Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Siomay Terakhir
3
Suka
710
Dibaca

Aku tidak pernah menyangka bahwa sebuah pertemuan sederhana bisa meninggalkan jejak sedalam ini, apalagi jika pertemuan itu ternyata yang terakhir. Dia adalah sahabat kecilku. Aku memanggilnya Zizi. Kami sebaya, tinggal di sebuah sudut desa yang indah dan asri.

Zizi adalah tetangga yang sejak kecil menjadi teman sepermainan, teman pergi mengaji, teman bermain hujan-hujanan, sekaligus teman bercanda kala listrik padam di rumah Teungku Mahli, tempat kami mengaji iqra. Masa kecil terasa lebih indah karena ada dia.

Malangnya, waktu memisahkan kami. Waktu itu, ayahku sebagai pegawai negeri sipil dipindahtugaskan ke sebuah kabupaten yang jauh. Jarak tempuh mencapai tujuh jam perjalanan, dan tentu saja aku harus ikut pindah bersama orang tuaku. Perpisahan itu tanpa kata pamit. Sejak saat itu, komunikasi antara aku dan Zizi hilang begitu saja. Telepon genggam belum setenar sekarang, surat pun jarang terkirim, dan aku sebenarnya tidak mahir menulis surat kala itu. Hidup terus berjalan hingga aku terbiasa dengan ketiadaan kabar tentang dirinya. Aku pikir, mungkin begitulah cara Allah merajut asa tanpa kehadiran Zizi.

Tahun-tahun pun berlalu. Aku sudah beranjak dewasa di umur 22 tahun. Aku kemudian kuliah di sebuah universitas islam negeri di pusat kota, menekuni dunia yang penuh dengan buku, tugas, dan organisasi. Sementara itu, tanpa kusadari Zizi memilih jalan luar biasa. Dia diterima di fakultas kedokteran universitas ternama dengan akreditasi A di kota yang sama. Seolah-olah Allah menggariskan takdirku untuk tetap menetap di kota itu bersamanya, meski kami menempuh jalan berbeda.

Sampai suatu hari, semesta mempertemukan aku dengan Zizi kembali. Aku masih ingat jelas hari itu. Pagi yang lembap setelah hujan semalam mengguyur kota yang dipenuhi mahasiswa dari berbagai daerah. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Waktu itu, ponsel yang kugunakan bukanlah yang berlayar sentuh seperti sekarang. Melainkan, hanya ponsel dengan layar monokrom sederhana, tombol fisik kokoh, fitur dasar berupa panggilan telepon, SMS, dan permainan ular-ularan Snake.

“Assalamu’alaikum, Fit… ini aku Zizi. Masih ingat gak? Rindu rasanya. Kapan aku bisa main ke kosmu? Gpl

Aku tertegun lama, menerka-nerka, mengajak seluruh sel sarafku untuk mengingat nama ini. Rasanya tidak percaya, nama itu muncul lagi setelah bertahun-tahun. Aku membaca pesan itu berulang kali, takut salah paham. Jantungku berdebar. Ada haru yang tiba-tiba menyelimuti batin hingga mengundang air bening berteduh di sudut mataku.

Segera aku membalas.  “Wa’alaikumsalam, Masyaallah Zizi. Tentu saja masih ingat. Datanglah, aku tunggu di kos yaa. Alamatnya Jln. Inong Bale, rumah keempat sebelah kiri kampus.”

Hari itu menjadi salah satu hari paling indah dalam hidupku. Zizi benar-benar datang tanpa banyak bertanya di mana alamat yang kusebutkan. Entah dari mana dia tahu nomor ponselku. Senyumnya sama seperti dulu, hangat dan menenangkan. Kami berpelukan, melepaskan semua rindu yang terkubur bertahun-tahun.

Kami duduk berhadapan di kamar kos sederhana, sambil mengunyah siomay yang dia beli dua bungkus di depan gang kampus. Entah mengapa, siomay itu terasa lebih lezat dari biasanya. Mungkin karena dibumbui rindu menahun.

Percakapan mengalir begitu saja. Kami bercerita tentang masa kecil, tentang jalanan kampung, tentang guru mengaji yang selalu mengulang bacaan saat kami salah. Lalu, berlanjut ke cerita kuliah. Aku dengan skripsi yang mulai menumpuk, dia dengan cerita panjang tentang koas di rumah sakit umum pusat kota.

“Capek Fit,” katanya sambil tertawa. “Tapi rasanya bahagia. Jadi dokter koas itu seperti benar-benar harus mahir membaca manusia, dengan berbagai keluhan pasien. Semua itu mengingatkan Zizi untuk selalu bersyukur, walau tak sama seperti waktu belajar di kampus.”

Aku menatapnya dengan kagum. Zizi yang kukenal sejak kecil kini tumbuh menjadi pribadi tulus, seolah-olah jiwanya memang Allah ciptakan untuk menyembuhkan.

Dua jam lebih kami bercerita tanpa henti. Sebelum pulang, Zizi berkata sambil merangkul pundakku, “Kapan-kapan main ke kos aku ya. Kalau nggak ada kendaraan, SMS aja. Nanti aku jemput.”

Aku tersenyum, mengangguk ringan. “Iya, Zi. Nanti aku main ya.”

Hari itu kami saling bertukar novel kesukaan. Dia memberikan sebuah buku yang katanya sangat ia cintai, Episode Cinta Sang Murabbi. Aku tidak tahu bahwa itu adalah warisan terakhir yang akan kujaga sepanjang hidupku.

Ternyata, hidup tak pernah menunggu. Aku larut dalam kesibukan tugas akhir. Waktu makin sempit. Janji untuk main ke kos Zizi tak pernah terwujud.

“Besok saja.”

“Lusa saja.”

“Nanti setelah jumpa pembimbing.”

Begitu terus aku menunda, seakan-akan aku punya jaminan bahwa waktu akan terus menungguku. Aku tidak tahu, Allah punya rencana lain.

Suatu sore, aku mendapat kabar itu. Zizi pergi untuk selamanya. Aku terdiam, tidak percaya. Aku membalas SMS dari nomor Zizi, tapi isinya berbeda dari biasanya. Aku bertanya berulang-ulang, memastikan bukan Zizi yang kukenal. Dunia seakan runtuh. Dia pergi saat sedang istirahat dari lelah di atas ranjang ruang rawat inap, tempat dia melaksanakan tugas koasnya.

Aku menangis, air mataku jatuh tak terbendung. Rasanya dadaku sesak, seolah-olah ada ruang kosong yang tiba-tiba terbuka lebar. Aku tidak sempat menepati janjiku. Tidak sempat menemuinya lagi. Tidak sempat mengatakan betapa aku bersyukur dipertemukan kembali dengannya.

Dia wanita anggun, berbalut pakaian muslimah. Kulitnya putih bersih, pipinya menggemaskan. Dalam linangan air mata, aku seakan melihat dia tersenyum ceria, melahap bola-bola siomay saat kami bercerita tiga minggu lalu. Betapa cepat waktu berlalu.

Novel yang ia titipkan masih ada di rak bukuku. Sampulnya sedikit lusuh, tapi kujaga seakan-akan itu harta paling berharga. Setiap kali kubuka halaman itu, aroma kenangan kembali menyeruak—tawa Zizi, cerita siomay, dan senyum hangat yang meneduhkan.

Kini, bertahun-tahun sudah berlalu. Aku masih sering mengingatnya, mengirimkan satu surah kecil Al-Fatihah. Semoga, jika di dunia aku tidak sempat menepati janjiku, kelak aku bisa bertemu lagi dengannya. Bukan di kos kecil atau jalanan kampus, melainkan di taman surga Allah yang abadi.

Kadang aku berpikir, mengapa Allah memilih cara ini untuk mempertemukan sekaligus memisahkan kami. Namun, aku yakin, segala sesuatu yang hadir dalam hidup kita tidak pernah sia-sia. Zizi datang kembali ke hidupku, meski sebentar, untuk mengingatkanku tentang arti persahabatan, janji yang tak boleh diabaikan, dan rasa syukur atas setiap detik yang kita punya.

Ada kalanya aku membuka kembali novel pemberiannya. Di setiap lipatan halaman, seolah aku menemukan secuil jejaknya. Tulisan tangannya di sudut sampul, tanda kecil di lembar tertentu, bahkan aroma buku yang lama tersimpan di rak kos kini serupa jembatan waktu yang menghubungkan aku dengan dirinya. Rasanya, Zizi masih hadir, masih duduk di sampingku sambil tersenyum, dengan mata yang berbinar penuh ketulusan.

Aku belajar bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Kehilangan justru mengajarkan betapa berharganya pertemuan. Jika dulu aku sering menunda untuk sekadar berkunjung, kini aku berusaha lebih peka terhadap orang-orang di sekelilingku. Aku tidak ingin lagi menunda kebaikan, karena kita tidak pernah tahu, siapa yang akan Allah panggil lebih dulu.

Zizi memang sudah tiada, tetapi kenangan bersamanya tetap hidup di dalam hatiku. Setiap kali aku menyantap siomay, aku selalu teringat momen sederhana itu: dua sahabat, sepiring siomay, dan tawa yang menutup jarak bertahun-tahun.

Semoga kelak, Allah benar-benar mempertemukan kami lagi. Bukan di dunia yang fana, melainkan di surga, di bawah naungan kasih sayang-Nya, dengan tawa yang tidak akan pernah terhenti.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Siomay Terakhir
Fitriyani
Cerpen
Bronze
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Imas Hanifah N.
Cerpen
Virus Mulut Tetangga
Khairaniiii savira
Cerpen
Bronze
Melawan Dunia
Geovania Loppies
Cerpen
Meletus Sebelum Januari
HIJACKED LIBRARY
Cerpen
Bronze
Harapan dari Sepiring Nasi
Saifoel Hakim
Cerpen
Bronze
LANDAK MINI SANG PENOLONG NAN PEMBERANI
Olaf A Gerrits
Cerpen
Bronze
UANG IURAN KELUARGA
N. HIDAYAH
Cerpen
Bronze
Memeluk Kaktus
Cicilia Oday
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Cerpen
Cewek itu Gula
Astromancer
Cerpen
Marriage Deadline
Nadya Atika
Cerpen
Orang-Orang Pojok
Aniq Munfiqoh
Cerpen
Bronze
Jejak Dunia Maya
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Si Pendidikan Negeri Sipil Bag-1
spacekantor
Rekomendasi
Cerpen
Siomay Terakhir
Fitriyani
Novel
Meja Otopsi
Fitriyani
Cerpen
Petualangan Lima Penjaga Energi
Fitriyani