Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
SISA CINTA DITELAN FAJAR
6
Suka
2,477
Dibaca

Pada ulang tahun pernikahan ke-13, mereka memesan meja paling sudut di sebuah restoran Italia yang sepi. Restoran itu seperti sisa dari masa lalu yang menolak direvitalisasi: lampu kuning temaram yang menggantung rendah, kursi kayu yang berderit setiap kali bergeser, dan seorang pelayan tua yang bergerak dan berbicara pelan seolah takut mengganggu hantu-hantu yang mungkin sedang ikut bersantap.


Namanya “La Finestra”, Jendela.

Mereka tidak banyak bicara di awal. Rei, sang suami, sibuk memutar-mutar gelas anggur merahnya, memperhatikan bagaimana cahaya lampu pecah di permukaannya. Anya, istrinya, merobek-robek roti bawang putih dengan presisi yang dingin. Masing-masing sibuk dengan sendok-garpu, dengan bayangan mereka sendiri yang memanjang di atas taplak meja putih. Musik instrumental biola mengalun di latar, tapi tak ada yang mereka kenali. Seperti pernikahan mereka; yang kini menjadi melodi latar yang terus berputar, namun maknanya telah lama hilang.

Lalu, saat gelas anggur kedua hampir kosong, Anya meletakkan garpunya dengan suara denting yang terasa lebih keras dari seharusnya di tengah kesunyian itu.

“Apa kau masih mencintaiku?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa peringatan. Seperti batu yang dilempar ke permukaan danau yang tenang. Rei tidak langsung menatapnya. Ia terus memandangi gelasnya, seolah jawaban tertera di dasar ampas anggur. Ia tidak menjawab. Bukan karena tidak tahu, dirinya hanya tidak ingin berdusta. Dan keheningan yang menyusul setelahnya jauh lebih jujur daripada kata “ya” mana pun.

“Aku tidak tahu apa arti kata itu lagi, An,” jawab Rei akhirnya, suaranya rendah. “Apakah ‘cinta’ itu saat aku memastikan mobilmu sudah diservis? Atau saat aku membelikan obat maag untukmu tanpa kau minta? Jika itu, maka ya. Tapi jika yang kau maksud adalah getaran yang membuat perutmu mulas dan duniamu jungkir balik… aku rasa kita sama-sama tahu jawabannya.”

Anya tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. “Jadi cinta sudah berubah jadi daftar tugas. Seperti membayar tagihan atau membuang sampah.”

“Bukan begitu,” sanggah Rei, meski ia tahu ada kebenaran di sana. “Itu evolusi. Kita sudah melewati fase gunung berapi. Sekarang kita di fase… dataran rendah yang subur. Tenang. Aman.”


“Aman atau membosankan, Rei?” potong Anya. “Bahkan saat kita bercinta, rasanya seperti merapikan kamar yang tidak akan pernah dipakai lagi. Kita melakukannya karena itu adalah bagian dari jadwal, bagian dari pemeliharaan rumah tangga.”

Setiap kalimat adalah pisau kecil yang diasah dengan baik, menusuk tanpa menimbulkan darah. Mereka tidak berteriak. Mereka tidak membanting meja. Mereka membicarakan keruntuhan pernikahan mereka dengan sopan santun yang mengerikan, seolah sedang mendiskusikan cuaca.

“Kita kehilangan spontanitas,” kata Rei, lebih pada dirinya sendiri.

“Kita kehilangan diri kita,” koreksi Anya. “Kau tenggelam dalam pekerjaanmu, aku tenggelam dalam mengurus Bintang dan rumah ini. Kita adalah dua orang yang tinggal di alamat yang sama, tapi di zona waktu yang berbeda.”

Pelayan tua itu datang untuk mengangkat piring mereka, gerakannya sama sekali tidak terganggu oleh medan perang senyap di meja itu. Mungkin ia sudah melihat puluhan pasangan seperti mereka. Pasangan yang datang untuk merayakan, namun berakhir dengan menggali kuburan.

Ketika pelayan itu pergi, sebuah ide gila dan putus asa muncul di mata Anya. Ide yang lahir dari anggur dan kelelahan batin.

“Bagaimana kalau kita lakukan sesuatu malam ini?” usulnya.

“Sesuatu seperti apa?”

“Kita tinggalkan mobil di sini. Kita keliling kota sampai subuh. Jalan kaki, naik taksi, apa saja. Kita kunjungi lagi tempat-tempat kita yang dulu. Kita coba cari lagi sisa-sisa dari dua orang yang pernah jatuh cinta di kota ini.” Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya yang biasanya sayu kini menyala dengan intensitas yang sudah lama tidak Rei lihat. “Kalau sampai matahari terbit kita masih bisa menemukan cinta itu lagi, meski hanya secuil, hanya sebesar debu, kita akan mencoba lagi. Sungguh-sungguh mencoba. Tapi kalau tidak…”

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tidak perlu.

“…Kalau tidak, kita akan tahu bahwa ini memang sudah selesai,” Rei menyelesaikan kalimat itu untuknya.

Malam pun bergulir seperti mata jam rusak yang tak bisa mundur, tapi juga tak benar-benar maju. Mereka setuju. Sebuah pertaruhan terakhir, dengan tiga belas tahun pernikahan sebagai taruhannya.

Mereka meninggalkan restoran, berjalan ke dalam pelukan malam Jakarta yang lembap. Udara terasa berat, dipenuhi aroma knalpot dan sisa hujan sore. Mereka tidak memanggil taksi. Mereka berjalan tanpa tujuan, membiarkan kaki membawa mereka ke mana pun.

Langkah mereka membawa mereka ke sebuah taman kecil yang remang-remang, tempat sebuah bangku kayu tua berdiri di bawah pohon trembesi yang rindang.

“Kau ingat bangku ini?” tanya Anya, suaranya lebih lembut sekarang.

“Tentu saja,” jawab Rei. “Di sini aku pertama kali memberanikan diri menggenggam tanganmu. Tanganmu dingin sekali waktu itu.”

“Aku gugup,” aku Anya. “Kau baru saja selesai bercerita tentang mimpi-mimpimu. Tentang menjadi fotografer untuk National Geographic. Tentang menangkap jiwa sebuah tempat dalam satu frame.” Ia duduk di bangku itu, menepuk ruang kosong di sebelahnya. Rei ikut duduk. Derit kayu bangku itu terdengar seperti keluhan.

“Dan kau bercerita tentang toko rotimu,” kenang Rei. “Sebuah toko kecil dengan pintu berwarna biru, yang menjual croissant paling renyah se-Jakarta. Kau bahkan sudah punya namanya: ‘Anya’s Oven’.”

Mereka terdiam, membiarkan hantu dari mimpi-mimpi mereka yang telah dikorbankan duduk di antara mereka. Mimpi-mimpi itu tidak mati dengan tragis; mereka mati pelan-pelan, terkikis oleh cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan kebutuhan untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.

“Apa kau menyesal?” tanya Rei.

“Menyesal tidak membuka toko roti?” Anya menggeleng. “Tidak. Aku punya Bintang. Itu lebih dari cukup. Tapi kadang aku bertanya-tanya, siapa perempuan yang akan kuajak bicara di cermin jika aku benar-benar membukanya? Apakah ia akan lebih bahagia?”

“Mungkin hanya lebih lelah,” kata Rei, mencoba menghibur.

“Mungkin. Tapi itu lelah yang berbeda, Rei. Lelah karena mengejar sesuatu yang kau cintai.”

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini menyetop sebuah taksi tua. Di dalam, radio menyiarkan lagu-lagu pop dari era 90-an. Sopirnya seorang bapak tua yang terus-menerus mengunyah permen jahe.

“Ke mana, Pak, Bu?”

“Jalan saja, Pak. Putar-putar,” jawab Rei.

Mereka melewati sebuah gedung bioskop tua yang kini terbengkalai. Posternya sudah robek dan pudar, tapi Rei masih bisa membaca judulnya: “Ada Apa Dengan Cinta?”.

“Kita nonton itu tiga kali,” kata Rei sambil tersenyum tipis.

“Dan setiap kali adegan ciuman di bandara, kau selalu meremas tanganku begitu kencang,” tambah Anya. “Dulu kau romantis.”

“Dulu aku punya waktu untuk itu,” balas Rei. “Sekarang, romantis itu adalah ingat di mana kau menaruh kunci mobil.”

Tawa kecil keluar dari bibir Anya, tawa pertama malam itu. Tapi bunyinya serak, seperti mesin yang lama tidak dipakai.

Perjalanan mereka terasa seperti sebuah ziarah ke masa lalu. Mereka mampir di sebuah warung kopi 24 jam yang sama di mana mereka pernah berteduh dari hujan deras, menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan dua cangkir kopi dan obrolan tak berujung. Sekarang mereka duduk di sana, memesan kopi yang sama, tapi keheningan di antara mereka terasa lebih pekat daripada ampas kopi di dasar cangkir.

Di tengah perjalanan tanpa tujuan itu, saat melewati sebuah jalanan yang gelap dan sepi di kawasan kota tua, Anya menunjuk ke sebuah cahaya redup. “Lihat. Berhenti di sana.”

Itu adalah sebuah toko buku. Satu-satunya yang buka di deretan ruko yang gelap. Papan namanya terbuat dari kayu, dengan ukiran tulisan tangan: “Lentera Waktu”.

“Untuk apa ke toko buku tengah malam begini?” tanya Rei.

“Entahlah,” jawab Anya. “Rasanya seperti kita harus ke sana.”

Mereka masuk ke dalam. Udara di dalam terasa hangat dan beraroma kertas tua. Ribuan buku menjulang hingga ke langit-langit, menciptakan labirin-labirin sempit. Di balik meja kasir, seorang lelaki tua dengan rambut putih tipis dan kacamata tebal sedang memoles sebuah jam saku tua dengan kain flanel. Ia mendongak saat mendengar lonceng pintu berbunyi.

“Selamat malam,” sapanya, suaranya tenang dan dalam. “Jarang sekali ada pengunjung selarut ini.”

“Maaf mengganggu, Pak. Kami hanya lewat,” kata Rei.

Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang seolah menyimpan banyak sekali rahasia. “Tidak ada yang namanya ‘hanya lewat’. Setiap persimpangan adalah pilihan.” Ia meletakkan jam sakunya dan menatap mereka berdua lekat-lekat. “Ah,” desahnya pelan. “Kalian lagi.”

Rei dan Anya saling berpandangan, bingung. “Maaf, Pak?”

“Kalian yang versi lebih muda,” lanjut lelaki tua itu, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia. “Sudah lama sekali tidak mampir. Terakhir kali ke sini, kalian membeli buku puisi Dee. Si pemuda bilang, ia ingin menulis puisi untuk si gadis, tapi ia tidak cukup pandai merangkai kata.”

Rei merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia memang pernah membeli buku itu bersama Anya, bertahun-tahun yang lalu. Di sebuah toko buku bekas, tapi ia tidak yakin apakah ini tempatnya.

“Mungkin Bapak salah orang,” kata Anya, suaranya sedikit bergetar.

“Waktu itu seperti sungai, Nak,” kata si penjual buku, matanya menerawang. “Kadang arusnya deras, kadang tenang. Kadang ia membuat pusaran, di mana masa lalu dan masa kini bertemu sejenak. Kalian mungkin sedang berada di dalam pusaran itu.” Ia berjalan keluar dari balik mejanya, mendekati mereka. “Buku adalah kapsul waktu. Setiap kali dibuka, ia melepaskan hantu dari saat ia ditulis dan saat ia pertama kali dibaca. Masalahnya, banyak orang takut membuka kembali buku-buku lama mereka. Mereka takut menemukan bahwa halaman-halaman awal ternyata jauh lebih indah daripada halaman terakhir.”

Keheningan menyelimuti mereka bertiga, hanya dipecah oleh detak ritmis dari jam dinding besar di sudut ruangan.

“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya lelaki tua itu, kembali ke nada bicaranya yang normal. “Mungkin kalian mencari buku untuk memperbaiki sesuatu?”

“Apa ada buku panduan untuk… mengingat cara mencintai?” tanya Anya, setengah bercanda, setengah putus asa.

Lelaki tua itu terkekeh pelan. “Buku seperti itu tidak perlu ditulis, Nak. Karena ceritanya sudah ada di dalam diri kalian sendiri. Kalian hanya perlu keberanian untuk membacanya dari awal sampai akhir, tanpa melewatkan bab-bab yang menyakitkan.”

Mereka meninggalkan toko buku itu dengan perasaan aneh, seolah baru saja keluar dari sebuah mimpi. Kata-kata penjual buku itu meninggalkan jejak di kepala Rei. Bab-bab yang menyakitkan.

Hujan mulai turun saat mereka kembali ke jalanan. Awalnya hanya gerimis, lalu berubah menjadi deras. Mereka berlari mencari tempat berteduh dan berakhir di sebuah halte bus yang kosong. Suara hujan yang menghantam atap seng halte terdengar seperti tepuk tangan yang riuh.

Di sanalah, di tengah isolasi yang diciptakan oleh hujan, Anya akhirnya membuka bab yang paling menyakitkan.

“Kita tidak pernah benar-benar membicarakannya, kan?” katanya pelan, matanya menatap genangan air di jalan.

Rei tahu apa yang ia maksud. “Tidak ada yang perlu dibicarakan. Itu keputusan kita bersama.”

“Itu keputusanku,” koreksi Anya. “Dan kau hanya setuju karena kau tidak ingin terlihat seperti bajingan. Aku melihatnya di matamu, Rei. Kelegaan. Kau lega karena kita tidak perlu menambah beban lagi saat itu.”

Tiga tahun setelah Bintang lahir, Anya hamil lagi. Saat itu, bisnis Rei sedang di ujung tanduk, dan mereka baru saja membeli rumah. Mereka sepakat—atau lebih tepatnya, Anya memutuskan dan Rei tidak membantah—untuk tidak melanjutkannya. Aborsi itu menjadi hantu ketiga dalam pernikahan mereka, hantu yang tidak pernah diberi nama.

“Aku takut,” aku Rei, suaranya hampir tak terdengar di antara deru hujan. “Aku takut gagal. Takut tidak bisa mencukupi kalian. Aku lemah, An.”

“Aku tidak butuh kau menjadi kuat,” isak Anya, air matanya akhirnya tumpah, menyatu dengan tempias hujan. “Aku hanya butuh kau di sana. Benar-benar di sana. Tapi saat aku kembali dari klinik hari itu, kau menyambutku dengan makan malam yang kau pesan, seolah-olah aku baru pulang dari salon. Kau tidak memelukku. Kau tidak bertanya bagaimana perasaanku. Kau hanya… melanjutkan hidup.”

Rasa bersalah yang selama ini Rei kubur dalam-dalam kini menyeruak ke permukaan, mencekik lehernya. Ia ingat hari itu. Ia ingat kebingungannya, ketakutannya sendiri, dan bagaimana ia memilih jalan termudah: berpura-pura semuanya baik-baik saja.

“Maafkan aku,” bisiknya. Hanya itu yang bisa ia katakan. Kata-kata terasa begitu murah dan tidak berguna.

Ia meraih tangan Anya. Kali ini, tangannya yang terasa dingin. Mereka duduk di sana dalam diam, bergandengan tangan di tengah badai, dua orang yang sama-sama terluka, akhirnya mengakui luka yang sama. Hujan perlahan reda, menyisakan keheningan yang basah dan bersih. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semuanya telah terucap.

Menjelang subuh, langit mulai memunculkan semburat jingga pucat di ufuk timur. Udara terasa dingin dan segar. Mereka berjalan kaki lagi, entah bagaimana, langkah mereka menuntun mereka ke taman bermain di dekat kompleks perumahan mereka. Taman tempat Bintang biasa bermain.

Tempat itu kosong dan sunyi. Ayunan masih basah oleh sisa hujan. Mereka duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap ke perosotan berwarna kuning.

Keheningan di antara mereka kini berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggung atau marah. Ini adalah keheningan yang lelah, yang pasrah. Keheningan setelah badai.

Anya merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dan sebuah pulpen. Ia menulis sesuatu dengan cepat, lalu melipatnya kembali.

“Pegang ini,” katanya sambil menyerahkan kertas itu pada Rei. “Jangan dibaca sekarang. Simpan saja di dompetmu, atau di saku jas yang jarang kau pakai. Kalau suatu hari nanti kau lupa kenapa kita pernah menikah, kalau kau lupa malam ini, bacalah ini.”

Rei menerima kertas itu. Terasa berat di tangannya, lebih berat dari bobotnya yang sesungguhnya. Ia memasukkannya ke saku dalam jaketnya tanpa bertanya.

Mereka duduk di sana sampai matahari benar-benar terbit, mewarnai awan dengan gradasi merah muda dan emas. Pagi datang, membawa serta kenyataan. Pertaruhan mereka sudah berakhir.

“Jadi?” tanya Rei pelan. “Apa kita menemukan sesuatu?”

Anya menatap lurus ke depan, ke arah perosotan yang mulai disinari matahari. “Aku tidak tahu, Rei,” jawabnya jujur. “Aku hanya merasa… lelah.”

Mereka bangkit dan berjalan pulang bersama. Bahu mereka sesekali bersentuhan, tapi mereka tidak saling menggenggam tangan. Tidak ada keputusan yang diambil malam itu. Mereka hanya terus berjalan, seperti yang telah mereka lakukan selama tiga belas tahun terakhir.

Dua tahun kemudian, surat cerai itu tiba diantar kurir pada suatu sore yang mendung. Prosesnya berjalan dengan tenang dan dewasa, tanpa drama. Mereka telah terlalu lelah untuk bertengkar lagi. Rei pindah ke sebuah apartemen kecil di pusat kota. Bintang tinggal bersama Anya, dengan Rei mengunjunginya setiap akhir pekan.

Suatu hari, sekitar setahun setelah perceraian, Bintang yang kini berusia sepuluh tahun, sedang menginap di apartemen ayahnya. Saat mencari sesuatu di lemari, ia menemukan sebuah jas tua milik Rei yang sudah lama tidak terpakai. Dari saku bagian dalamnya, ia menarik keluar secarik kertas yang sudah sedikit lecek dan menguning.

Karena penasaran, ia membukanya. Tulisan tangan ibunya yang rapi tertera di sana. Hanya satu kalimat.

Sebuah kalimat yang ditulis di sebuah taman bermain saat fajar, dua tahun yang lalu.

Kalimat yang seharusnya dibaca oleh ayahnya, namun terlupakan.

“Aku ingin jatuh cinta lagi padamu, tapi aku tak tahu caranya.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Cerita Waktu yang Tak Lagi Sama
Rezky Ananda
Cerpen
SISA CINTA DITELAN FAJAR
IGN Indra
Novel
Bronze
L.I.B.R.A
Septiani Nurhayati Effendi
Cerpen
Sayap di langit senja
Erlangga Putra
Novel
Gold
Jejak Cinta 20 Tahun Berlalu
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Pelangi Meet Awan
Senandung
Novel
MENGEJAR CAHAYA
Wini Afiati
Flash
Sisi Keromantisanku
Rini Widyastuti
Cerpen
Bronze
Tanganku di Timur, Hatimu di Barat
Jasma Ryadi
Novel
Why Fall in Love?
AkuOsa
Novel
Bronze
ARKANA -Imperfect Love
Ninik Kinin
Novel
Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan
Agita Anggita
Flash
Bronze
Kakak iparku yang menggoda
yati and abi
Novel
Bronze
GUPTA
Melrasa
Flash
Bronze
Suhu Nol Pada Seratus Derajat
Silvarani
Rekomendasi
Cerpen
SISA CINTA DITELAN FAJAR
IGN Indra
Cerpen
CINTA TAK PERNAH SAMPAI
IGN Indra
Cerpen
KAMAR 303
IGN Indra
Flash
KURSI ROTAN & SEPOTONG INGATAN
IGN Indra
Cerpen
LEIL FATTAYA
IGN Indra
Flash
REBUSAN KOSONG
IGN Indra
Flash
MANGKAT
IGN Indra
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Flash
PURA PURA WARAS
IGN Indra
Flash
HUJAN DI BALKON SEBELAH
IGN Indra
Cerpen
KAMAR NO 7 DAN AROMA LAVENDER
IGN Indra
Flash
PAJANGAN LEMARI KACA
IGN Indra
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Flash
Cinta Pergilah, Hari Sudah Malam
IGN Indra
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra