. Raka tetap mencatat, Sena tetap bercerita, Oyen tetap tidur seenaknya. Mereka bertengkar kecil soal hal remeh, lalu belajar minta maaf. Mereka berbagi sarapan sederhana, berbagi waktu, berbagi ketakutan, lalu saling menenangkan.
Sterilisasi berjalan lancar. Oyen pulang dengan kerah pelindung, tersinggung, tapi aman. Mereka berjaga bergantian, memastikan bos kecil tidur nyenyak.
Suatu malam, mereka berdiri di jendela. Di luar, pohon kamboja masih menggugurkan bunga.
“Dulu jamku 07.12,” kata Raka.
“Jamku 17.43,” balas Sena. “Lucu ya, akhirnya ketemu juga.”
“Mungkin karena ada kucing yang lapar,” ucap Raka.
“Atau karena ada dua orang yang butuh alasan buat berhenti sejenak,” jawab Sena.
Raka menoleh, mengecup keningnya pelan. “Terima kasih sudah datang lebih cepat hari hujan itu.”
“Terima kasih sudah telat hari itu,” Sena tertawa kecil.
Di kursi, Oyen membuka mata sebentar, lalu menutupnya lagi.
Malam merapat. Jam terus berjalan. Tapi kali ini, jam mereka sudah tak lagi sendiri—sudah jadi satu.
Beberapa bulan kemudian, mereka kembali ke warung Bu Rumi.
“Gimana sekarang rasanya?” tanya Bu Rumi.
“Rasanya seperti jamku bisa pagi, sore, atau malam—tapi tetap aman,” kata Raka.
“Rasanya seperti belajar memilih hal-hal kecil tiap hari,” tambah Sena.
Bu Rumi tersenyum. “Intinya kalian bahagia?”
Mereka saling pandang. “Bahagia,” jawab mereka bersamaan.
Di rumah, Oyen menunggu di kardus dua pintu, mendengkur. Jam di dinding berdetak, tapi bagi mereka, waktu tak lagi soal angka. Waktu kini tentang siapa yang berdiri di sisinya.
“Selamat pagi,” kata Raka.
“Selamat menjemput sore,” jawab Sena.
“Meong,” Oyen menutup dengan satu suku kata.
Dan dunia pun berjalan lagi—sedikit lebih hangat, sedikit lebih penuh.