Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Sisi Lain Dimensi Mimpi
0
Suka
518
Dibaca

Aku berada di suatu hutan, meraba jalan sambil menghindari pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi. Kabut tipis menyelimuti sekitarku, menambah kesan misterius. Langkahku terhenti di sebuah perbukitan kecil dengan jalan setapak tersembunyi. Saat aku memperhatikan ujung jalan, tiba-tiba lenganku dicengkeram oleh seorang anak laki-laki bertopi kolonial.

Jantungku berdegup kencang. Anak laki-laki itu menggeleng, melarangku melanjutkan. Tanpa suara, dia menunjuk ke arah pohon bergoyang, seolah ada sesuatu di sana yang harus kuhindari.

Dari balik bukit, sepasang tangan kecil muncul, berjuang memanjat naik. Seorang anak gemuk dengan kepala plontos berusaha naik dengan susah payah, dibantu sosok kurus di belakangnya.

Mereka menghampiriku dengan wajah pucat. Aku mencoba menenangkan diri dan menanyakan nama mereka. Anak kecil di sisiku berkata, "Aku Axel," dengan suara lembut. Dia menunjuk anak gemuk, "Ini Jack," dan anak kurus, "Ini Berlin."

Mereka tampak cemas. Dari balik kabut, sebuah delman muncul tanpa kusir, di dalamnya duduk seorang anak berusia tiga belas tahun bernama Jacob. Axel, Jack, dan Berlin bersembunyi di belakangku saat delman mendekat. Kuda hitam yang menarik delman tampak menakutkan; tanpa ekor, dengan gigi besar dan mata merah menyala. Delman itu berhenti tepat di sampingku. Jacob mengulurkan tangan, mengajak Axel, Jack, dan Berlin naik. Dengan ragu, mereka menerima uluran tangan Jacob dan menaiki delman, meninggalkanku seorang diri.

Aku memutuskan berjalan ke arah datangnya delman dari sisi utara. Kabut tebal mengaburkan pandanganku. Suara gemuruh petir terdengar dari kejauhan, menambah suasana mencekam. Energi negatif terasa semakin kuat.

Tak lama, delman itu muncul kembali, berjalan mundur ke arahku. Jacob berteriak bahwa jalanku mempertemukanku dengan sosok Dungkul, makhluk hitam berbulu dengan tanduk besar. Axel mengulurkan tangannya untuk menarikku naik, tetapi tanganku sulit tersentuh. Jack dan Berlin juga berusaha menolongku, namun tetap saja tidak tersentuh.

Gemuruh itu semakin keras. Panik, aku berlari ke arah selatan, sementara sosok sosok hitam besar itu muncul dari arah berlawanan, menambah ketegangan dan rasa takut.

Delman itu melaju perlahan menembus kabut tebal di ujung jalan hutan, sementara aku berlari cepat mengejarnya. Tiba-tiba, aku berada di sebuah pasar era 1800-an yang hidup dengan aktivitas. Aku berjalan di sisi delman hingga ke perbatasan kampung. Orang-orang berpakaian tradisional mengangkut karung berisi rempah-rempah, berlalu-lalang di lorong-lorong pasar yang ramai. Delman itu berhenti di depan pagar tinggi berwarna hitam.

Di hadapan kami, sebuah rumah klasik dengan halaman luas tampak hancur terbakar. "Wij sterven hier," ucap Axel, yang berarti 'Kami mati di sini.'

Mereka semua memandangi rumah hangus itu dengan ekspresi sedih. Lalu, seorang wanita Belanda muncul di balik jendela yang rusak, hanya bisa kulihat. Dia tampak terpaku, seolah menghantui sisa-sisa rumah yang telah musnah.

Gemuruh besar terdengar lagi dari kejauhan, dan kabut semakin mendekat. Sekejap, mereka yang berdiri di sisiku menghilang, seolah ditelan oleh kabut tebal beserta delmannya. Aku panik dan berlari sejauh mungkin dari sosok hitam besar yang terus mencari keberadaanku.

Tiba-tiba, sebuah tangan menarikku ke sisi kiri, ke arah cahaya samar. Seorang pria memelukku dari belakang, meredupkan energiku untuk menghindari pengejarannya.

Saat memasuki cahaya samar itu, kami berada di sebuah gudang kayu yang dingin dan lembap.

"Dungkul tahu ada manusia di sini," ucap pria itu dengan tenang, lalu melepaskan tangannya dariku.

Aku keluar dari gudang, membuka pintu yang berderit, dan melihat halaman berkabut dengan daun-daun berserakan. Pria itu menghilang tanpa memberiku kesempatan bertanya.

Angin kencang menerpa, mengingatkanku pada sosok hitam besar yang terus mencariku. Di kanan gudang, ada rumah kayu besar yang pintunya terbuka. Seorang pria dengan tatapan tajam muncul.

Dia bertelepati, "Kamu bukan dari alam kami." Aku tak membantah.

Pria itu mendekat. "Aku Jaka, ikuti aku!" ucapnya dalam batin. Aku mengikutinya masuk ke gudang.

Dari belakang, aku melihat noda darah di tengkuknya, membuatku takut. Jaka membuka pintu, membawa kami ke hamparan sawah luas. Aroma tanah basah dan padi baru tumbuh memenuhi udara. Jaka menggenggam tanganku, berjalan di jalan setapak.

Di sisi timur, gunung kokoh berdiri angkuh, ribuan hektar sawah membentang hijau di bawahnya. Kami menuju sumber mata air yang lebar dua meter.

Di sepanjang saluran air keruh, aku melihat beberapa buaya hitam dengan mata merah mengintai. Rasa takutku semakin besar.

Jaka terus memegang tanganku erat. Tak jauh di hadapan kami, ada pohon beringin besar dengan ular-ular berbisa melilit rantingnya. Aku semakin takut saat mendekati pohon itu. Beberapa ular memandang ke arahku, mata mereka merah menyala.

Jaka berkata dalam batin, "Tenang, jangan biarkan mereka merasakan kehadiran dan ketakutanmu."

Aku berjalan dengan mata tertutup, menggenggam tangan Jaka kuat-kuat, berusaha mengendalikan rasa takut. Jaka mengatakan, setiap langkah yang sudah dilewati tidak boleh ditoleh kembali.

Setelah melewati pohon itu, aku membuka mata, melihat dinding pembatas dengan pintu kayu tua. Kami masuk, melepaskan diri dari ancaman. Di balik pintu, kami berada di pasar tradisional. Aku mengikuti Jaka di keramaian pasar, aroma rempah dan suara pedagang memberi sedikit rasa lega. Pasar itu sama dengan yang kulewati saat keluar dari hutan.

Langkah kaki kami akhirnya terhenti di depan sebuah rumah klasik bernuansa putih, dengan pagar hitam yang tidak terkunci. Jaka melepaskan tanganku dan melangkah masuk. Rumah itu milik keluarga Jacob. Rupanya, aku dibawa ke dimensi waktu sebelum rumah mereka terbakar.

Aku mengikuti langkah Jaka dari belakang. Ketika Jaka membuka pintu, seorang wanita Belanda cantik berdiri di sana dengan wajah lebam. Namanya Alene. Jaka mengenali luka lebam itu, lalu menyentuh wajah Alene dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.

"Aku akan menyelamatkanmu dan membawa anak-anak tampanmu!" ucap Jaka, seolah-olah tidak ada lagi kesempatan bagi Alene untuk bertahan. Namun, Alene menolak dengan penuh ketakutan dan berusaha mencegah Jaka.

"Pergi bersamaku!" Jaka memohon kembali padanya sambil menarik tangannya, tetapi Alene tetap menahan diri dengan rasa putus asa.

"Tidak! Go home, Jaka, go!" suara Alene bergetar, air matanya mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Keputusasaan dan rasa sakitnya begitu mendalam, membuat setiap kata terasa seperti pukulan bagi Jaka.

Terdengar suara delman berhenti di depan rumah. Tuan Sander turun dari kusirnya dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan pintu yang sudah terbuka. Aku yang masih berdiri di sisi ruang tamu menyaksikan murkanya Tuan Sander terhadap Alene bersama Jaka.

Pistol di tangan Tuan Sander menembak Alene tanpa peringatan. Suara tembakan terdengar jelas, peluru itu memburu pada tengkuk Alene. Jaka melompat ke depan untuk melindungi seseorang yang dicintainya, dan peluru itu tepat menghantam dadanya. Jaka tersungkur, menahan rasa sakit yang menyakitkan, matanya tetap tertuju pada Alene dengan penuh rasa cinta dan kesedihan.

"Aku sangat mencintaimu, Alene. Sungguh mencintaimu. Selamatkan dirimu!" lirihnya di telinga Alene dengan napas terengah-engah sebelum menghembuskan napas terakhir.

Alene menangis histeris. Pria yang dicintainya mati di hadapannya, di pelukannya. Jaka, yang sangat dicintainya, tak terima mati di tangan suaminya sendiri.

Tuan Sander mencari keempat anak-anaknya, berteriak memanggil mereka untuk keluar. Axel bersembunyi di dalam lemari, Jack di bawah sofa, dan Brian di balik kursi karna rasa takut pada tuan Sander. Akhirnya Tuan Sander menemukan tempat persembunyian mereka. Dengan bengis, dia menembak mereka tanpa belas kasihan.

Alene berusaha menahan Tuan Sander, meminta agar dia berhenti, namun tidak dihiraukannya. Anak-anak mereka tewas di tangan ayahnya yang murka akibat penghianatan Alene.

Alene memukul kepala Tuan Sander dengan hiasan meja dan merebut senapan dari tangannya, berusaha menghentikan amarahnya. Dalam keadaan sakit pada kepalanya, Tuan Sander mengambil kembali pistol itu dan menembak Alene berulang kali di bagian dadanya. 

Di tengah penderitaannya, Alene berkata dengan terbata-bata di iringi nafas yang sekarat, "Aku mencintainya, tapi aku memilihmu, Tuan. Aku... tidak... berkhianat!" Alene pun mati di tangan suaminya.

Rumah itu kini dipenuhi oleh percikan darah merah. Tuan Sander yang telah puas hanya melihat kematian itu diiringi oleh napasnya yang masih tersengal. Kini, yang selamat dari tragedi itu hanyalah anak sulung yang sedang bertugas berniaga rempah-rempah di desa lain, yaitu Jacob.

Datanglah sebuah delman. Jacob baru tiba dan segera masuk ke dalam rumah dengan pakaian khas kolonial Belanda. Saat masuk, Jacob begitu terkejut melihat banyak darah di lantai. Terlihat sang ibu dan Jaka mati di ruang itu, dan Jacob mencari ketiga adiknya, namun mereka pun ikut mati di tempat persembunyian mereka. Jacob terdiam, tidak bicara apa pun. Matanya berkaca-kaca menahan tangis, tangannya gemetar setelah menyaksikan keluarganya tidak selamat. Dengan sigap, dia membangunkan ayahnya yang tengah duduk di lantai bersandar pada dinding, memperhatikan Alene yang sudah mati dengan posisi tengkurap. Jacob membawa Tuan Sander ke dalam kamar.

Jacob memberikan segelas air dan membersihkan darah di dahi ayahnya. Seusai membersihkan, dia menyiapkan pakaian dan membiarkan ayahnya beristirahat di dalam kamar. Jacob terdiam, matanya berlinang. Ia memandangi wajah ibu dan ketiga adiknya yang kini terbaring tak bernyawa, diletakkan berjajar di ruang tamu. Lima orang yang sangat dikenalnya kini tiada. Jacob hanya bisa memandang mereka dengan hati yang dipenuhi kesedihan, menahan tangis yang hampir tak tertahan.

Jacob memegang tangan lima mayat itu sebagai perpisahan terakhir, memberikan sekuntum bunga kering dari hiasan meja sebagai tanda belasungkawa. Kemudian, dia memanggil petugas keamanan rumah untuk menguburkan mereka di halaman rumah. Para petugas hanya diam dan menurut.

Reaksi Jacob berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dirinya bersikap tenang menghadapi situasi tersebut, hanya sorotan matanya yang mengungkapkan kesedihan mendalam karena kehilangan orang-orang yang dikenalnya.

Malam itu, meja makan yang dulunya penuh canda tawa kini terasa kosong dan sunyi. Dengan hati-hati, Jacob membawa makanan ke kamar ayahnya, menyuapi sang ayah yang duduk di ranjang dengan ekspresi lelah dan mata kosong. Menahan air mata, Jacob memaksakan senyum saat melihat ayahnya makan perlahan tanpa sepatah kata. Dia menyalakan lilin di samping tempat tidur, menyiapkan selimut, dan menutup pintu dengan lembut.

Jacob berjalan kembali ke ruang makan yang dingin dan sepi. Duduk sendirian di bawah cahaya temaram lilin, dia mencoba menghabiskan makanannya. Bayangan kejadian tragis yang menimpa keluarganya menghantui pikirannya, membuat setiap suapan terasa berat dan hambar.

Jacob kembali ke kamar. Dia duduk di sisi kasur, memandangi foto keluarga yang terbingkai indah di atas meja kecil. Perlahan, dia mengambil pigura foto itu dan menatapnya dengan air mata yang mulai menggenang.

Dengan langkah gontai, Jacob berjalan menuju lemari, membawa lilin kecil yang berkelap-kelip di tangannya. Aku mengikutinya masuk ke dalam lemari yang kosong, duduk di sisinya dalam kesunyian yang menyakitkan.

Di dalam lemari itu, tangis yang selama ini ditahannya pecah, setetes demi setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, menatap wajah ceria ibu dan ketiga adiknya di foto itu. Aku duduk di sisinya, ikut terisak merasakan duka yang mendalam bersamanya. Setiap ingatan dari foto itu menambah perih di hatinya, menciptakan luka yang sulit sembuh.

Tangis Jacob semakin menjadi, jeritan batinnya terdengar hingga ke telingaku. "Kembalilah, aku ingin bertemu," katanya dengan suara parau penuh harap. Malam itu, aku tetap di sisi Jacob yang berduka karena kehilangan keluarganya. Hingga akhirnya, dia tertidur di dalam lemari, mendekap foto keluarganya dengan lilin kecil yang terus menyala, memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan hatinya.

Cahaya pagi yang lembut dan keemasan perlahan merayap di antara tirai jendela, menciptakan pola yang menari di lantai. Sinar matahari menyelinap masuk, membangunkan Jacob yang tertidur di balik lemari.

Aku mengikuti dari belakang, meresapi dingin dan kesunyian pagi itu. Jacob menuju dapur, di mana sarapan telah tersedia di meja makan. Langkahnya terasa berat, mencerminkan beban yang menghimpit hatinya. Tanpa sepatah kata, ia duduk di depan ayahnya, menciptakan suasana hening yang hampir menegangkan. Hanya suara dentingan sendok pada cangkir kopi yang memecah kesunyian, menambah kesan kesedihan yang tak terucapkan. Aku berdiri di sisi ruangan, berharap ada kata-kata yang bisa menjembatani jarak di antara mereka.

"Apakah kamu tahu tentang pria Pribumi itu, Jaka?" tanya sang ayah dengan nada tegas dan intimidatif, suaranya bergema seperti ancaman yang membekas. "Dan apakah kamu mengetahui pengkhianatan Madam terhadapku?"

Jacob mengunyah roti panggang dengan lambat, sementara ketegangan membuatnya terdiam sejenak, seolah mencari kekuatan dalam kata-katanya. "Jika aku memberitahu Tuan, apakah Tuan akan mempercayaiku?" suaranya bergetar ringan.

Sang ayah menatap Jacob dengan intens, matanya seolah menembus kedalaman jiwanya. "Ya, aku akan mempercayai setiap kata-katamu. Namun, jika kamu berbohong..." Suaranya berubah menjadi ancaman, menambah ketegangan di antara mereka.

"Aku sudah siap menerima hukumannya," jawab Jacob dengan tegas, suaranya bergetar tetapi mantap, jantungnya berdegup kencang menandakan keberanian di bawah tekanan.

Jacob melanjutkan, "Aku tahu tentang Jaka dan keluarganya. Dia pria baik hati dan kuat, hidup sederhana bersama ibunya. Meskipun ada perbedaan antara pribumi dan negara kita, Jaka selalu membantuku." Sambil mengenang Jaka, matanya memandang jauh seolah melihat kembali masa lalu. "Jaka membantu pribumi menghadapi kejahatan dan berusaha memperbaiki keadaan terhadap kejahatan negara kita." Jacob berhenti sejenak, melihat ayahnya yang mendengarkan dengan wajah tanpa ekspresi seolah berita itu tidak penting untuknya.

"Jaka sempat menawarkan Madam untuk melarikan diri bersama. Namun, Madam menolak tawaran itu karena ia sangat menghormati Tuan sebagai suami dan ayah. Meskipun Madam tahu jika Jaka telah mencintainya, Madam tetap setia hingga akhir hidupnya," lanjut Jacob dengan penuh kesedihan, mengingat betapa setianya ibunya pada sang ayah. Sang ayah terdiam, menunduk dengan wajah yang dipenuhi rasa penyesalan.

"Salah satu pertahanan diri kami yang Tuan ajarkan adalah menjadi sosok diri yang kuat dan kejam terhadap lawan. Namun kali ini, Tuan salah menilai lawan. Mereka telah meninggalkanku dalam kesepian ini, dan aku kecewa dengan keputusan Tuan," kata Jacob dengan suara penuh kepahitan sebelum berbalik meninggalkan ayahnya.

Setelah mendengar cerita Jacob, aku merasakan kesedihannya. Aku mengikutinya ke kamar, di mana dia diam-diam memandangi foto-foto keluarganya. Jari-jarinya perlahan mengusap setiap wajah di foto itu dengan mata yang berkaca-kaca, air matanya runtuh seketika dengan isakan yang terus ia tahan. Kedewasaan Jacob terkalahkan oleh bayangan memori indah keluarga.

Tak lama terdengar suara pelatukan senapan keras di luar, Jacob segera keluar dan melihat apa yang terjadi. Begitu terkejutnya, bahwa sang ayah bunuh diri di meja makan dengan pistolnya.

Jacob terkejut. Dengan tangan bergetar dan napas tersengal, ia mendekati tubuh sang ayah yang terkapar tak bernyawa. Rasa frustrasi dan kesedihan Jacob memuncak, membuatnya makin terisak. Tatapan matanya terus menatap wajah sang ayah yang dipenuhi darah. Setiap tetesan darah mengingatkannya pada kenangan yang hilang, sementara rasa sakit dan kehilangan terus menguasai dirinya.

Beberapa saat kemudian, Jacob meraih lilin dari meja makan dengan tangan gemetar. Matanya yang sembab terus memandang ruangan yang penuh kenangan tragis. Lilin itu dinyalakan, membiarkan tirai gorden terbakar. Asap melayang memenuhi udara dengan aroma hangus, membuat napasnya tersesak perlahan. Api perlahan-lahan membakar barang-barang, asap tebal kian menyelimuti ruangan. Hingga rumahnya terbakar hebat, meninggalkan hanya puing-puing yang rusak bersama mereka.

Di tengah kobaran api yang hebat, Jacob merasakan sesak di dadanya. Tangisnya tak tertahan, meruntuhkan upayanya untuk tegar. Dalam keheningan mencekam, ia menangis tersedu-sedu, merasakan kehilangan dan ketidakberdayaan yang mendalam. Dirinya terus bertahan di sisi sang ayah, membiarkan api itu membakarnya perlahan.

Aku keluar dari rumah dan berdiri di balik pagar, menyaksikan api melahap segalanya. Asap tebal membumbung ke langit terang, menggelapkan suasana sekitar dengan bau hangus yang menusuk hidung. Bara api yang berkobar menghangatkan wajahku. Di kejauhan, kerumunan pribumi terdiam, mata mereka terpaku pada pemandangan yang menyesakkan, seolah keheningan mencekam itu adalah saksi bisu dari bencana yang tak terelakkan.

Kisah mereka berakhir tragis, terpisah dari orang-orang yang mereka cintai dengan rasa miris. Sepanjang perjalanan, tangisku tak henti saat mengingat keluarga Jacob. Seandainya Tuan Sander meredam kemarahannya dan mempercayai Alene, mungkin keluarga mereka masih bisa merasakan kebahagiaan bersama.

Aku mulai menelusuri jalan pulang dengan langkah berat, seolah beban tak terlihat mengikat kakiku. Sesampainya di pasar tradisional, tempat pertama kali aku muncul, rasa kesepian menghimpit dadaku saat mendekati pintu kayu yang menghadap sawah, menegaskan sisa kejadian keluarga Jacob.

Di persawahan, kabut tebal dan petir menggelegar dari kejauhan. Tiba-tiba, sosok hitam besar itu muncul kembali yang tidak jauh dari belakangku, sosok mengerikan dan menakutkan. Tubuhnya berbulu hitam dengan begitu tinggi, mata merah menyala dengan tanduk tajamnya. Aku berlari panik, tapi makhluk itu terus mengikuti, bayangannya menelan sisa-sisa keberanianku.

Aku menuju pintu portal di tengah hamparan sawah, menyusuri sisi saluran air yang melewati pohon besar dipenuhi ular. Dari kejauhan, ular-ular sudah menghalangi jalanku, dengan cepat aku melompat ke saluran air keruh kecokelatan. Airnya dingin membuatku menggigil seketika.

Terkejut oleh kedalaman air, aku tenggelam berulang kali, berusaha keluar sekuat tenaga setelah melihat buaya-buaya itu mendekat yang tampak siap melahap kakiku. Meski buaya-buaya itu berusaha menerkamku dengan ketegangan yang menakutkan, akhirnya aku berhasil keluar dari air dan selamat berkat sejuntai tali dari daratan.

Saat berlari menuju cahaya portal, Jaka memperingatkan untuk tidak menoleh. Namun, rasa penasaran dan ketakutan terus menghantui. Dengan berat hati, aku menoleh dan melihat rupanya itu adalah siluman ular serta siluman buaya yang mengerikan, sementara makhluk hitam itu terus mengikuti jalanku yang menambah ketegangan.

Gemuruh petir menggema di ujung sawah. Seketika kabut itu kian menutup pemandangan, menandakan sosok itu sudah menguasai alam itu untuk memburu. Sebelum kabut itu sepenuhnya menutup cahaya portal, aku melangkahkan kaki secepat mungkin untuk tiba di sana. Di seberang saluran air, kekuatan alam semakin mencengkam dan gelap, beberapa buaya itu terus keluar dari permukaan air berusaha untuk naik ke daratan, ular pun menyebar ke berbagai tempat, hingga dari mereka berenang bersama buaya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir.

Kabut kian mendekati portal. Posisiku berada di seberang yang dibatasi saluran air. Satu-satunya cara hanyalah melompat tinggi untuk menyebranginya. Rasa takut dan keberanianku tarik menarik menghalangi perjalananku. Sosok hitam itu kian mendekat tak gentar mencari keberadaan manusia. Secara nekat aku melompat tinggi dan berusaha mendarat jalan setapak di sebrang sana, saat berpijak seketika kakiku kehilangan keseimbangan dan aku terjatuh kebelakang.

Adas sosok pria dengan sigap menarik tanganku dengan kuatnya. "Cepat pergi, tempat ini sangat berbahaya!" Ucapnya, aku mengangguk mengikuti larinya.

Dia memintaku menutup mata saat masuk ke dalam portal. Aku menurutinya lalu saat masuk, tempat itu begitu hening dan gelap, genggaman tangannya terlepas perlahan. Saat membuka mata kembali, rupanya aku terbangun dari mimpi. Kini, aku kembali ke duniaku setelah melakukan perjalanan alam lain atau yang di sebut astral projection.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Novel
Visum et Repertum
Tera
Novel
Bronze
Layang-Layang Putus Tak Pernah Salah
DMRamdhan
Novel
KIDAL
Ade Agustia Putri
Novel
Bronze
Lembar Usang Berkisah
Dwimarta
Novel
Bronze
Susuk Jaipong
silvi budiyanti
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Novel
The Reason Why I Give Up
batiar
Novel
Gold
KKPK Misteri Cermin Pengisap
Mizan Publishing
Novel
Gold
Digital Fortress
Mizan Publishing
Flash
HANIF & THE MAGIC BAG
Nurbaya Pulhehe
Cerpen
Bronze
Tragedi Kampus yang Terlupakan
elfrida romaganti pasaribu
Cerpen
Kopiah Bapak
Intan Andaru
Flash
Misteri Doa Sebelum Belajar
Luca Scofish
Cerpen
Perempuan Setengah Gila
Sofa Nurul
Rekomendasi
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Cerpen
Persahabatan dan Obsesi
adinda pratiwi
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Novel
The Hidden
adinda pratiwi
Novel
Dinara
adinda pratiwi
Cerpen
Rantai Dendam
adinda pratiwi