Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sedari malam hingga malam lagi, otak saya tak berhenti memikirkan satu pertanyaan: Mengapa saya jatuh cinta lagi? Sejatinya, pertanyaan ini sungguh mudah dijawab. Yaitu, karena saya manusia dan naluri saya masih berfungsi dengan baik.
Kemudian, satu-satunya yang memperumitnya adalah ketika saya jatuh cinta lagi di saat telah ada seseorang yang mendampingi saya. Dia adalah istri yang baik, penyayang, penurut, yang juga telah mengurus semua kebutuhan saya lahir dan batin selama lima tahun.
Nyatanya, mendapati realita bahwa masih ada seseorang yang lain yang menyukai saya secara tulus adalah sebuah fakta yang menyenangkan: hati saya berbunga-bunga, hari-hari saya terasa berwarna, tak jarang di suatu waktu saya tersenyum sendiri bak remaja yang baru mengenal kasmaran.
Saya seorang lelaki bertubuh sedang dengan bobot 72 kilogram, berwajah tipikal kearab-araban, berkulit sawo matang, dan tinggi hampir 170 sentimeter. Bukankah itu sebuah perpaduan yang masih cocok untuk mendapat julukan ‘Ganteng’ di usia ke 37? Saya bekerja di sebuah klinik sebagai manajer yang mengatur bagian pelayanan dan kebersihan. Lalu, seorang perempuan yang menyukai saya itu adalah salah satu manajer dari divisi lain di klinik itu.
Kejutannya adalah … dia tetap menyukai saya meski tahu bahwa saya sudah ada yang punya dan tak ada sedikit pun keinginannya untuk memadamkan perasaan kasmaran itu. Sebaliknya, ia makin terang-terangan menunjukkan ketertarikannya kepada saya.
Berawal dari kenekatan perempuan lajang itu menghubungi saya setiap malam, saya berubah menjadi sosok yang amat waspada dan sangat menjaga tutur agar tidak keceplosan di hadapan istri saya. Meski saya jelas-jelas telah melakukan pelanggaran, saya tak ingin ada satu pun celah yang bisa membuat rumah tangga saya retak. Egois, bukan? Seorang ‘pengkhianat pernikahan’ yang masih berharap memiliki pernikahan yang baik-baik.
*
“Sayang, apa kau masih belum tidur?” tanya istri saya. Dia baru saja pulang bekerja dan waktu telah lewat jam sepuluh malam. Perempuan bertubuh gempal berperut besar itu segera membuka pintu lemari dan mengambil beberapa pakaian ganti. Setelahnya, ia menggantungkan seragam kerjanya di balik pintu kamar dan mulai berjalan mendekati saya yang masih berkutat dengan ponsel di tepi ranjang. Dia bekerja di kafe milik orang tuanya sebagai tukang masak dan selalu pulang saat malam sudah hampir larut.
“Oh, iya. Aku sudah tidur tadi. Tapi, ponselku sepertinya butuh dicas.” Saya berbohong soal ponsel yang habis baterai. Sebenarnya saya baru selesai mengobrol dengan perempuan lain ‘itu’.
“Hemm. Kalau begitu, lanjutkan saja tidurmu. Besok kau berangkat pagi, kan? Apa mau kupijit?”
“Tidak usah. Aku tak mau merepotkanmu. Kau juga pasti capek.”
Saya juga berbohong soal ini. Sebenarnya, tubuh saya lelah, dan tawaran pijatan itu akan meringankan keletihan. Namun, saya juga tak ingin istri saya menanyai macam-macam soal pekerjaan. Bisa-bisa dia menangkap gelagat aneh di wajah saya. Saya sadar betul akan kekurangan saya untuk hal yang satu itu.
Seperti biasanya, selagi perempuan itu membersihkan diri sebelum naik ke ranjang, cepat-cepat saya enyahkan segala jejak yang tertinggal dari ponsel saya malam itu: pesan-pesan nakal, juga catatan panggilan di waktu yang berbeda. Saya baru bisa terlelap dengan nyaman setelah semua bukti itu bersih, dan istri saya tidur nyenyak. Tak ada keganjilan, tak ada pertengkaran.
**
Malam-malam selanjutnya pun masih sama. Istri saya pulang larut malam, dan saya yang berbohong seusai terburu-buru mengakhiri pembicaraan dengan manajer ‘itu’. Tak ada hal yang membuat saya berdebar sampai ketika istri saya itu menatap dengan ekspresi bahwa ada hal penting yang ingin dia katakan.
“Sayang. Malam ini apa kita bisa bicara sebentar?”ucap istri saya setelah menggantung pakaian di balik pintu.
Dia berdiri menghadap saya yang sedang tergolek di atas ranjang. Seketika rasa dingin mulai merambati telapak tangan. Entah apa yang ia ingin katakan kali ini, tetapi saya sudah merasa takut lebih dahulu. Barangkali ini adalah perasaan paranoia saya sendiri: perasaan bersalah karena mengkhianatinya.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya saya dengan nada datar. Mati-matian saya menahan rasa panik di benak. Saya tak ingin perempuan di hadapan saya itu merasa curiga sedikit pun.
Segera dia duduk di tepi ranjang, dekat dengan kaki saya.
“Ada seorang lelaki menyukaiku, dan menyatakan cinta kepadaku.”
Deg! Jantung saya berdegup keras. Ada rasa sepanas bara menyerang batin saya.
“Siapa?” tanya saya dengan nada setenang mungkin.
“Seorang teman kerja. Dia lelaki luwes, gagah, dan masih muda. Lebih muda dariku.”
“Lalu?” tanya saya lagi. Ingin rasanya saya bertanya macam-macam meskipun hati saya kacau mendengar perkataannya yang terlalu jujur itu. Saya cemburu! Namun, menunjukkan rasa cemburu di depan perempuan itu juga adalah hal yang memalukan. Bukankah saya juga sedang menyukai perempuan lain dan bahkan telah mengkhianati istri saya diam-diam.
“Kau tanya aku? Jujur, aku juga menyukainya. Dia baik, perhatian, dan sangat pintar untuk ukuran laki-laki seusianya. Dia masih 26 tahun.”
Jika boleh, ingin juga saya lempar berbagai umpatan kemarahan kepada lelaki yang menyukai istri saya itu, persis seperti yang sering saya lakukan dahulu saat kami masih sama-sama lajang, setiap kali ada lelaki yang mencoba mendekatinya. Tetapi, bak ditampar di pipi sendiri, pengakuan istri saya itu malah menyindir saya habis-habisan.
“Tadi pagi, dia nekat memegang tanganku di pantri, sambil mengatakan perasaannya itu.”
Wajah saya panas. “Kau terima?”
“Ya.”
Saya terdiam. Sebuah batu besar seperti sedang menghantam kepala saya bulat-bulat.
“Aku memang menyukai dia, sebatas rekan kerja. Dia ulet, profesional, dan perhatian. Tapi, apa kau tau, Sayang. Dibandingkan rasa sukaku kepadanya, rasa cinta yang kumiliki untukmu lebih besar dari siapa pun.”
“Kau bilang kau menerimanya?”
“Ya, aku menerima perasaannya, menghargainya sebagai laki-laki. Tapi bukan berarti aku juga bersedia jadi kekasihnya, kan?”
Amarah saya meledak seketika. Segera saya bangkit dan meninju pintu lemari pakaian hingga remuk. Istri saya yang panik lekas memeluk punggung saya.
“Percayalah, aku cuma cinta kamu. Bukan yang lain,” kata istri saya lagi.
Bukannya terharu akan kalimat romantis itu, jantung saya malah makin carut-marut. Saya malah makin ingin meninju pintu lemari itu berkali-kali. Ia bukanlah perempuan romantis yang selalu menyanjung saya dengan kata-kata manis. Pernyataan tulusnya kali ini bagaikan menginjak-injak harga diri saya. Saya sama sekali tidak marah kepadanya, atau juga kepada lelaki yang menyukainya itu. Saya marah kepada diri sendiri.
Dia terus memberikan usapan di rambut saya hingga amarah itu mereda. Usapannya masih sama: nyaman, tak ada yang berbeda sejak dahulu, sejak perutnya tak sebuncit saat ini, dan tubuhnya belum segempal sekarang ini.
“Ceritakan juga kepadaku?” katanya.
“Tentang apa?”
“Tentang orang yang kau sukai baru-baru ini.”
Saya membeku. Perasaan kaget itu nyaris membuat jantung saya loncat keluar dari rongga dada.
“Kau ... tau?” ucap saya tergagap.
“Kau tersenyum ketika bercermin. Kau memakai parfum yang berbeda dari yang biasanya. Kau selalu memastikan wajahmu berkali-kali. Kau bernyanyi ketika mandi, ketika menyeduh kopimu. Kau selalu mengecek ponselmu tiap saat. Aku ini istrimu, Sayang. Bahkan semua sikapmu yang paling kecil sekali pun, akan tertangkap di mataku.”
Saya kembali menegang. Otot-otot di kepala saya keras. Apa ini yang namanya tertangkap basah tanpa sedikit pun terkena air?
“Apa dia lebih cantik dariku?” tanya istri saya lagi.
Saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk menyahut pertanyaan itu.
“Baiklah, jika kau tidak ingin bercerita. Aku tunggu sampai kau siap.”
Istri saya lalu melepas pelukannya dan berjalan meninggalkan saya yang masih menatap wajah bodoh saya di hadapan cermin.
“Sayang ....” katanya sambil berbalik memandang saya, “kau boleh tidur duluan jika kau memang lelah.“
Namun, setelah berkata begitu, perlahan ia mendekat dan mengecup pipi saya. “Aku ingin memasak mi instan pedas. Tapi sebelum itu, ada kabar baik yang ingin aku katakan kepadamu.”
“Apa?“ tanya saya terperanjat.
“Orangtuaku akhirnya setuju untuk membeli satu toko di lokasi yang dulu pernah kau bilang. Kau bisa berhenti bekerja dan membuka toko impianmu di sana. Atau, jika kau tidak mau, dan masih suka bekerja, aku akan batalkan rencana itu.”
Saya menegang, lagi. Pelupuk mata saya mulai berair. Segera saya peluk tubuh perempuan itu erat agar dia tak melihat air mata saya yang hampir tumpah tak terbendung.
“Aku menyesal sudah mengabarkan tentang toko itu jika aku tau kau malah sedih seperti ini,” ucap istri saya.
Saya menggeleng. Tak bisa saya ungkapkan satu kata pun kepada perempuan yang telah membersamai saya selama bertahun-tahun itu. Antara sedih, perasaan bersalah, sekaligus bahagia, bercampur menjadi satu gumpalan besar di benak saya.
“Sudah, ya, Sayang, sepertinya suamiku ini butuh istirahat. Pekerjaanmu hari ini banyak, kan?”
“Aku mau mi juga,” ucap saya tanpa tahu malu.
“Serius?”
“Hmm.” Saya mengangguk polos.
“Ayo kita buat mi instan cabe lima belas seperti biasa!” jawab perempuan itu bersemangat.
Jujur saja saya akui, saat ini istri saya adalah yang paling cantik; lebih cantik dari perempuan mana pun, lebih romantis dari perempuan mana pun, dan lebih pedas daripada mi instan lima belas cabe rawit mana pun.
(*)