Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sisa Wangi di Bantal Tua
1
Suka
1,170
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan turun sejak subuh, membasahi genting yang sudah miring di satu sisi. Air menetes pelan lewat celah kecil di atap, menimbulkan bunyi yang akrab di telinga. Di dalam rumah kayu yang menyimpan banyak kenangan, Raka duduk sendirian di sudut kamar. Ruangan itu tidak besar, tapi setiap sisinya seolah menyimpan jejak waktu. Bau kayu basah bercampur dengan aroma tanah yang masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Di tangannya, ia memegang bantal tua yang warnanya sudah pudar, kain sarungnya pun mulai robek di beberapa sisi. Bantal itu tampak ringkih, seolah siap hancur jika dipeluk terlalu erat. Tapi di sanalah, samar-samar, masih tertinggal wangi yang sangat ia kenal, wangi ibu.

Wangi itu seperti jejak yang menolak pergi, bertahan di antara serat kain dan waktu. Bukan wangi parfum mahal, bukan pula aroma sabun yang menyengat. Tapi wangi yang hangat, seperti bau tubuh setelah seharian bekerja di dapur, seperti peluh yang dibalut kasih sayang. Wangi itu membuat dada Raka sesak, seolah-olah ibu baru saja bangkit dari tempat tidur, meninggalkan sebagian dirinya untuk dikenang. Raka menutup mata, membiarkan aroma itu membawanya kembali ke masa kecil. Saat ibu masih menimang dan menyuapinya, saat ibu mengusap dahinya kala demam, dan menyanyikan lagu pengantar tidur yang kini hanya terdengar samar di kepalanya.

Raka baru pulang setelah lama merantau, bertahun-tahun mencari kehidupan yang lebih baik di kota orang. Ia pergi dengan niat mulia, ingin membahagiakan ibu, ingin membalas segala pengorbanan. Tapi seperti banyak anak muda lainnya, niat itu perlahan tertimbun oleh kesibukan dan ambisi. Ia jarang menelepon ibu, apalagi pulang. Dan kini ia kembali, tapi hanya untuk mendapati ibunya telah tiada. Ibunya sudah dimakamkan tiga hari lalu, tapi hatinya masih belum bisa menerima kenyataan. Rumah itu terlalu hening tanpa suara ibu yang biasanya menyambutnya dari dapur, menyuruhnya makan atau menyiapkan teh hangat.

Di kamar yang dulu menjadi tempat tidurnya, ia membuka laci meja di sudut ruangan. Tangannya menyentuh sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama terkunci. Ia ingat kotak itu pernah dipakainya menyimpan kelereng. Tapi kini kotak itu bukan lagi miliknya, kunci kecilnya tergantung rapi di gantungan kain mukena ibu, seolah menunggu saat yang tepat untuk dibuka. Pelan-pelan, Raka membukanya. Di dalamnya, tertata puluhan kertas surat, semua ditulis dengan tangan. Kertasnya sudah mulai menguning, tapi tetap rapi dan bersih. Di bagian atas setiap amplop tertulis nama Raka, lalu ada tulisan kecil dibawah yang membuat hatinya seperti diremas.

“Untuk Raka, jika ibu tak sempat bicara.”

Tangannya bergetar saat membuka surat pertama. Ia membaca perlahan, hampir tak bisa fokus karena air mata sudah mengaburkan pandangannya.

“Nak, apa kabarmu di sana? Ibu tahu kau sibuk, tapi tidak apa-apa. Ibu hanya ingin kau bahagia. Ibu tak pernah marah, hanya rindu. Selalu rindu, tapi ibu paham, dunia di luar sana lebih luas dari rumah kecil kita.”

Ia membaca surat demi surat, beberapa ditulis saat ibunya sakit. Beberapa lainnya berisi doa dan rindu yang ibu pendam. Tak satu pun dari surat itu pernah dikirim. Semua disimpan, seolah-olah ibunya tahu, suatu hari nanti Raka akan pulang dan membacanya. Mungkin ibu tahu, surat-surat itu akan lebih berarti setelah kepergiannya. Karena di dalam keheningan, tulisan bisa bersuara lebih lantang dari pada kata-kata.

Air matanya jatuh ke atas kertas, mengaburkan tinta yang sudah mulai pudar. Raka menyesal, selama ini ia mengira ibunya diam, padahal ibu justru berbicara dalam diam. Dalam tulisan-tulisan yang tak pernah sampai. Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di tengah keramaian, baru menyadari bahwa pelukan ibu adalah satu-satunya tempat yang benar-benar bisa disebut pulang.

Raka teringat terakhir kali ia menelepon, dua bulan lalu. Ia terburu-buru menyudahi percakapan hanya dalam tiga menit. Saat itu ia sedang rapat, dan menganggap telepon ibu bisa ditunda. Ia mengira masih ada banyak waktu. Tapi ternyata waktu tak menunggu siapa pun. Tak peduli seberapa besar penyesalan datang setelahnya, waktu tak akan pernah mundur. Hujan masih belum berhenti. Langit menggantung kelabu seperti dadanya yang penuh rindu. Ia menyalakan lampu kamar yang redup, lampu lama dengan bohlam kuning. Ia duduk di tepi ranjang, membaca surat demi surat. Lalu sebuah surat membuatnya terhenti lama.

“Raka sayang, kalau ibu tak sempat melihatmu menikah, jangan bersedih. Ibu sudah cukup bahagia hanya dengan tahu kamu hidup dengan baik.”

Kata-kata itu menusuknya, bukan karena kemarahan tapi karena kelembutan yang begitu sabar. Ibu tak pernah menyalahkannya, bahkan di saat-saat tubuhnya melemah dan kesepian merayap ke tulang. Ia hanya merindukan anaknya, tak lebih. Dan cinta sebesar itu terasa terlalu luas untuk dipahami oleh anak yang terlalu lama pergi.

Malam itu, Raka menulis balasan. Satu surat, panjang dan penuh air mata. Bukan untuk dikirim, hanya untuk ditinggalkan di atas bantal tua itu.

“Bu, maaf. Raka yang jauh, bukan ibu. Raka yang sibuk, bukan ibu. Raka yang lupa pulang, bukan karena tak sayang, tapi karena tak tahu bagaimana caranya meminta maaf.”

Ia melipat surat itu pelan-pelan, meletakkannya di dalam kotak kayu yang sama. Ia menutupnya kembali, seolah menyerahkan seluruh isi hatinya ke dalam ruang kecil itu. Ia meninggalkannya di sana, di rumah yang akan tetap menjadi milik ibu.

Pagi hari, hujan reda. Tapi jejak hujan masih menempel di daun dan tanah. Raka keluar rumah, menatap langit yang mulai cerah. Udara pagi membawa aroma tanah basah, aroma yang mengingatkannya pada masa kecil. Ia ingat saat-saat berlarian di halaman, sementara ibu tertawa memanggilnya dari dalam. Tawa yang kini hanya bisa dikenang.

Ia mengembuskan napas panjang. Luka di hatinya belum hilang, tapi ia merasa lebih tenang. Ia sudah pulang. Ia sudah membaca semua surat yang dulu ditulis diam-diam. Dan di antara surat-surat itu, ia seperti menemukan kembali dirinya yang lama hilang. Rumah itu tetap sunyi, tapi sunyi itu tak lagi kosong. Ia telah diisi oleh kata-kata yang tulus, oleh wangi yang tak pernah benar-benar pergi. Oleh cinta seorang ibu yang hidup di antara lembar-lembar kertas dan kenangan.

Raka menyentuh bingkai foto ibu, foto saat ibu masih muda, tersenyum cerah di kebun belakang. Ia tahu, tidak ada cara untuk memutar ulang waktu. Tapi ia bisa menjaga semua kenangan itu, bisa merawat cinta itu agar tidak lenyap. Dan Raka tahu, selama ia masih mengingat, selama ia masih membaca kembali surat-surat itu di malam-malam sepi, ibu tidak pernah benar-benar tiada.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Impian Dalam Tragedi
W
Novel
Rumah yang Hirap
Azzahra Nabilla
Skrip Film
Growth: Story of the Inner Child
Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Cerpen
Kisah Ujang dan Sepotong Hati
Almira
Cerpen
Sisa Wangi di Bantal Tua
Rohayanti
Novel
Bronze
Baling Kipas Angin Yang Berputar
Lady Mia Hasneni
Novel
Broken Heart
Nurlia Noviyensy
Novel
Andai Kisah ini Tiba di Mejamu
Serasa Sarasa
Flash
Bronze
LDR PROBLEM
Maldalias
Novel
Gold
The Puppeteer
Mizan Publishing
Skrip Film
SATU KATA CINTA
Bayu Adityo Prabowo
Cerpen
Bronze
Kejutan Nanit untuk Hilmi, Sebelum Menikahkan Yulia
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Batu Ajaib Nenek
Dedy Tri Riyadi
Novel
Gold
The Magic Library
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Thantophobia : Rasa Takut Kehilangan Orang yang Dicintai
ahmad dicka hudzaifi
Rekomendasi
Cerpen
Sisa Wangi di Bantal Tua
Rohayanti