Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jakarta, 5 Juli 1978
Sore itu, langit Jakarta sedang indah-indahnya. Semburat cahaya jingga menyelinap dibalik asap knalpon jutaan pengendara di jalanan. Dari dalam rumah sakit, terbaring seorang Ibu paruh baya yang sedang terbaring lemas di atas ranjang. Raut mukanya meringis kesakitan, tangannya tak kuasa memegang erat besi disisinya. Di sebelahnya, berdiri seorang lelaki dengan jaket denim lusuh dan muka pucat yang terlihat baru menembus macetnya jalanan ibukota.
“Pah…pegangin tangan mamah, pah. Mamah udah gak kuat…” lirih ibu paruh baya tersebut.
“Tenang ya, Mah. Sebentar lagi dokternya mau kesini kok,” balas pria, sekaligus suaminya sambil memegang erat tangan istrinya.
“Kak, coba tolong panggilkan dokter di luar ya sayang,” ucapnya pada anak pertamanya yang sedang berdiri cemas di sudut ruangan.
Tanpa menunggu aba-aba, Anak tersebut segera berlari keluar ruangan. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dokter dan bidan yang sigap membantu proses persalinan.
“Ibu, sabar ya Bu... Dede bayinya sebentar lagi keluar kok,” ujar salah satu bidan menenangkan.
“Dok... saya udah nggak kuat, dok... saya udah nggak kuat...” ucap si ibu sambil terisak.
“Sayang... tarik napas ya sayang... Ini Papa ada di sini kok...” sang suami mencoba menguatkan, meski suaranya mulai gemetar.
“HUAAAAAAAAAAAAAA!” jerit si ibu di tengah rasa sakit yang tak tertahankan.
“Ayo, Bu... sedikit lagi, Bu... Pak, tolong bantu pegang ibunya, ya,” ucap dokter di sebelahnya.
“Sayang... tarik napas ya sayang... abis itu keluarin lagi sekuat tenaga, ya...”
“Ngghhhhhh……HUWAAAAAAAAAAA!”
Oweee... oweee... oweeeee...
Jeritan kecil itu pecah di dalam ruangan. Suaranya menggema, menggetarkan penghuni didalamnya. Tangis pertama seorang bayi baru saja menapakan langkahnya di dunia. Di ruangan itu, semua orang yang menyaksikan akan menumpahkan air mata dengan bahagia.
“Selamat ya Pak, Bu… Anak Bapak dan Ibu laki-laki. Alhamdulillah prosesnya lancar, anak Bapak dan Ibu juga lahir dengan normal,” ujar sang dokter sambil tersenyum.
Sang ayah langsung menunduk, mencium kening istrinya, dan membiarkan air matanya jatuh – bukan karena sedih, melainkan lega, bahagia, campur syukur yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sang ibu hanya mengangguk pelan, tersenyum tipis meski tubuhnya lelah luar biasa. Tapi matanya… mata yang dipenuhi dengan cahaya.
Tangis bahagia menyelimuti mereka. Dan saat bayi kecil itu dibawa ke pelukan sang ayah, ia mengangkatnya dengan perlahan, lalu mengumandangkan azan di telinga mungil itu.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Usai dikumandangkan azan, sang bayi diberikan kepada ibunya. Ia memeluknya erat, menciuminya tanpa henti, seolah ingin memastikan bahwa jiwa kecil itu benar-benar nyata di pelukannya.
“Pah… anak kita laki-laki… laki-laki, Pah…” ucap sang ibu berkali-kali sambil tersedu.
Sang ayah tersenyum dan mengangguk, sembari memegang tangannya dengan erat. “Hmm…berarti kita kasih nama Elang kan, Mah?” balas sang ayah sambil mengusap kepala sang ibu.
“Iya, Pah… Elang. Biar suatu hari dia jadi anak yang berani.”
“Hmm… Elang Mulia Lesmana…” gumam sang ayah sambil menatap bayinya.
“Hmm… setuju pah…” balasnya sambil menimang-nimang bayi tersebut
Akhirnya, bayi tersebut diberi nama Elang Mulia Lesmana.
Sebuah nama penuh harapan. Elang, si raja langit, simbol kebebasan dan keberanian. Mulia, yang berarti kemuliaan dirinya terhadap tuhan dan sesama. Dan Lesmana, yang berarti warisan darah, leluhur yang mengalir dalam nadi si kecil.
***
Waktu kembali bergulir dengan cepat
Elang tumbuh menjadi anak yang menggembirakan. Sejak kecil ia sering sekali mencorat-coret dinding rumahnya, jiwa kreatifitasnya telah ada sejak kecil. Ayahnya, bahkan sering mengomelinya saat ia mulai bertingkah. Namun dengan lemah lembut, ibunya sering menegur ayahnya supaya tidak terlalu keras kepada anaknya
“Sayang, kalau kamu mau menggambar kan papah udah beliin kertasnya. Nanti kalo Elang masih suka corat coret di dinding, ngga dibeliin lagi loh sama papah,” ujar Ibunya mengingatkan
“Ah di kertas mah kecil mah, aku pengen gambar yang besar-besar,” balasnya sambil menggerakan tangannya, mengimajinasikan kebesaran coretanya.
“Yasudah, besok-besok papah beliin kertas yang lebih besar, ya Nak.” Balas sang ibu sambil tersenyum
“Beneran ya mah… Janji?,” ujarnya sambil mengangkat kelingking mungilnya
“Janji sayang, tapi Elang juga janji sama mamah gak corat-coret di dinding lagi ya…”
“Janji ko mah. Janji,” balasnya, sembari diikuti senyuman oleh sang ibu.
Ternyata bakatnya dalam menggambar dan melukis semakin berkembang setiap harinya.
Sampai tiba waktunya, Elang lulus SMA.
“Pah, Mah, Kakak, Ade, semuanya doain Elang ya supaya bisa masuk ke Trisakti.
“Amiiiin nak… Mamah doain kamu lulus kok. Anak mamah kan hebat semuanya” balas sang Ibu saat sedang menyantap hidangan makan malam
“Wah, anak jagoan papa harus masuk dong. Jadi penerus papah ya nak,” balas sang ayah, yang merupakan seorang seniman.
“Yoi dong pah. Elang kan mau jadi arsitektur. Biar nanti bisa ngelukis negeri ini dengan baik,” jawabnya sumringah
“Nanti nanti, kalo kakak Elang pergi, yang nemenin aku ngegambar siapa dong,” tanya adiknya murung
“Engga adik ku sayang. Kakak kan gak kemana-mana, lagian tiap minggu kakak pulang kok,” balas Elang sambil mengelus kepala adiknya.
“Nah gitu dong adek gue,” timpal sang kakak
“Yeuuu ngikut aja sih lu kak, orang gak diajak juga wleeee…” ucap Elang meledek
“ELANGGGGG” teriak sang kakak, diikuti gelak tawa oleh semuanya, menggambarkan bagaimana kehangatan suasana meja makan pada malam itu.
***
Jakarta, 1996
Di sebuah wartel dekat kampus Trisakti, seorang anak tampak menggendong tas hitam dan drafting tube di tubuhnya. Beberapa menit setelah mengantri, ia masuk kedalam bilik.
“Halo mah, gimana kabarnya?” ucapnya dibalik genggam telepon
“Alhamdulillah nak, mamah sehat. Anak mama gimana kabarnya?”
“Elang sehat Mah, cuma belakangan ini Elang pusing mah” balasnya dengan nada yang cemas
“Aduh aduh… kenapa sayang?”
“Biasa mah, tugas lagi banyak-banyaknya. Elang kemaren habis buat project gitu kan sama temen-temen. Udah ngabisin waktu seminggu. Alhamdulillah beres, cuma ini ada lagi duh…”
“Aduhh anak mamah… Gapapa nak, namanya juga belajar juga pasti capek. Yang penting kamu jangan lupa belajarnya ya nak,” ucap sang ibu menasehati
“Iya dong mahh…”
“Oiya temen kamu yang suka main itu, masih ngontrak sama kamu?” tanya sang ibu sedikit cemas
“Masih ko mah” balasnya meyakinkan
“Oh syukur deh. Yang penting kamu belajarnya itu loh ya, sama jaga kesehatan kamu ya, Nak” ibunya mengingatkan lagi, “soalnya kemarin papah kamu juga sakit, cuma udah sehat kok. Kecapean aja”
“Ish kan mamah gabilang sama aku. Padahal aku bisa pulang lo mah,” balas Elang khawatir
“Gausah nak, kamu disana aja fokus belajar. Lagian, Mamah, Papah, Kakak sama dedek juga udah sehat kok sekarang”
Lama perbincangan seorang anak dan ibu tersebut, sampai petugas wartel mengetuk bilik, pertanda waktu sudah habis.
“Yauda ya, Mah. Elang salam buat semuanya. Dadah…” balasnya menutup percakapan.
“Eh elu lang” tanya lelaki berbadan jangkung.
“Eh Bachtiar, mau nelpon lu ya” jawab Elang sambil bersalaman
“Hahaha tau aja lo. Panggil gue Frankie aja’” sahut Bachtiar, atau kerap disapa dengan sebutan Frankie. “Eh ntar malem ngopi yok, sekalian sambil ngerjain project kemarin aja” tanya Frankie, teman baru Elang.
“Wah boleh tuh, mumet juga kalo di kontrakan terus ya” balasnya sambil tertawa
“hahaha nah iya, ntar gua samper deh. Kontrakan lu yang sebelah Adny kan?” tanya Frankie
“Iya gue disebelahnya, teriak aja ntar kalo udah disana” balas Elang sembari bercanda
“Boleh lah boleh. Yaudah gantian gue nelpon keluarga di rumah dulu ya, Lang”
“Oke Frank, gua cabut dulu ya” balas Elang sembari pergi setelah membayar tagihan ke penjaga wartel.
***
Jakarta, 1998
Malam itu Jakarta tampak gerah. Di luar pekatnya polusi yang mengepung asap ibukota, nyatanya kondisinya pun sama pekatnya. Di sebuah kedai kopi belakang kampus Trisakti, tiga mahasiswa tampak asik dengan perbincangan nan serius. Ditemani gelas-gelas kopi hitam, asap rokok yang melayang lamban, dan tumpukan koran dengan judul-judul utama: “Maaf, Sir, Kenapa ke DKP Dulu”, “Baret Merah: Satuan Pendadakan”, “Harga Bahan Pokok Naik”, ketiga mahasiswa itu terpantik mengamati kondisi republik ini.
Elang yang sedang duduk dibantu, sembari tangan kanannya mencorat-coret diatas sketsa, berhenti menyimak obrolan saat Adny sedang berbicara.
“Gue gak ngerti lagi…” ucap Adny, sambil menyenderkan badannya ke dinding. “Harga BBM naik, listrik naik, sembako naik…tapi dengan gila nya, keluarga Cendana malah asik ketawa-ketawa. Reformasi apa lah tai!” gerutunya kesal
“Bukan reformasi ini namanya mah,” timpal Frankie, mahasiswa teknik yang sedang ikut menyimak. Rambut gondrongnya di kuncir saat ia kembali bersuara. “Ini penjajahan dengan gaya baru. Bedanya,, yang ngejajah kita ini pemerintah-pemerintah anjing itu.”
“Gue sepakat. Masyarakat udah pada panik sebenarnya. Tapi mereka bingung harus ngapain,” sambung Adny kembali “Gue liat kemaren di pasar minggu, stok beras udah menipis. Harganya melambung gede banget. Mau ngarapin bantuan datang juga percuma. Keburu mati.”
“Kita sebagai mahasiswa gak boleh diam. Kita harus lawan” sambung Adny dengan nada yang menggebu-gebu.
“Lu yakin mau gulingin Soeharto, Dny?” tanya Elang lirih.
“Ya, menurut lo pake cara apa lagi, Lang?” balas Adny sambil menatap tajam Elang. Suaranya menggambarkan luapan isi hati yang jarang terdengar.
Dalam beberapa menit, ketiganya diam. Tak ada yang membantah atau menjawab pertanyaan Adny. Hanya ada celotehan pengunjung lain di sebelah sana.
Elang menghela napas. “Gue setuju sama gagasan lo, Dny”. Ucapan Elang memecah kebuntuan. “Tapi, gimana kita pake cara damai dulu? Kita realistis aja. Pemerintah pasti udah bawa pasukan aparat buat ngamanin istana. Apalagi isu gulingkan Soeharto bener-bener lagi panas banget”
Ucapan Elang menggantung di udara. Frankie kemudian menjawab, meski ada suaranya tak setegas biasanya. “Gue bakal ikut aksi kalo kalian juga ikut.” Sambung “Gue gak mau sahabat-sahabat gue berjuang sendirian. Gue pengen ngasih yang terbaik juga buat negeri ini”
“Tapi jujur gue takut hehehee” jawabnya langsung tidak percaya diri saat mengatakan kalimat berikut. “Kalian liat kan berita tadi siang. Di Jogja, ada satu mahasiswa yang mati pas peristiwa Gejayan. Gue pengen sebelum aksi, kita kabarin dulu keluarga di rumah deh,” katanya dengan nada khawatir.
Adny yang sedari tadi sedang sibuk memilin rokok ikut mengangguk. “Gue juga takut sih. Cuma kalo kita takut doang gak ada aksi, gak ada hasilnya juga sih.”
“Gue sepakat sama lo, Frank.” Sambung Adny cepat. “Kita ini kan mahasiswa. Belum juga turun tapi mentalnya udah ciut aja. Kalo mereka bawa senjata, kita juga bawa. Senjata kita gagasan kita,” balas Adny dengan penuh percaya diri.
Elang diam. Pandangannya menerawang ke jendela yang buram, tempat lampu jalan redup dan langit malam Jakarta tak pernah benar-benar gelap. Hanya bias jingga dan asap.
“Lo semua tau gak?” kata Elang akhirnya, “kenapa nama gue Elang. Ibu Bapak gue namain ini supaya gue jadi anak yang berani. Gue juga masuk jurusan arsitek, bukan cuma jadi arsitek terkenal habis itu udah. Gue mau ilmu gue bermanfaat juga buat negeri ini. Kalo kita semua ngaku jadi mahasiswa, kita harusnya bersyukur. Tandanya berarti tuhan mau kita bisa jadi orang yang berani buat membela masyarakat yang lain.”
Adny menyahut, kali ini suaranya lebih tinggi. “Dan kita, gak akan tinggal diam disaat negara ini rusak dikoyak-koyak sama orang-orang dibalik gedung sana.”
Selepas obrolan tersebut. Mereka kemudian larut dalam perbincangan lain seperti masalah perkuliahan, tugas, gosip-gosip terkini, hingga diakhir mereka melemparkan celotehan canda gurau antar sesama.
“Besok gue obrolin pembahasan malem ini sama anak-anak senat. Gue pengen mereka juga ikut ngekaji isu ini dan terpantik buat turun kejalan” ucap Adny diakhir obrolan.
Elang dan Frankie mengangguk. Selepasnya, mereka pulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggebu-gebu.
***
Ciputat, 11 Mei 1998
Malam itu, Jakarta sedang di guyur hujan deras. Frankie sedang berada di kontrakan Elang. Elang juga sedang berkemas untuk pulang ke rumah.
“Lo beneran mau pulang ujan-ujan gini?,” tanya Frankie
Elang tak menggubris. Pandangannya hanya tertuju pada barang-barang yang hendak dibawanya.
“Ayo Frank cabut,” balas Elang dingin
“Lo kok jadi cuek gini dah. Lo kenapa sih, Lang” tanya Frankie sedikit kesal
“Udah ayo, keburu ujannya deres lagi,” balas Elang menghiraukan pertanyaan Frankie
Tak lama kemudian, mereka berdua melaju di atas jalanan Ciputat yang juga sedang diguyur hujan. Seperti biasa, selain mengantar Elang pulang, Frankie ikut menginap di rumahnya Elang sekaligus belajar dikarenakan pekan ini sedang sibuk-sibuknya mid test atau ujian tengah semester.
Sedari tadi, ada yang tampak berbeda dengan Elang. Keceriaan yang biasanya ia lontarkan, tergantikan dengan tatapan kosong, seolah ada hal yang sedang ia pikirkan.
“Lang, lo kenapa sih? Gue tanya gak bales-bales,” tanya Frankie sedikit kesal
Elang hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan memandang hujan yang membasahi kaca jendela. Tak ada jawaban pasti. Hanya suasana yang semakin sunyi dan berat.
Sesampainya di rumah, setelah bertegur sapa dengan kedua orang tuanya. Elang dan Frankie langsung masuk ke kamar. Tak banyak yang dibicarakan oleh kedua sahabat itu. Frankie hanya melanjutkan tugas ujian nya, sedangkan Elang hanya bisa murung saja.
***
Jakarta, 12 Mei 1998
Keesokan harinya, saat matahari memunculkan bentuknya. Elang dan Frankie segera bergegas membawa barangnya kembali. Sebelum keduanya beranjak pergi, bu Teti – sapaan ibunda Elang, sempat menegur lembut. “Hati-hati ya, Frank, bawa motornya pelan-pelan aja,” kataya penuh khawatir.
Elang menoleh lalu tertawa kecil, “Mami jangan ngomong gitu dong ke Frankie, Elang kan jadi malu.” Candaan itu terdengar ringan, namun bagi Frankie itu terdengar seperti sebuah ledekan.
Sesampainya di kampus, pengumuman mendadak disampaikan. Ujian tengah semester yang seharusnya dilaksanakan, malah ditiadakan. Mahasiswa kemudian diminta bergabung dalam aksi demonstrasi. Frankie langsung mengambil almamater yang telah ia siapkan. Tapi Elang terlihat bingung. Ia lupa membawanya.
“Lo ga bawa almet, Lang?” tanya Frankie, heran.
“Sumpah gue lupa banget, Frank. Gua hari ini gelisah banget deh,” jawab Elang, setengah melamun.
Sebelum ikut orasi, keduanya menyempatkan melihat proyek kos-kosan milik orang tua Frankie di seberang kampus. Di sana mereka duduk, berbincang, dan sempat tertawa bersama tukang bangunan. Tapi saat mereka hendak kembali ke kampus, seorang tukang memanggil dan mengembalikan pensil gambar Elang yang terjatuh. Pensil itu kemudian di bawa dan disimpan oleh Frankie.
Saat melintasi halte di tikungan Jalan S. Parman, ada hal aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Seorang perempuan tak dikenal menangis lirih saat Elang lewat. Mereka hanya saling pandang heran, lalu melanjutkan langkah.
Namun anehnya, perempuan yang sama kembali muncul di tengah-tengah kerumunan saat orasi berlangsung di parkiran kampus. Tangisannya kembali pecah, dan kali ini ia berdiri sangat dekat dengan Elang.
Sebelum mereka turun aksi, Frankie sempat berpesan kepada Elang dan Adny.
“Lang, Dni, Kalo ada apa-apa, kita ketemu di pos satpam ya” ucap Frankie. Keduanya mengangguk setuju. Hingga waktu berlalu dengan cepat.
Sore pun tiba.
Ratusan mahasiswa mulai bergerak menuju Gedung DPR. Tapi aparat sudah siap menghadang. Negosiasi berlangsung alot, hingga kemudian gas air mata, peluru karet, dan tembakan peringatan mulai dilepaskan.
Saat itu, posisi Frankie dan Elang sedang berada di barisan garda terdepan. Tak ada ruang sedikit pun untuk keduanya bisa mundur. Dalam kekacauan setelah aparat menembakan gas air mata, Frankie mulai panik. Ia berusaha melarikan diri dengan memanjat pagar kampus Universitas Tarumanegara. Saat itu, ia merasa panas menyengat di perut – ternyata ada peluru karet yang menabrak kancing celananya. Ia sempat shock, tapi syukur akhirnya ia selamat.
Begitu berhasil melompat ke kampus, Frankie segera menuju pos satpam, tempat ia, Elang, dan Adny berjanji akan bertemu jika terpisah. Tapi hanya Frankie yang datang. Tak ada Elang. Tak ada Adny.
Beberapa menit kemudian, kabar itu datang. Elang tertembak di jantungnya. Dengan napas terengah dan dada bergetar, Frankie berlari menuju RS Sumber Waras.
Di sana, tubuh Elang sudah terbujur kaku di ruang jenazah.
Ia kemudian membuka kain yang menutupi tubuh sahabatnya. Dikecupnya kening Elang, dingin dan sunyi. Luka di dadanya tembus hingga punggung, menandakan betapa tajam dan kejam peluru yang menembusnya.
Di dalam tas Elang, ditemukan botol parfum yang pecah—parfum yang ia siapkan sebagai hadiah ulang tahun untuk seorang perempuan yang ia sukai, namun tak sempat ia berikan.
Frankie menggenggam pensil gambar itu erat-erat.
Pensil gambar yang menjadi saksi, bahwa tembakan peluru yang menghantam jantungnya. Merupakan bentuk sketsa paling mulia yang ia torehkan dibawah langit Jakarta.
Elang Mulia Lesmana. Ia bukan hanya korban yang gugur dalam aksi demonstrasi 1998. Ia juga menjadi simbol keberanian dan pahlawan reformasi bagi Negara Republik Indonesia.