Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jakarta, 2012
Lembut, halus, namun kaku. Itu yang kurasakan pada jari jemariku. Aku pun memijat tanganku sendiri. Kotak putih-hitam pada piano sudah menunggu jariku di hadapanku. Perasaan takut mulai terbit, namun aku harus tetap memberanikan diri, harus. Tanganku yang dari tadi melayang-layang di atas kotak putih-hitam itu, akhirnya mulai memencet kotak-kotak gepeng itu perlahan, dan bunyinya keluar dengan merdu.
Aku mulai memainkan lagu Fantasia No. 3, D minor. Aku mencoba dengan yang mudah terlebih dahulu, membiasakan kembali jari-jari ceker ini, agar aku bisa kembali lagi pada pertunjukan CHOPIN piano competition pada bulan depan. Aku teringat pada masa awal aku mempelajari alat musik ini, aku masih berumur 6 tahun, dan lagu pertama yang kumainkan itu adalah Fantasia No. 3 ini. Sama seperti pianis lainnya, aku awal kenal lagu piano klasik itu dari Mozart atau Beethoven. Walau sekarang aku sedang memainkan Mozart, tetapi dari dulu karya Beethoven memang lebih sering kudengar dan kudengar ulang. Permainan emosinya itu sangat terstruktur dan rapi. Di satu menit ia bermain halus, lembut. Namun di menit berikutnya ia bermain dengan tegas. Agresifnya begitu kerasa pada setiap hentakan jarinya. Dan gaya agresifnya itu kujadikan referensi, dan semenjak acara Internasional Concerto pertamaku pada 2001 itu, aku dikenal sebagai Son of Beethoven. Jujur aku tidak suka disampingi oleh Beethoven, tetapi mau bagaimana lagi? Itu julukan yang dianugerahkan kepadaku oleh mereka. Aku sungguh—Klink!—
...
Sial, salah nada. selama hidupku di lagu ini aku tidak pernah salah nada.
"Baik... Silahkan jika mau mencoba lagi." rutuk Dokter sok tahu itu sambil mencatat di kertas kecilnya.
Dok Yudi ini sedang memeriksa perkembangan saraf pada tanganku, dan sekaligus permasalahan otot tangan juga. Tetapi "dokter" ini tidak sama sekali membantu perkembangan jari-jariku. Kerjaan dia hanya nulis-nulis tidak jelas dan memberiku saran yang tidak penting. Apakah dia tidak tahu aku sedang mengejar sebuah acara? Andai jari bak mie instan ini masih berfungsi, aku pasti sudah latihan lagu orisinil untuk pertunjukan keliling Eropa tahun ini. Bahkan mungkin aku sudah khatam pada hari ini! Sudah lah, kuatur kembali nafasku, tangan kuangkat lagi diatas kotak putih-hitam itu, dan langsung memencetnya dengan teratur.
...
Kini aku berganti lagu Rage over A Penny. Mencoba memberanikan diri dan memainkan karya Beethoven, tidak lagi Mozart, atau pemain cemen lainnya seperti Debussy. Tenaga yang dibutuhkan untuk memainkan lagu ini cukup menantang. Tempo yang cukup gesit, tenaga otot yang membutuhkan aku untuk menghentakkan jari-jari, tapi juga piece ini bernada seru. Seperti roller coaster di wahana hiburan. Menceritakan hal yang sederhana namun emosinya yang lepas tak terkendalinya dapat membuahi karya yang menarik. Sungguh menggambarkan emosi manusia yang kompleks. Kami sebagai manusia bisa menyadari dan mengetahui mana yang buruk dan mana yang baik, namun di saat aku diselak pada saat ngantri, atau pada saat minuman ku ditumpahkan oleh pelayan, atau lubang pakaian pada lenganku tersangkut oleh gagang pintu, rasanya seperti ingin kusemproti amarah ku seluas-luasnya, dan membiarkan api itu membakar hutan. Itulah nilai geniusnya Beethoven, aku ingat—Klink!—
"Arrgh!"
"Hei, Timo kamu nggak apa apa?" Tanya Dok Yudi.
"Ya ya, aku bisa..."
"Jangan kau paksakan"
"Aku harus bisa! Hanya saja jari babiku ini yang— akh..." kesakitan lagi, aku memijat kembali tanganku.
Hening. Lalu hape ku berdering.
"Itu siapa? Coba periksa." Ucap aku sambil mengusap-usap punggung tanganku.
Dok Yudi menghampiri meja ruang tamu, dan melihat layar hape Timo.
"Ini Ibumu."
Sial pikirku, hal terakhir yang kuinginkan itu Ibuku menelpon.
"Sudah lah, tinggal kan saja kita masih sibuk."
"Aku tidak sibuk Timo, kamu yang sibuk."
"Jangan bercanda! Ini serius, kau dokter bukan sih?"
Dok Yudi hanya menatapiku dan menegaskan alisnya. Aku menatap balik. Apakah dikiranya lawakan kalau saya tidak bisa main piano lagi? Dengan itu pun aku mulai memainkan pianoku kembali. Kali ini aku memainkan Moonlight Sonata, 3rd movement. Aku tidak main-main lagi, sekarang benar-benar kuusahakan semaksimal mungkin untuk tetap menjaga nada-nadaku. Tempo pada lagu ini sungguh cepat bak gerakan kilat di hujan malam. Tetapi semakin kumainkan, jari-jariku mulai meleset. Yang awalnya aku bermain dengan lincah, kini berantakan, beleberan, dan nada-nada yang kumainkan seolah meleleh dan menguap di tengah udara. Aku merasakan sarafku yang kesakitan dengan dahsyat, namun terus kupaksa. Hingga pada akhirnya Dok Yudi memotong permainanku.
"Tim— Timo, cukup."
Aku masih terus bermain.
"Tim."
Masih.
"Tim?"
Terus.
"Timo."
Bermain.
"Timo!"
Aku terdiam. Nada Dok Yudi cukup tegas saat memanggil namaku kesekian kalinya.
"Dengan hal seperti ini, tidak ada cara lain lagi selain istirahat."
"Dok aku nggak bisa istirahat, aku harus terus latihan." Ujar Aku.
"Tim, dengan keadaan sarafmu yang seperti ini, sepertinya kamu tidak akan bisa bermain musik lagi." Ucap Dok Yudi.
"Kau— Jangan bohong Dok." Rutukku tak percaya.
"Kau mau tahu seberapa parah kondisimu? Gerakan yang paling ekstrim untuk tanganmu itu hanya menggenggam cangkir, cangkir kosong bahkan. Maaf Timo, aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya lagi ke kamu..."
Aku melongo, tak percaya. Mustahil. Aku menatap ke wajah Dok Yudi yang tidak menampilkan wajah bercandanya, kali ini ia serius. Setelah menatap wajah Dok Yudi, aku berpindah tatapan ke arah tanganku. Urat-urat nadi yang berserakan di punggung tanganku berdenyut, tak tahu apakah itu hanya di dalam pikiran delusiku saja atau memang benar urat nadiku memompa seperti itu. Jari-jemariku sulit untuk diluruskan, dan telah kusadari bahwa tanganku kini terus bergetar, walau tidak besar guncangannya, jari-jemari ku seolah terisak. Aku terus menatap dalam-dalam ke punggung tanganku, kemudian ke telapak tanganku, selagi hapeku kembali berdering.
...
Berlin, 2010
Di depan kaca aku merapikan dasi kupu-kupuku, lalu mengenakan kemeja hitam kelas yang digantung di pintu. Kemudian ada yang mengetuk, memanggil untuk memperingatkan bahwa acara akan dimulai dalam lima menit. Di saat aku keluar ruang rias, aku berjalan ke arah belakang panggung, dan di situ sudah terdengar riuh rendah bisikkan para penonton. Setelah beberapa saat tiba-tiba seorang petugas mencolekku.
"Permisi Pak, ada yang mencari Bapak." Ucap petugasnya dalam bahasa Jerman.
Kutengok ke arah pintu, dan terlihat Ibu-Ibu tua-bungkuk dengan tas belanjaannya datang menghampiriku. Sial, ini bukan waktu yang tepat, aku harus segera menyelesaikan ini.
"Mas Timo, gimana sudah siap? Aku bawa roti-roti biar kamu berenergi" Ucap Ibuku dengan berbisik, lalu mengeluarkan teh kotak dan roti.
"Mah— duh mah nggak sekarang mah, udah lah."
"Ada coklat-coklat juga, tapi aku ambil satu gapapa yah..."
"Bu... janga—
—Ada permen juga..."
"Bu jangan di sini!" ucapku membentak.
Ibuku terlihat sungguh kaget. Menjadi pusat perhatian, semua petugas acara menatap pada kami.
"...Kenapa Mas?" ucapnya cemas.
"Aku udah mau tampil, dan kamu malu-maluin aku di depan petugas tadi. Mending kamu balik saja ke tempat duduk dan tunggu." ucapku tegas.
Aku menatap tajam ke Ibuku, dan Ibuku menatap letih kepadaku.
"Owh, yasudah... aku kembali duduk ya."
Ibuku akhirnya jalan kembali ke tempat duduknya, huft— Aku kembali mengatur pernafasanku, dan mengguncang-guncangkan tanganku. Pada saat salah satu petugasnya memberikan aku jempol, aku pun berjalan ke panggung. Yang awalnya ruangan itu diisi oleh bisikkan perbincangan, kini diisi oleh tepukan tangan yang meriah. Para audiens berdiri, dan terus bertepuk tangan. Ketiga lampu sorot di langit-langit studio berarah kepadaku. Di samping piano, aku menutup mata dan mulai meresapi dahulu energi yang diberikan oleh audiens. Semua orang disini mencintaiku, walau aku tidak mencintai mereka sebegitunya. Aku pun lanjut duduk pada kursinya, dan memainkan musik orisinilku, berjudul Sonata Bahari.
- Yogyakarta, 2024