Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
SMILE
1
Suka
615
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam itu seharusnya hanya jadi bagian singgah. Sebuah pemberhentian iseng dalam perjalanan liburan. Tapi saat Reyhan dan teman-temannya memutuskan berhenti di sebuah kota kecil tanpa nama yang mereka temukan lewat papan tua di pinggir jalan, sesuatu yang ganjil ikut naik ke dalam mobil mereka.

“Kenapa harus berhenti di sini sih?” keluh Putri dari jok belakang. “Kita bisa aja lanjut satu jam lagi ke kota besar.”

“Sudah malam, Put. Jalanan gelap, bensin tipis. Kita cari penginapan dulu,” sahut Reyhan sambil menurunkan kecepatan. Di sekeliling, hutan mendesak dari kedua sisi jalan. Hanya lampu mobil yang memotong pekat.

Mereka menemukan sebuah bangunan dua lantai di pinggir kota. Tidak ada nama, hanya tulisan pudar “LODGING” dengan huruf yang sebagian terkelupas. Jendela-jendela gelap, cat dinding mengelupas, dan lampu kuning tua di serambi menciptakan bayangan aneh di dinding.

Dita turun lebih dulu. “Yakin tempat ini masih buka?”

“Yah, daripada tidur di mobil,” gumam Jalu.

Reyhan membuka pintu depan. Sebuah lonceng kecil berdenting, suaranya nyaris tak terdengar.

Di dalam, aula resepsionis sepi. Bau debu dan kayu tua menyeruak. Di meja depan, sebuah buku tamu tergeletak, pena masih tertancap di atasnya. Tidak ada penjaga.

“Ini tempat serem banget, sumpah,” bisik Tika, memeluk lengan Putri.

Reyhan melangkah ke meja dan membuka halaman terakhir buku tamu. Nama terakhir tertulis dengan tinta hitam kabur:

"Andika & Livia – 14 Oktober 2007"

“Dua ribu tujuh?” Reyhan mengerutkan kening. “Serius ini tamu terakhir mereka?”

Tiba-tiba, suara pelan terdengar dari belakang meja. Seorang pria tua muncul, wajahnya keriput seperti kertas terbakar, dan bibirnya tertarik aneh seolah senyum permanen.

“Kamar lantai dua, lima puluh ribu semalam,” katanya tanpa menatap siapa pun.

Reyhan menatap pria itu. Ada sesuatu yang salah pada matanya. Bukan buta, bukan tajam, tapi kosong. Seperti mata yang sudah lama tidak melihat apa-apa.

Mereka menerima kunci, lalu naik ke atas dengan langkah berat. Lorong penginapan itu sempit, berderit di setiap langkah. Dindingnya dipenuhi lukisan wajah-wajah tersenyum, bukan lukisan indah, tapi senyuman palsu, dipaksa, dengan mata yang tidak ikut tersenyum.

“Aku nggak suka tempat ini, Rey,” bisik Tika pelan.

“Tenang, cuma semalam.”

Reyhan dan kawan-kawannya berpisah ke ruangan mereka.

Kamar Reyhan berada di ujung lorong. Ia membukanya perlahan. Bau lembab menyambut, ranjang berdebu, dan jendela menghadap ke pekarangan belakang yang kosong dan gelap.

Malam semakin dalam. Tak ada sinyal. Tak ada Wi-Fi. Hanya hujan mulai turun, pelan-pelan memukul genteng di atas kepala mereka.

Dan di saat semua mulai tertidur…

Reyhan terbangun.

Bukan oleh suara. Tapi oleh perasaan. Seolah seseorang sedang berdiri di balik jendela kamarnya, padahal itu lantai dua.

Ia menoleh.

Jendela masih tertutup. Tapi... ada bekas embun dan bekas telapak tangan. Besar. Di tengah kaca.

Reyhan bangkit perlahan, mendekati jendela. Sorot senter dari ponselnya memantul di kaca.

Dan saat itu…

Seseorang muncul dari balik jendela.

Topeng. Kulit. Mata yang mengintip dari balik lubang kosong. Dan... senyuman. Bukan senyum topeng. Tapi darah yang menetes dari ujung bibir.

Reyhan tersentak mundur, terjatuh ke lantai.

Ketika ia bangkit, jendela sudah kosong. Hanya embun. Dan jejak merah kecil.

“Gue gak salah liat barusan...” bisiknya.

Dari kamar lain, suara teriakan terdengar.

Jeritan kencang dari Putri yang berteriak.

Reyhan membuka pintu dan lari ke kamar seberang. Pintu terbuka. Di dalam, Dita berdiri membeku. Putri duduk di sudut ranjang, menangis.

Dan di lantai...

Jalu.Terbaring. Tak bergerak.

Mulutnya, dijahit, Pipinya robek hingga ke telinga, membentuk senyuman aneh. Benang hitam menutup luka-luka itu. Darah mengalir, perlahan menggenangi lantai.

Reyhan ingin berteriak. Tapi tak ada suara keluar.

Cuma satu kalimat terpatri di benaknya:

“Dia membunuh dengan senyuman.”

Reyhan memaksa kakinya melangkah mendekati tubuh Jalu. Tangannya gemetar saat ia berjongkok dan menyentuh leher temannya. Tak ada denyut.

“Dia... beneran mati,” ucap Reyhan pelan, seperti tak percaya suara itu keluar dari mulutnya sendiri.

Tika menangis tersedu di dekat pintu, sementara Dita terus berdiri membatu, mulutnya setengah terbuka, mata terpaku pada benang hitam yang menjahit senyum pada wajah Jalu. Senyum itu terlalu lebar untuk manusia. Lebih seperti sesuatu yang dibuat paksa, seperti patung yang gagal.

Putri menggeleng berkali-kali. “Dia... dia gak sempat teriak. Kita tidur... dan dia—dia udah kayak gitu...”

“Gak seharusnya mungkin ini terjadi, kita semua tertidur...” Reyhan menoleh ke jendela kamar. Masih tertutup. Tapi embun di kaca menunjukkan... ada seseorang yang sempat masuk. Atau berdiri di dalam cukup lama untuk meninggalkan bekas.

Dia memutar kepala perlahan, memperhatikan seluruh ruangan.

Lukisan wajah-wajah tersenyum di dinding kamar… satu di antaranya baru.

Senyum lukisan itu—menyerupai wajah Jalu.

Reyhan menggertakkan giginya. “Kita harus keluar dari tempat ini.”

“Tunggu,” Dita akhirnya bersuara. “Kalau dia bisa bunuh Jalu tanpa suara... berarti dia udah masuk... dan keluar lagi... tanpa kita tahu.”

Reyhan menoleh. “Dia bukan cuma bisa ngelakuin itu. Dia suka ngelakuin itu.”

“Apa maksudmu?” Tanya Dita.

“Dia gak cuma bunuh. Dia... Ngelukis. Ngelukis dengan darah kita. Dengan senyum.”

Mereka kembali ke kamar Reyhan, berkumpul dan mengunci pintu. Meja ditumpuk ke depan sebagai pengganjal.

Di tengah kamar, Reyhan membuka peta kecil dari brosur tua yang ia temukan di laci kamar. Di sudut brosur tertulis:

"RS Jiwa Senara — Tempat Penyembuhan Jiwa yang Hilang"

Alamatnya hanya lima ratus meter dari penginapan ini, melewati jalan setapak kecil ke arah bukit.

“Tempat ini... familiar,” gumam Reyhan.

Tika memeluk tubuhnya. “Jangan bilang kita harus ke sana...”

“Kita gak bisa bertahan di sini. Dia bisa masuk kapan aja. Kita harus cari tempat yang dia hindari.”

Putri menghela nafas gemetar. “Rumah sakit jiwa? Tempat kosong? Di tengah malam?”

Reyhan menatap mereka satu per satu. “Kalian punya pilihan lain?”

Pukul 03.10.

Mereka keluar dari penginapan dengan kaki gemetar, masing-masing memegang benda seadanya—pisau dapur, tongkat kayu, bahkan bingkai foto. Langit tertutup awan, tidak ada cahaya bulan. Kabut tebal menutupi jarak pandang lebih dari lima meter.

Setiap langkah terdengar nyaring.

Daun-daun basah. Ranting patah. Tanah licin. Di kejauhan, pepohonan tinggi berdiri seperti penonton bisu dari drama berdarah yang sedang berlangsung.

Reyhan di depan, menuntun langkah dengan senter dari ponselnya.

“Gue gak suka ini, Rey...” Tika berjalan di dekatnya.

“Aku juga,” bisik Reyhan. “Tapi kalau kita diem, kita cuma nunggu giliran.”

Di tengah jalan setapak, mereka menemukan sebuah boneka.

Tergeletak di tanah, baju compang-camping.

Tersenyum.

Tapi bukan senyum biasa. Di mulut boneka itu tertempel potongan bibir manusia, dijahit dengan benang hitam ke wajah mainan itu.

Putri menjerit dan mundur. “ASTAGA! Itu... itu asli!”

Reyhan langsung memeriksa sekitar. Senter diarahkan ke semak, ke pohon. Tidak ada siapa pun.

Tapi lalu... suara itu datang.

“Kalian semua cantik... tapi akan lebih cantik kalau tersenyum.”

Langsung. Di belakang mereka. Dekat.

“LARI!!!”

Reyhan menarik Tika, dan semua langsung berhamburan.

Mereka terpisah.

Reyhan dan Tika berhasil masuk ke halaman bangunan besar RS Jiwa Senara, tapi tidak tahu dengan Putri dan Dita. 

Bangunan tua dua lantai dengan dinding abu-abu berlumut, jendela-jendela besar terbuka menganga, seperti mulut siap menelan.

“Putri!? Dita!?”

Reyhan menoleh ke belakang. Tak ada jawaban. Hanya kabut dan sunyi.

Tika menahan isak tangis. “Kita gak bisa balik. Dia ngincer kita satu-satu.”

Reyhan meraih gagang pintu depan dan mendorongnya. Pintu tua berderit dan terbuka.

Di dalam... bau formalin, darah, dan besi tua langsung menyergap. Dindingnya penuh coretan.

Satu kalimat tertulis berkali-kali dengan darah di berbagai sisi:

“SENYUM = PENEBUSAN”

Tika menggeleng, tubuhnya gemetar hebat. “Dia tinggal di sini...”

Mereka menyusuri lorong dengan langkah pelan. Ruangan demi ruangan kosong. Hanya tempat tidur pasien, kursi roda karatan, dan noda yang sudah mengering di lantai.

Di salah satu ruangan, mereka menemukannya.

Putri dan Dita.

Tergantung di dinding. Lehernya dijerat kain perban. Tangannya tergantung lunglai.

Dan wajahnya...

tidak punya bibir.

Kulit di sekitar mulutnya mengelupas, dan mulut itu dijahit dalam bentuk senyum permanen. Lidahnya dipotong setengah.

Tika muntah di lantai. Reyhan memalingkan muka, tubuhnya gemetar.

Tiba-tiba, langkah terdengar dari lorong belakang mereka.

Cepat. Berat.

Dia datang.

Langkah itu berhenti tepat di ujung lorong.

Senter Reyhan menyapu cepat. Kabut tipis dari kelembaban menyelimuti cahaya, membuat segala bentuk di ujung lorong terlihat buram. Tapi perlahan, siluet itu muncul dari balik kabut.

Pria bertopeng kulit.

Topengnya bukan buatan pabrik. Terbuat dari potongan kulit manusia. Masih terlihat pori-pori dan bekas luka. Jahitan besar di pipi kiri, seperti bekas sobekan. Lubang matanya tidak simetris. Tapi yang paling mencolok… adalah mulut topeng itu—tersenyum lebar. Terlalu lebar. Sampai ke bawah telinga.

Tangannya memegang sesuatu. Pisau bedah panjang. Tajam. Dan masih basah.

Tika mendorong tubuh Reyhan. “Lari!”

Tapi Reyhan tahu… mereka tidak bisa kabur begitu saja.

Pria bertopeng itu berlari. Gerakannya cepat tidak seperti manusia biasa. Lebih seperti binatang.

Reyhan menabrak kursi roda yang ada di samping dinding, lalu melemparkannya ke arah musuh. Kursi itu menghantam tubuhnya dan membuatnya terseret ke belakang, tapi pria itu tetap berdiri. Seolah tidak merasakan sakit.

Reyhan menarik tangan Tika dan mereka kembali berlari. Lorong demi lorong, ruangan demi ruangan. Semuanya sama. Kosong. Penuh darah.

Mereka menemukan tangga spiral menuju bawah tanah. Tanpa berpikir, Reyhan langsung menuruni anak tangga, langkahnya bergema dalam gelap.

Di bawah… mereka tiba di ruang bedah.

Ruang itu lebih dingin. Dindingnya berlapis keramik putih, namun hampir seluruhnya tertutup noda hitam dan merah. Di tengah ruangan, terdapat meja operasi tua. Di sekitarnya… lukisan.

Lukisan manusia.

Wajah-wajah tersenyum.

Tapi bukan lukisan biasa. Itu… kulit wajah manusia. Dibentangkan seperti kanvas. Dijahit di bingkai kayu.

Tika menjerit dan memukul mulutnya sendiri. “Ini… ini gak nyata...”

Di pojok ruangan, sebuah meja penuh berkas. Reyhan membuka satu dokumen.

Catatan pasien. Berjudul:

“Pasien 307 – Tertawa Permanen”

“Pasien ini mengalami obsesi terhadap ekspresi kebahagiaan. Ia percaya bahwa kesedihan adalah bentuk penyakit yang bisa disembuhkan dengan ‘senyum yang abadi.’ Ia membunuh dua perawat dengan mengukir wajah mereka. Ditahan di ruang isolasi sejak 1997. Hilang saat kebakaran rumah sakit tahun 2001.”

Reyhan terdiam. “Dia… dia dulunya pasien di sini. Tapi sekarang…”

Suara langkah datang dari atas.

“Dia kembali ke rumahnya,” bisik Tika ketakutan.

Reyhan melihat sekeliling, lalu membuka pintu kecil di sisi ruangan. Mereka masuk ke ruang penyimpanan obat. Gelap. Sempit. Tapi cukup untuk sembunyi.

Tika gemetar di pelukan Reyhan. Nafas mereka ditahan.

Suara pintu terbuka.

Langkah pelan.

Pisau diseret di lantai.

Cekkk… cekkk…

Suara pisau menyentuh keramik.

Senter Reyhan dimatikan. Dunia menjadi pekat.

Tapi mereka bisa mendengar nafas itu. Berat. Dalam. Diikuti gumaman kecil:

“Senyum itu penebusan… kalian akan sembuh...”

Langkah itu berhenti di depan lemari tempat mereka sembunyi.

Tika mulai terisak pelan.

Reyhan memeluk kepalanya, menutup mulutnya rapat.

Jangan bersuara...

Jangan sekarang...

Pintu lemari ditarik.

Sinar cahaya menyorot masuk.

BRAAAKK!!

Reyhan menendang keluar dan langsung menghantamkan laci obat ke wajah pria bertopeng itu.

Tika lari keluar ruangan.

Reyhan menyusul, tapi pria itu dengan cepat menarik kerah bajunya.

Pisau meleset, menggores bahu Reyhan.

“AARGH!”

Reyhan meraih tabung oksigen di lantai dan menghantamkannya ke kepala pria itu—sekali, dua kali—sampai akhirnya ia jatuh.

Darah menetes dari luka di pelipis pria bertopeng. Tapi dia… tertawa.

Suara tawanya lirih. Rusak. Seperti pita suara yang sudah lama tidak digunakan.

Reyhan dan Tika kembali berlari, kali ini menuju tangga darurat di lorong belakang. Tangga itu mengarah ke halaman belakang rumah sakit.

Matahari belum terbit. Tapi langit mulai memucat.

“Sedikit lagi, Rey... kita bisa keluar... kita bisa...”

Sesuatu menghantam punggung Tika.

Pisau.

Tika jatuh.

Reyhan berhenti, menoleh. “TIKAAA!!!”

Darah mengalir dari tubuh Tika. Tapi yang lebih menakutkan… Pria bertopeng itu merobek mulut Tika saat itu juga.

“TIDAAAK!!!”

Reyhan menghantamkan lututnya ke tubuh pria bertopeng yang mendekat, lalu menarik Tika ke bahunya dan menyeretnya keluar.

Tika sudah tidak bicara lagi. Dia sudah tak bernyawa.

Reyhan meninggalkan tubuh Tika di tanah, dan melanjutkan langkahnya.

Langkah Reyhan semakin lemah. Tapi di depannya… dia melihat jalan utama.

Papan petunjuk menuju jalan raya. Mobil pertama bisa saja lewat kapan saja.

Pria bertopeng mengejar. Tapi Reyhan tidak berhenti.

Dan akhirnya…

Dia keluar.

Dari rumah tempat itu. Dari kabut.

Dari malam.

Ia jatuh bersimpuh di aspal.

Langit mulai terang.

Orang-orang dari kejauhan mulai mendekat. Suara klakson. Lampu kendaraan.

Reyhan pingsan dengan satu kalimat terakhir terngiang di kepalanya:

“Senyum itu abadi.”

Beberapa hari kemudian, media menyebut kejadian itu sebagai “Tragedi Senara.”

Dari semua orang, hanya satu yang selamat.

Reyhan.

Saat diwawancarai, ia hanya berkata satu hal…

Dengan wajah tanpa ekspresi.

Tapi… senyum samar masih menempel di bibirnya.

“Dia belum mati.”

Tak terasa beberapa hari telah berlalu.

Reyhan terbangun di ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya dan aroma alkohol medis menusuk hidungnya. Cahaya matahari menyelinap dari balik tirai. Tapi dingin masih menguasai tubuhnya.

Saat ia membuka mata, ada tiga orang berpakaian rapi duduk di kursi seberang ranjang. Dua diantaranya mengenakan seragam polisi. Yang ketiga memakai jas abu-abu dan menatapnya dengan penuh minat—psikiater, mungkin.

“Reyhan, bisa dengar kami?” suara wanita dari pihak kepolisian terdengar tenang, tapi jelas penuh tekanan.

Reyhan menatap kosong. Matanya kering. “Mereka semua... mati.”

“Kami tahu. Dan kami sangat menyesal.” Psikiater itu mencondongkan tubuh. “Tapi kami butuh bantuanmu untuk menjelaskan apa yang terjadi di kota itu. Penginapan. Rumah sakit jiwa. Segala detail.”

Reyhan menatap mereka. “Kalian gak akan percaya.”

“Coba saja,” kata si polisi pria.

Dalam beberapa hari berikutnya, Reyhan tinggal di rumah sakit dengan pengawasan ketat. Ia tidak diperbolehkan menggunakan HP, tidak bisa membuka berita, tidak diizinkan bicara dengan media. Tapi diam-diam, ia tahu…

Wajah-wajah itu mulai kembali.

Setiap kali ia berkaca, sesekali bayangan seseorang dengan senyum terlalu lebar muncul di belakangnya. Ketika ia tidur, suara tawa lirih berbisik di telinganya. “Senyum itu penyembuh... senyum itu abadi...”

Psikiater menyebutnya “gejala trauma pasca-teror.” Tapi Reyhan tahu itu bukan sekadar trauma.

Suatu malam, ia mencoba tidur dengan lampu menyala. Tapi suara bisikan itu datang lagi—lebih keras. Ia bangun dan berjalan ke kamar mandi.

Cermin di atas wastafel memantulkan bayangannya sendiri. Tapi… ada tulisan.

“Kau masih hidup karena aku izinkan.”

Reyhan terperanjat. Tulisan itu bukan di kaca. Tapi di kulit wajahnya sendiri, tercetak samar seolah dibakar dari dalam. Ia menggosok-gosok pipinya—hilang.

“TIDAK... TIDAK LAGI...”

Ia membanting cermin, dan serpihannya menyebar di lantai seperti potongan senyum yang pecah. 

Beberapa hari kemudian, polisi melakukan penyelidikan, mereka menemukan lokasi penginapan itu, tetapi bangunannya ambruk seperti sudah puluhan tahun tak ditinggali. 

Rumah Sakit Jiwa Senara? Tidak ada catatan resminya di arsip pemerintah. Bahkan penduduk sekitar tak pernah tahu keberadaan tempat itu.

“Semuanya menghilang,” ujar petugas. Kepada Reyhan melalui obrolan ponsel. “Seperti tak pernah ada.”

Reyhan menolak percaya. Ia kehilangan teman-temannya di sana. Ia melihat pria bertopeng itu.

Atau… apakah ia memang gila?

Setelah seminggu penuh pemeriksaan, Reyhan dipulangkan ke kota asalnya. Ia tinggal sendirian di kamar kos kecil. Keluarganya tak tahu harus bicara apa. Teman-teman kuliahnya menghindar, entah karena takut atau kasihan.

Ia mencoba menjalani hidup seperti biasa. Tapi setiap malam… mimpi itu kembali.

Dan lebih buruknya: senyum itu mulai menular.

Ketika ia naik bus, ia melihat seseorang menatapnya. Tersenyum. Tapi tidak ramah. Senyum kosong. Mati.

Ketika ia makan di warung, ibu penjual nasi goreng tersenyum dengan bibir kaku.

Mereka semua mulai tersenyum seperti si topeng.

Reyhan menutup jendela. Mengunci pintu. Tapi tetap saja…

Lukisan tersenyum muncul di dinding kamarnya.

Lukisan yang tidak ia buat.

Lukisan... dari darah.

Hingga suatu malam, Reyhan menerima sebuah paket tanpa nama.

Di dalamnya:

Sebuah topeng, Kulit. Bau daging busuk. Milik si pria bertopeng.

Dan sebuah catatan kecil:

“Sekarang giliranku melihat senyummu.”

Reyhan jatuh terduduk. Tangannya gemetar. Tapi di balik semua ketakutannya…

Ia tersenyum.

Tanpa sadar.

Dan malam itu, suara tawa lirih kembali terdengar dari pojok kamar.

“Akhirnya, kau mengerti...”

Malam berikutnya.

Reyhan terbangun karena suara ketukan di pintu.

Pelan. Konsisten.

Tok. Tok. Tok.

Ia menahan napas. Jam menunjukkan pukul 02.47.

Ia melangkah ke arah pintu kosnya. Mengintip dari lubang kecil. Tapi tak ada siapapun. Namun ketukan masih terdengar. Tok. Tok. Tok. Sangat jelas untuk diabaikan.

Seketika, suara ketukan itu berubah. Menjadi… ketukan dari dalam. Dari balik lemari.

Reyhan berbalik dengan panik. Napasnya pendek. Lemari kayu tua di sudut kamarnya bergemetar.

Dia menahan napas. Perlahan mendekat.

Membuka pintu lemari.

Kosong. Tapi di dinding belakang, ada coretan kecil—tulisan yang seperti diukir pakai kuku:

“Kau masih belum selesai.”

Esok paginya, Reyhan berangkat untuk kembali ke lokasi kejadian. Dia melihat bangunan itu sudah roboh dan menjadi puing bangunan. Persis seperti yang diinfokan polisi.

Reyan menelusuri puing bangunan tersebut selama beberapa jam, dia akhirnya menemukan arsip Pasien 307 – RS Jiwa Senara tergeletak, seolah sengaja disiapkan untuk ditemukan olehnya.

Berikut catatan psikologis yang ia baca:

Nama: Tn. D (inisial disembunyikan)

Usia saat ditahan: 29 tahun

Kasus: Gangguan kepribadian dengan manifestasi kekerasan. Obsesif terhadap “senyum.”

Diagnosa: Kombinasi gangguan identitas disosiatif, skizofrenia paranoid, dan kelainan sadomasokistik.

Catatan Dokter (2001):

Tn. D meyakini bahwa semua penderitaan di dunia bisa hilang jika semua manusia tersenyum. Ia merobek wajah korbannya dan memaksa mereka “tersenyum selamanya” dengan menjahit otot pipi ke atas. Setiap korban disebut sebagai “lukisan jiwa.”

Tahun 2001, RS Jiwa Senara terbakar secara misterius. Beberapa jenazah ditemukan, namun tubuh Tn. D tidak pernah ditemukan.

Reyhan menutup map arsip itu, peluh membasahi dahinya. Ia kini yakin…

Pembunuh bertopeng itu adalah Tn. D.

Dan dia masih hidup.

Atau... sesuatu dari dirinya masih hidup di dunia ini.

Dan tiba-tiba—ia mencium bau.

Bau besi.

Bau darah.

Langit mulai gelap. Kabut turun lebih tebal. Reyhan melihat ke sekeliling dan—

dia tidak lagi sendirian.

Siluet manusia berdiri di kejauhan. Beberapa. Lima. Enam. Mungkin tujuh.

Mereka tidak bergerak. Tapi semua… tersenyum.

Reyhan mundur. Tapi langkah kakinya menabrak sesuatu.

Topeng.

Tergeletak di tanah.

Saat ia menunduk, topeng itu seperti… menatap balik. Tanpa mata. Tapi punya nyawa.

Dan dari kejauhan, suara terdengar.

Suara rendah. Serak.

“Ayo, Reyhan. Sudah waktunya kau tersenyum juga.”

Reyhan berbalik.

Tn. D berdiri di belakangnya.

Topeng kulit. Pisau bedah. Dan… senyum.

“Kenapa aku?” tanya Reyhan, gemetar.

“Karena kamu selamat. Itu berarti kamu sempurna. Kamu kuat. Tapi senyummu… masih palsu.”

“Pergi dari hidupku!!” Reyhan berteriak.

Tn. D tertawa. “Aku tidak masuk ke hidupmu, Reyhan. Kau yang membukakan pintu.”

Dan malam itu… Reyhan bertarung. Bukan hanya dengan kekuatannya. Tapi dengan pikirannya juga.

Perbedaan kekuatan mereka sangat jelas. Reyhan yang diliputi rasa takut kalah telak. Ia terjatuh. Dipukul bertubi-tubi, disayat. Tapi ia tidak menyerah dan terus melawan untuk tidak mati.

Ia berdiri kembali. Dengan badan penuh luka. Dengan menggunakan kesempatan yang tepat ia berhasil menumbangkan Tn. D dan menusuk lehernya dengan pisau bedah yg dibawa Tn. D.

“Aku tidak akan jadi lukisan mu” gumam Reyhan.

Ia mengambil topeng dari kepala mayat Tn. D kemudian membakar topeng itu. Dengan korek yang ia bawa.

Api menyala dan tak butuh waktu lama topeng itu hangus seutuhnya.

Setelah semuanya terbakar…

Reyhan masih berdiri.

Sendirian. 

Kabut hilang.

Langit cerah.

Tapi… di dalam dirinya… Senyuman itu belum sepenuhnya pergi.

Seminggu setelah peristiwa di kota terkutuk itu.

Reyhan tinggal sementara di rumah bibinya di Bogor. Jauh dari keramaian, jauh dari media. Tapi malam-malamnya tetap dibanjiri oleh mimpi dan bisikan:

“Senyum itu penyembuh… senyum itu abadi...”

Setiap kali ia melihat wajahnya di cermin, ia memeriksa sudut bibirnya. Takut.

Takut kalau senyuman itu perlahan tumbuh... tanpa ia sadari.

Tapi waktu berlalu begitu saja. Luka fisiknya sembuh. Dan media mulai melupakan tragedi itu. Seolah itu tidak terjadi.

Semuanya tampak kembali normal.

Di suatu sore, Reyhan duduk di taman. Seorang teman lamanya duduk di sebelahnya. Namanya Fahmi. Teman yang dulu sering nongkrong bareng sebelum semuanya berubah.

“Lo kelihatan mendingan sekarang,” kata Fahmi sambil menyeruput kopi. “Udah bisa senyum lagi.”

Reyhan menatapnya. “Iya… dikit-dikit.”

Fahmi tertawa. “Gue juga. Gara-gara berita lo, gue jadi banyak baca tentang psikologi horor. Seru sih. Tapi... serem juga.”

Reyhan tersenyum tipis. “Lo percaya ada orang yang bisa nularin kegilaan cuma lewat senyuman?”

Fahmi menatap Reyhan sebentar… lalu tersenyum lebar.

“Senyum itu penyembuh, bro.”

Reyhan terdiam.

Lalu… pelan-pelan, senyumnya hilang.

Senyuman Fahmi terlalu lebar.

Sudut bibirnya naik lebih tinggi dari biasanya.

Wajahnya tetap tenang. Tapi matanya—kosong.

Reyhan langsung berdiri. Langkahnya tergesa. Ia menoleh ke belakang.

Dan saat itu… ia melihat lebih banyak orang di taman tersenyum.

Anak-anak, ibu-ibu, satpam.

Semuanya dengan senyuman yang terlalu identik. Terlalu lebar. Terlalu sempurna.

Reyhan berlari. Kembali ke kamar kos. Mengunci pintu. Menarik tirai.

Di kamar mandi, ia kembali berdiri di depan cermin.

Dan saat ia menatap bayangannya sendiri—ia membeku.

Wajahnya tersenyum. Tapi dia tidak sedang tersenyum.

Bibirnya perlahan naik...

Kulit pipinya menegang...

Seolah ada tangan tak terlihat yang menarik wajahnya dari dalam.

“Senyum itu abadi,” bisik suara dari dalam kepalanya.

Senyuman itu kini hidup menjadi trauma dan kegilaan padanya.

Senyum itu telah menyebar ke semua orang yang ia lihat. Meskipun Tn. D sudah tiada namun terrornya belum berakhir dalam bentuk trauma dan kegilaan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
SMILE
IS KUN
Cerpen
Bronze
Pesugihan Makhluk Pemakan Janin
Salim
Cerpen
Rumah Misterius di Kota Kecil Enfield
Keefe R.D
Flash
Bronze
Payung Hitam
Herman Sim
Cerpen
Bronze
Misteri Hutan Bawean
sukadmadji
Novel
Bronze
Teka-Teki Mimpi
Rafasirah
Flash
Titan
Rama Sudeta A
Cerpen
Lampu Merah
Astromancer
Novel
Gold
We Have Always Lived in the Castle
Mizan Publishing
Novel
Bronze
The Curse (Kutukan)
Kazehaya Shin
Cerpen
Bronze
Misteri Selendang Biru
Tika Lestari
Novel
Parasomnia
Alfian N. Budiarto
Flash
Hantu di bawah tempat tidur
Bluerianzy
Cerpen
Bronze
Jerat Senyap
Christian Shonda Benyamin
Novel
Bronze
KEMPONAN
Hesti Ary Windiastuti
Rekomendasi
Cerpen
SMILE
IS KUN
Novel
CAREN
IS KUN
Flash
#STOPJUDOL
IS KUN