Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Sniper
0
Suka
1,207
Dibaca

Di sinilah Ardi. Berbaring telungkup tertutupi rumput tinggi dan gerombolan semak di atas bukit tempatnya mengintai. Pepohonan di sekitar berbatang besar, cukup bagus untuk menyembunyikan tubuh. Gagang sniper rifle – senapan runduk - terarah mengacung ke depan dengan pasti. Sementara jari telunjuk pemuda itu siaga di tombol pelatuk.

Ardi merasakan telapak tangannya basah. Padahal udara cukup sejuk. Pastinya karena ketegangan yang dirasakan. Degup jantung Ardi mulai berdentam kencang sejak jumlah targetnya berkurang. Yang berarti pertempuran akan semakin sengit dan juga area akan dipersempit. Ia dan empat teman satu tim sudah bersusah payah hingga sejauh ini. Semua ini harus berhasil dengan kemenangan. Kalau sampai ia tertembak dan mati, sia-sialah semua yang ia pertaruhkan selama ini.

Ardi menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, tidak. Kami pasti menang, batinnya mencoba menyemangati diri sendiri. Saat mendarat di area pertempuran, ia sudah benar dan yakin mengambil senjata favoritnya. DL-Q33. Sniper rifle ini cukup mematikan karena memiliki efek kerusakan tinggi jika terkena lawan. Jangkauan jarak tembaknya pun cukup jauh, sekitar dua kilometer. Selain itu, ia sudah melengkapi senapan ini dengan perlengkapan termutakhir. Salah satunya, magasin yang dapat memuat banyak peluru sehingga ia tidak perlu sering mengganti magasin. Apalagi di saat keadaan sedang genting.

Mata Ardi kembali menyapu area nun jauh di depan sana lewat teleskop variabel modifikasi yang dapat melihat objek hingga sejauh sepuluh kilometer. Teleskop ini bisa disetel untuk perbesaran objek menjadi tiga puluh enam kali lipat. Cukup tajam dan efektif untuk pengintaian target jarak jauh. Lensa berlapis anti berbayang yang juga tahan panas, air dan debu serta tidak menimbulkan embun di kaca. Lensa ini juga memiliki ketahanan tinggi pada getaran hentakan senapan saat ditembakkan.

Tugas Ardi bisa dibilang sedikit lebih aman daripada tugas teman-teman satu timnya. Kecuali jika ada sniper – penembak jitu – lain yang mengetahui keberadaan Ardi. Oleh karena itu, moncong senapan telah Ardi lengkapi dengan peredam supaya saat ia melepaskan peluru yang melesat cepat keluar dari senapan, tidak ada suara dan percikan api yang mencuri perhatian lawan. Walaupun dari mini map di layar dapat terlihat lokasi baku tembak, tapi setidaknya lokasi detail tempatnya sembunyi tidak akan ketahuan dengan cepat.

 Walaupun sedikit lebih aman, tapi tugas Ardi juga merupakan salah satu kunci penting. Ia harus menjaga teman-temannya nun jauh di sana jika terjadi baku tembak secara berhadapan langsung. Ardi harus cepat dan cekatan dalam menumbangkan musuh dari jarak jauh. Beruntung dengan lensa sniper rifle ini, Ardi bisa melihat jelas bagian tubuh mana dari musuh yang akan ia lontarkan peluru. Tentu yang utama, Ardi akan memilih bagian paling vital. Kepala. One shot, one kill - satu tembakan langsung mati.

 Posisi Ardi akan jadi sangat berbahaya jika ada musuh mendekatinya dengan pakaian kamuflase yang membaur dengan sekitar. Apalagi di hutan seperti ini. Maka dari itu, kadang konsentrasi Ardi harus bisa terbagi. Ia harus rutin dan waspada juga mendengar suara langkah dan jejak kaki musuh yang mendekat di tampilan mini map.

 Sebagai seorang sniper yang sulit diketahui posisinya, keberadaan Ardi juga pasti diincar oleh UAV – Unmanned Aerial Vehicle (pesawat tanpa awak) – milik musuh. Pangkat Ardi sudah bisa mengaktifkan perangkat untuk menyembunyikan diri agar tidak terdeteksi oleh pengintaian UAV tersebut. Semoga saja tidak ada musuh yang cukup terampil hingga bisa menggunakan alat mematikan tersebut.

 Tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan di earpiece Ardi. Jantung pemuda itu jadi berpacu lebih cepat. Raut gelisah tampak di wajah saat ia melihat mini map dan mendapati posisi rentetan tembakan ada di lokasi belakang. Cukup dekat dengan tempatnya berada sekarang.

 “Tahan posisi, Di. Biarin aja dia pada tembak-tembakan. Lumayan ngurangin musuh,” komando Rizal, salah seorang teman satu tim Ardi.

 “Liat-liat mini map, Di. Kayaknya ada yang bakal deketin lo,” Rio memperingatkan. “Gue sekalian ngambilin peluru buat lo, nih.”

 “Roger that! Jangan lupa ambil bom asap sama flash bang,” balas Ardi. Lantas ia menyimpan sniper rifle dan menggantinya dengan sub machine gun – senapan semi otomatis – tipe AKS-74U pilihannya. Ia menyukai senjata ini karena mudah digunakan tapi cukup mematikan pada pertempuran jarak dekat. Perangkat yang Ardi pasang juga sudah cukup lengkap. Diantaranya teleskop dengan titik laser dan long barrel – laras tambahan agar jangkauan jarak tembak bisa lebih jauh.

 Sejauh ini, Ardi berkesimpulan jika posisi yang diambil saat pertempuran sedikit mencerminkan karakter orang tersebut. Seperti Ardi sendiri misalnya. Ia adalah orang yang tidak mudah mengambil keputusan secara cepat. Ia juga tidak begitu suka dengan kejutan atau rencana dadakan. Bila ada sesuatu yang harus diputuskan, Ardi pasti akan berpikir dan menimbang matang-matang dulu. Tidak langsung menolak atau menerima. Ia akan melihat lebih jauh seberapa perlu dan sejauh mana keputusan yang harus diambil. Maka dari itu, Ardi lebih suka di posisi sniper. Karena ia merasa mempunyai lebih banyak waktu dan jarak ketika terlibat baku tembak.

 Berbeda dengan Rizal dan Dirga misalnya. Ardi memperhatikan bahwa kedua temannya ini bisa diandalkan dalam bertindak cepat dan efisien. Tidak mudah panik dan bisa mengkordinasi siasat penyerangan dadakan.

 Sedangkan Rio dan Gery, mereka berdua memilih pakai teknik bar-bar. Asal seruduk dan gerebek masuk jika menemukan banguan atau musuh. Tapi mudah panik pula sehingga suka asal tembak dan menghabiskan amunisi. Apalagi kalau yang menembaki mereka ternyata sniper musuh. Bisa dipastikan bakal ramai mereka berdua karena tertembak. Seperti sekarang ini.

 “Wadow! Ada yang nembakin gue. Kayaknya dari gedung di depan, deh,” Gery merayap mundur ke balik batu besar di bawah bukit. Ia menyuntikkan adrenalin dan serum untuk memulihkan luka dan mengembalikan stamina.

 “Di, cari, Di. Woy, tolongin ini gue knocked down!” suara Rio mulai panik. Ia beringsut ke luar ke arah jalan.

 “Yo, jangan ke jalan. Posisi lo nanti terbuka banget. Sasaran empuk. Biar gue yang ke tempat lo,” Dirga mengendap cepat menghampiri Rio yang merangkak setelah tertembak beberapa kali. Ia membantu memulihkan luka tembak di tubuh Rio.

 Ardi mengganti kembali senjatanya dengan sniper rifle. Ia memindai semua bangunan di depan sana lewat teleskop. Beberapa kali ia bergeser untuk mendapatkan sudut pandang terbaik. Setelah beberapa saat, ia melihat kilatan dari sniper rifle di salah satu jendela di gedung paling pinggir sebelah kanan. Pantas saja Gery dan Rio tertembak karena posisi mereka mudah terlihat sniper musuh tersebut.

 Masih telungkup di rumput, Ardi bergerak cepat merayap ke posisi yang memungkinkan untuk membidik sniper musuh tadi. Sepertinya ia harus sedikit bangun. Jadi Ardi bangkit dan berjongkok di balik sebuah pohon. Ia kembali membidik musuh. Kepala si sniper yang sedikit muncul ke bingkai jendela di gedung tadi. Setelah pasti dan yakin dengan sasarannya, Ardi menahan napas sebelum melepaskan tembakan.

Pelatuk ditekan. Peluru melesat keluar dari moncong senapan berperedam. Tanpa suara, tanpa kilatan percikan api. Dan Ardi jelas melihat lewat teleskopnya jika tembakannya mengenai sasaran.

 Mata Ardi melihat cipratan merah ketika peluru sampai ke targetnya di depan sana. Ia menunggu beberapa detik. Tidak ada pergerakan lagi dari jendela tempat lawan tadi dan juga tidak ada tembakan balasan dari sana. Ardi yakin betul melihat tanda tersebut. One shot, one kill. Headshot.

 “Mantep, Di!”

Excellent. Kayak biasanya.”

“Ardi, si hemat peluru.”

Dirga, Rio dan Gery melontarkan pujian bersamaan.

 “Tahan dulu. Jangan langsung nyerbu ke depan. Tiga orang temen-temen si sniper tadi masih nguasain bangunan depan,” ujar Rizal yang memang lokasinya dekat dengan bangunan di depan untuk mengintai.

 “Ger, Yo, coba lo berdua muter lewat menara di kanan. Liat-liat kali di sana pada ngumpet di dalem gedung,” perintah Dirga.

 “Oke. Kita gerebek dari sebelah kanan,” Gery melirik bersemangat dan memberi isyarat kepada Rio untuk bergerak ke tempat yang dimaksud.

 “Udah nggak ada sniper musuh aja, grebekan lagi, deh,” goda Rizal yang dibalas tawa oleh semua temannya.

 “Di, peluru buat lo gw titip di Dirga,” kata Rio sembari mengeluarkan sejumlah magasin dari dalam ransel. Lalu ia menyusul mengendap cepat bersama Gery. Sementara Dirga mendekati posisi Ardi.

 “Tinggal sembilan belas orang. Termasuk kita,” ujar Rizal.

 “Berarti mesti ngabisin empat belas orang lagi. Mudah-mudahan aja mereka nggak pengalaman,” suara Rio terdengar letih. Soalnya sejak pertempuran dimulai, ia dan Gery terlalu bersemangat.

 Setelah menerima peluru dari Dirga, hati Ardi sedikit tenang. Amunisinya memang mulai menipis karena baku tembak sebelumnya menghabiskan banyak peluru. Ardi mengisi ulang kedua senjatanya untuk berjaga-jaga. Menjelang akhir pertempuran seperti ini, biasanya ada beberapa orang lawan yang pasti lebih nekat dan cekatan untuk melakukan baku tembak jarak dekat. Pemikiran ini membuat kedua telapak tangan Ardi semakin basah. Ia mengelap kedua tangan di baju. Ia menarik napas panjang dari hidung dan menghembuskan napas dari mulut berulang kali untuk meredakan rasa cemas dan gugup.

 Dirga di sebelahnya menyeringai lebar. “Tenang, Di. Lo ngeker aja ke depan sana. Siapa tau Gery dan Rio…” perkataan Dirga terpotong tepat ketika ia terjerembab.

 Untung saja Ardi merespon cepat. Ia melirik mini map dan melihat dua jejak kaki tepat di belakang mereka di balik batu. Berarti ada dua orang musuh di dekat mereka. “Ga, dia di balik batu. Lo ke belakang gw. Cepet!”

 Dirga merangkak ke belakang Ardi yang masih berjongkok, lalu secepatnya menyuntikkan serum pemulihan dan adrenalin. Sementara Ardi telah mengganti rifle dengan senapan semi otomatisnya. Ia bersiaga mengarahkan moncong senapan ke arah jejak yang terlihat di mini map.

 “Di, gue ke belakang sini. Lo jagain di posisi sini kalo yang satu lagi dateng dari sana,” Dirga yang sudah pulih mengendap ke balik batu dari arah berlawanan.

 Degup jantung Ardi makin berderap kencang. Hawa dingin terasa berdesir di sekujur punggung. Perasaannya mulai kalut mendengar suara Gery dan Rio bercampur dengan suara rentetan senjata dari earpiece. Sepertinya di tempat kedua temannya sedang berlangsung baku tembak jarak dekat dengan sengit. Ia juga mendengar Rizal minta tolong karena knocked down.

 Jantung Ardi serasa melompat dari rongga dada begitu melihat musuh keluar dari balik batu di hadapannya. Karena posisinya yang lebih rendah dari lawan, jadi tembakan yang dilontarkan kepadanya meleset. Ardi menembak beberapa kali sampai tubuh lawannya jatuh tak bergerak. Dengan cepat ia mengambil amunisi milik lawan yang sudah tak bernyawa.

 “Di, ayo ke Rizal. Keburu maot dia nanti,” ajak Dirga. Ia juga sudah membereskan satu orang yang mengendap di belakang mereka tadi. Lantas ia dan Ardi berlari ke posisi Rizal sembari melemparkan bom asap sepanjang jalan ke berbagai arah. Tujuannya agar musuh tidak bisa melihat kemana pastinya mereka. Semoga saja tidak ada sniper yang menggunakan senjata dengan teleskop pemindai panas. Karena biarpun menggunakan bom asap, suhu tubuh mereka tetap bisa terlihat dari teleskop tersebut.

 Beruntung sekali Rizal masih bisa terselamatkan. Ardi memulihkan kaptennya tersebut. Dirga berjaga di dekat mereka.

 “Musuh tinggal dua tim. Masing-masing sisa tiga orang,” Rio menginfokan dari posisinya.

 “Mending kita kumpul. Jangan mencar terlalu jauh,” saran Gery.

 “Oke. Ayo kita maju ke titik temu akhir duluan. Kita pasang posisi duluan buat bertahan,” ajak Rizal. Ia selesai memakai serum dan adrenalin.

 Mereka berlima bergerak cepat ke titik temu akhir dengan formasi melingkar. Saling menjaga dan mengawasi area di sekitar. Sesekali mereka juga mengestimasi waktu yang mengaktifkan garis elektrik pembatas area pertempuran di layar masing-masing.

 Titik temu akhir pertempuran berada di sebuah gedung seperti bekas pabrik. Rio dan Gery mengintai bagian dalam gedung lebih dulu dari pintu masuk yang terbuka lebar. Sementara Rizal, Dirga dan Ardi mengawasi bagian luar.

 Tiba-tiba, desing peluru terdengar menghantam tembok dan aspal di sekitar luar bangunan. Pecahan tembok dan aspal bertebaran di sekitar Ardi dan kedua temannya. Ada jeda beberapa detik diantara rentetan peluru yang memberondong tersebut. Sepertinya ada yang menggunakan sniper rifle, tapi kurang handal. Tapi tetap saja, peluru yang bisa membuat tembok dan aspal gompal, pastinya fatal jika terkena anggota tubuh. Apalagi jika peluru tersebut tepat mengenai kepala. Bisa langsung dipastikan akibatnya.

 “Kayaknya peluru lima inchi,” desis Ardi.

 Tanpa dikomando lagi, Rizal, Dirga dan Adi langsung masuk ke dalam gedung. Di lantai gedung terdapat banyak kotak berbagai ukuran berserakan berisi senjata dan amunisi. Mereka memilih dan mengambil amunisi sesuai jenis senjata api yang mereka gunakan.

 Belum ada lima detik, tiga orang musuh menyerbu masuk ke dalam gedung. Mereka tampak sigap dan siap menghadapi tim Ardi. Rentetan tembakan dilepaskan, memberondong Ardi dan timnya.

 Dirga dan Rizal berguling ke samping, bersembunyi di balik tumpukan peti kayu. Ardi sempat berlari ke balik tembok di depan. Secepat mungkin Ardi mengambil frag grenade dan melemparkan ke arah musuh. Ketiga musuh mereka langsung berhenti menembak, perhatian mereka teralihkan sejenak mencari ke mana granat tadi bergulir.

 Sebelum granat meledak, Dirga dan Rizal secepat kilat berlari ke posisi Ardi. Jantung mereka bertiga berdetak kencang saat granat tadi meledak.

 “Pada knocked down. Biarin aja, nanti juga mati sendiri,” Ardi mengintip dari balik tembok. Ia dan kedua temannya menyuntikkan adrenalin untuk mengembalikan kondisi tubuh dan stamina setelah ditembaki tadi.

 Ketiga musuh mereka tadi merangkak lemah, saling berdempetan dengan pasrah. Tidak tersisa lagi teman satu tim mereka untuk membantu memulihkan luka. Tak lama, tubuh mereka bertiga terkulai jatuh tak bergerak di lantai.

 “Berarti tinggal tiga orang lagi,” Rizal mengusap wajah untuk menghilangkan penat.

 “Lo gabung sama Rio dan Gery di atas. Kita berdua jaga di bawah,” Dirga mengkomando. Ia mengisi ulang kedua senjatanya. Begitu juga dengan Rizal.

 Ardi berlari cepat menuju tangga dan naik ke bagian atas gedung. Ia berpindah-pindah posisi di keempat sisi bingkai jendela gedung untuk memindai keberadaan musuh di luar sana. Rio bersiap di bingkai pintu keluar bagian atas. Gery siaga di seberang posisi Rio.

 Ketika berpindah posisi untuk ketiga kali, Ardi bisa melihat pergerakan di balik sebuah batang pohon tak jauh dari lokasi gedung. “Musuh di N44! Satu di balik pohon. Dua lagi menuju ke sini,” Ardi bersiap kembali dengan rifle-nya. Keempat teman satu timnya juga bersiap dengan posisi dan senjata mereka. Pemenang pertempuran ini haruslah jadi milik tim Ardi.

Ardi menopang laras senapan di bingkai jendela. Matanya fokus menatap target lewat teleskop. Ia berusaha membidik dengan pasti bagian tubuh musuh di balik pohon yang diintainya. Agak ragu, Ardi melepaskan tembakan. Meleset. Mulutnya mengumpat singkat. Dengan cepat ia kembali membidik. Dan menahan napas karena musuh di balik pohon itu juga membidiknya dengan senapan sejenis.

 

Sial. Gue harus yakin kali ini, batin Ardi. Ya, tentu ia harus yakin dengan bidikannya. Kalau tidak, bisa-bisa kepalanya duluan yang tertembus peluru. Ardi menghembuskan napas perlahan lewat mulut. Kali ini keberuntungan benar-benar berpihak kepadanya. Musuh di balik pohon itu malah keluar. Dengan cepat dan mudah, Ardi membidik kepala musuh dan menembak. Kena! Tanda itu muncul lagi. Headshot. One shot, one kill.

 Sisa dua orang musuh sedang baku tembak di bawah dengan teman-teman Ardi. Jaraknya tidak terlalu dekat juga tidak jauh. Tampaknya kedua lawan mereka cukup tangguh dan taktis. Ardi bergeser mengubah posisi untuk mencari celah menembak lawan. Suara panik Rio dan Gery yang knocked down membuat konsentrasi Ardi sedikit buyar. Ardi menggelengkan kepala mengusir pemikiran pesimis yang sempat singgah dalam benaknya.

 Sembari menguatkan tekad untuk tetap hidup dan menang, Ardi menimbang posisi dari kedua orang lawannya. Yang mana yang kira-kira lebih mudah untuk dihabisi terlebih dahulu. Ia membidik lawan yang posisinya paling dekat dan mudah terjangkau oleh penglihatannya. Memang kepala lawannya tersebut tidak terlihat di teleskop. Setidaknya menembak anggota tubuhnya yang lain beberapa kali juga akan berakibat fatal.

 Ardi membidik bahu lawannya yang menyembul dari balik tumpukan jerami. Ia menarik napas dan menahannya. Lalu tembakan dilepaskan. Kena! Sekali lagi Ardi melepaskan tembakan dan mengenai bagian dada. Lawannya langsung knocked down.  Kali ini tidak usah mengincar kepala, Ardi menembak bagian punggung lawan dan selesailah satu urusan. Tinggal satu lagi.

 “Abisin, Di. Ini tinggal gue doang sendiri di bawah. Yang lain pada keok udah,” suara Dirga terdengar pasrah.

 Kerongkongan Ardi terasa kering kerontang. Ia tidak menjawab. Hanya mengelap kedua telapak tangan yang basah secara bergantian ke bajunya. Lalu ia bersiap kembali menuntaskan satu orang lagi lawannya. Suara teman-temannya terdengar menyemangati di earpiece, membuat keyakinan Ardi menguat.

 Dengan semangat untuk menang yang makin membara, Ardi menganti magasin senapan. Ia mengintip sedikit ke luar melalui bingkai jendela. Tiba-tiba pecahan tembok menghujani Ardi tepat di atas kepala. Jantung Ardi berdentam cepat. Ia merasakan desiran panas dan dingin bersamaan mengaliri sekujur pembuluh darahnya.

 “Di, dia telungkup di rumput yang dekat semak-semak,” info Rizal.

 Ardi segera tanggap. Ia kembali bersiap dengan rifle. Ardi mengintai posisi yang disebut Rizal tadi lewat teleskop. Ia tidak bisa melihat jelas dari posisinya. Jadi Ardi berpindah ke sudut ruangan lain sambil tetap merunduk. Setelah sampai, ia mengintai kembali posisi musuh. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke samping ketika ia bisa melihat tubuh lawan dari samping. Segini cukup, batin Ardi. Tanpa buang waktu lagi, ia membidik tepat di bagian kepala lawan yang sebagian tampak dari teleskop. Lalu melepaskan tembakan dengan keyakinan penuh.

 Percikan merah itu terlihat seperti kembang api kemenangan bagi Ardi dan timnya. Tanda itu muncul lagi sekilas. Headshot. One shot, one kill.

 Lalu tepat di tengah layar tanda lain muncul:

 #1/20

MISSION COMPLETE

Exit (10s)

 Suara riuh sorak-sorai teman-teman dan hampir semua pengunjung kafe – yang kebanyakan adalah pemain game online seperti mereka – membahana di telinga Ardi. Degup jantung Ardi masih cepat, tapi rasa kalut dan tegang yang tadi ia rasakan sudah berganti dengan kelegaan.

 “Yaay! Jadi kita ke turnamen,” sorak Gery dan Rio.

 “Udah bener banget emang lo doyan wortel. Bidikannya oke,” puji Dirga sambil tertawa.

 “Jadi kita lolos ke turnamen karena wortel. Puja worteeel,” kelakar Rizal.

 “Yaudah. Nanti pas turnamen, si wortel aja yang jadi sniper,” balas Ardi berlagak ngambek. Keempat temannya terbahak. Mereka berlima lanjut mengobrol dan bermain game kembali di babak berikutnya.

 Malam sabtu ini, kafe tempat nongkrong anak-anak muda tampak lebih penuh dan ramai. Jaringan wi-fi di kafe ini lumayan kencang dan bagus, para pemain game online memilih tempat ini karena sedang ada pertandingan kualifikasi online untuk ikut serta nanti di turnamen offline.

 Setidaknya, bermain game online sejenis ini bisa menjadi penyaluran dan penghibur bagi pekerjaan impian Ardi dan keempat temannya yang tidak tercapai. Mereka berlima memiliki impian untuk masuk dunia militer. Tapi dikarenakan beberapa alasan, jadilah impian mereka harus dikubur dalam-dalam.

 Karena Ardi adalah anak semata wayang, jadi kedua orang tuanya tidak memberi restu untuk Ardi masuk ke dunia militer. Pasalnya, salah satu keponakan ibu Ardi ada yang merupakan anggota satuan militer dan gugur ketika bertugas. Jadi ibu Ardi merasa takut kehilangan Ardi dengan cara yang sama.

 Kalau Rizal dan Gery, mereka berdua punya masalah serupa, yaitu berkacamata tebal. Sementara Dirga dan Rio bermasalah di tinggi badan. Kurang lima sentimeter dari kriteria yang ditetapkan.

 Mereka berlima memang sudah berteman sejak sekolah menengah pertama. Rumah pun lumayan berdekatan. Dan tentu saja main game online serta nongkrong bareng sudah jadi agenda mereka bersama. Kadang kala menginap bergantian juga dilakoni jika libur kerja. Jadi mereka bisa bergadang main game online.

 Walaupun pekerjaan mereka di dunia nyata sekarang ini tidak sesuai dengan impian mereka sejak kecil, setidaknya mereka bisa merealisasikannya lewat permainan online semacam ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Sniper
Rexa Strudel
Flash
Berusaha untuk Tidak Mati
Nurulina Hakim
Flash
Bronze
Kata Penyemangat!
Daud Farma
Cerpen
Bronze
Silence is my Friend
Sandi mulya setiawan
Flash
Bronze
Jam Pasir
Afri Meldam
Flash
Bronze
Hampir Mati
Nurul Adiyanti
Skrip Film
Ojek
Yorandy Milan Soraga
Flash
Frustasi
Mahmud
Flash
Bronze
Borg-serker
Rama Sudeta A
Novel
TITIK BUTA
Shireishou
Novel
Ankle Breaker: Batam Hail Basketball
Dhimas Ardhio
Flash
Bronze
No Way Out
FS Author
Flash
A.C.E : The Cursed Fate and The Blessed Soul
Nadine Mandira
Novel
Bronze
LEGION : UNKNOWN KNIGHT
Delta
Novel
Bronze
THE M2
Sweet September
Rekomendasi
Cerpen
Sniper
Rexa Strudel
Flash
My Own Night World
Rexa Strudel
Novel
Pinjol Pocalypse
Rexa Strudel
Cerpen
Anti Crown
Rexa Strudel
Novel
Temukan Aku!
Rexa Strudel
Flash
Kejar!!!
Rexa Strudel
Novel
Pesantren Warisan
Rexa Strudel
Flash
War Kingdoms
Rexa Strudel
Cerpen
Sahabat Selamanya
Rexa Strudel
Novel
Dark Narrow
Rexa Strudel
Flash
(Bukan) Rumahku Istanaku
Rexa Strudel
Flash
16.00
Rexa Strudel
Cerpen
Sang Kolektor
Rexa Strudel
Cerpen
Cermin Pukul Dua
Rexa Strudel
Novel
Simbiosis Mutualmurder
Rexa Strudel