Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma kopi di depanku selalu menjadi pengobat rasa gugupku setiap kali menantinya lewat tepat pukul 07.00 pagi. Rasanya pemilik coffee shop ini sudah menganggapku sebagai sahabat karena rutinitasku selesai olahraga pagi selalu menjadikan coffee shop ini tujuanku berikutnya.
"Good morning," sapa pemiliki coffee shop, pria muda yang rajin, selalu menyapaku dengan ramah. Satu yang kusuka dari coffee shop ini, pria muda itu hapal pesananku saat aku baru dua kali datang ke coffee shop miliknya. "Thank you, and good morning," balasku sambil tersenyum melihatnya sudah membuat pesananku begitu melihatku masuk ke kedai kopi miliknya.
Aku selalu memilih tempat duduk yang sama, di sudut luar kafe dengan payung besar menutupi matahari pagi yang masih malu-malu menunjukkan pesonanya. Kacamata hitam dan earpod menjadi hal wajib saat menikmati secangkir kopi dan sepotong croissant yang sudah tersaji di depanku.
Tepat pukul 07.00, pria itu berjalan menuju ke arahku. Bagaimana aku tahu tanpa perlu melihat ke arahnya? Ya, aroma parfumnya yang segar dan khas membuatku hapal pria dengan tinggi 178 cm itu menuju ke arahku. Perpaduan aroma daun mint dan kayu manis, bahkan mencium aroma tubuhnya dari kejauhan membuat jantungku berdebar.
Tak seperti biasa, pria ini ternyata mampir ke coffee shop, sudut mataku melihat bagaimana dia membuka pintu. Mataku mengikuti gerakannya di dalam kafe yang memang sebagian besar ditutup kaca transparan itu. Saat melihatnya membawa kopi keluar kafe, aku buru-buru memalingkan wajah.
Dia duduk tepat di seberang tempatku duduk. Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tuhan benar-benar dalam mood yang baik saat menciptakan pria ini. Bagaimana bisa dia memiliki hidung dengan tulang setinggi itu dan terpahat sempurna diantara kedua bola matanya yang terlihat bersinar bahkan tanpa menggunakan lensa kontak.
Bibirnya merah alami dan bersinar setiap kali dia menyeruput kopi melalui sedotan yang diletakkan di sudut bibirnya. Benar-benar wajah yang sempurna dan pagi ini aku bisa menikmatinya secara gratis.
Lamunanku tersadar ketika pria itu tiba-tiba menatapku. Aku buru-buru mengangkat kacamataku agar menutup sepenuhnya mataku, pura-pura sibuk dengan buku yang sedari tadi hanya kugunakan untuk menutup wajahku saat diam-diam mencuri pandang.
Pria itu kembali menyeruput es kopi dari sedotan dengan cara yang manis. Semua terasa indah di mataku. Tapi lagi-lagi aku ketahuan sedang mencuri pandang. Pria itu kemudian beranjak pergi sambil membawa minumannya.
Beberapa hari aku tak melihatnya lagi meskipun aku tetap rajin duduk di tempat yang sama. Aku mulai bertanya-tanya, apakah dia merasa risih denganku tempo hari? Sampai satu minggu berlalu, aroma itu kembali tercium. Kali ini aromanya semakin dekat, jantungku berdegup kencang.
"Apa ini?" tanyaku dalam hati, "kenapa kali ini aromanya tak hilang seperti biasa, kenapa justru semakin lekat?"Jantungku semakin tak bisa tenang. "Good morning," sebuah suara asing masuk dari telinga kiriku. Sapaan yang bukan dari pemilik kafe tentu saja. Tanpa kusadari, ada satu orang yang diam-diam selalu memperhatikanku menunggu pria yang kini membisikkan kata "selamat pagi".
Aku menggerakkan kepalaku ke arah suara itu, wajahku hampir menempel dengan pemilik hidung tajam itu. Ya, pria yang selama ini diam-diam kukagumi menyapaku, tanpa ada angin tanpa ada badai, "dia menyapaku", teriakku dalam hati.
Mataku sempat bertukar pandang dengan pemilik mata boba itu, aku hanya terdiam, suaraku bahkan tak keluar walaupun aku ingin membalas sapaannya. "Good morning," ucapnya lagi dan berjalan menuju kafe untuk memesan minuman.
Jantungku masih tak bisa diam usai adegan singkat itu. Aku terus menepuk dadaku berusaha menenangkannya agar tak pindah tempat. Aku mengambil bola yang biasa kuremas setiap ka...