Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Siulan Terakhir
1
Suka
421
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Samudra berderai ombak, meliuk-liuk. Petak arus tertampak berbentuk persegi di tengah lautan biru. Sejengkal kaki tercelup kedalam air asin ini,  hamparan pasir berderai begitu tersapu angin darat. Perlahan membelai rambut yang diterpanya. Kaki lincah mengikuti cahaya bulan, bibir pantai tampak elok luar biasa memantulkan sinorot cahya putih. Samar bayangan berdiri tegak seorang anak kerempeng, dengan surai acak-acakan diiringi siluet cahaya remang berwarna kuning keemasan. Tergantung sebuah lentera mungil dijemarinya, tergenggam begitu erat hingga besinya mulai bengkok terekat buku jemarinya.

Pantulan cahaya remang di Dampingi lampion sedang milik seorang pria paruh baya, ialah bapak. Bekerja serabutan demi sesuap nasi, sebagai nelayan, pemburu, bahkan penebang kayu.

" Bapak, kira-kira dondo kemana ya? "

Pertanyaan entah kesekian kali terlontar dari mulut tak berdosa itu, itulah Selat. Selat Aksara lebih tepatnya.

Helaan nafas terhembus begitu pertanyaan itu masuk kedalam telinga bapak, tatapanku kosong melirik sesekali ke arah sebelah.

" Lee, dondo iku kewan. Ga nduwe akal "

Suara itu terdengar lelah, cahaya lampion bapak mulai meredup. Mungkin bahan bakarnya mulai habis, yang tersisa hanyalah abu.

Hatiku terasa tertancap begitu dalam, sedalam-dalamnya palung Mariana ketika mendengar bahwa Dondo telah hilang. Burung kutilang kecil itu begitu menggugah perasaanku, Satu-satunya temanku. Kini telah menyisakan masa lalu yang hanya bisa dikenang bukan diulang. Sebelumnya Dondo diajak keluar seperti biasa bersama bapak menuju hutan seberang pantai untuk mengetahui lokasi hewan buruan dan ia akan kembali membawa segenggam daging kelinci atau rusa bersama bapak, tetapi kemarinnya kemarin bahkan aku tak melihat kepakan sayap mungil dondo. Bapak pulang membawa buruan, dengan raut muka pucat bercerita bahwa Dondo telah dimangsa hewan karnivora.

Lututku lemas, tak sadar aku tersungkur diantara pasir serta laut. Bapak telah berbalik badan lalu melangkah terseret menuju gubuk, mungkin mengisi bahan bakar lampion.

" Ya tuhan, kemanakah dondo? "

Pandanganku memburam, kupejamkan sekejap sebelum kembali menyoroti ombak yang kian lama kian meninggi.

Ku tegapkan badan bak papan ini untuk berdiri, berfikir untuk menjauh dari ombak. Namun kakiku reflek melangkah maju, hingga tak sadar hampir sampai ke petak ombak.

" SELAT!! "

Teriakan panik terdengar begitu keras, hingga meringis sesaat setelah ku mendengarnya. Ku sadar, aku tengah berada di batas zona aman.

Badanku terbanting berbalik arah hendak mendekat ke bibir pantai, tetapi terpaan ombak menghalau. Ku jatuh berkali-kali, disisi lain bapak berlari pontang-panting berusaha menerobos ombak.

" BAPAK! "

Teriakku, kaki ku terlilit sesuatu yang tak lain adalah rumput laut. Disitulah ku terjerumus kembali ke lautan, terseret arus dahsyat yang menghanyutkan. Tenang, tapi menghancurkan.

Lirih ku tangkap bahana bapak untuk terkahir kali, sebelum paru-paruku terasa panas dan terisi oleh air laut. Inikah yang dinamakan tenang namun menyakitkan?

Terombang-ambing di lautan lepas, tanganku masih mencoba menggenggam erat lentera seperti harapan terakhirku.

Sekebalat cahaya putih mewarnai gulita, serasa ku telah di tarik menuju alam bawah sadarku. Rasa panas mulai menjalar dari mata hingga ke sekujur badan. Punggungku terasa bergesekan dengan permukaan kasar, bukan terombang-ambing di Samudra.

Telingaku terasa sumbang, begitu banyak suara ricuh semakin membuat kepalaku berat. Kuingin menggerakan badan, namun  terasa mustahil. Sejentik jari ku goyangkan, ku raba hamparan tumbuhan pendek. Sekejap menit berlalu begitu saja, kelopakku mulai bergetar hingga terbuka. Jantungku melesat ke perut, dunia apa ini? Dan kenapa aku disini?

Dari sudut mataku pijakan berupa pasir, tanah. Sepetak dunia, dengan berbagai makhluk hidup sederhana. Termasuk manusia, yakni diriku.

Segenap tenaga yang ada ku mencoba berdiri, hanya untuk kembali terjatuh disebuah lumpur disampingku. Begitu lusuhnya diriku sekarang, entahlah. Aku hanya bersyukur masih hidup, tapi ini dimana?

" Dunia apa ini "

Mataku mencari ujung dunia petak ini, hanya sebuah gelembung tipis melingkari permukaan awan membentuk sebuah perisai pembatas antara duniaku dengan entahlah apa disana, melihat petak kecil ini saja membuat badanku ingin pingsan lagi.

Di seberangku terdapat hutan gundul dengan beberapa pohon pendek tersisa, di belakang punggungku terbentuk sebuah laut. Samudra tak luas, namun cukup terbentang sampai 1000 meter. Kondisi lingkungan yang memprihatinkan, dedaunan dipangkas tanpa sebab. Sampah tergeletak disudut pepohonan atau batang pohon  lebih pas-nya. Udara tampak begitu keruh penuh polusi kiriman dari pabrik Serta limbah kimia terlihat dipermukaan air laut.

" Oh Tuhan, begitu menyedihkan "

Lirihku sesaat setelah mengamati secara detail, begitu terpaku diriku pada kondisi lingkungan hidup ini. Tak sadar kicauan burung yang amat kukenal itu bersuara kembali, mataku berkeliaran mencari keberadaanya. Tampaknya tengah bersangkar di pohon cemara, tak begitu tinggi namun cukup aman untuk dihuni.

" Cuit-cuit!! Selat! Selat! Cwittt!! "

Teriakan nyaring bak anak kecil sebelum pubertas, cuitan burung itu dari kutilang satu ini. Kakiku gemetar menopang badanku yang tetiba menjulang dan berlari menghampiri.

Sejenak ku melambai, itu Dondo

" DONDO! "

Teriakku, air mataku terasa hendak mengalir begitu deras namun ku tarik kembali. Kakiku kembali terbelit sebuah Ranting membuatku tersungkur kembali,

" aduh! "

Erangku, suara tangisan menjerit dibawah ku. Mataku tertuju pada Ranting pohon yang tak sengaja ku patahkan dengan badanku,

" Huh! .. Hu.. Hu~? .. "

Reflek kuangkat kakiku meninggalkan retakan diantara ranting itu, rintihannya terdengar lebih menyedihkan dibanding rasa sakitku.

" S-sejak kapan? "

mulutku terbungkam sejenak,

" Kau bisa bicara!? "

Lirihku pelan, sesaat mataku menilik dahan kayu itu. Memastikan tidak ada setan yang akan muncul secara tiba-tiba.

" Hey! Aku beneran kesakitan, badanku kau belah jadi dua. Dasar bocah tengil! "

Teriak nyaring dahan itu sekaligus serak, hatiku berkecamuk. Bimbang antara logika dan perasaan, bagaimana bisa sebuah dahan berbicara?

" Cuitt?!! Selat! Samudra menangis! Cwittt! "

Kepakan sayap Dondo kembali terbuka dan melayap menuju samudra lepas diseberang hutan, tanpa berfikir dua kali langkahku terangkat menuju bibir pantai. Dibalik bayanganku terdengar ratusan, entah ribuan suara mengaduh karena pijakanku. Salah satu yang paling terdengar adalah teriakan pohon yang telah ku patahkan rantingnya tadi.

" Don! Tunggu! "

Tanganku meraih sebuah batu besar bak raksasa dibibir pantai, ku lirik sejenak tertulis sebuah nama. Nama desa? Pantai? Daerah? kurang jelas, hanya sebuah kata yakni ' siulan '

Langkahku terhenti ketika menatap benteng bak tembok china terbentuk dari air laut, seolah mempertahankan diri dari serangan musuh yang hendak menerpa kapan saja.

" Majulah, aku akan menghanyutkanmu wahai anak muda! "

Deraian ombak mengeluarkan getaran membentuk vocal yang dapat kutangkap, tanganku terangkat ke udara sebagai tanda mengalah sembari menggeleng.

" Tenanglah, aku bukan perusak "

Tegas, menyakinkan.

Kukira dengan itu laut akan tenang, namun begitu ku mengerjapkan mata sedetik. Sebuah ombak besar datang, hendak menyapuku.

Bak tsunami kecil menghanyutkan beberapa kerang di bibir pantai, beruntung jarakku terhitung aman dari sayupan ombak.

" Pergi kau! Datang hanya membawa petaka! "

" Tak berguna! Hanya bisa mengambil tanpa membalas! "

" Puaskah menjadi munafik?! "

Hatiku sedikit teriris, namun segenap tenaga mencoba mengontrol seluruh gejolak dalam diriku. Dengan nafas panjang, ku membalas

" Manusia diciptakan berbeda satu sama lain, jangan samakan aku dengan orang lain. Itu salah "

Pita suaraku gemetar, tanganku mengepal berusaha tetap tegar menghadapi trauma sang penguasa Batara, samudra.

" Cuwitt!! Selat! Berhenti Selat! "

Dondon tampak risau, ia terbang Mengelilingi kepalaku. Isyarat bahwa percuma ku menasehati seseorang yang telah lama jatuh trauma akibat ucapan orang lain yang tak bisa dipercayainya.

Ku menunduk sebelum menangguk, lalu berbalik badan. Melangkah maju, meninggalkan ombak yang masih mengomel akibat kerusakan yang ditimbulkan manusia.

" Don.. Ayo pulang "

Lirihku, rasanya begitu melelahkan jika seluruh dunia bisa menyuarakan rasa sakitnya. Mulai dari daun, pohon, laut semua serasa diberi nyawa oleh Tuhan.

" Cwit! Gabisa, dondo seru disini "

Kaki kecil itu kembali hinggap di ranting samping sangkar

" Kenapa? Kamu gak kangen Selat? "

" Cuitt! Kangen, tapi disini bebas cittt! "

Ku dudukan pantatku dibawah bayangan pohon pendek, seberang sangkar Dondo.

Huft

Rasa penat menjalar ke seluruh badan, lelah batin perasaan dan otak yang berusaha keras mencerna seluruh kejadian yang baru terjadi. Begitu melelahkan,

" Cuitt! bapak gimana? "

" Ya gitu, gaada yang spesial "

Balas ku datar.

bapak?

Ia hanya fokus pada pekerjaan. Hanya sesekali bersama kami, beda dengan ibu. Ialah yang membawa Dondo ke rumah.

Teringat begitu rapuhnya Dondo ketika dibawa ibu dari hutan belangkara, kakinya kala itu patah akibat terjatuh dari sangkar induknya. Ditambah badannya kurus kering sepertiku, berbeda dengan Dondo yang sekarang tengah berdiri di seberangku. Dondo yang dewasa, kuat dan cerdas.

" Dondo kemarin kau kemana? "

Ku lirik dondo dari sudut mataku, sepertinya ia tak mendengar. Sebaliknya ia malah bersiul begitu indah, kupejamkan mataku. Hingga teriakan amarah terdengar,

*NGINGGGG- GRAKK!*

Suara melengking begitu nyaring di-imbangi sebuah benda yang terdengar dibelah paksa. Begitu ku buka mataku, disitulah pohon dengan Ranting yang telah kupatahkan kini di robohkan.

Sesosok bayangan pemotong kayu tak terlihat dengan jelas, namun jika di ulas kembali pohon tadi masih relatif terlalu muda untuk ditebang.

" AKHHH!!! DASAR MANUSIA TAK PAHAM BALAS BUDI! "

Suara dalam menggelegar isi perut bumi tertangkap di gendang telingaku. Dengan langkah santai disitulah, bayangan itu menjauh. Entah pergi kemana, hilang ditelan gelapnya malam.

Telingaku serasa pecah, ku tangkup kedua lubang dengan telapak tangan begitu mereda digantikan siulan indah burung Kutilang.

Satu-satunya binatang yang ku lirik sepanjang perjalanan ini hanyalah Dondo, Dimanakah yang lain?

Hatiku terpana pada Dondo, semuanya. Bulu, Paruh, badan, postur segalanya menurutku sempurna. Ialah teman terbaikku,

Melamun mendengarkan bak musik ke telinga menenangkan jiwaku, walau terdengar suara berisik dari sisi lain. Kukira hanyalah teriakan alam atau tumbuhan, tapi-

DOR!

Pupilku membesar, terakhir kali ku melihat Dondo. Sebelum terjatuh dan tergelempang di tanah bersimbah darah,

" DON?! "

teriakku, air mataku bahkan tak bisa kutahan. Sebelum dapat ku melihat badan dondo untuk terkahir kalinya. Aku melihat.. Pelakunya,

Bapak.

Rasanya diriku kembali didorong menuju realita, hingga-

" UHUK-UHUK! "

Nafasku sesak begitu terbangun kembali dirumahku, disuguhi sangkar kosong tempat Dondo.

Gelap.

Kosong.

Seperti perasaanku, hampa dan gelap tanpa dondo. Mati ditangan bapak sendiri, dan habitat dondo juga hancur diperdayanya.

Tersisa rasa kecewa yang mendalam akibat pembohongan yang bapak ucapkan padaku, mungkin benar. Terkadang tak perlu mempercayai manusia sepenuhnya, karena semua manusia ada batasnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Niscaya Langit Semakin Merah
Fitra Firdaus Aden
Skrip Film
SEGITIGA PARIS
Arini Suryokusumo
Novel
Bronze
Sabda Sabda Cinta (Buku Pertama)
Imajinasiku
Flash
Teruntuk : Jika
Racelis Iskandar
Cerpen
Siulan Terakhir
Weda dwi prastika
Novel
Light at the end of the Tunnel
sheepdevil
Novel
Voice in Dream
Shireishou
Novel
Dia Teman Dekatku, Dulu
Fadel Ramadan
Komik
Nilai
Mnemonik M
Cerpen
Bayang-Bayang Kesempurnaan
Sayidina Ali
Novel
Cinta dua menara
Call me yupii
Novel
Reinan
3.R².L.A²
Skrip Film
Daun Emas
Miftah
Skrip Film
SISA KEMARIN
ranti ris
Skrip Film
Mimpi Penulis
Johannes Silalahi
Rekomendasi
Cerpen
Siulan Terakhir
Weda dwi prastika