Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Smoke
0
Suka
79
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku membulatkan mata saat membaca headline berita orang hilang di salah satu koran lokal “Gadis 24 Tahun Menghilang Tanpa Jejak: Dari Buku Hariannya Polisi Menyimpulkan Ia Bunuh Diri” disertai dengan foto seorang gadis yang aku kenal betul ia siapa. Namanya Sashi, teman sekelasku saat SMA. Aku tidak akrab dengannya, kami hanya bicara kalau perlu dan tidak pernah membicarakan apapun selain tugas. Yang aku tahu dia suka menulis dan tertawa ketika bercerita entah apa dengan teman-temannya. Aku hampir-hampir tidak percaya bahwa ia yang diberitakan hilang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek artikel berita lain di internet, memastikan bahwa ini bukanlah halusinasi bangun tidur. Ada sepuluh artikel yang aku temukan, baik dari media massa lokal maupun nasional. Sudah seminggu semenjak ia dilaporkan hilang. Biasanya ia bangun pagi untuk membantu ibunya di dapur, dan tak pernah terlambat bangun bahkan ketika hari Minggu. Paling lambat ia bangun jam setengah enam atau jam enam pagi, tapi anehnya, sampai jam 06.15 ia tidak kunjung turun dari kamarnya di lantai dua. Ibunya yang kesal akhirnya naik untuk mengecek apakah Sashi masih tidur, tapi terkejut karena mendapati gadis itu tidak ada di kamarnya. Spreinya agak acak-acakan, bekas ditiduri oleh anaknya. Mencoba tidak panik, ia segera naik ke rooftop rumah di lantai tiga, biasanya Sashi ada di sana untuk menyiram bunga. Tapi tak ada juga. Ia bertanya pada suaminya yang baru pulang jogging di sekitar rumah, adakah ia lihat putri sulung mereka, suaminya menggeleng. Ibunya mulai panik, lalu ia membangunkan anak perempuannya yang nomor dua, dan si adik tidak tahu dimana kakaknya berada. Ia bahkan tak mendengar suara langkah kaki kakaknya menuruni anak tangga ketika terjaga jam lima pagi sebelum kembali tidur. Ditelponnya nomor kakaknya, tapi ponselnya pun tertinggal di kamar. Adiknya segera memeriksa riwayat WhatsApp sang kakak, siapa tahu ada pesan yang mencurigakan, namun semuanya baik-baik saja. Ia hanya berbalas pesan dengan beberapa teman kampus, membahas perihal skripsi, chat dari dosennya yang menanyakan progres skripsi, dan grup chatnya juga hanya grup chat jurusannya. Tak ada pesan yang mencurigakan baik di e-mail maupun WhatsApp. Adiknya beralih memeriksa sosial media khususnya instagram. Kakaknya punya dua akun, dan sang adik tahu kedua akunnya. Ia mengecek akun pertama—tak ada unggahan yang menyatakan bahwa ia ingin kabur dari rumah, pun tak ada pesan yang mencurigakan. Hanya pesan dari teman-temannya beberapa tahun silam saat sang kakak masih aktif di sosial media. Akun keduanya tidak banyak memberikan klu, chat yang paling atas adalah pesan panjang berisi pernyataan perasaan sukanya pada seorang lelaki yang dulu pernah jadi teman sekelasnya saat SMA, namanya Nares. Saat membacanya, aku langsung membulatkan mata. Tak pelak, mataku seperti akan keluar dari tempatnya. Entah kenapa aku merasa Nares yang dimaksud adalah aku. Di saat yang genting seperti sekarang, aku bukannya terlalu percaya diri, tapi kaget sekaligus tidak menyangka bahwa namaku terpampang di berita orang hilang sebagai orang terakhir yang dihubunginya sebelum ia menghilang.

Dengan tangan gemetar aku membuka akun instagram yang sudah berbulan-bulan tak pernah aku buka. Unggahan terakhirku pun tiga bulan yang lalu. Aku tak punya apa-apa untuk dibagikan apalagi dipamerkan ke sosial media, jadi aku tidak membukanya kecuali kalau sedang ingin. Sekonyong-konyong jantungku yang berdegub kelewat kencang ini terasa berhenti sepersekian detik, seolah mencelos keluar dari tempatnya, dan udara di sekitarku terasa sesak, terasa pengap. Tanganku masih gemetar menggenggam ponsel yang menampilkan pesan yang dikirim oleh Sashi pukul 03.38, yang artinya baru beberapa jam yang lalu sebelum ia menghilang dari kamarnya, dari lingkungan perumahannya, dan mungkin dari negaranya sebab tak ada perkembangan yang berarti dari pencariannya. Yang dibilang oleh salah satu artikel berita itu benar, berdasarkan hasil wawancara dengan adik Sashi, pesan bahwa Sashi mengaku suka padaku benar-benar terkirim ke akunku. Aku baru saja hendak menelepon akun instagramnya, tapi Sashi bilang setelah mengirim pesan padaku ia tak akan buka akunnya sampai ia siap sebab malu telah menyatakan perasaannya. Nyaris kubanting benda pipih hitam itu. Aku tak punya nomor ponselnya karena ponselku yang lama hilang. Lagipula kalau aku punya nomornya, itu tak akan berguna. Ponselnya tak dibawa.

Masih dengan tangan yang gemetar, aku berusaha merangkum keterangan seluruh artikel tentang hilangnya Sashi dan mencatatnya di notes kecil.

1.     Pakaian terakhir yang dikenakan: celana pendek sebatas lutut berwarna hitam, berbahan kain kaos, dan kaos lengan panjang warna ungu muda bergambar kacamata

2.     Orang terakhir yang dihubungi: aku

3.     Perkiraan waktu Sashi menghilang: 05.00-06.00 pagi

4.     Tak ada yang mencurigakan tentangnya

5.     Penyelidikan terbaru, polisi menganalisis tujuh buku harian Sashi, tulisan yang terbaru adalah lima bulan yang lalu: ia ingin punya rumah sendiri supaya lebih leluasa

6.     Sashi belum bekerja, otomatis tidak punya uang untuk pergi jauh

7.     Sandal yang biasa dikenakannya ada di rumah

8.     CCTV sekitar blok perumahannya tak menangkap kepergian Sashi

9.     Tiga hari sebelum kepergian, ia baik-baik saja, tak ada tanda-tanda ia ingin kabur dari rumah

10. Seminggu sebelum ia menghilang, ia sempat menangis di kamar, itu pun karena nonton film Thailand (menurut kesaksian adik Sashi)

11. Tidak ada yang bisa dilacak dari hilangnya Sashi, ia hilang tanpa jejak, seperti asap rokok

Bagaimana pun, aku berusaha tenang. Ini baru seminggu. Setidaknya masih ada harapan. Maka aku mengemasi beberapa barang dan memutuskan untuk ke kantor polisi yang menangani kasus hilangnya Sashi, siapa tahu pesan yang dikirimkan Sashi padaku bisa jadi petunjuk mereka, walau aku tak yakin. Setidaknya sebagai teman, aku tak ingin diam saja.

...

Sebulan setelah Sashi menghilang, tetap tak ada perkembangan. Di titik ini, orang-orang yang mengikuti perkembangan beritanya hanya bisa mengirimkan doa, semoga Sashi baik-baik saja, dalam artian kalau ia diculik dan dihilangkan nyawanya, semoga kepolisian segera menemukan jenazahnya, tapi kalau ia ditemukan masih hidup, semoga ia cepat kembali ke rumah. Polisi juga tak dapat menemukan petunjuk apapun dari pesan terakhir yang Sashi kirim padaku. Itu hanya pernyataan suka biasa, kata mereka, dan aku setuju. Tak ada kalimat kiasan atau permainan kata yang disembunyikan Sashi untuk memberitahu ke mana ia pergi—ia hanya mengirimkan pesan dengan gamblang. Aku baca lagi pesannya untuk kesekian kali, berusaha menemukan kalimat yang janggal, tapi tak ada. Yang aku temukan hanyalah kepolosan seseorang yang menyatakan perasaannya pada orang yang pernah ia suka. Aku membuka akun instagram gadis itu, di bionya terdapat link platform dimana tulisannya dimuat. Aku tahu ini tidak ada guna, tapi aku merasa perlu melakukan sesuatu. Sebab itu lebih baik daripada diam dan hanya membaca perkembangan kasus ini. Maka aku buka link blog pribadi gadis itu. Ada delapan cerpen yang diunggah di sana, cerpen terakhir diunggah tahun lalu, pada 2024 bulan September, juga unggahan tentang buku apa saja yang sudah ia baca—hanya ada enam buku yang sempat ia review di sana, unggahan terakhir dua bulan yang lalu di tahun ini, tahun 2025. Tak ada komentar yang aneh pada tulisannya. Komentarnya hanya bisa dihitung dengan jari, tapi semenjak berita kehilangannya menyebar, komentarnya bertambah, tapi tetap tak ada kata atau kalimat mencurigakan di kolom komentar atau tulisan Sashi, berapa kali pun aku membacanya sampai mataku kebas dan punggungku pegal.

Menghilangnya Sashi tanpa jejak mengingatkanku pada tokoh Sumire yang mengalami hal yang sama dalam novel Sputnik Sweetheart karya Haruki Murakami. Tunggu! Aku membaca review Sashi di blognya tentang buku ini. Aku cari tulisannya, aku baca lagi. Di sana ia mengaku kagum dengan imajinasi Murakami dalam merangkai dunia kecil bagi ketika tokohnya. Sashi menyukai ending dari novelnya yang bisa dengan bebas ia representasikan. Ia bilang bahwa ia juga ingin bisa menulis novel seperti Murakami, yang membebaskan pembaca menafsirkan ending ceritanya—supaya sebagai penulis, ia tak terkesan mendikte pembaca. Tapi, tetap saja, tak ada petunjuk apapun tentang hilangnya Sashi. Kebetulan saja nasibnya sama dengan tokoh fiksi Sumire, dan kebetulan dimana nama mereka diawali huruf S membuatku mengumpat. Bagaimana bisa di zaman modern dengan kemajuan teknologi sepesat ini, seseorang menghilang seperti asap rokok, seperti ditelan oleh bumi, atau portal menuju dunia lain, itupun kalau portal yang macam itu ada, tapi aku tidak percaya.

Setelah memikirkannya berulang kali, esoknya aku memberanikan diri datang ke rumah Sashi. Aku sudah siap dimaki-maki ketika memperkenalkan diri sebagai Nares, temannya, sekaligus orang terakhir yang dikiriminya pesan namun tidak membaca ataupun membalasnya sampai seminggu kemudian aku dengar kabar hilangnya Sashi sudah jadi buah bibir. Tapi orang tua dan adiknya tidak memperlakukanku begitu. Mereka tetap menyambutku seperti tamu, walau kulihat jelas mereka lesu. Aku bermaksud ingin meminjam buku harian Sashi yang diperiksa oleh kepolisian, sebab aku meragukan kinerja mereka. Siapa tahu ada hal yang mereka lewatkan. Adiknya lalu menuju ke kamar Sashi di lantai dua, menyerahkan tujuh buku harian milik Sashi padaku. Kutanya padanya apakah masih ada buku harian lagi yang belum mereka beritahu ke polisi, tapi mereka yakin tujuh buku harian itu adalah yang dipunya Sashi dan tak ada yang mereka sembunyikan. Mereka bahkan sudah menggeledah bagian bawah kasur, lemari, dan tas-tas yang biasa Sashi gunakan, tapi tak ada buku atau surat yang mereka temukan. Semuanya sudah terangkum di tujuh buku harian itu. Maka aku mengangguk, dan mengobrol sedikit, sebelum akhirnya kembali ke rumah.

Hari-hari selanjutnya kugunakan untuk membaca buku harian Sashi sampai tuntas dan merangkum setiap isi bukunya yang menurutku penting. Hasil yang kudapat adalah:

1.     Sashi punya hubungan yang tidak baik dengan ayahnya. Dia banyak menuliskan ketidaksukaannya pada ayahnya dan perlakuan buruk lelaki itu padanya

2.     Dia mengaku insecure karena temannya lebih cepat lulus dibanding dirinya, ia merasa tertinggal

3.     Ketertarikannya pada sains yang membuatnya mempertanyakan tentang agama dan eksistensi Tuhan

4.     Sisanya hanyalah Sashi yang menulis tentang pendapatnya soal kematian, cinta, pernikahan, atau isu-isu yang terjadi di sekitarnya

5.     Sashi ingin pergi dari rumah dan menempati rumahnya sendiri, tapi tulisannya tidak menggambarkan optimisme yang menggebu-gebu, melainkan perasaan yakin dan pasrah yang bercampur jadi satu

6.     Ia ingin tinggal entah di Bali, Bandung, atau Kalimantan

Poin yang terakhir aku tandai dengan stabilo warna kuning menyala. Sialan, kataku. Apa Sashi pergi diam-diam ke tiga kota itu? Walaupun merasa itu tidak mungkin karena pertama, Sashi bahkan tidak membawa dompet dan ATM dan sepeser uang pun. Kedua, tak ada rekaman CCTV di sekitar blok perumahannya yang menggambarkan ia pergi. Tempat terakhir yang ia kunjungi adalah kampus, empat hari sebelum ia menghilang, untuk menyerahkan bab 4 skripsinya dan bimbingan—berdasarkan keterangan adik Sashi yang mengantarkan sendiri kakaknya bimbingan karena saat itu ia masih liburan sekolah dan Sashi malas membawa motor sendiri. Tapi mungkin saja poin ini terlewat oleh polisi yang memeriksanya, maka tanpa pikir panjang aku langsung ke kantor polisi yang sebelumnya sudah pernah aku datangi terkait pesan terakhir yang dikirimkan Sashi.

Aku menceritakan poin itu pada mereka, mengarahkan mereka untuk berkoodinasi dengan polisi di ketiga kota itu siapa tahu ada yang melihat perempuan dengan ciri fisik mirip Sashi—tinggi 157 cm, pakai kacamata bulat, sawo matang, tidak pakai sandal, pakai celana selutut berbahan kain kaos warna hitam dan kaos lengan panjang warna ungu muda bergambar kacamata, rambutnya pendek sebatas dagu. Tapi aku kesal karena polisi menyepelekannya. Salah satu dari mereka bilang: Nak, Sashi itu pergi tanpa membawa dompet atau barang berharga lainnya. Nggak mungkin dia punya duit untuk ke salah satu dari tiga kota yang kau maksud. Lagipula, ini sudah jadi berita nasional. Tiga kota itu pasti sedikit banyak tahu tentang berita hilangnya temanmu, dan kalau ada yang menemukannya, mereka pasti akan melapor pada kami, tapi sampai sekarang tidak ada laporan tentang orang yang benar-benar mirip Sashi. Artikel tentangnya sudah memuat foto Sashi, jadi kau jangan khawatir. Yang dikatakannya benar. Sore itu aku pulang tanpa menghasilkan apapun.

....

Sudah enam bulan sejak Sashi menghilang. Tetap tak ada progres apapun yang signifikan. Pada bulan kedua aku sempat mencurigai ayahnya, tapi ketika aku ke sana untuk mengembalikan buku-buku harian Sashi, ia terlihat seperti orang linglung. Matanya bengkak seolah tak tidur berhari-hari, tubuhnya semakin kurus, ia semakin pendiam dari hari ke hari. Walaupun Sashi tidak punya hubungan baik dengannya dan ayahnya pernah berbuat sesuatu yang tidak mengenakkan gadis itu, siapa tahu seorang ayah memang tetaplah seorang ayah, yang akan sedih juga kalau anaknya menghilang tanpa jejak dan tanpa perkembangan apapun. Kami semua serasa menemui jalan buntu. Aku sudah menanyai seluruh teman angkatannya, tapi tak ada yang bisa menduga apa yang terjadi pada Sashi. Dia orang biasa saja. Cenderung menghindari konflik sebisa mungkin. Tak ingin bikin masalah dengan orang lain, cenderung patuh pada aturan kampus. Rata-rata mereka bilang, orang seperti Sashi, sekalipun ada yang tak suka padanya, tak mungkin menculiknya lalu menghilangkan nyawanya, sebab dia tidak pernah punya hubungan yang akrab dengan teman-teman seangkatannya. Ia berteman sekadarnya. Tak pernah terlibat hubungan dengan lelaki mana pun. Kalau ada yang tak menyukainya, paling mentok mereka hanya membicarakan keburukan Sashi di belakang lalu sudah, tak akan meneror atau menindasnya. Selama menjadi teman satu jurusannya, mereka tidak pernah melihat Sashi ditindas. Sebagai teman SMA-nya aku juga tidak pernah melihat Sashi mengalami hal semacam itu. Ketika aku bertemu salah satu teman SMP-nya saat mengembalikan buku harian Sashi, aku bertanya padanya apakah Sashi punya musuh saat SMP, atau pernah ditindas seseorang, ia menjawab tidak. Orang itu adalah teman dekat Sashi, sekelas dengan Sashi selama SMP, tentunya tahu bagaimana kehidupannya saat SMP yang monoton tapi damai. menurut beberapa teman SD-nya yang tak banyak aku temukan karena kebanyakan mereka sudah merantau ke kota lain, Sashi juga tidak pernah mengalami penindasan dan apalagi seseorang yang menjadikannya musuh bebuyutan. Ia benar-benar orang biasa. Serba biasa.

....

Kini genap setahun semenjak Sashi menghilang tanpa jejak. Ia benar-benar menghilang seperti asap rokok, seperti tokoh Sumire. Orang-orang sudah banyak yang beranggapan mungkin saja ia mengakhiri hidupnya sendiri atau dihabisi nyawanya oleh orang tak dikenal dan mayatnya disembunyikan di tempat paling terpencil, tapi walaupun kemungkinan itu adalah yang paling masuk akal, aku kurang bisa mempercayainya. Masa sih? Aku membaca ulang pesan terakhir yang Sashi kirimkan padaku. Fuck, aku berharap pesan itu memberiku petunjuk, tapi tidak ada satu pun. Kubalas saja pesannya: semoga kamu cepat pulang. Baru saja hendak kuletakkan benda itu, sebuah telepon masuk dari adik Sashi. Tak pelak, jantungku berdegub kencang bukan main. Aku harap ia tidak meneleponku karena mereka menemukan mayat Sashi.

“Halo, gimana?”

Kak... Kak... Kak Sashi... dia... pulang. Dia pulang. Ada di kamarnya. Tidak seperti orang linglung, melainkan... seperti orang baru bangun tidur.”

Aku mengecek lagi nomor yang meneleponku. Di sana tertera nama “adik Sashi”. Kutampar pipiku tiga kali. Sakit. Ini bukan mimpi. Kubilang: aku segera ke sana. Jadi tanpa mandi, hanya membasuh muka dan gosok gigi, aku bergegas ke sana. Rumahnya sudah dipenuhi oleh tetangga yang kepo karena gadis yang sudah setahun menghilang akhirnya pulang—atau lebih tepatnya muncul tiba-tiba di kamarnya, di tempat dimana ia terakhir kali terlihat, tempatnya menghilang. Terdengar seperti lelucon tak masuk akal, tapi aku yakin adiknya tak bercanda di saat yang begini.

Tadinya aku ingin menunggu sampai tetangga-tetangga Sashi pulang, tapi bukannya bertambah sedikit, mereka malah bertambah banyak, jadi kuputuskan menerobos mereka sambil tetap berusaha sopan. Mereka seperti mengantre pembagian sembako gratis. Berhasil menerobos kerumunan, aku disambut adiknya Sashi. Kutanya: Gimana ceritanya? Kami berdua duduk di ruang makan di dapur.

“Ibu seperti biasa mengecek kamar kakakku. Dia teriak kencang sekali, kami semua langsung menghampiri Ibu. Kak Sashi sudah ada di sana, mungkin sebelum Ibu membuka kamarnya, dan dia kelihatan kaget juga, seperti orang baru bangun tidur yang kaget karena teriakan tiba-tiba. Pakaiannya sama sekali nggak kotor. Nggak ada luka ataupun lecet. Kak Sashi juga nggak hilang ingatan. Dia malah nanya ke Ibu kenapa teriak di depan kamarnya. Ibu menceritakan semuanya, mengatakan kalau Kak Sashi hilang selama setahun. Kak Sashi kelihatan kaget, tapi berusaha tenang. Baru setelah Ibu dan ayah turun dari kamarnya untuk bikin makanan buat selamatannya Kak Sashi, aku tanya sama dia, kenapa dia bisa menghilang. Tau nggak, Kak, dia jawab apa?”

“Apa?”

“Dia cengengesan sambil bilang: aku habis confess ke temen sekelasku yang dulu pernah aku suka pas SMA, yang mana orang itu adalah Kak Nares, terus saking malunya, aku keceplosan ngomong ‘aku pengin ngilang, aku pengin ngilang’. Udah. Gitu doang. Seolah apa yang dia omongin tentang pengin ngilang itu betulan terjadi dan bawa dia entah ke mana.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Smoke
Ida Ayu Saraswati
Flash
Siapa Gadis Itu?
Impy Island
Novel
FIRASAT
Rara
Cerpen
Bronze
Saksofonis Buruh Tani
Silvarani
Novel
Yakuza van Java S.2 : Case Files
A.M.E chan
Flash
Surga Yang Tersembunyi
Nimau Kum
Flash
Is About Communication
Via S Kim
Flash
Misteri Penerbangan 709
Ika nurpitasari
Cerpen
Bronze
PETUALANGAN DI NEGRI AJAIB
agus tardi rohenda
Cerpen
07 Raesha
Bima Kagumi
Cerpen
Bronze
Setelah Tersambar Petir
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Cerpen
The Universe Next Door
Rama Sudeta A
Flash
Bronze
Lingkaran
Afri Meldam
Cerpen
Bronze
Toko Misterius
Cinta Marezi
Cerpen
Bronze
Kebenaran yang Jauh Lebih Kelam
Ron Nee Soo
Rekomendasi
Cerpen
Smoke
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Riak Berjarak
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
The Sketch
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Love at Second Sight
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Guess The Next
Ida Ayu Saraswati