Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua: Sixth Sense
Dalam perjalanan ke pasar, aku melihat bocah itu. Bocah lusuh, bermuka pucat, yang sebagian tubuhnya dipenuhi memar, kakinya menapak, tapi tidak benar-benar menapak. Memanggil-manggil orang lewat, menangis sambil meminta bantuan. Aku salah satu yang dimintai bantuan, tetapi sama seperti orang lain yang mengabaikannya, aku juga melakukannya.
Sosok kasat mata, begitu orang menyebutnya. Sesuatu yang bisa kulihat, tapi selalu kuabaikan.
“Tolong aku! Aku mau pulang!”
Bocah kasat mata itu masih di tempat yang sama hari berikutnya. Memohon pada orang-orang meski tidak mendapat tanggapan.
“Kakak, tolong aku!”
Ekor mataku menangkap pergerakan menyedihkannya ketika bacah itu mengikutiku. Aku melihat kesamaan bocah itu dengan masa kecilku dulu. Sendirian, ketakutan, dan terus diabaikan. Masalahnya, aku masih hidup, sementara dia tidak. Aku bisa diselamatkan, sementara dia tidak. Maka dari itu, aku tidak menanggapinya.
“Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu mama. Tolong bantu aku!”
Bukan lagi kepadaku dia memohon. Dia meratap pada orang berikutnya di belakangku. Tetapi dia adalah makhluk tidak terlihat. Siapa juga yang akan peduli padanya?
Ketika aku sampai di pasar, aku melihat selebaran itu. Selembar kertas pemberitahuan orang hilang. Di dalamnya ada foto dan keterangan terkait. Bocah itu tampak sama persis dengan yang ada di foto. Bedanya hanya keadaannya yang tidak lagi hidup.
Awalnya tidak ada untungnya menolong bocah itu, tapi jumlah imbalan yang ditawarkan dalam selebaran membuatku tertarik. Aku miskin dan aku tergiur dengan uang, makanya aku mengambil selebaran itu.
Sepulang dari pasar, aku masih mendapati bocah kasat mata itu di tempat yang sama. Kulampiri dia, berjongkok di depannya sambil menunjukkan selebaran untuk mendapat konfirmasinya.
“Aku akan membantumu kalau benar yang ada di foto ini adalah kau!”
Bocah itu mengangguk. “Iya. Ini aku. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu mama.”
“Kau sudah mati. Tahukan kau soal itu?” tanyaku.
Bocah itu menggeleng, terdiam sebentar, kemudian mengangguk.
Hari itu aku tidak langsung pulang. Aku menelepon keluarga bocah itu untuk mempertanyakan soal uang yang ditawarkan. Setelah keluarganya membenarkan, aku menyuruh mereka menemuiku.
Kedatangan mereka membuat gaduh. Lima orang, satu diantaranya adalah wanita. Dua orang menggunakan seragam polisi, satu lainnya berjaket kulit warna gelap, tapi di pinggangnya ada sepucuk senjata api. Sementara l...