Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Debu tebal menempel di ujung jemari Radit saat ia menyingkirkan sebuah buku tua dari rak perpustakaan. Cahaya matahari sore menyusup melalui celah jendela, menciptakan bayangan panjang yang menari di permukaan meja kayu. Buku itu bersampul hijau lusuh, dengan judul yang nyaris terhapus: Melodi Hati yang Hilang. Radit membuka halaman pertama dengan hati-hati, aroma kertas usang menyeruak, mengingatkan pada kenangan lama yang tak sepenuhnya dikenalnya.
Di antara halaman yang rapuh, sebuah amplop kecil terselip. Kertasnya kekuningan, tepian mengeriting seperti pernah terpapar lembap. Nama “Raditya A. Putra” tertera di permukaan amplop dengan tinta hitam yang mulai memudar. Tubuhnya menegang. Namanya? Bukankah buku ini sudah bertahun-tahun terkubur di sudut perpustakaan tua ini?
Jari-jarinya gemetar saat menarik amplop itu. Ia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan sebelum akhirnya menarik kursi dan duduk. Ia membuka lipatan surat perlahan, tak ingin merusak isinya.
Tulisan tangan itu rapi, dengan guratan huruf yang terasa penuh kehati-hatian.
**“Untuk Raditya,
Jika kau membaca surat ini, mungkin waktu telah menempatkan kita di dua garis kehidupan yang tak lagi bersinggungan. Namun, aku percaya, dalam ruang antara masa lalu dan masa depan, takdir selalu menemukan cara untuk berbicara.”**
Radit berhenti membaca, bulu kuduknya berdiri. Ada keakraban yang aneh dalam kalimat itu, seolah-olah penulisnya mengenalnya jauh...