Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sketsa di Akhir Musim
0
Suka
73
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebuah kilauan oranye menembus melalui celah-celah dedaunan. Sambil membunuh waktu, aku duduk di samping kekasihku yang baru saja terlihat belakangan ini, di bawah pohon maple ini. Tanpa membawa apa pun, hanya duduk di dedaunan kering, dan satu buku sketsa miliknya.

Tidak terasa juga, musim sudah berganti. Angin menegaskan sejuknya udara di kota ini, sampai-sampai harus mengenakan syal dan jaket tebal. Yah... biasanya berlaku hanya untuk manusia, tapi kebiasaan itu telah merasuk dalam diriku yang berbeda dari mereka semua. Mungkin saja, ini akan menjadi musim yang kuingat.

"Benar kan?" tanyaku padanya.

"Apanya?"

"Kata-kataku tadi, barusan."

"Memang tadi bilang apa?"

"Seperti biasa ya, kamu nggak pernah mendengarkan."

"Lho... kok jadi aku yang salah."

"Ahahaha."

Tanpa alas atau ambal, kubiarkan dedaunan kering merekat pada rokku. Aku bisa merasakan kasarnya, serta harum dari daun-daun ini.

"Bagaimana kabarmu?"

Ucapan yang sejak tadi aku tunggu kini menggema lama di dalam pikiranku. Ada getaran yang sudah lama sekali tidak kurasakan. Namun, entah mengapa terasa hampa.

"Nggak baik."

"Ma... maaf."

"Kenapa minta maaf, itu kan bukan salahmu."

Ia menatapku dalam, seakan berteriak kerinduan. Aku pun tersenyum manis, membalas kembali menatapnya. Ia tidak banyak berubah. Memang seharusnya begitu, bukan? Rasa ingin memandangnya terus-menerus sebelum musim ini berakhir.

"Kamu sudah terima sketsaku, kan?"

"Ini, di tanganku."

"...."

"Kenapa nggak selesai?" tanyaku, memecah lamunannya.

"Aku sedang berperang. Mana mungkin menembak sambil menggambar."

"Kamu ini, nggak berubah sama sekali ya. Tetap menyebalkan."

"Iyakah?"

Kring! Kring!

Mata kami seketika tertuju pada bunyi dari sepeda tua yang lewat di jalan. Mengingatkanku pada awal pertemuan kami. Seharusnya, aku tidak perlu jatuh hati padanya. Aku adalah seorang penyihir. Seharusnya kami tidak bisa jatuh hati, mengingat emosi kami sudah ditukar dengan keabadian. Tapi siapa sangka, pertemuan sederhana dapat menghancurkan transaksi tak tertulis itu.

"Kalau aku nggak sengaja menabrakmu di depan toko roti Prancis milik Pak Pierre, mungkin kita nggak akan pernah kenal."

"Benar sekali, kamu hampir membuatku mati kelaparan."

"Aku nggak tahu kalau kamu sampai dipecat cuma gara-gara menumpahkan roti-roti pesanan. Lagi pula, aku sudah menawarkan diri untuk mengganti, tapi kamu menolak. Salah siapa coba?"

"...."

"Oke... oke. Kamu menang."

"Hahaha."

"Untungnya, setelah dipecat kita bertemu lagi," ucapku sambil memainkan daun maple.

"Itulah yang kumaksud! Hampir mati kelaparan di gang sempit."

Kami berdua tertawa mengenang awal pertemuan kami sambil sesekali saling melempar daun maple.

"Aku penasaran sejak tadi, kamu tidak menua sama sekali."

Ah... aku sudah menduganya. Kamu akan menyadariku yang tidak termakan oleh zaman. Alasan apa yang bisa aku berikan agar kamu mau mendengar siapa aku sebenarnya?

"Kamu menutupi sesuatu dariku," ucapnya.

Aku terpancing dengan perkataannya, dan tak sengaja meledak begitu saja.

"Kalau pun aku bongkar sekarang, memangnya kamu mau terima!?"

"...."

Diamnya membuat hatiku gusar. Rasa takut yang selama ini kututup rapat dalam sebuah peti mati kini memberontak, mengetuk dengan keras. Mataku bergetar, mengalihkan pandangannya yang menatap tajam. Aku... aku tahu, selama ini menutupi jati diriku sendiri agar ia tidak meninggalkanku. Padahal aku sudah berjanji pada diriku, setelah ia kembali berperang, aku akan memberitahukan semua rahasiaku.

Cahaya matahari sore menepukku lembut, mengingatkanku akan tekad untuk percaya padanya, pada hatinya. Tetapi, gemuruh dalam kepala mengalahkan kelembutan itu. Memori masa lalu terkuak kembali: lambaian tangannya dari sebuah kapal perang, dan diriku terpaku memandangnya, tanpa membalas lambaian itu. Hanya tatapan penuh harap, ia kembali dengan selamat.

"Kenapa kamu tidak cepat kembali?"

Suaraku bergetar. Sambil menelan ludah, aku berusaha menahan air mata. Kupalingkan wajahku darinya. Kutatap danau di sampingku, berusaha menghilangkan panas pada mata. Kilauan dari pantulan air mengingatkanku pada dirinya dan ucapanku tadi.

Keheningan membuatku semakin geram padanya.

"Kenapa nggak dijawab?"

"...."

"Selalu saja begitu, kamu menghindar kalau nggak bisa jawab."

"Aku... bukan nggak bisa jawab."

"Terus?"

"Apapun yang aku katakan padamu, di telingamu mungkin hanya sebuah alasan."

Tak tahan dengan alasan abu-abu darinya, aku menoleh ke arahnya, menajamkan pandanganku meski mataku mungkin sudah mulai memerah.

"Kamu cuma mau menghindar, bukan?"

"Bukankah kamu juga sama?"

"Oke! Baik! Aku penyihir! Puas?!"

Matanya terbelalak mendengar apa yang baru saja aku ucapkan. Ah... tanpa sadar aku mengucapkannya. Bagaimana ini? Memang benar aku sudah bertekad untuk memberitahunya, tapi bukan dengan cara seperti ini.

"Kamu bercanda... kan?"

Ia tersenyum getir, seakan baru saja dihantam oleh batu besar yang tidak terlihat.

"A... aku tahu, kamu akan menganggapku menjijikan. Itu sebabnya aku nggak pernah bilang."

Wajahku memerah. Bukan karena malu, tetapi marah pada diri sendiri. Aku pun memalingkan wajahku kembali, berharap ia tidak menyadari raut wajah ini.

"Apa? Siapa yang menganggapmu menjijikan?"

"Kenapa kamu nggak pernah bilang dari awal Lacia?"

"Hei... Lacia, jangan abaikan aku."

Ucapan yang dilontarkan lembut itu mengguncang dadaku dengan keras. Perlahan, menggema ke telingaku.

"Aku... minta maaf. Aku hanya takut. Kamu mungkin nggak akan menerimaku kalau tahu siapa aku."

"Apa? Kata siapa? Aku malah senang."

"A... apa?"

Ia tersenyum, seakan telah menaklukkan sebuah tembok besar. Memang benar, ia sudah merobohkan tembok yang kubangun sejak dulu. Bukan dengan kapak atau palu, tetapi dengan air, mengikis batu yang keras perlahan.

"Penyihir itu keren. Mereka memiliki kemampuan dan hidup abadi."

"...."

"Kalau begitu, kenapa kamu nggak mengunjungiku di medan perang? Atau membantu negara ini?"

Suara angin yang memporak-porandakan dedaunan kering di tanah telah memecahkan pikiranku. Aku sudah mengira, cepat atau lambat, kamu akan bertanya peranku pada manusia.

"Penyihir tidak boleh membantu manusia. Kalau kami melanggar aturan itu, maka dampaknya bukan hanya pada kami. Manusia juga akan merasakan dampaknya."

"Iyakah? Dampak yang bagaimana?"

"Hmm... seperti hukum takdir."

"Maksudnya?"

"Maksudnya, penyihir tidak bisa mengubah takdir."

"...."

"Dulu sekali, seorang penyihir pernah membantu seorang raja untuk menaklukkan kerajaan lain. Seiring berjalannya waktu, sang raja semakin serakah. Akhirnya, kerajaan yang dimiliki sang raja hancur dalam semalam oleh bencana besar."

"Lalu sang raja?"

"Ia mati bersama dengan kerajaannya."

"Bagaimana sang penyihir?"

"Ia menghilang. Bahkan di zaman sebelum ia membantu raja juga tidak ada."

"Ahaha... untung kamu nggak menyelamatkan aku."

Kalimat yang ia ucapkan seakan menusuk tajam ke dalam hatiku, menyebabkan rasa perih dan mengganjal pada tenggorokanku. Ah... aku ingin menangis... sungguh.

"Kalau aku boleh memilih, aku akan melakukannya."

"Tidak, tidak. Kamu harus tetap hidup, agar kamu tetap terus seperti ini. Misterius."

Senyum lembut yang tergambar di wajahnya menghantamku dengan kuat. Mengingatkan kenangan-kenangan kami dulu di kepalaku. Kejadian biasa yang kami lakukan di rumah yang sederhana kini menjadi kenangan paling membekas dalam hati. Kebiasaan kecilnya, membereskan kecerobohanku yang sering melupakan barang yang kuletakkan, mencuci piring, dan membantuku menjemur pakaian. Ada kalanya, kami bermain air ketika mencuci pakaian.

Semua itu sudah terkikis perlahan oleh waktu. Dan kini, kamu mengingatkannya kembali. Andai saja sosokmu datang lebih cepat, mungkin aku akan berubah pikiran.

Sayangnya, waktuku sudah tak banyak lagi. Melihat sosok wanita bergaun hitam yang selalu membawa bunga skeleton, sudah berdiri di pinggir danau. Menegaskan padaku untuk segera mengakhiri musim ini.

"Ah... aku harus pergi."

"Ke mana?"

"Ke tempat aku berasal."

"Kamu mau meninggalkan kota yang penuh kenangan kita?"

Aku tersenyum, menggenggam erat buku sketsa miliknya. Buku yang ia curahkan terakhir kalinya untuk mengenangku.

"Apa tekadmu sudah bulat?"

"Iya."

"Ah... kamu pergi bersama wanita berambut hitam panjang itu?" Ia memiringkan kepala sambil menoleh ke arah wanita yang berdiri di pinggir danau.

Aku mengangguk pelan, membendung air mata.

"Siapa dia? Penyihir juga?"

"Namanya Elionne, sisanya tidak tahu."

"Apa dia bisa dipercaya?"

"Aku percaya padanya, begitu juga dengan takdirku."

Aku bangkit dari tempat dudukku, membersihkan sisa-sisa daun yang menempel. Tidak lama setelah itu, ia pun demikian. Kami saling berhadapan.

Semakin aku memandangnya, sebuah alunan lagu yang pernah kami nyanyikan bersama terdengar begitu hangat, mengingatkanku kembali pada hal-hal sederhana bersamanya. Lantunan suara kami, tanpa musik, tanpa iringan, hanya suara kami berdua.

"Mari berjabat tangan."

Kami pun berjabat tangan untuk terakhir kalinya.

"Kamu, masih sama seperti pertama kita bertemu. Cantik dan misterius."

"Selamat tinggal," ucapku sedikit bergetar.

"Ah... selamat tinggal, Lacia."

Perlahan… sosoknya mulai memudar di antara dedaunan maple yang jatuh, bersama dengan alunan lagu dan kenangannya.

”Hiks…hiks…huaaa!”

Aku tak bisa membendung lagi air mata ini. Sungguh, separuh ragaku mati rasa. Ada yang hilang dari relungku. Sesuatu yang sudah terbang jauh.

Sekali lagi, selamat tinggal.

Setelah puas menumpahkan semuanya, aku mengusap air mata dengan kedua tanganku. Meletakan buku sketsa miliknya di bawah pohon maple. Lalu pergi melangkah, meninggalkan ratusan kenangan di kota ini. Bersama dengan waktu yang sudah sangat lama mengikatku pada sebuah penantian, menunggu musim ini berakhir, dan berjalan menantikan musim selanjutnya.

Epilog

Sebuah tiket kereta yang sudah lama kuletakkan di meja kerja kini berguna di hari-hari seperti ini. Semenjak bekerja tanpa henti dengan Elionne, tidak ada hari libur ataupun istirahat. Yang ada hanya lembaran kertas tanpa henti dari para penyihir.

Dan sekarang, waktunya menikmati musim semi di kota baru ini. Aku sudah tidak sabar melihat pemandangan indah di kota sebelah.

Ketika aku beranjak pergi dari kantorku, tidak sengaja aku menjatuhkan buku di meja kerja. Siapa sangka, sebuah daun maple jatuh dari sela-sela buku itu. Sepertinya terselip ketika aku mengemasi barang-barangku dua tahun lalu, di kota itu.

Ah... gema suaranya mengalun merdu di telingaku. Seperti aliran air hangat yang merasuk ke celah-celah jiwa, meski mustahil perasaan itu kembali hadir.

Kuputuskan membuat pesawat origami dari kertas, lalu menempelkan daun maple itu pada pesawat kertas. Kebetulan sekali, cuacanya sedang cerah. Angin juga cukup kencang, sampai bunga-bunga sakura ikut berhamburan di langit.

Tanpa menunggu, kuterbangkan pesawat kertas ini—bersamaan dengan alunan suara dan kenangan di dalamnya. Mengikuti arah angin dan bunga-bunga sakura ke langit biru.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Kembali Ke Masa Muda
Eva yunita
Skrip Film
DEVIL
Donny Sixx
Skrip Film
Bersende Gurau Bersame
Yorandy Milan Soraga
Cerpen
Maaf, Aku Bukan Pelacur
Doddy Rakhmat
Cerpen
Sketsa di Akhir Musim
Chrstin
Skrip Film
Gara-gara Istri Muda
Annisa Haroen
Flash
The Day We Die
MosaicRile
Flash
pesan_terakhir.wav
muhammad ariff dharmawan
Cerpen
Bronze
Langit Biru
Lina Budiarti
Cerpen
Bronze
Lyan
Afina Munzalina F
Cerpen
Bronze
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Novel
Melody Untuk Dylan
Aoi Hon
Novel
Ekawarna atau Pancarona?
kar.
Komik
Corrupted Program Running..
[Raven_Owl]
Skrip Film
ADYAKALA
Nuriska Beby P
Rekomendasi
Cerpen
Sketsa di Akhir Musim
Chrstin
Cerpen
Perempuan Tanpa Wajah
Chrstin
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Chrstin
Novel
War of Hearts
Chrstin
Novel
Redam Bintang di Malam ini
Chrstin