Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma kopi di depanku selalu menjadi pengobat rasa gugupku setiap kali menantinya lewat tepat pukul 07.00 pagi. Rasanya pemilik coffee shop ini sudah menganggapku sebagai sahabat karena rutinitasku selesai olahraga pagi selalu menjadikan coffee shop ini tujuanku berikutnya.
"Good morning," sapa pemiliki coffee shop, pria muda yang rajin, selalu menyapaku dengan ramah. Satu yang kusuka dari coffee shop ini, pria muda itu hapal pesananku saat aku baru dua kali datang ke coffee shop miliknya. "Thank you, and good morning," balasku sambil tersenyum melihatnya sudah membuat pesananku begitu melihatku masuk ke kedai kopi miliknya.
Aku selalu memilih tempat duduk yang sama, di sudut luar kafe dengan payung besar menutupi matahari pagi yang masih malu-malu menunjukkan pesonanya. Kacamata hitam dan earpod menjadi hal wajib saat menikmati secangkir kopi dan sepotong croissant yang sudah tersaji di depanku.
Tepat pukul 07.00, pria itu berjalan menuju ke arahku. Bagaimana aku tahu tanpa perlu melihat ke arahnya? Ya, aroma parfumnya yang segar dan khas membuatku hapal pria dengan tinggi 178 cm itu menuju ke arahku. Perpaduan aroma daun mint dan kayu manis, bahkan mencium aroma tubuhnya dari kejauhan membuat jantungku berdebar.
Tak seperti biasa, pria ini ternyata mampir ke coffee shop, sudut mataku melihat bagaimana dia membuka pintu. Mataku mengikuti gerakannya di dalam kafe yang memang sebagian besar ditutup kaca transparan itu. Saat melihatnya membawa kopi keluar kafe, aku buru-buru memalingkan wajah.
Dia duduk tepat di seberang tempatku duduk. Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tuhan benar-benar dalam mood yang baik saat menciptakan pria ini. Bagaimana bisa dia memiliki hidung dengan tulang setinggi itu dan terpahat sempurna diantara kedua bola matanya yang terlihat bersinar bahkan tanpa menggunakan lensa kontak.
Bibirnya merah alami dan bersinar setiap kali dia menyeruput kopi melalui sedotan yang diletakkan di sudut bibirnya. Benar-benar wajah yang sempurna dan pagi ini aku bisa menikmatinya secara gratis.
Lamunanku tersadar ketika pria itu tiba-tiba menatapku. Aku buru-buru mengangkat kacamataku agar menutup sepenuhnya mataku, pura-pura sibuk dengan buku yang sedari tadi hanya kugunakan untuk menutup wajahku saat diam-diam mencuri pandang.
Pria itu kembali menyeruput es kopi dari sedotan dengan cara yang manis. Semua terasa indah di mataku. Tapi lagi-lagi aku ketahuan sedang mencuri pandang. Pria itu kemudian beranjak pergi sambil membawa minumannya.
Beberapa hari aku tak melihatnya lagi meskipun aku tetap rajin duduk di tempat yang sama. Aku mulai bertanya-tanya, apakah dia merasa risih denganku tempo hari? Sampai satu minggu berlalu, aroma itu kembali tercium. Kali ini aromanya semakin dekat, jantungku berdegup kencang.
"Apa ini?" tanyaku dalam hati, "kenapa kali ini aromanya tak hilang seperti biasa, kenapa justru semakin lekat?"Jantungku semakin tak bisa tenang. "Good morning," sebuah suara asing masuk dari telinga kiriku. Sapaan yang bukan dari pemilik kafe tentu saja. Tanpa kusadari, ada satu orang yang diam-diam selalu memperhatikanku menunggu pria yang kini membisikkan kata "selamat pagi".
Aku menggerakkan kepalaku ke arah suara itu, wajahku hampir menempel dengan pemilik hidung tajam itu. Ya, pria yang selama ini diam-diam kukagumi menyapaku, tanpa ada angin tanpa ada badai, "dia menyapaku", teriakku dalam hati.
Mataku sempat bertukar pandang dengan pemilik mata boba itu, aku hanya terdiam, suaraku bahkan tak keluar walaupun aku ingin membalas sapaannya. "Good morning," ucapnya lagi dan berjalan menuju kafe untuk memesan minuman.
Jantungku masih tak bisa diam usai adegan singkat itu. Aku terus menepuk dadaku berusaha menenangkannya agar tak pindah tempat. Aku mengambil bola yang biasa kuremas setiap kali gejala anxietyku muncul, berharap rasa ini cepat berkurang sebelum pria itu menyadarinya.
"Aku selalu perhatiin kamu," ucap pria itu menyapaku dan langsung duduk di depanku. Sementara dari dalam kafe terlihat pria pemilik kafe memperhatikan kami. Aku tak pernah menyadari bahwa pria itu sebenarnya menyukaiku dalam diam karena aku terlalu sibuk dengan pria di depanku saat ini.
"Aku Lino," ujar pria itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan. Dia kemudian menyeruput es kopi americano yang selalu dipesannya dengan banyak es dan ekstra shot.
"Ha....han..hannie," ucapku berusaha tenang tapi tak bisa. Pria itu hanya tersenyum kecil menyadari kegugupanku saat ini. "Calm down, let's be friend," ucapnya singkat tapi membuat jantungku kembali berdebar kencang.
"See you tomorrow morning," ujarnya lagi sambil menepuk bahuku. Aku bahkan tak tahu apa pekerjaannya, berapa usianya, kenapa dia tiba-tiba bisa begitu ramah? Setelah bertahun-tahun kami hanya saling melihat dalam diam? Banyak sekali pertanyaan muncul usai sapaan singkatnya pagi itu.
Setahun berlalu dan kami semakin akrab, bertukar nomor, menonton film, makan ke restoran baru, dan tak pernah melewatkan coffee morning date. Tanpa aku pernah sadar pemilik kafe selalu memperhatikan kami. Sementara aku dan Lino terus menikmati waktu kami tanpa pertengkaran berarti.
"Aku menikmati waktuku selama ini sama kamu," ujar Lino tepat setahun setelah perkenalan kami waktu itu, di tempat yang sama. "Aku enggak mau kita hanya seperti ini, " ucapnya seolah ingin aku mengartikan sendiri hubungan kami berikutnya tanpa perlu dia berkata-kata.
"Aku enggak pengin kamu lihat pria selain aku, aku cemburu tiap kali lihat pemilik kafe ini perhatian sama kamu," kata Lino kali ini sambil meraih tanganku.
"Tapi kan dia cuma pemilik kafe langgananku, bahkan dia mengenalku sebelum kamu menyapaku waktu itu," ujarku.
"Iya aku tahu, tapi di mataku dia punya niat lain, bukan hanya sebatas pemilik kafe dan pelanggan," ujar Lino.
"Aku enggak suka ya kamu larang-larang aku ke kafe ini," ucapku.
"Aku enggak larang kamu ya, aku cuma mau bilang, aku mau kamu hanya lihat aku," tegas Lino.
Aku hanya tersenyum kecil mulai menyadari maksud dan arah ucapannya, "oke, oke, aku ngerti."
"Jangan tersenyum seperti ini di depan pria lain," kata Lino sambil mencubit pipiku.
Tawaku pecah dengan sikapnya yang seperti ini, pria yang dulu hanya bisa kukagumi dari jauh, pria yang dulu seolah tak mungkin kumiliki, kini takut mataku berpaling pada pria lain.
"Jangan ketawa ya, aku serius," ujar Lino sambil menggeser kursinya kali ini mendekati tubuhku. Lino mengelus rambutku dan mencium puncak kepalaku. "Ingat ya, kamu milikku," ucapnya lagi.
"Hemm," kataku singkat. "Apa hemm?" tanya Lino sambil menjauhkan kepalaku dari wajahnya, memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya, "janji enggak?" tanya Lino dan aku hanya mengangguk.
"Aku sayang kamu Hannie, baru kali ini aku takut kehilangan seseorang," kata Lino dengan ekspresi serius. Aku memperhatikan kedua matanya yang tampak tulus saat mengucapkan hal itu. Aroma tubuhnya yang dulu selalu membuatku berdebar entah kenapa kini perlahan justru menjadi hal yang menenangkan bagiku.
Aku tak menyadari sikap manis Lino ini telah membuat pria di dalam kafe itu cemburu. Hal yang tak pernah kusadari akan menjadi petaka bagi hubungan kami kelak.
Americano
“When love is forbidden, it becomes a secret worth keeping.”
Es americano yang menjadi awal cinta antara aku dan Lino tetap menjadi favorit kami. Tak ada yang berubah sejak kami memutuskan tinggal bersama. Aku dan Lino menikmati waktu dan batasan masing-masing meskipun tinggal bersama. Aku tetap bisa menikmati me time, tapi tak juga kehilangan cinta dan perhatian dari Lino. Pria ini mencintaiku dengan caranya sendiri. Lino sering pergi keluar kota untuk pekerjaannya, dan ini yang akhirnya aku tahu alasan dulu dia sering hilang dan tak terlihat saat aku sering menunggunya di coffee shop. Sebulan dua kali dia bisa pergi keluar kota untuk pekerjaan.
Pagi ini aku ke kafe biasa tanpa Lino karena dia keluar kota. Usai lari pagi aku seperti biasa menuju kafe itu. Anehnya pemilik kafe yang hapal dengan pesananku kali ini mengabaikanku, tak ada ucapan selamat pagi darinya. Walaupun merasa aneh karena hal yang biasa kualami mendadak hilang, tapi aku berusaha mengabaikannya. Aku mengambil es kopi dari tangan Rain, ya pemilik kafe ini bernama Rain, entah nama asli atau bukan, tapi itu yang tertulis di nametag kerjanya dan itu juga yang dia sebut saat berkenalan denganku dua tahun lalu.
Aku menikmati kopi pagiku sambil mencoba video call Lino. Tak juga terhubung dan aku menyadari Rain berdiri di sampingku membawa croissant milikku. Tak seperti biasa, kali ini Rain tak langsung pergi tapi berdiri mematung disampingku. Aku yang masih menunggu panggilan videoku terhubung akhirnya mengalihkan pandangan pada Rain, "Rain kenapa?" tanyaku.
Tiba-tiba saja Rain mengangkat daguku, mencium bibirku. Tepat disaat itu videocallku tersambung, suara Lino mengejutkanku, membuatku terbangun dari tindakan Rain. Aku tak tahu pasti Lino melihat hal itu atau tidak, tapi yang pasti suara manis Lino saat menyapaku membuat jantungku yang tadi berdebar kembali tenang. "Good morning Hannie," sapa Lino. Aku berusaha tersenyum, menyembunyikan hal mengejutkan yang baru saja terjadi padaku. Aku berusaha mencari tahu apakah Lino melihat hal itu atau tidak.
"Pagi kucingku, kamu sibuk?" tanyaku berusaha bicara dengan tenang, mataku melihat ke arah Rain yang pergi meninggalkanku begitu saja usai menciumku. "Enggak, aku habis mandi, maaf lama angkat call kamu," kata Lino.
"Nanti sore aku pulang," ujar Lino sebelum menutup panggilan. "Hah, tiba-tiba?" tanyaku, karena sebelumnya Lino berpamitan akan pergi hingga akhir pekan, tapi ini baru hari Rabu. "I miss you so much, can't I?" tanya Lino. Aku tersenyum, "come home, I'll wait," kataku.
Setelah menutup telepon Lino, aku berjalan ke arah Rain mencoba bertanya alasannya melakukan hal itu tadi.
"Rain, apa yang kamu lakukan tadi?" tanyaku berusaha tetap tenang, mengingat persahabatan kami yang terjalin selama ini.
"Han, apa kamu tak sadar selama ini aku menyukaimu?" tanya Rain kemudian.
"Apa? Sejak kapan?" tanyaku.
"Aku enggak tahu Han, yang pasti aku selalu gelisah setiap melihat kamu dan Lino semakin dekat, bahkan kini aku tahu kalian sudah tinggal bersama," kata Rain.
"Tapi maaf Rain, aku menyayangi Lino, kamu tahu itu kan, kamu tahu alasanku berada di kafe ini bahkan sejak awal karena Lino," ujarku.
"Aku tahu, karena itu aku diam," jawab Rain.
"Lalu kenapa pagi ini kamu...," ucapku tak melanjutkan perkataan lagi. Aku menunduk berusaha menahan air mata.
"Kamu nangis?" tanya Rain kemudian meraih tanganku. "Aku minta maaf, maaf, aku janji enggak akan ngulangin lagi, aku akan mencintai kamu dalam diam, tapi tolong jangan jauhi aku," kata Rain memohon, bahkan kali ini berlutut di depanku.
"Aku maafin kamu Rain kali ini, aku harap kita tetap bisa berteman," kataku pada Rain.
Aku pulang tapi pikiranku tak karuan mengingat hal singkat yang terjadi di kafe pagi ini. Aku yang bekerja sebagai kartunis bahkan tak bisa menyelesaikan pekerjaanku hari ini, untung deadline masih akhir pekan. Aku benar-benar perlu menjernihkan pikiranku.
Saat seperti ini, aku pasti memilih untuk membersihkan rumah, seolah akan menyambut hari besar. Lino menyadari hal itu ketika pulang ke rumah. "Are you okay?" tanya Lino singkat begitu melihat rumah yang tampak seperti baru pertama kali dihuni manusia karena semua terlihat begitu bersih. Lino tahu persis kebiasaanku ini.
Tanpa basa basi aku memeluk Lino, aku tak tahu bahwa sebenarnya Lino pulang karena melihat sekilas Rain menciumku di kafe tadi pagi. "I love you," kata Lino singkat dan menciumku. Aku merasa Lino kali ini berbeda, dalam hatiku terus bertanya, 'dia kenapa tiba-tiba begitu liar dan seolah tak bisa mengendalikan dirinya?' tapi kubiarkan saja Lino melakukan yang dia suka.
"I can't handle it anymore," kata Lino lagi sambil meremas kedua tanganku. "You're mine, and always be mine," ujarnya kali ini jelas terdengar aksen Australianya. " I know it," jawabku dengan suara lirih.
Aku sadar setiap kali Lino berbicara dengan bahasa Inggris merupakan cara dia untuk menyampaikan rasa marah. Meskipun tak pernah menyakitiku secara fisik, Lino menggunakan caranya sendiri untuk memberitahu emosinya saat itu. Dia akan selalu menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari menaikkan nada bicara saat marah, karena dia tahu aku trauma dengan suara bernada tinggi. Lino akan memeluk tubuhku erat dan menciumiku setiap kali dia merasa insecure dengan hubungan kami atau ada sesuatu yang membangkitkan rasa cemburunya. Selebihnya, Lino cenderung pendiam dan hangat.
Tapi sungguh kali ini aku tidak tahu penyebab dia melakukan hal itu padaku. Kepalaku hanya dipenuhi pertanyaan, 'apakah dia melihat kejadian tadi di kafe?' Meskipun aku penasaran, aku tak berani bertanya langsung, entah apa yang menghentikan kalimat tanya itu keluar dari mulutku. Padahal biasanya aku selalu jujur bahkan untuk hal sepele.
"Honey..," kata Lino sambil meraih tanganku dan diletakkan ke atas dadanya.
Kamar kami tetap gelap, pandangan mata kami sama-sama mengarah keluar pintu kaca balkon yang kini terlihat seperti lukisan hidup, dengan warna warni lampu gedung-gedung pencakar langit di Tokyo.
Aku yang seorang kartunis ini jatuh cinta dengan seorang arsitek, kami sama-sama mengagumi keindahan dan cukup sentimental. Lino adalah arsitek keturunan Jepang dan Australia. Dia menghabiskan masa kecil hingga remaja di Sydney, sebelum akhirnya tawaran pekerjaan membawanya pindah ke Tokyo, kota asal ibunya. Aku terkadang begitu mengagumi kemampuan bahasanya, dia bisa menguasai tiga bahasa karena pekerjaan dan lingkungan pertemanan. Dia pernah bekerja dengan di salah satu restoran masakan Indonesia saat pertama kali datang ke Tokyo karena ingin memiliki uang tambahan. Sebenarnya dia seorang first-class architect di salah satu perusahaan ternama.
"Hemm...," ujarku sambil tetap melihat ke arah luar.
"Can we get married?" tanya Lino dengan hati-hati. Ini bukan pertama kalinya Lino melamarku. Ya, ini sudah ketiga kalinya dia mengajukan pertanyaan yang sama.
"Untuk apa?" tanyaku kemudian dan mulai mengangkat selimut yang menutupi tubuh kami. Lino menarik tanganku dan membuat tubuhku jatuh tepat menutup dadanya. Aroma tubuh Lino selalu membuatku terpikat, pikiran sekejap melayang karena menikmati aroma parfum yang lekat di tubuhnya.
"Kenapa kamu selalu menghindar setiap kali aku tanya hal yang sama?" tanya Lino kali ini sambil menatap mataku, menggenggam erat pergelangan tanganku yang ada di depan dadanya.
Aku tak menjawab pertanyaannya, aku memilih menjatuhkan tubuhku ke atas dada Lino, membuatnya kembali mencium pucuk kepalaku dengan lembut.
"Aku ngerti, aku akan tunggu sampai kamu siap," kata Lino kemudian.
"Kamu mau ke kafe buat secangkir kopi? Aku harus kembali ke Osaka sebelum rapat besok pagi," ujar Lino.
Aku terkejut tapi tak terkejut, karena Lino suka bertindak sesuka hatinya setiap kali sedang bekerja di luar kota. Dia tak pernah mempersoalkan uang terlebih jika dia sudah merasa merindukanku.
"Oke, get up. Aku akan siap dalam 30 menit," kataku.
Croissant
“The heart wants what it wants, even if it’s forbidden.”
"Pagi yang menyenangkan," ujarku sambil menghirup aroma kopi dan kemudian mengiris croissant yang tersaji di depanku. Sudah beberapa minggu ini aku tak melihat Rain di kafe ini. Ya tepatnya sejak saat dia menciumku. Bahkan ketika malam aku kembali ke kafe itu bersama Lino, Rain tak ada.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang hampa setiap kali datang ke kafe ini. Lamunanku berakhir ketika sebuah ciuman aku rasakan mendarat di bagian atas kepalaku.
"Kenapa enggak bangunin aku?" tanya Lino. "Sengaja mau ngopi diam-diam biar ketemu Rain?" tanyanya tiba-tiba.
"Hah? Tiba-tiba gitu?" aku bertanya dengan terkejut. "Gotcha, becanda Hannie," ujar Lino yang langsung menuju kafe untuk memesan minumannya.
Aku bodoh atau cukup buta hingga tak menyadari bahwa sebenarnya Lino mengetahui momen Rain menciumku saat itu. Ya mungkin keduanya.
"Hannie, you haven't finish yet this chapter right? Kamu keabisan ide ya? Mau jalan-jalan kah? Selagi musim semi, kamu mau kemana?" tanyanya.
"Kamu enggak sibuk?" tanyaku kemudian.
"Hei, aku tanya duluan ya, artinya aku ada waktu buat kamu," jawab Lino sambil menyeruput es americano favoritnya.
"Anyway, rasa kopi di sini tak seenak waktu ada Rain ya," ujarnya lagi dan kali ini aku memilih diam tak merespons pertanyaannya.
"Iya nanti aku pikirkan mau kemana. Tapi aku sepertinya pengin ke Pabrik Puff Krim Shirohige deh," ujarku antusias.
Sambil tersenyum, Lino langsung menyetujui ideku.
Kami tak pernah tahu di sana kami akan kembali bertemu Rain, sebuah kebetulan yang mungkin bahkan tak mungkin terjadi di dunia nyata.
Aku juga tak pernah tahu bahwa sebenarnya Rain tak pernah pergi kemana-mana, dia hanya menghindari bertemu denganku.
Semua baru kusadari beberapa hari kemudian, ketika Lino masih berada di luar kota. Aku keluar apartemen tengah malam untuk sekedar mencari cemilan di Sevel yang lokasinya tak jauh dari kafe. Saat berjalan melewati kafe, mata usilku mencoba melihat ke dalam kafe. Sampai kusadari ada sosok pria yang proporsi tubuhnya tak asing bagiku. Pria dengan badan tegap dan potongan rambut ala Suguru Geto dari Jujutsu Kaisen itu tampak sedang duduk di salah satu bangku di dalam kafe yang sudah gelap. Jantungku tiba-tiba berdegup ketika pria itu mengarahkan pandangannya padaku. Aku hanya bisa berdiri mematung di depan kafe. Tampaknya kami saling bertatapan mata selama beberapa menit sebelum aku dibuat sadar karena pria itu beranjak pergi.
"Apa dia sekarang menghindariku?" tanyaku dalam hati sambil berjalan menuju Sevel. Mataku menatap deretan mi instan tapi tak ada yang kupilih. Pikiranku masih berada di depan kafe tadi.
"Aneh ih," ucapku lirih dengan nada kesal.
"Siapa yang aneh?" tanya seorang pria yang suaranya tak asing bagiku. 'Rain!' teriakku dalam hati.
Aroma tubuh yang jauh berbeda dari Lino, Rain memiliki wangi tubuh alami yang menyegarkan, mungkin karena dia selalu berkutat dengan biji kopi? Entah lah, sulit menggambarkan aroma tubuh Rain.
Tangannya melewati pipiku, meraih bungkus mi instan yang berada tepat di depanku.
Dalam diam kami sama-sama menyeduh mi instan itu dan duduk bersebelahan sambil menunggu mi tersebut masak dengan sempurna. Tepat 3 menit. Suara sumpit terbelah memecah keheningan antara kami.
Tak ada pembicaraan hingga mi di depan kami habis. Aku membuang bungkus mi ke tempat sampah, kembali ke tempat duduk sambil meminum es kopi instan yang kubuat tadi bersama Rain.
"Kamu punya coffee shop ternyata minum kopi kemasan juga," ucapku.
"Iya," jawabnya singkat tanpa melihat ke arahku. Tapi aku melihat bayangan wajah Rain dari jendela yang memang terlihat jelas karena lampu Sevel begitu terang.
"Rain kamu marah sama aku?" tanyaku kemudian.
"Kenapa marah? Enggak, hanya saja sulit buat aku melihat kamu bersama orang lain," kata Rain sambil mengaduk minumannya.
"Aku hanya butuh waktu untuk membuang perasaanku ini, aku suka kamu dan itu tanggung jawabku, aku enggak mau memaksa kamu untuk jadi milikku," lanjutnya.
Rain akhirnya menggeser bangkunya, memposisikan duduknya menghadapku.
"Tapi, kamu sepertinya merindukanku ya?" ucap Rain sambil mendekatkan wajahnya ke arah wajahku yang sedang menyeruput kopi.
Pipiku memanas, padahal aku minum es kopi malam ini. "Ah cute," ujar Rain sambil mengacak rambutku.
"Aku cuma belum bisa melepaskanmu, jadi aku berusaha menjauhi kamu. Melihatmu semanis ini gimana aku bisa lepasin kamu sih. Lino beruntung dapetin kamu," ucap Rain.
Rain berdiri dari bangkunya, dan meninggalkanku sendiri di dalam Sevel itu masih dengan pikiran kosong. Aku mulai mempertanyakan hatiku sendiri. Jelas-jelas aku menyukai Lino sejak lama, aku bahkan dengan bodoh mencintai Lino dalam diam, sampai akhirnya pria itu jatuh hati padaku. Tapi kenapa sekarang aku bimbang?
Pelangi
“Forbidden love is a flame that burns brighter in the shadows.”
"Hannie, good morning, such a bless to see your face in the morning," kata Lino sambil menciumku. "Happy 2nd anniversary," ucapnya kemudian.
Lino memelukku lebih erat, mencium kembali kening dan pipiku, tanganku. "Ah, aku pasti bodoh sempat meragukan perasaanku sendiri, jelas aku menyayangi Lino," ucapku dalam hati. Aku membalas pelukan Lino, "Happy 2nd anniversary, I love you," kataku pada Lino.
"Jadi kita pergi ke Puff Krim Shirohige hari ini, kamu udah prepare semua?" tanya Lino, "Atau ada yang perlu aku siapkan lagi?" tanyanya.
Aku memandang Lino dengan takjub, bagaimana bisa dia baru pulang semalam dan hari ini demi aku, demi aku yang sempat meragukan perasaan pada Lino ini, rela bangun pagi untuk kemudian pergi keluar kota lagi hanya untuk makan makanan kecil.
"My kitty, thank you for loving me," ujarku sambil menatap Lino yang sudah beranjak dari kasur.
Sambil berdiri Lino mendekat ke arah kasur, memelukku yang dalam posisi duduk di atas kasur. "Kamu kenapa?" tanya Lino. "Kamu tahu kamu segalanya buat aku, dan ini bukan apa-apa untukku. Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia," kata Lino masih memelukku dan membelai rambutku.
Kami berangkat tak lama kemudian. Perjalanan dari Tokyo menuju kota tempat puff menggemaskan itu tak terasa lama karena aku dan Lino menikmati perjalanan dengan kereta. Sesampainya di toko kue terkenal itu, kami memilih bangku di kafe yang tersedia di lantai dua. Betapa terkejutnya aku ketika mataku terpaku dengan sosok akrab itu, Rain. Tiba-tiba Lino menggandeng tanganku, mengajakku duduk tak jauh dari Rain.
"Hai Rain," sapa Lino sambil menarik kursi untukku duduk. Rain membalas sapaan Lino singkat, seolah dia juga terkejut bisa menemui kami di sini. Tokyo seharusnya tak sesempit itu bukan.
Sambil menikmati kue Totoro dan teh yang tersaji, aku mulai mengeluarkan tablet dari tas. "Aku sambil kerja ya," ujarku pada Lino dan dijawab dengan anggukan. Lino kemudian berpindah duduk di sampingku, membuatku semakin leluasa untuk memandang ke arah Rain. Aku sungguh tak pernah menyadari sikap kikukku dan beberapa kali momenku mencuri pandang ternyata tertangkap oleh Lino.
Lino tak pernah mengungkit atau menunjukkan rasa cemburu atau bahkan menegurku. Dia tetap terlihat tenang di bangkunya, sesekali membelai rambutku yang jatuh setiap aku menundukkan kepala. Sampai akhirnya Lino memutuskan untuk mengambil bando di tasku dan memasangkannya ke kepalaku. Aku menatapnya sambil tersenyum.
Aku melihat Rain beranjak dari bangkunya, bukan pergi, Rain ternyata hanya pindah ke bangku di depanku. Aku berusaha menutupi rasa gugupku, tapi sepertinya kali ini tak bisa, aku meraih bola yang biasa kuremas setiap kali anxietyku muncul. Lino menyadari hal itu dan memutuskan menggenggam tanganku erat.
"Lino, kamu tahu aku suka Hannie kan?" tanya Rain singkat, padat dan menimbulkan petir di siang hari ini yang seharusnya indah berpelangi setelah hujan.
Kepala menatap ke arahnya, Rain sama sekali tak terlihat takut sedikit pun saat menatap wajah Lino. Aku mengalihkan pandangan pada Lino yang masih menggenggam tanganku. Kali ini kurasakan genggaman tangan Lino menyakitkan, tapi raut wajahnya tampak begitu tenang. Satu kalimat dari Lino kali ini mengejutkanku.
"Tak cukup ciuman kamu kemarin?" tanya Lino, membuatku spontan mengalihkan pandanganku dari tangan ke wajah Lino. Lino memandangku,"aku lihat semua Han," ucapnya.
Rain hanya tertawa kecil merespons perkataan Lino. Aku yang bingung dengan situasi ini hanya bisa mengatakan "Maaf."
"Enggak Hannie, ini bukan salah kamu, aku tahu itu bukan mau kamu," kata Lino berusaha menenangkanku. "Terbuat dari apa hati pria ini sebenarnya?" tanyaku dalam hati.
Sementara Rain yang berada di depanku hanya tersenyum kecut, "bukan sekarang, suatu saat aku yakin bisa mendapatkan hatinya."
Kali ini aku rasa Lino sudah dibatas maksimal kesabarannya, kakinya mendorong bangku dan akan bangkit untuk memukul Rain. Aku menarik tangannya yang masih kugenggam. Aku gelengkan kepalaku mengisyaratkan agar Lino tenang.
Rain meninggalkan kami, aku melihatnya pergi dan menggandeng seorang wanita yang aku tak mengenal siapa. Tapi setahuku Rain memang terkenal playboy. Ya, dengan wajah setampan itu siapa yang tak akan mau dengannya, dia juga cukup sukses untuk ukuran pria di usia 28 tahun.
Sementara aku yang tahun ini menginjak usia 32 tahun hanya bisa terdiam di bangku mengingat kejadian tadi. Aku berusaha menertawakan kejadian tadi untuk memecah kebekuan antara aku dan pria di sisiku yang sudah kucintai dalam diam sejak lama itu.
"Masih bisa ketawa kamu?" tanya Lino kali ini dengan pandangan sinis.
"Habis, dari sejak kita sama-sama, baru ini kulihat kamu marah. Tapi maaf sayang aku enggak cerita kejadian itu," ujarku.
"Lain kali jangan seperti ini, kamu harus cerita. Aku enggak akan rela Rain merebut kamu dariku," kata Lino sambil menatapku dengan mata bobanya.
"Kamu cemburu?" tanyaku iseng. Pertanyaan isengku itu dijawab Lino dengan menarik daguku, menciumku bibirku lagi, kali ini tangannya bahkan mulai perlahan dia selipkan diantara kedua pahaku karena aku memakai rok mini. Aku menghentikan telapak tangannya, berusaha menarik dan membawanya kembali ke atas meja.
Waktu terasa berhenti saat itu, aroma tubuh Lino yang selama ini kusukai semakin menusuk indera penciumanku. "Sayang, kita masih di kafe loh," ucapku diantara ciumannya. Kami tak langsung pulang ke Minato, malam ini kami memutuskan menginap dan menikmati malam dari Setagaya.
"Hannie," kata Lino padaku saat kami sudah berada di hotel. "Do you love him?" tanyanya tiba-tiba. Aku yang sedang mengikat tali sepatu karena kami akan keluar lagi untuk berjalan-jalan, tiba-tiba menghentikan gerak tanganku. Aku menatap Lino, pria dengan tatapan teduh ini, aku sungguh tak habis pikir dengan diriku yang bisa tergoyahkan hatinya karena ciuman sesaat dari Rain.
"No baby," ujarku sambil meraih tangan Lino. Tapi sepertinya Lino jauh lebih mengetahui isi hatiku dibanding dengan diriku sendiri. Lino tahu aku mulai goyah. "Apa karena terlalu lama aku mengabaikanmu?" tanyanya tiba-tiba dan membuatku kali ini terkejut.
"Maksud kamu?" tanyaku.
"Aku enggak pernah cerita ke kamu, aku sebenarnya sudah sejak lama menyukaimu, aku sadar, aku tahu kamu setiap pagi ke kafe itu hanya untuk melihatku berangkat kerja," kata Lino.
"Aku pertama kali melihatmu di stasiun kereta, aku sengaja mengikutimu dan bahkan pindah apartemen agar bisa ada di lingkungan yang sama denganmu. Aku selalu mengambil rute yang sama agar kamu menyadari keberadaanku," ucap Lino tanpa jeda.
Ucapannya itu menjelaskan alasan kenapa dia selalu bekerja keluar kota sebulan dua kali, karena sebenarnya kantornya bukan di daerah Minato. Dia beruntung karena memang pekerjaan dia tak mengharuskan untuk selalu berada di kantor.
"Kamu tahu kenapa aku akhirnya menyapa kamu saat itu?" tanya Lino tiba-tiba mengejutkanku.
"Hah?" ucapku singkat karena masih berusaha menelan semua informasi itu.
"Karena aku sadar, Rain diam-diam selalu memperhatikanmu, aku takut dia lebih dulu menyatakan perasaannya," kata Lino kemudian.
"Aku tahu sejak awal Rain menyukaimu Han, aku sengaja membuatnya cemburu, tapi aku enggak pernah menyangka dia yang dulu diam memendam perasaan, tiba-tiba punya keberanian untuk menyatakan perasaannya, bahkan menciummu saat aku sedang tidak ada," ucap Lino.
"Lino, jeeezz, I'm not clever enough to swallow all of this information," ucapku menarik tanganku kali ini dari genggaman tangan Lino.
"So are you playing hard to get at first? Just to know how much I love you? Do you know how much pain I've endure for loving you in silent? Keep asking to myself am I good enough, am I deserve your love. You know why I've always been silent everytime you propose me?" ucapku.
"I've been in toxic relationship before, and I need time to accept even for myself, to know that I'm worth it to be loved, I thought your love is pure, you're so sweet, so kind, so perfect," kataku dengan mata berkaca-kaca.
"I love you Lino, so much, but let me clear my mind first to accept all of this," ucapku dengan nada memohon.
"I do, I' ll give you time, but I wont let you go alone. I know my false for keeping all of this from you, I'll just give you space, but I wont let you feeling lonely," kata Lino.
"Do whatever you want Lino," ucapku.
Aku melangkah keluar, aku tahu Lino mengikutiku dari belakang. Aku tahu karena setiap kali melewati toko, selalu ada suara berbisik memuji ketampanan Lino. Bukan hal baru lagi buatku, karena dulu pun aku mengagumi karya Tuhan yang satu ini.
Langkah kakiku terhenti di depan sebuah kedai kopi. Aku tahu Lino masih mengikutiku, dia bahkan tak berani masuk ke dalam kafe. Hatiku pedih melihatnya seperti ini, tapi aku juga bingung mengartikan tindakannya selama ini. 'Apa aku ini semacam permainan? Atau aku terlihat mudah didapatkan? Apa aku setidakberharga itu hingga diperlakukan seperti ini?' berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, sampai aku tak menyadari bahwa di kedai kopi itu ada Rain yang ternyata dia ke daerah ini karena ingin mengakuisisi kafe itu.
Rain tampak memandang keluar jendela, melihat tepat ke arah Lino yang masih berdiri dalam diam diluar. Rain mengalihkan pandangannya ke arahku, dia juga tak mendekatiku.
Bubblegum
“Forbidden love is the sweetest sin one can ever taste.”
Tinggal di satu apartemen yang sama, hubunganku dengan Lino tak juga membaik. Kebetulan Lino juga semakin sibuk dengan proyek pembangunan sebuah mal di kota lain. Aku hampir tak pernah bertemu Lino dalam dua bulan ini, tapi dia masih sering mengirimkan pesan karena dia tahu aku tak akan pernah menjawab panggilan videonya.
Hubungan kami tak sehangat dulu lagi. Sementara hobiku setiap pagi duduk di kedai kopi Rain masih terus berlanjut. Aku sesekali melihat Rain, namun aku juga tak punya cukup kekuatan untuk menyapanya. Sampai akhirnya Rain duduk di depanku pagi itu.
"Kamu putus sama Lino?" tanyanya.
"Belum," jawabku.
"Belum?" tanyanya dengan nada heran. "Kalian kenapa? Kamu enggak mau cerita?" tanya Rain. Setelah beberapa kali bertanya akhirnya aku menyerah dan menceritakan kejadian saat itu. Rain terkejut mendengarnya, mungkin dia juga bingung mencerna tindakan Lino.
"It's okay, time will heal everything," ucapnya singkat dan beranjak pergi. Aku sungguh tak paham dengan cara berpikir pria-pria ini.
Aku melanjutkan pekerjaanku saat ponselku bergetar, "Lino" ucapku, aku membiarkannya sampai akhirnya terlihat ada 20 x panggilan tak terjawab. Akhirnya aku menjawab panggilan tersebut. "Hannie...," kata seorang wanita dari kejauhan, aku memeriksa kembali layar ponselku, memastikan bahwa itu nomor handphone Lino.
Wanita tersebut menyampaikan dengan bahasa Jepang, bahwa Lino sedang dibawa ke rumah sakit usai mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan ke lokasi proyek. Aku langsung bergegas menuju Osaka saat itu juga, dalam perjalanan aku bertemu dengan Rain yang melihatku tergesa-gesa sambil melamun, aku bahkan tak sadar tubuhku menabrak tubuh Rain yang sedang berdiri untuk menyajikan minuman. Tangan Rain meraih tanganku, karena aku bahkan tak melihat dan hanya membungkuk meminta maaf.
"Ada apa?" tanya Rain, aku menceritakan bahwa Lino mengalami kecelakaan dan dia hanya memanggil namaku dalam kondisi setengah sadar. "Aku temani kamu, aku khawatir kamu pergi dengan kondisi seperti ini," ucap Rain masih memegang lenganku, satu tangan lainnya melepas tali celemek di pinggangnya.
Aku hanya diam tak merespons tindakan Rain, karena yang ada dalam pikiranku saat ini hanya Lino. Semua pertanyaan terlintas di pikiranku, kata seandainya mendominasi hampir semua pertanyaanku. Aku bahkan tak memperhatikan bahwa ada Rain yang menatapku cemas sepanjang perjalanan.
Sampai di Osaka, kami langsung menuju rumah sakit. Aku melihat dokter di ruang emergency sudah menangani Lino. Aku berdiri di luar ruangan, sampai dokter keluar dan memberitahu bahwa Lino mengalami herniated disc pada lehernya dan butuh kesabaran untuk menjalani terapi agar tubuhnya bisa berfungsi dengan baik lagi.
Aku yang bahkan tak tahu apa itu hanya bisa bertanya apa kondisinya parah dan dokter mengatakan bahwa Lino hanya butuh waktu untuk menjalani pengobatan disertai terapi. Aku menatap Lino yang kini memejamkan matanya. Perlahan aku masuk ke ruangan berpintu kaca itu, aku genggam tangannya. "Lino," ucapku lirih sambil menahan air mata.
Aku hanya mengucap syukur Tuhan masih melindunginya, aku meminta maaf karena kekerasan hatiku membuatnya tak tenang untuk bekerja. Aku tetap menemaninya sampai Lino dipindahkan ke ruang rawat. Aku baru sadar bahwa Rain masih menemaniku di sini, dia duduk di sofa dalam kamar dan menyiapkan makanan untukku.
"Hannie, makan dulu, kamu enggak akan ada tenaga jaga Lino kalau seperti ini," ucap Rain menarik tubuhku menjauh dari Lino.
"Ini salahku Rain," ucapku masih duduk terdiam. Rain membuka sumpit dan menyuapkan makanan untukku. "Aaaa...," ucap Rain menunggu aku membuka mulut. Aku menatapnya, kemudian membuka mulutku. "Pinter," kata Rain lagi setelah berhasil memberi suapan pertama.
"Dia enggak akan kenapa-kenapa kan Rain?" tanyaku sambil menatap Lino yang belum juga sadar.
"Dokter bilang enggak apa-apa kan, cuma butuh proses, lagian Lino enggak selemah itu," ucap Rain. Entah kenapa ucapan itu menenangkanku, dan Rain masih menyuapiku. Malam ini aku tidur di rumah sakit, sementara Rain pulang ke Tokyo untuk membawakanku baju ganti dan juga perangkat gambarku karena aku masih dikejar deadline, aku berangkat ke Osaka tanpa membawa apapun.
Padahal aku sudah bilang aku bisa membeli baju saja di sini, Rain cukup bawakan tabletku, tapi dia bersikeras untuk membawa semua yang kubutuhkan, akhirnya kuberikan akses masuk apartemenku.
"Hannie...," suara lirih Lino mengejutkan aku yang sedang menyeka tubuhnya. Aku segera beranjak untuk memanggil perawat. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mengatakan kondisi Lino cukup stabil saat ini. Aku bersyukur mendengarnya, termasuk wanita yang dari kemarin tak pulang, yang ternyata wanita itu sekretaris Lino. Aku baru mengetahuinya semalam saat menemani Rain turun ke lantai bawah sebelum pulang ke Tokyo.
Aku memberitahu sekretaris Lino itu bahwa kondisi Lino membaik, dia bisa pulang. Aku tak tahu bahwa ternyata kecelakaan itu terjadi saat mereka berdua sedang di dalam mobil yang sama, tapi wanita itu baik-baik saja tak luka sedikitpun.
"Kamu kenapa nangis?" tanya Lino dengan suara lembutnya. "Aku ngagetin kamu ya?" tanyanya lagi. Air mata yang sejak tadi coba kutahan akhirnya semakin deras bercucuran. "Hannie kamu kenapa? Aku enggak apa-apa," ucap Lino berusaha menenangkan.
"Aku minta maaf Lino," ucapku diantara tangisanku.
"Ssst, ini bukan salah kamu, aku yang sejak awal salah," kata Lino. "Makasih ya udah jauh-jauh ke sini," ucapnya kemudian dan aku jawab dengan anggukan kepala.
Suara pintu terbuka, Rain datang dengan barang bawaannya. "Rain, cepat sekali sudah sampai," ucapku.
Lino diam dan hanya mendengarkan saat aku jelaskan alasan ada Rain di sini. "Iya, enggak apa-apa Han," kata Lino. "Rain, makasih udah jagain Hannie," kata Lino pada Rain.
Karena masih dalam pengobatan, Lino sering tertidur, dan aku menghabiskan waktu untuk mengejar deadline. Rain yang tampak lelah kubiarkan tidur di sofa yang sama denganku duduk dan memasang semua perangkat gambarku.
Tubuhnya yang tinggi saat berdiri kini terlihat seperti udang, aku mengamatinya, menemukan ide dan memasukkan adegan itu dalam bagian gambarku. Saat sedang memasukkan warna, Rain terbangun dan kini sudah dalam posisi duduk di sampingku, melihat gambar udang dengan kepala manusia. "Itu aku?" tanyanya dengan suara lirih tepat di telingaku. Aku terkejut dan spontan mengangkat kepalaku ke arah suara. Jarak antara wajah kami hanya dipisahkan hidungnya yang tinggi dan langsing itu.
"Hah? Ya menurut kamu aja," ucapku sinis sambil memalingkan wajah. Rain tersenyum menyadari aku tersipu. Dia kemudian berdiri dan mengambil air di dalam lemari es. "Emang aku semenggemaskan itu ya kalau tidur?" tanyanya sambil berdiri di depan kulkas dan meneguk minumannya. Aku menatapnya dan baru menyadari bahwa pria di depanku ini tampan, tak heran banyak pelanggan wanita yang datang ke kafenya tempo hari. Tubuh tinggi, pinggang kecil untuk ukuran pria, rambut lurus dan gaya khasnya yang akan mengingatkan orang pada Suguru Geto, dan walaupun dia seorang pria, klavikulanya cukup terlihat seksi setiap kali dia mengenakan kemeja seperti ini. Kemeja lengan panjang yang tergulung acak hingga bagian lengan, memperlihatkan otot-otot lengannya, ya gaya seorang barista, tapi semua menarik saat itu makhluk bernama Rain.
"Kamu bengong terpesona ya?" goda Rain yang kini sudah berdiri di depanku. Aku mencoba mengalihkan perhatian ke layar tabletku. Aku tahu Rain membungkukkan tubuh tingginya itu ke depanku. Tangannya terulur melewati pipiku, hampir menyentuh bagian sofa di belakang tubuhku. Aroma tubuhnya ini mengingatkanku lagi dengan kejadian saat kami di Sevel tempo hari.
"Hannie," suara Lino memecah kecanggunganku atas sikap Rain. Lino yang masih menggunakan penyangga kepala tak melihat kejadian itu karena sofa ini terletak jauh di samping tempat tidurnya.
Aku mendorong tubuh Rain, dan meletakkan tabletku di meja. Rain hanya tersenyum kecil melihat tingkahku. "Rain belum pulang?" tanya Lino tiba-tiba saat tahu Rain kini berdiri di samping tempat tidurnya, dan aku heran kenapa Rain harus berdiri di belakangku. Kamar VIP ini cukup luas padahal.
"Aku capek mondar mandir, aku mau bermalam di sini," kata Rain santai. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ke arah Rain, memandangnya dengan sinis, tanpa mengeluarkan suara, aku tahu Rain sedang mengucapkan apa saat itu "Aku mau nemenin kamu malam ini."
"Hannie, aku mau minum," ucap Lino. Aku membantunya untuk minum dengan posisi Lino yang masih tak bisa duduk tegak itu, tangan Lino yang masih terpasang selang infus tiba-tiba meraih pinggangku hingga kini tubuhku berada tepat di ranjang Lino. Lino menarik tubuhku hingga hampir menindih tubuhnya, aku menahan dengan salah satu lengan, tapi meskipun sedang sakit, tenaga Lino tetap lebih kuat dariku. Mencoba berontak pun sia-sia. Bukan minum dari sedotan yang kuberikan, Lino justru mencium bibirku. "Aku cuma butuh ini," kata Lino diantara ciumannya. Sudut mataku menyadari bahwa Rain melihat itu semua dan memutuskan keluar dari kamar.
"Kamu malam ini tidur di ranjang ini aja ya, ini kan cukup buat kita," kata Lino kemudian. "Tapi nanti leher kamu," ucapku. "Aku percaya kamu enggak akan nyakitin aku," kata Lino. "Toh Rain mau tidur di sini juga kan, cuma ada satu sofa," kata Lino lagi.
Saat malam tiba, aku yang kini berada di ranjang yang sama hanya bisa melihat Lino dari samping. Hidungnya, matanya, dagunya, bibirnya, semua terlihat indah dari samping, aku menikmati itu semua. Sebelum lamunanku itu dikejutkan dengan sebuah kecupan di pipi.
"Good night Han," kata Rain. Aku menarik tangan Rain mencoba memberinya peringatan agar tak sembarangan bersikap, tapi Rain justru menarik tanganku dan menciumnya. "Kamu nih," ucapku sambil menatapnya tajam.
Aku memutar tubuhku kembali menghadap Lino setelah melihat Rain membaringkan tubuhnya di sofa. Aku genggam tangan Lino dan mengusapnya perlahan. Meskipun masih memejamkan matanya, Lino membalas usapan tanganku. Sebuah kebiasaan yang sampai saat ini aku tak benar-benar tahu apakah dia tidur atau setengah tidur saat melakukan itu, apakah itu ada di alam bawah sadarnya?
Beberapa hari berlalu begitu saja, Rain masih sesekali datang dan menginap, dan akhirnya hari ini dokter mengizinkan Lino untuk pulang dan berobat jalan serta menjadwalkan fisioterapi. Karena kami tinggal di Tokyo, kami meminta rujukan untuk bisa melanjutkan pengobatan di rumah sakit Tokyo. Rain masih bersama kami hingga waktu kami keluar dari rumah sakit.
Rain kali ini membawa mobilnya karena ingin membuat Lino lebih nyaman dalam perjalanan pulang. Aku dan Lino mengucapkan terima kasih pada Rain atas bantuannya, dan Rain hanya tersenyum singkat membalas ucapanku.
"Lalu mobil kamu gimana Lino?" tanya Rain memutar tubuhnya ke arah belakang saat kami sudah berada di dalam mobil. Kami tak sendiri karena ada sopir pribadi Rain yang mengendarai mobil tersebut.
"Ada asuransi Rain, sedang diurus sekretarisku, harusnya enggak masalah ya," jawab Lino sambil tetap memegang tanganku. Aku sadar arah gerakan mata Rain menuju tangan kami meskipun dia sedang berbicara dengan Lino.
"Kok bisa sih sekretaris kamu baik-baik aja, padahal mobil kamu ancur gitu di sisi penumpangnya, kamu yang nyetir ya? Bukannya kamu ada sopir di sini?" tanya Rain tiba-tiba sambil kembali memutar tubuhnya menghadap depan.
Lino menatapku, tak ada jawaban apapun keluar dari mulut Lino atas pertanyaan Rain. Aku tak begitu memikirkan pertanyaan Rain saat itu.
Di rest area pertama Rain turun dari mobil, begitu pun aku, sementara Lino sedang tidur. Aku menuju toilet sementara Rain menuju vending machine minuman di sana. Rain lebih banyak diam dan juga menghindariku. Di rest area terakhir aku memutuskan tak turun lagi dari mobil, hanya sopir dan Rain yang turun. Sementara aku menemani Lino di dalam mobil. Lino hanya mengelus lembut tanganku, aku sandarkan kepalaku di sandaran kepala bangkuku sambil menatap mata Lino.
"Kamu lelah?" tanyaku.
"Enggak Han, aku cuma pengin cepat sampai rumah kita," jawab Lino sambil terus mengenggam tanganku, menarik dan mencium tanganku. Aku menatapnya dan mencium pipinya.
Setelah melalui perjalanan enam jam lebih, kami sampai di Tokyo. Sekitar pukul 20.00 kami sampai di apartemen. Rain mengantarkan dan membantu menemani Lino berjalan hingga masuk ke dalam apartemen.
"Rain, kamu mau minum?" tanyaku.
"Iya boleh," jawab Rain dari kamar. Aku bisa mendengar langkah kakinya menuju ke arah dapur yang letaknya tak jauh dari kamarku dan Lino.
"Lino tidur?" tanyaku lagi.
"Hemm," jawab Rain singkat, menarik bangku dan duduk.
"Call me anytime you need me okay, I know its hard for you, you can count on me," kata Rain padaku.
Pancake
“In forbidden love, the heart battles with the mind, and desire wins every time.”
Kondisi Lino semakin membaik, sudah beberapa bulan berlalu, Lino juga sudah kembali bekerja, semua kembali seperti semula. Hubunganku dengan Lino meskipun tak sehangat sebelumnya tapi kami berusaha tetap mempertahankannya. Sementara Rain, aku semakin jarang bertemu karena dia juga memiliki coffee shop baru lain. Hanya sesekali Rain berada di kafe dekat apartemenku.
"Long time no see ya," sapa Rain pagi ini sambil menyiapkan americano pesananku. "Lino udah kerja ya?" tanyanya kemudian, dan kujawab dengan anggukan, bukan karena menghindarinya, tapi karena aku sedang dikejar deadline.
"I have new menu, if you have time, come to the kitchen," ujar Rain padaku. "Oke, I'll be there later," jawabku sambil terus fokus dengan cepat mengusap pensil di atas tablet.
Aku setengah berlari menuju dapur di kafe itu. Ya ini bukan pertama kalinya untuk Rain memintaku mencicip menu baru sebelum dijual. Menurutnya, aku memiliki selera rasa yang bagus dan punya jiwa komersil saat menawarkan produk. Beberapa kali menu yang kusarankan akhirnya menjadi menu tetap karena banyak yang suka.
"Gimana?" tanya Rain sambil meletakkan garnish terakhir.
"Jadi apa temanya kali ini?" tanyaku sambil mengamati dan mengambil foto menu baru Rain.
"Hemmm, rain forest," ujar Rain dengan nada tak yakin. "Cool, jadi ini alasan pancake nya kamu buat warna hijau dengan saus maple di atasnya?" tebakku.
"Kurang lebih," katanya kembali dengan nada ragu yang sama.
Aku mengambil garpu kecil yang sudah disiapkan Rain untuk mencicip pancake. "Ini terlalu manis enggak sih Rain," ujarku.
Rain menatap ke arahku, sirup maple kental yang mengkilat menempel di bibirku. Rain mengusap bibirku dengan jarinya, menjilat jarinya yang terkena sirup maple itu. "Manis," ucapnya singkat.
"Mungkin kamu bisa kurangi manis dari bahan pancakenya aja Rain, atau kamu sajikan terpisah aja sirup maple nya," ujarnya berusaha kembali fokus.
"Oke, aku buat lagi yang baru, kamu tunggu ya," ucapnya. Aku kembali ke tempat dudukku di depan kafe, aku berpindah ke bagian dalam kafe karena sudah mulai panas. Aku melihat jam, 'seharusnya Lino sudah sampai kantornya,' pikirku.
"Lino, kamu sudah sampai kantor?" tulisku lewat pesan.
"Maaf Han, aku lupa kabarin kamu, aku udah di kantor, aku langsung rapat tadi," jawab Lino. "Nanti malam kita dinner ya," tulisnya di pesan berikutnya.
Sementara itu Rain terlihat membuka pintu dapur, memberiku isyarat untuk kembali ke dapur.
"Gimana yang sekarang?" tanyanya setelah aku mencicip pancake barunya. "Better sih," jawabku singkat.
"Kok sepi sih di dapur?" tanyaku. "Ini udah jam istirahat ya," jawab Rain.
"Aaah," ujarku sambil melihat jam tangan.
Rain tiba-tiba menarik tanganku, mendorong tubuhku dan menaikkan tubuhku di atas meja, kedua lengannya diletakkan di samping pahaku, Rain mencondongkan tubuhnya ke arah tubuhku, mendekatkan wajahnya.
"Kamu...," ucapnya sambil perlahan mendekatkan tubuhnya, hingga kini hidung kami bersentuhan.
"Aku mau tahu jantung kamu berdebar seperti jantungku enggak kalau aku begini," ujarnya sambil tersenyum. Rain menurunkan kepalanya ke arah dadaku untuk mendengar detak jantungku. Aku menjauhkan kepala Rain, tapi Rain hanya tersenyum menatapku, kembali mengunci tubuhku dengan tubuhnya.
"Ternyata kamu berdebar juga," ujarnya sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang membuat senyumnya semakin manis.
"Han, aku tahu kamu ragu dengan perasaan kamu ke Lino, apa susahnya membalas perasaanku?" kata Rain sambil menggenggam kedua tanganku dengan erat. Rain berusaha menciumku lagi. Aku menolaknya, tapi tak lama, tubuhku terasa lemas dibuatnya, aku hanya bisa pasrah menerima ciuman Rain, dan akhirnya aku justru membalas ciuman Rain. Bibir yang selama ini terlihat merah bahkan tanpa lip balm itu ternyata selembut ini. "Rain," ucapku diantara ciumannya yang semakin menggila. "Aku enggak bisa, Lino.....," ujarku sambil mendorong lagi tubuh Rain.
"Kamu hanya enggak paham perasaan kamu sendiri Han," kata Rain menghentikan ciumannya, menatapku, "kalau kamu cinta sama Lino, kamu pasti sudah sejak lama menerima lamarannya, kamu pasti sudah sejak lama menghindariku, bukan menunggu aku menghindarimu," ujarnya lagi.
Rain kembali menciumku, tak hanya bibir, Rain bahkan mulai mencium leherku dengan lembut. Kemejaku yang longgar memberinya kesempatan untuk menjelajah setiap inci leherku. Sesekali ciumannya kembali ke bibirku, sebelum akhirnya tangannya mengarah di kancing kemejaku yang memang hanya terletak diantara belahan dadaku. Aku menghentikan tangannya.
"Rain, please, jangan buat aku semakin bingung," ujarku memohon.
"Han, please, jangan bohongi diri kamu lagi. Sampai kapan kamu bohongi diri kamu Hati kamu itu buat aku, pikiran kamu hanya aku," kata Rain.
"Aku emang selalu merasa kosong saat enggak ada kamu, tapi udah lama sama Lino, dia juga baik, terlepas yang pernah dia lakukan di awal," kataku.
Rain menurunkan tubuhku dari meja, meminta maaf sambil memegang tanganku, "Han, walaupun nanti kamu terlambat menyadarinya, kamu hanya perlu tahu, aku akan ada di tempat yang sama menunggu kamu," ujarnya sambil melepas tanganku.
Itu menjadi momen pertemuan terakhir kami sebelum akhirnya Rain benar-benar pindah ke kota lain. Rain tampaknya telah menyerahkan coffee shop ini pada karyawannya.
The Wedding
“Forbidden love knows no boundaries; it transcends time, distance, and social norms.”
Malam itu Lino ternyata melamarku lagi, dan kali ini aku menerimanya. Kami menikah dengan sederhana tanpa keluarga, di sebuah capel dengan pemandangan danau di dekatnya. Aku tak tahu pasti alasan akhirnya saat itu menerima lamaran Lino setelah apa yang terjadi padaku dan Rain.
Lino yang seorang arsitek ternyata sejak lama sudah menyiapkan satu unit apartemen yang dulu menjadi salah satu proyeknya saat kami masih berpacaran. Unit apartemen itu luas karena sebenarnya dua unit yang dibongkar hingga menjadi satu unit dengan ukuran cukup luas. Lino mendesain sendiri hingga terlihat nyaman. Kini kami tinggal di apartemen itu, cukup jauh dari coffee shop Rain.
"Hannie," ucap Lino suatu malam di tiga tahun anniversary pernikahan kami.
"Apa hati dan pikiran kamu benar-benar milikku?" tanyanya tiba-tiba, membuatku terhenti dari memasukkan kapsul kopi.
Pertanyaan yang pernah kudengar dari Rain dulu, kini kudengar dari mulut pria ini. Pria yang sudah menjadi pasanganku.
"Aku seperti hanya memiliki tubuhmu, entah kemana hati dan pikiranmu. Kupikir itu hanya perasaanku, tapi enggak, aku benar-benar sadar selama ini bukan aku yang kamu mau," ucap Lino.
"Kamu ingat kejadian aku kecelakaan bersama sekretarisku waktu itu?' tanyanya tiba-tiba.
Tak perlu menunggu jawabanku, Lino kemudian menceritakan hubungannya dengan wanita tersebut. "Kamu tahu kenapa kami kecelakaan? Karena aku mendengar kabar darinya bahwa dia sedang hamil. Aku yang bodoh ini merasa kalut, emosi, dan menggila di jalan, dia keguguran karena kecelakaan itu."
"Aku bodoh karena saat itu berselingkuh darimu, tapi aku melakukan itu karena aku merasa perasaanmu berubah, aku lihat caramu menatap Rain, itu sama seperti saat awal kamu selalu mengagumi dan menungguku. Aku butuh validasi dari wanita lain yang bisa memandang dan memujaku seperti kamu saat itu," kata Lino.
"Dan, sejujurnya saat itu aku melihat semua yang Rain lakukan. Di rumah sakit saat dia menciummu tak cukup di situ, aku yang sudah curiga sengaja pulang awal dan memberitahumu untuk dinner, padahal aku sudah ada tak jauh dari kafe Rain. Aku lihat saat kamu berlari ke dapur, aku melihat yang kalian lakukan. Kamu tahu semarah apa aku sebenarnya? Ingin kupukul Rain saat itu, membayangkan tubuhmu dinikmati pria lain, aku bisa gila Han," ujarnya.
"Tapi aku enggak mau kamu melihat sisi liarku ini Han, aku ingin tampak sempurna di depan kamu," kata Lino lirih.
"Aku benar-benar bisa gila karena kamu Han, jika aku ingat momen Rain menikmati tubuhmu saat itu, melihatmu tak menolak Rain, melihatmu membalas ciuman Rain, melihat bagaimana Rain mengangkat tubuhmu, meletakkan tubuhnya diantara kedua kakimu. Dan selama kita menikah, aku tak mendapatkan ketulusan dari kamu seperti yang kulihat saat itu kamu lakukan dengan Rain, kamu berubah Han, aku tak lagi mengenalmu," ucap Lino kali ini sambil menangis.
Aku berjalan mendekati Lino, berlutut di depan Lino yang sedang duduk di sofa. Kugenggam tangannya, "Lino, maafin aku, maafin aku karena hatiku sempat berpindah, aku minta maaf karenaku kamu kehilangan calon buah hati kamu," ucapku.
"Itu kesalahanku Han, bukan kamu, aku yang tak hati-hati saat berhubungan, tapi aku tahu untuk siapa hatiku sebenarnya, karena itu aku coba beri pengertian pada sekretarisku saat itu, aku tahu dia juga terluka karenaku," kata Lino.
"Han, yang aku mau cuma kamu jujur sama hatimu. Untuk siapa hatimu sebenarnya, jangan buat aku seperti orang bodoh," ucap Lino sambil membelai rambutku.
Sebulan setelah itu, aku memberitahu Lino ingin bertemu Rain, untuk terakhir kalinya, aku ingin menjernihkan pikiranku. Lino pun mengizinkan.
"Rain, aku ingin bertemu kamu," isi pesan yang kukirimkan pada Rain.
Tak butuh waktu lama untuk Rain datang ke tempat kami membuat janji.
Tubuhnya semakin berotot, gaya rambutnya pun kini berubah, kulit putihnya semakin terlihat cerah saat dia memilih warna merah cherry untuk rambutnya. Walaupun hanya memadukan celana jeans dan kaos oversized, Rain terlihat tampan. Saat memasuki kafe, banyak wanita memandang ke arah Rain, hal yang wajar untuknya dan dulu selalu kulihat seperti itu.
Duduk di depanku, Rain berkata "gimana kehidupan pernikahan kamu?" Kami hanya memandang gelas kopi di depan kami. "Lino ternyata tahu kejadian di dapur saat itu," ucapku singkat.
Rain mengangkat kepalanya, menatapku,"terus dia dengan gila tetap mengajakmu menikah?" kata Rain emosi.
"Rain, dadaku sesak, kamu mau jalan-jalan keluar kah?" tanyaku kemudian tanpa menjawab pertanyaan Rain sebelumnya.
Diperjalanan, Rain melajukan mobilnya dengan kencang, aku tahu dia menahan marah. Kami menuju pantai Odaiba, berjalan menyusuri pantai sambil melepas alas kaki kami. Rain menggandeng tanganku, kami berdiri menghadap pantai. Rain melihat ke arahku kemudian memelukku.
"It's okay Han, you can cry, you may cry in front of me," ucapnya.
"Maafin aku Rain, maaf aku membuat kamu dan Lino dalam situasi yang sulit, maaf karena kebimbanganku dan ketidaktegasanku menjadikan semua seperti ini," kataku diantara tangisan.
"Aku enggak pernah punya sosok ayah, aku enggak pernah tahu seperti apa hubungan, aku enggak tahu apa pun, yang aku tahu aku hanya ingin merasa dicintai," ucapku lagi.
Rain masih memelukku untuk menenangkanku. Waktu berlalu begitu cepat, sore sudah berganti malam, aku masih diam mematung. Panggilan telepon dari Lino tak juga kujawab sampai akhirnya Rain yang menjawabnya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi pada akhirnya aku dan Rain memutuskan untuk berkendara hingga Osaka. Kami hanya berjalan, bergandengan tangan tanpa arah.
Perjalanan yang jauh akhirnya membuat Rain memutuskan menginap semalam di Osaka. Aku memaklumi itu, karena dia seharian ini sudah berkendara. Aku sempat menawarkan untuk menggantikannya, tapi Rain menolak, dia tahu emosiku sedang tak stabil. Rain tahu aku menderita ADHD dan memiliki anxiety.
Aku melihat ponselku, ada foto pernikahanku dengan Lino. Setelah panggilan terakhir Lino dengan Rain tadi, Lino tak menghubungiku lagi. Rain merebut ponsel dari tanganku. "Lihat mata kamu itu, aku yang malu kalau kita keluar lagi, nanti dikira aku culik kamu," ucap Rain berkelakar.
Rain duduk di sofa panjang di dekat jendela, sementara aku di atas kasur. "Rain, aku mandi duluan ya," ucapku sambil melirik ke arah kamar mandi yang lengkap dengan bathtub tapi berdinding kaca. Walaupun ada tirai yang bisa menutup itu semua, aku memilih untuk tetap membiarkannya terbuka, karena aku lihat Rain juga tak mengarahkan pandangannya kepadaku. Tapi sebenarnya dari pantulan kaca di dekat Rain duduk, semua juga bisa terlihat. Aku berendam cukup lama, aku tak tahu diantara itu aku sempat tak sadarkan diri dan tubuhku tenggelam di dalam air bathtub. Saat bangun aku sudah berada di ranjang kamarku dan memakai jubah mandi
Aku melihat Rain menggenggam tanganku, dia duduk di samping ranjang. "Rain, maafin aku," ucapku lagi sambil menangis. Rain mengusap air mataku, "kamu please jangan seperti ini, aku ikuti mau kamu, kamu mau sama Lino, ya sudah aku pergi, aku menyerah."
Aku masih menangis, Rain memelukku, "please sayang, aku sayang kamu, tapi jangan seperti ini. Lebih berat buatku tahu kamu enggak ada di dunia ini lagi."
"Aku benar-benar bodoh, aku enggak menyadari perasaanku sendiri dari awal," kataku pada Rain, memeluknya erat. "Andai sejak awal aku tak keras kepala,...." ucapanku berhenti karena Rain menciumku. Kali ini tak lagi seperti tiga tahun lalu, aku tak menolak Rain. Kami berciuman, Rain membuka tali yang mengikat jubah mandiku, aku tak bisa berpikir apa pun, Rain menciumi tubuhku, hasrat yang dipendamnya bertahun-tahun diluapkan malam ini. Aku melepas pakaian yang dipakai Rain, aku memperhatikan dadanya, setiap senti tubuhnya, otot-otot itu, aku menyentuhnya, Rain menarik tanganku, meletakkannya ke punggung tubuhnya.
“In the realm of forbidden love, every stolen moment becomes a precious memory.”
Di sisi lain, Lino yang berada di apartemen kami, duduk di bangku sambil ditemani segelas alkohol. Lino masih ingat jelas ucapan Rain di telepon tadi, "Lino, Han sama aku, aku yakin kamu tahu itu. Biarkan kami selesaikan semuanya malam ini, aku akan kembalikan Han besok pagi, setelah itu aku akan pergi dari kehidupan kalian."
"Hannie, kita sudah melangkah sejauh ini, aku tahu perasaan manusia bisa berubah, aku tahu aku pernah buat kesalahan, aku harap ini jadi pelajaran berharga buat kita kedepannya. Karena cinta saja enggak cukup untuk mempertahankan hubungan Han. From now and later, I'll make sure you'll be mine, my only one, I'll never give up on you, Rain or others," kata Lino dalam hatinya.
**End**