Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sisa Kopi di Meja Tengah
1
Suka
795
Dibaca

Kafe itu selalu menyalakan musik lembut menjelang senja. Aroma kopi berpadu dengan suara pintu kaca yang sesekali berdering. Di meja tengah Aldo duduk dengan dua cangkir di hadapannya. Satu masih mengepulkan uap tipis, satu lagi sudah dingin sejak tadi.

Pelayan sudah hafal: setiap sore pukul lima, pria itu akan datang, memesan dua cappuccino, dan duduk di tempat yang sama. Kadang ia membaca, kadang menatap keluar jendela. Tapi paling sering, ia hanya diam.

Dulu, kursi di seberangnya tak pernah kosong. Ada tawa kecil, kamera di atas meja, dan suara perempuan yang selalu bilang,

“Kamu tahu nggak, kopi dingin itu kayak hubungan. Kalau kelamaan didiemin, pahitnya jadi dominan.”

Sekarang, kalimat itu hanya gema di kepalanya. Nadia. Nama yang masih terselip di ponsel, tapi tak pernah berani ia panggil lagi.

Aldo menyentuh cangkir kedua. Masih ada sisa kopi di dasar gelas, pahit yang tak habis-habis. Ia menghela napas, menatap langit jingga di luar jendela kafe. Di trotoar, orang-orang lewat cepat, membawa tas, ponsel, dan pikiran masing-masing.

Di atas meja, radio kecil kafe itu menyala pelan. Suara penyiar perempuan mengalun lembut:

“Malam ini, kami bacakan naskah yang datang dari seorang penulis radio malam. Judulnya ‘Suara dari Kamar 304’.

Aldo menegakkan tubuh. Ia menoleh. Suara itu… lembut, menenangkan, tapi entah kenapa terasa akrab.

“Tentang seseorang yang kehilangan suara di sebelah kamarnya. Tentang seseorang yang menulis bukan untuk didengar, tapi untuk merasa ditemani.”

Ia mendengarkan. Setiap kata dari penyiar itu seperti mengetuk sesuatu yang lama terkunci di dalam dadanya. Rani — ia tak tahu nama itu, tapi suaranya membawa rasa yang sama dengan nada-nada piano yang dulu ia mainkan setiap malam di kamar seberang milik seorang perempuan penulis.

“Terima kasih sudah mendengarkan,” suara itu menutup siaran.

Aldo menatap cangkirnya lama-lama. Entah kenapa, kalimat itu membuat matanya terasa hangat.

Mungkin, pikirnya, tidak semua kehilangan harus disesali. Beberapa hanya perlu didengarkan, agar bisa tenang di tempatnya.

Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala. Di meja tengah itu, dua cangkir masih berdampingan. Satu hangat, satu dingin. Seperti dua hati yang pernah berjalan bersama, lalu berhenti di waktu yang berbeda.

***

Hari itu hujan turun tipis. Bukan hujan deras yang memaksa orang berlari, tapi jenis hujan yang membuat semua langkah melambat. Aldo datang seperti biasa — pukul lima, dua cangkir kopi, meja tengah. Kafe agak ramai sore itu, aroma tanah basah bercampur dengan wangi arabika yang baru digiling.

Ia menatap jendela yang buram oleh embun, menggambar lingkaran kecil dengan ujung jarinya, lalu menghapusnya lagi. Di meja seberang, seorang perempuan dengan kamera hitam duduk sendiri, memotret pemandangan luar. Jendela, genangan, bayangan lampu.

Nadia. Tapi Aldo belum tahu namanya.

Sesekali pandangan mereka bertemu. Bukan tatapan, hanya kebetulan. Ia mengenali sesuatu dalam cara perempuan itu memegang kameranya: seperti seseorang yang mencoba mengabadikan hal yang akan segera hilang.

Di tengah riuh percakapan pengunjung, radio kafe kembali menyala. Suara yang sama terdengar:

“Malam ini, kami bacakan lanjutan dari ‘Suara dari Kamar 304’.”

Nada lembut itu mengisi ruang antara mereka berdua. Aldo tersenyum samar, matanya memejam sejenak, membiarkan suara itu membasuh pikirannya. Di seberang, Nadia menatap ke arahnya. mungkin ia juga mendengar, mungkin tidak.

Ketika siaran berakhir, pelayan datang membereskan meja, dan Aldo berdiri untuk pergi. Tapi ia terhenti. Di bawah gelas kopi dinginnya, ia menemukan selembar tisu terlipat kecil.

Tulisan tangan halus, dengan tinta yang sedikit luntur:

“Kamu tidak harus menunggu selamanya.”

Ia menatap sekeliling, tapi meja-meja sudah kosong. Hanya tersisa suara hujan yang menetes di luar dan bayangan seseorang yang baru saja keluar dari pintu kafe, membawa kamera di tangan.

Aldo duduk kembali. Ia membuka dompet, mengambil pena kecil, dan menulis balasan di sisi lain tisu itu:

“Kadang aku menunggu bukan untuk orangnya, tapi untuk tenangnya.”

Ia lipat perlahan dan letakkan di tempat yang sama — di antara dua cangkir yang kini sama-sama dingin.

Malam menelan sisa sore itu dengan lembut. Lampu jalan menyala, membentuk garis kuning di permukaan jalan yang basah. Aldo menatap meja itu sekali lagi sebelum keluar dari kafe.

Di luar, ia berhenti di bawah kanopi, menatap langit yang mulai gelap. Hujan masih turun, tapi terasa ringan. Seperti sesuatu yang akhirnya bisa dibiarkan jatuh tanpa ditahan lagi.

Keesokan harinya, hujan sudah berhenti, tapi udara masih menyimpan sisa basah. Kafe itu kembali ke rutinitasnya. Suara mesin espresso, tawa pelayan, dan langkah orang-orang yang datang hanya untuk sebentar.

Nadia datang sedikit lebih awal. Ia membawa kamera seperti biasa, tapi hari itu, ia tak memotret apa-apa.

Ia memilih meja tengah, tempat yang kemarin diduduki oleh pria berkemeja abu-abu. Di atas meja, dua cangkir sudah tidak ada, tapi ada sesuatu yang tertinggal: selembar tisu terlipat dengan rapi.

Tangannya ragu sejenak sebelum membuka. Tulisan di dalamnya sederhana, tapi membuat dadanya bergetar pelan:

"Kadang aku menunggu bukan untuk orangnya, tapi untuk tenangnya."

Ia membaca kalimat itu berkali-kali. Tidak tahu harus tersenyum atau sedih. Ada ketulusan dalam tulisan itu. Tenang, tapi jujur. Ia menatap kursi di seberangnya; kosong, tapi terasa seperti seseorang baru saja bangkit dari sana.

Nadia menatap ke luar jendela. Matahari sore mulai menembus sisa awan, memantulkan cahaya ke genangan di jalan. Kafe terlihat sama, tapi ada sesuatu yang berubah: ada ruang yang tiba-tiba terasa lebih hangat, lebih ringan.

Dari radio kecil di dekat kasir, suara perempuan yang sama terdengar lagi. Rani.

"Kadang, hal paling lembut di dunia bukan sentuhan, tapi kata-kata yang datang tepat saat kita butuh didengar."

Nadia tersenyum tipis. Ia membuka buku cacatan kecilnya. Buku yang biasanya ia isi dengan sketsa foto. Lalu menulis sesuatu di halaman terakhir.

'Mungkin esok, aku akan membuka jendela.'

Ia menutup buku itu, menaruhnya di meja, lalu menatap sekeliling kafe sekali lagi sebelum pergi. Pelayan yang lewat hanya menemukan kertas kecil itu beberapa menit setelahnya, bersama dua cangkir kopi baru yang mulai mendingin di meja tengah.

Di luar, langit mulai jingga. Aldo berjalan di trotoar yang sama, tangan di saku, tak tahu bahwa beberapa menit setelah ia pergi, seseorang baru saja membaca pikirannya dalam diam. Kota kembali bergerak. Cepat, sibuk, tapi tetap menyisakan ruang bagi dua kesepian yang saling menenangkan tanpa nama.

Dan di radio malam itu, suara Rani menutup siarannya dengan kalimat pelan:

“Untuk kamu yang menunggu tanpa tahu apa yang kamu tunggu... mungkin, tenang itu sudah di sana sejak awal.”

****

Ada jenis pertemuan yang tidak membutuhkan nama, bahkan tak memerlukan percakapan. Ia hanya butuh dua hati yang kebetulan duduk di meja yang sama, di waktu yang berbeda, dan saling meninggalkan sesuatu yang kecil. Selembar tisu, sisa kopi, atau mungkin, rasa tenang.

Aldo dan Nadia tidak bertemu, tapi mereka saling menyentuh dalam cara yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah menunggu sesuatu tanpa kepastian. Di kota yang bergerak terlalu cepat, mereka memilih diam. Dan dalam diam itulah, sesuatu berubah.

Catatan di meja bukan sekadar pesan — ia adalah simbol keterhubungan tanpa pertemuan, seperti suara Rani di radio atau musik yang nanti akan dinyanyikan Laras di jalan. Masing-masing dari mereka hidup dalam cerita yang berbeda, tapi benang merahnya sama: mereka semua belajar menerima sunyi, bukan melawannya.

Mungkin, pada akhirnya, kota ini tak seberapa besar. Karena setiap kata, setiap suara, dan setiap sisa kopi di meja bisa menjadi cara paling lembut untuk mengatakan,

“Aku mengerti kamu.... bahkan tanpa harus mengenalmu.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Di Kafe
Nida C
Cerpen
Sisa Kopi di Meja Tengah
A. R. Tawira
Novel
It's My Tackle
Sugiadi Azhar
Skrip Film
Daun di Antara Mawar & Melati (Script)
Rika Kurnia
Novel
Gold
Tenaga Kerja Istimewa
Bentang Pustaka
Skrip Film
Kelak, Di Hari Kemarin (Script Film)
Silvia
Flash
Bronze
Menunggu Moment
Lisnawati
Novel
Elegi Senja : Hujan dan Takdir Pertemuan
Atika Rahayu
Novel
MELLIFLUOUS
Jasmine c
Novel
7 Lastari dari Tanah Buru
Nurbaya Pulhehe
Novel
The Lost Twin
berLilana
Skrip Film
The Superstar Is Fallin (In Love)
Maya Suci Ramadhani
Flash
Hati-hati Wira
Desy Andriyani
Flash
Di Tepi Jurang
Jasma Ryadi
Skrip Film
Perawan di Jalan Jaksa (script)
Yupitriani
Rekomendasi
Cerpen
Sisa Kopi di Meja Tengah
A. R. Tawira
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Flash
Abu
A. R. Tawira
Flash
Amarah
A. R. Tawira
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Flash
Bising
A. R. Tawira
Cerpen
Suara di Kamar 304
A. R. Tawira
Flash
Sunyi
A. R. Tawira
Flash
Potongan-Potongan yang Tersisa
A. R. Tawira
Cerpen
Bronze
Kereta Yang Tak Pernah Bergerak: Manual untuk Penderitaan Modern
A. R. Tawira
Cerpen
Bronze
Kota Yang Tak Pernah Subuh
A. R. Tawira