Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Somalia yang Tercabik
2
Suka
536
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku memperhatikan Ayah membongkar aqals dengan gerakan cekatan. Aqals adalah bangunan tempat tinggal kami suku nomaden saat menetap di suatu wilayah. Bangunan berbentuk bundar yang terbuat dari kayu dengan dinding luar dilapisi kulit hewan.

Sementara Ibu tampak sibuk membenahi peralatan dapur yang bertebaran di dekat aqals.

"Cepat sedikit, Omar! Matahari sudah tinggi!" seru Ayah sambil mengikat kayu-kayu penyangga aqals yang telah selesai dIgbongkarnya.

Aku menepuk-nepuk kepala unta di hadapanku agar cepat menghabiskan minumnya. Setelah binatang tersebut mengangkat kepalanya, cepat-cepat kuambil ember tempat minumnya dan menyerahkan pada Ibu.

"Ayah, sekarang kita akan ke mana?"

Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba Ayah mengajak kami pindah padahal rumput di tempat ini masih cukup subur dan banyak untuk makanan domba-domba kami.

"Sekarang keadaan sudah tidak aman, Nak. Kita tidak bisa lagi bepergian atau menetap lama seperti dulu," jawab Ayah yang tengah mengikatkan kayu-kayu penyangga itu di punggung unta paling besar, unta jantan yang bertugas mengangkut barang-barang kami. Sementara unta yang dua lagi kami jadikan kendaraan di perjalanan sekaligus penghalau domba-domba milik kami.

"Tidak aman kenapa?" tanyaku makin tak mengerti.

"Omar, jangan bertanya terus. Nanti kita ditinggal oleh yang lain," sela Ibu.

Aku diam, menelan kembali rasa heran yang mengusik hatiku. Siang itu, saat matahari membakar bumi dengan sinarnya yang terik, kami kembali melakukan perjalanan panjang, beriringan di belakang keluarga-keluarga lain. Perjalanan seperti ini biasa kami lakukan karena memang beginilah cara hidup kami, orang-orang Somalia dari klan Samaale. Mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

Kutatap pohon-pohon akasia yang meliuk-liuk ditiup angin padang rumput. Sesekali debu tampak beterbangan ketika angin nakal itu mengembus dataran kering berdebu yang membentang di sebagian besar negeri Somalia ini. Suhu yang panas akibat kemarau panjang telah membuat kulitku rasa terpanggang dan mengilap. Mataku menyipit menahan panas yang luar biasa.

Ibu yang duduk berhadap-hadapan denganku menatap iba. "Sabar, Nak. Panas ini belum seberapa jika dibandingkan dengan panasnya neraka," katanya sambil menyampirkan ujung garbasaar, selendang lebar yang dipakainya, ke atas kepalaku. Lalu Ibu pun menyanyikan sebuah lagu yang berisi cerita sejarah untuk menghiburku.

Aku hanya mengangguk kecil. Ibu memang selalu begitu. Selalu mengucapkan kalimat-kalimat sejuk atau menyanyi untukku. Sama seperti Kakek yang meninggal setahun lalu. Beliau juga sangat suka menghibur anggota klan lain dengan cerita dan nasihat berhikmah. Sampai-sampai Kakek dipanggil Syaikh Samaale oleh klan kami.

@@@

Perjalanan panjang dari utara ke selatan itu akhirnya sampai di pinggir Sungai Shabeelle, tidak jauh dari Mogadishu. Dari jarak ratusan meter, aku sudah bisa melihat sebuah perkampungan.

"Ibu, apakah kita akan ke kampung itu?" tanyaku menunjuk perkampungan tersebut.

"Iya. Apakah Omar senang?"

Aku tak menjawab. Terus terang aku sendiri tidak tahu apakah aku akan suka tinggal di sana. "Berapa minggu kita di sana, Bu?" tanyaku lagi.

Ibu tampak berpikir sejenak. "Entahlah, Nak. Mungkin untuk waktu yang agak lama," jawabnya tanpa senyum. Ada kilatan sedih di bola matanya. Kenapa wajah Ibu jadi berubah?

"Ibu tidak senang tinggal di sana?" tanyaku mencoba menebak isi hatinya.

Ibu tersenyum tipis sambil mengelus kepalaku. "Omar, di mana pun kita tinggal, di situ tetap bumi Allah. Jadi kita tidak boleh merasa tidak suka. Allah tahu yang terbaik buat kita."

"Tapi kenapa Ibu tampak sedih?" kejarku tidak puas.

Sejenak Ibu menatapku. Sorot matanya menembus bola mataku. "Allah sedang menguji kita, Omar. Ibu khawatir tidak cukup sabar menerimanya."

Aku jadi kian bingung. "Menguji kita?"

"Sudahlah, Sayang. Lihat, kita sudah dekat!"

Kuikuti pandangannya. Benar. Kami sudah sangat dekat dengan perkampungan itu. Kutoleh Ayah yang menunggangi untanya sendirian di belakang kami, mengawal domba-domba. Hewan-hewan berbulu keriting itu tampak gembira melihat hamparan rerumputan di sekitar perkampungan. Mereka mulai berlompatan riang.

@@@

Aku mengitari perkampungan kecil itu dengan takjub. Jarang sekali aku melihat perkampungan seperti ini karena klan kami jarang singgah di tempat pemukiman penduduk yang biasa dihuni oleh klan Sab.

Kuamati rumah-rumah mundols milik penduduk dengan mata membesar. Bentuknya mirip aqals, tapi yang ini lebih bagus dan besar. Bagian luarnya dilapisi lumpur dan atapnya dari alang-alang.

Perkampungan ini unik dan menyenangkan. Kurasa aku betah tinggal di sini. Ada ladang millet dan jagung di sebelah timur. Juga ladang tebu di sebelah barat. Sementara di sebelah selatan, di sepanjang aliran Sungai Shabeelle, terdapat perkebunan pisang. Kata Ayah, kebun itu milik orang asing.

"Omar! Ayo masuk!" Ibu melambai di pintu aqals begitu melihat aku datang.

Setengah berlari aku menemuinya.

"Sudah hampir magrib, Omar harus belajar lagi," kata Ibu sambil mengulurkan sarung warna-warniku.

Aku menurut dan dengan malas-malasan kupakai sarung itu, juga kopiah putih penutup kepala. Ya, tiap sore, sebelum salat magrib, Ibu selalu mengajariku membaca Alquran. Dan setelah salat isya, beliau akan mengajariku tentang abtrisirno, yaitu sejarah klan kami dan juga sejarah Somalia.

"Jangan malas begitu, Sayang. Katanya ingin seperti Bilal bin Rabbah. Oya, Ibu telah sediakan daging dan selai kesukaan Omar. Tapi makannya nanti, ya, setelah belajar."

"Benar, Bu?" tanyaku girang.

Ibu mengangguk. Maka mulailah kuikuti Ibu mengeja huruf-huruf hijaiyah itu dengan penuh semangat. Kusimak baik-baik uraiannya tentang makna ayat-ayat suci tersebut. Kuakui, Ibu memang pintar. Apalagi jika beliau sedang mengajarkan tentang abtrisirno, semangat dan kecintaanku terhadap Somalia jadi kian membara. Abtrisirno adalah pelajaran sejarah Somalia.

Pernah aku bilang bahwa Ibu lebih pintar dari Ayah yang tiap hari hanya sibuk dengan domba-domba dan pekerjaannya. Tidak pernah Ayah mengajariku seperti Ibu.

"Omar tidak boleh bilang begitu. Tugas Ayah bekerja, mencari nafkah, jadi tidak bisa mengajari Omar tiap hari. Maka Ibu yang harus mengajari Omar. Paham?" kata Ibu bijak.

Aku mengangguk mengerti. Aku memang mengagumi Ibu yang selalu memakai selendang lebar untuk melilit tubuh bagian atasnya. Guntimo warna-warni yang dipakai Ibu juga sangat panjang melilit baju bagian dalamnya yang berlengan panjang.

Kata Ibu, memang begitulah baju seorang muslimah, harus menutup seluruh tubuh. Dan guntimo itu sudah menjadi pakaian tradisional perempuan di klan kami, klan Samaale dan juga perempuan Somalia pada umumnya.

@@@

Setelah beberapa bulan tinggal di perkampungan klan Sab ini, aku pun mulai terbiasa dengan cara hidup mereka. Namun ada sesuatu yang tetap mengganjal pikiranku. Kenapa dulu Ayah bilang bahwa keadaan sudah tidak aman lagi? Lalu kenapa Ibu juga bilang bahwa kami sedang diuji Allah? Itukah sebabnya kami tidak lagi bisa hidup seperti layaknya klan Samaale?

Pikiran itu tak juga hilang dari kepalaku, hingga suatu hari kampung yang kami tempati didatangi oleh segerombolan manusia asing berkulit putih. Mereka datang dengan menggunakan kendaraan besar yang suaranya sangat bising. Mereka memakai pakaian loreng-loreng dan topi baja. Di punggung mereka tersampir senjata berat.

Aku bersama dengan penduduk lain tertegun melihat kedatangan mereka. Pun ketika mereka mengatakan bahwa kedatangannya membawa misi perdamaian. Seorang lelaki berkulit hitam yang berdiri paling depan, menjadi juru bicara mereka.

"Amerika dan PBB akan menerapkan operation restore hope di sini! Operasi pengembalian harapan untuk seluruh rakyat Somalia! Jadi sambutlah kedatangan mereka! Kuu Soodhowow Soomaaliya!"

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud lelaki itu. Operasi pengembalian harapan? Bingung, kutoleh Ibu yang berdiri di sampingku. Tampak matanya menatap tajam ke arah orang-orang asing itu. Ada gurat yang tak kumengerti di raut wajahnya.

@@@

"Mogadishu sedang rusuh! Pemerintahan komunis Siad Barre sudah digulingkan." Seorang lelaki dari klan Sab berbicara setengah berbisik.

"Syukurlah. Sudah tiga puluh tahun ia memerintah secara diktator. Somalia yang hijau telah diubahnya menjadi kering kerontang karena sistem pertanian dan ekonomi yang keliru."

"Klan-klan di desa sekitar Kismaayo juga sedang terlibat pertikaian dan saling menyerang," timpal lelaki yang satunya lagi.

"Aku dengar tentara-tentara asing itu datang untuk mendamaikan mereka."

"Asal bukan menambah keruh keadaan saja," celetuk seorang lelaki tua yang memakai sarung coklat kotak-kotak. Wajahnya tampak sinis.

"Katanya orang-orang asing itu akan membentuk pemerintahan baru yang lebih mengutamakan kemakmuran rakyat."

"Hah! Maksudmu Ali Mahdi? Rakyat tidak menyukainya. Aku sendiri lebih suka Jenderal Mohamed Farrah Aidid yang memimpin kita. Orangnya sangat merakyat!"

"Tapi Amerika tidak menyukainya."

"Ya, karena Amerika hanya akan menyukai orang-orang yang bisa mereka kendalikan seperti Ali Mahdi. Mereka takut jika Jenderal Mohamed Farrah Aidid mengembalikan kejayaan Islam di Somalia. Dan kamu sendiri, mana yang kamu pilih?"

"Entahlah."

Aku manahan napas yang tiba-tiba terasa sesak. Firasatku mengatakan bahwa sesuatu yang buruk sedang melanda negeri ini. Kupacu langkah menuju aqals.

"Omar, dari mana saja seharian?" tanya Ibu menyambut kedatanganku yang terengah-engah. Beliau tampak heran menatapku.

"Bu, Ayah mana?" seruku dengan napas memburu.

"Ke kota, menemui temannya. Kenapa?"

"Bu, orang-orang di pasar bilang bahwa Mogadishu sedang rusuh. Ayah dalam bahaya!" kataku cemas.

Sesaat Ibu menatapku. "Ibu tahu."

"Ibu tahu?"

Ibu mengangguk pelan. "Allah akan menjaga Ayah."

"Ibu tidak bohong? Ibu yakin?"

"Insya Allah."

Aku pun diam. Kata Ibu, jika Allah yang menjaga maka tidak akan ada seorang pun yang bisa membuatnya celaka. Dan aku percaya itu. Suasana kemudian berubah hening. Napasku mulai reda.

Perlahan aku duduk di pintu aqals, mencoba mencerna apa-apa yang kudengar di pasar tadi. Amerika? Dari klan mana orang-orang itu? Makin lama berpikir, makin banyak tanda tanya di kepalaku.

Tidak lama kemudian kudengar suara Ibu yang lembut memecah keheningan dengan bacaan tilawahnya yang merdu, memantulkan keteduhan di dalam aqals kami yang sederhana. Untuk beberapa saat kurasakan kedamaian mengaliri ruang rasaku.

Ah, aku jadi rindu mengembara lagi. Membelah padang tandus dan sesekali menikmati hembusan angin dari pohon-pohon akasia. Menyimak cerita-cerita dan senandung Ibu di atas punggung unta tentang Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

Atau menggoda Ayah yang mengawal di belakang kami. Jika malam tiba, dekapan hangat Ibu akan membuatku nyaman hingga tertidur pulas. Sungguh, alam yang ganas membuat kami makin merasakan keberadaan Allah.

"Omar masih di situ?"

Tiba-tiba teguran Ibu mengejutkanku. Aku menoleh memandang Ibu yang sedang menyelipkan mushafnya di antara kayu penyangga aqals.

"Omar masih merisaukan Ayah?" Ibu tersenyum sambil mendekatiku.

Aku menggeleng.

"Omar lapar?"

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Lalu apa yang dipikirkan oleh pejuang kecil ini?" Dielusnya kepalaku penuh sayang. Senyum teduhnya terukir manis.

"Bu." Kutatap mata Ibu lurus-lurus. "Siapa sebenarnya orang-orang asing itu? Apakah mereka orang-orang jahat? Kenapa klan-klan jadi saling berperang? Apakah nanti kita dan klan Sab juga akan berperang?"

Ibu menatapku dalam diam. Bibirnya terlihat bergetar. Hanya senyumnya yang tampak menyurut.

"Benarkah orang-orang asing itu akan mendamaikan mereka?" Aku terus bertanya meski belum satu jawaban pun kudengar dari beliau. Hanya kerutan di keningnya yang menandakan bahwa Ibu sedang berpikir serius.

"Omar...." Akhirnya Ibu bersuara juga setelah tertegun sekian lama. "Ibu tidak bisa katakan apakah mereka jahat atau baik. Yang Ibu tahu, mereka selalu ada di setiap kerusuhan yang menimpa suatu negeri. Entah untuk mendamaikan atau memperkeruh keadaan.”

Aku menyimak dengan seksama setiap kalimat Ibu. Di usiaku yang menginjak delapan tahun ini, penjelasan Ibu itu menimbulkan banyak tanda tanya di kepalaku.

“Yang jelas, mereka punya kekuatan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Mereka punya kekuasaan, Nak. Tapi Omar jangan takut. Apa pun maksud yang mereka sembunyikan, percayalah bahwa Allah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang melebihi semua itu.” Ibu menatapku dan mengusap bahuku lembut.

“Suatu saat, jika Omar sudah besar, Omar akan mengerti dan bisa melihat sendiri mereka orang jahat atau orang baik. Yang penting, Omar harus terus belajar dan rajin membaca Alquran. Tidak boleh malas-malasan lagi. Omar mau berjanji?"

Aku mengangguk pelan.

"Alquran jugalah yang akan melindungi kita dari pemurtadan yang sering mengiringi peristiwa-peristiwa semacam ini. Akidah kita akan ditukar dengan bantuan dalam berbagai bentuk. Omar mau imannya ditukar dengan makanan yang enak atau pakaian yang bagus?"

Aku menggeleng cepat. "Tidak! Kata Kakek, biarlah kita mati kelaparan, yang penting kita tetap beriman pada Allah dan Rasul-Nya."

Ibu tersenyum. Lalu direngkuhnya kepalaku dalam dekapan yang hangat.

Meski aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini, tapi aku bisa merasakan terusiknya kedamaian yang selama ini menaungi kami. Dan meski tidak sepenuhnya kupahami maksud kalimat Ibu, tapi aku yakin Ibu bicara benar. Aku percaya, Ibu tidak pernah berbohong. Dan aku akan terus memercayainya demi negeri yang sangat kucintai ini. Juga demi kedamaian yang menjadi hak kami, rakyat Somalia.

@@@

Ternyata aku tak perlu menunggu sampai dewasa untuk bisa mengerti semua itu. Cukup dua tahun saja! Karena saat ini, saat usiaku menginjak 10 tahun, aku telah dipaksa memahami setiap kejadian yang menimpa negeriku.

Bulan Agustus lalu, Amerika telah menurunkan pasukan khusus Delta Force sebanyak 400 orang untuk menangkap Jenderal Mohamed Farrah Aidid, tokoh heroik yang dipuja rakyat Somalia. Dibantu oleh dua kompi pasukan Pakistan dan Italia. Katanya mereka ingin menyelamatkan rakyat Somalia.

Namun apa yang terjadi? Berondongan senapan mesin, lontaran granat dan tembakan roket telah meluluhlantakkan Mogadishu dan perkampungan di sekitarnya.

"Aku menyesal," suara Ahmed terdengar bergetar di belakangku.

Aku menoleh pada lelaki berpakaian tentara yang tengah duduk di samping Ibrahim Ghedi, salah seorang tokoh klan Sab.

"Amerika telah mengkhianati misi perdamaian. Kami hanya dijadikan tameng mereka di medan tempur. Pengecut! Kita telah dihasut untuk saling membunuh sesama Muslim!" Anggota pasukan Pakistan itu mengusap wajahnya dengan raut mengeras.

Aku hanya diam menyimak. Sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun, aku mulai bisa mencerna semua peristiwa ini dengan baik. Terutama sejak melihat tubuh ibuku bermandikan darah, ketika sebuah roket menghantam Rumah Sakit Benadir, tempat Ibu dirawat. Amerika menuduh Jenderal Mohamed Farrah Aidid bersembunyi di sana.

Padahal sebelumnya aku harus pula menerima kenyataan bahwa ayahku telah ditangkap polisi karena dianggap menghasut klan Samaale untuk mendukung Jenderal Mohamed Farrah Aidid.

"Aku bersumpah! Anda jadi saksiku di hadapan Allah kelak. Ali Mahdi tidak pantas menduduki kursi kepemimpinan karena ia sama sekali tidak berperan apa-apa dalam menggulingkan Siad Barre. Dia hanya manusia licik yang mencuri kesempatan di tengah kekacauan ini dengan memanfaatkan kekayaannya!" Geram nada suara lelaki asal Pakistan itu.

Kulemparkan pandangan ke seluruh area pengungsian yang kini jadi tempat tinggal kami. Tenda-tenda memenuhi area ini. Entah sampai kapan aku harus ada di sini. Aku rindu mengembara lagi, sebab aku adalah anak yang memiliki darah kental klan Samaale. Darah pejuang.

Kehadiran Ibrahim Ghedi sebagai ayah angkatku, tentu tak kan mampu menggantikan sosok Ibu dan Ayah yang telah tiada. Penyesalan Ahmed dan kawan-kawannya juga tidak akan mengembalikan Somalia ke kondisi semula. 

Nanar kutatap gugusan pohon-pohon akasia nun jauh di sana. Kurasa mereka lebih bisa mengungkapkan apa yang kini aku rasakan, lewat daun-daunnya yang seakan enggan bergoyang. Bahkan angin pun seperti kehilangan gairah untuk bercanda dengan debu-debu. Ya, semua bisa merasakan, betapa kedamaian itu kini tak hanya terusik, tapi sudah tercabik-cabik! (NSR)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@kanayaputi : Makasih ya sudah mampir.🙏🏻
Cerpen sejarah yg mencerahkan.
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Somalia yang Tercabik
Novia Syahidah Rais
Novel
Bronze
Lost In Escape
rdsinta
Cerpen
Henkjan & Hantu Pabrik Gula (2)
𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Novel
Bronze
DIKEJAR DOSA
Donny Sixx
Novel
Gold
Berbagi Hati
Noura Publishing
Novel
Gold
Sejarah Islam yang Hilang
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Langit Menangis di Balik '98: Kisah Perjuangan dan Pencarian Identitas
Aisyah Salsabila Putri
Cerpen
Peramalan cuaca menguji kebenaran Almanak.
Muhamad Gilang pamungkas
Novel
HILANG
rizky al-faruqi
Novel
Bronze
Luka Yang Tak Pernah SEMBUH
Maria Ulfa
Novel
Dear Malaikat Izrail
princess bermata biru
Novel
Bronze
MEI
Nurinwa Ki. S Hendrowinoto
Novel
Bronze
RANGGA WARSITA (SULUK SUNGSANG BAWANA BALIK)
sri wintala achmad
Novel
Bronze
PELANGI SENJA ARZINARA
Kandil Sukma Ayu
Cerpen
Pondok Mbah Caraka
cendana
Rekomendasi
Cerpen
Somalia yang Tercabik
Novia Syahidah Rais
Flash
Bronze
Semalam di Hotel Berhantu
Novia Syahidah Rais
Cerpen
Bisnis Maut
Novia Syahidah Rais
Novel
Bronze
Bukan Darah Daging
Novia Syahidah Rais
Flash
Bronze
Semalam di Hotel Berhantu (2)
Novia Syahidah Rais
Cerpen
Gadis Lembah Tsang Po
Novia Syahidah Rais
Cerpen
Cinta Dalam Secangkir Kopi
Novia Syahidah Rais