Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kalah lagi,” keluh Ginting setelah dikalahkan raja terakhir dari game. Menyadari pria itu yang hanya bermalas-malasan dari tadi, Sari pun mencabut kabel televisi. Ginting sontak mendongak ke arahnya.
“Kenapa mencabutnya?! Aku bahkan belum menyimpan levelnya, kalau seperti ini aku harus bermain dari awal lagi,” Ginting berdecak lalu menghela nafas kasar.
“Jika kamu punya banyak waktu luang, setidaknya gunakan itu untuk membantuku. Kita masih punya projek lain, yang perlu diurus,” Sari menatap tajam padanya. Sementara itu Ginting menutup telinga seolah tidak ingin dinasihati.
Sari mengetikkan angka di ponselnya, sebuah nada tersambung ke nomor seseorang. Ginting pun langsung merebut ponsel Sari.
“Iya iya aku mengerti. Jangan adukan aku ke Prof Bertho, nanti pria tua itu akan membunuhku,” ujar Ginting.
Sari menghela nafas, lalu ia menyerahkan sebuah dokumen pada Ginting yang tebalnya sudah seperti kamus. Pria itu pun membukanya, membaca halaman demi halaman. Sintak Mangilas begitulah buku itu ditulis dengan huruf-huruf timbul berwarna biru keemasan.
“Ini projek baru kita, aku ingin kamu menyiapkan semuanya,” Sari memberi perintah pada Ginting.
“Merepotkan. Lihar? Orang ini terlihat berbahaya, aku tidak ingin berurusan dengannya,” Ginting mengerucutkan bibirnya, lalu meletakkan buku tersebut di meja.
“Kamu tidak bisa menyimpulkan seseorang hanya dari penampilannya saja,” cibir Sari.
Ginting menghela nafas,”Aku bisa tahu menyebalkan atau tidak seseorang, hanya dari wajahnya saja. Aku sudah membaca penelitiannya, kalo tidak salah judulnya itu The Science of Face Perception, mereka mengatakan kepribadian seseorang dapat mempengaruhi ekspresi wajah mereka,”
“Itu tidak bisa dijadikan patokannya dan masih perlu dipertimbangkan, mengingat banyak faktor lain,” Sari mematahkan argumen Ginting,”sudahlah, jangan banyak bicara. Kalo ingin kerja denganku, sedikit bicara banyak bertindak,” kemudian Sari pun pergi meninggalkan Ginting sendirian.
….
“Ini penghinaan! Bagaimana kalian bisa menyebut game ini aman saja, sementara ada begitu banyak narasi yang menyudutkan kami para perempuan,” bentak seorang wanita dengan ikat kepala berwarna putih, bertuliskan kami perempuan.
Keamanan dari Perusahaan Air Sean berusaha untuk menghalangi kerumunan massa pendemo, yang akan menerobos masuk. Semenjak rilisnya game Pain for Men, kontroversial muncul dan menimbulkan kehebohan. Air Sean yang termasuk perusahaan raksasa, membuat banyak narasi yang menyudutkan perempuan. Sehingga hal itu mendorong timbulnya stigma negatif tentang perempuan di kalangan laki-laki.
“Jika terus begini, maka kemungkinan besar protes itu akan semakin meluas, Pak,” Sani membenarkan kacamatanya dengan raut wajah cemas.
“Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa, bahkan termasuk game Pain for Men,” Lewar mendengus kesal,"para wanita itu terlalu membesar-besarkan, hanya karena tidak ada pilihan gender didalamnya. Juga menjadikan wanita sebagai monster buas dengan tokoh-tokoh utamanya adalah laki-laki, tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi atau apalah itu sebutannya,”
“Tapi pak—”
“Sudah menjadi kebebasan bagiku sebagai perusahaan game, untuk membuat jenis game yang kusukai. Tidak ada siapapun yang berhak menuntutku atas itu,” dengan penuh tekad Lewar mengatakannya. Sorot mata yang penuh keangkuhan itu, tidak bisa Sani bantah.
Lewar dikenal sebagai bos yang kejam, banyak media menyoroti dari sikap Lewar dalam memperlakukan perempuan. Bahkan pria itu tidak segan-segan mengeluarkan argumen yang menolak keras kesetaraan perempuan.
“Dalam sejarah saja, kita melihat dan menyaksikan bahwa wanita dan laki-laki tidak bisa setara. Apa kalian lupa, bahwa kesalahan pertama terjadi karena kesalahan wanita, ketika Hawa terus membujuk dan mendesak Adam agar memakan buah terlarang. Itu isyarat bahwa perempuan tidak bisa diandalkan sepenuhnya,” tutur Lewar dalam konferensi pers. Ucapan tersebut jelas menyulut emosi dari komunitas perempuan. Protes itu tidak hanya ucapan yang tertempel dispanduk, melainkan terror-teror mengerikan yang menjadi mimpi buruk bagi Lewar.
Ulasan negatif terus bermunculan tanpa henti, membuat game Pain for Men yang baru dirilis disebut sebagai game terburuk oleh sebagian masyarakat. Lewar yang awalnya percaya diri pun, semakin lama keberaniannya mulai menciut.
“Maafkan aku. Tapi kerjasama ini terlalu beresiko untuk dilanjutkan,” Sam tetap teguh dengan pendiriannya, menolak perpanjangan kontrak.
“Kumohon Sam, kita sudah lama bekerja sama dalam hal ini. Hanya karena ulasan negatif di satu game, kamu tidak bisa memutuskan kontraknya begitu saja,” Lewar terus memohon, terpaksa demi kelangsungan perusahaannya, ia rela menunjukkan sisi lemahnya di depan orang lain.
Sam menggeleng,”Aku tidak bisa. Resikonya terlalu besar, sebaiknya kamu atasi masalahmu dulu. Setelah semua selesai, aku akan pertimbangkan untuk bekerjasama denganmu,”
Komunitas perempuan dari berbagai wilayah bahkan negara, dengan gencar terus menyuarakan kesetaraan gender. Foto Lewar yang dicetak besar, menghiasi penjuru kota. Tulisan dengan cat berwarna merah itu, memberikan penegasan pada julukan “Penjahat Gender.”
Lewar kesal ketika melihat semua koran yang dikirim ke rumahnya, hanya berisi pemberitaan dirinya. Ia melemparkan koran tersebut ke sembarang arah. Nafasnya yang naik turun, dengan nafas memburu membuat ia tidak henti-hentinya memukul tembok.
“Brengsek!” teriak Lewar,”Apa salahku? Orang-orang itu tidak mengerti hebatnya dari gameku, untuk itulah mereka terus menggerutu seperti anjing. Untuk inilah aku selalu membenci perempuan, merengek dan menangis seenaknya,..Arghh,” lanjut Lewar meracau.
Terdengar suara bel, Lewar mengira bahwa itu pasti wartawan yang mendesaknya untuk memberi keterangan. Dengan langkah cepat, ia membuka pintu.
“Sudah kubilang berhenti mengangguku,” jerit Lewar.
“Selamat pagi, Pak,” Seorang wanita dengan perawakan ramping berdiri didepan pintu rumahnya, tanpa membawa kamera atau tentengan khas yang biasa dibawa wartawan,”Maafkan saya, sepertinya saya datang di waktu yang tidak tepat,” wanita itu terlihat merasa bersalah.
“Siapa?” tanya Lewar memandang curiga.
Wanita itu mengulurkan tangannya,”Saya Sari Bundela, dari perusahaan Bundela Corp. Saya disini ingin mengajukan sebuah kerjasama dengan anda,” ia tersenyum ramah pada Lewar.
Lewar menghela nafas,”Aku tidak tertarik, pergilah,”
“Saya mohon pak. Kerjasama dengan anda sangat berarti bagi saya,” Sari memohon pada Lewar.
Lewar terkekeh,”Kamu pasti bercanda. Ah ini prank kan? Semacam lelucon untuk menertawakanku, wanita seperti kalian memang biasa melakukannya, suka mengejek dan merendahkan laki-laki,”
Begitu Lewar akan menutup pintu, Sari dengan cepat menahannya,”Saya jamin anda akan tertarik dengan kerjasama ini. Hanya lima menit saja, saya akan jelaskan semuanya,” karena terus didesak, akhirnya Lewar mengizinkan Sari untuk menjelaskan bentuk kerjasamanya.
Rumah Lewar tampak berantakan, semenjak kekacauan karena protes itu, membuatnya tidak sempat untuk membereskan rumahnya. Meski begitu, Sari sama sekali tidak terusik dengan hal itu. Sehingga Lewar pun heran karenanya.
Sari mengeluarkan sebuah dokumen dari ranselnya. Kemudian menyerahkannya pada Lewar. Pria itu pun membaca dokumen yang tebalnya sudah seperti novel remaja. Satu persatu tanpa meninggalkan satu halaman pun, Lewar membacanya dengan cermat.
“Saya salah satu penggemar anda. Banyak game anda yang saya mainkan, karena itulah impian saya membuat studio yang bisa bekerjasama dengan perusahaan anda,” ujar Sari yang antusias. Sorot matanya yang berbinar, begitu terlihat jelas. Lewar tersipu ketika mendengarnya, tapi ia berusaha menyembunyikannya dan tetap tenang.
“Perlu kamu tahu, aku punya standar tinggi untuk memastikan apakah game yang dibuat itu bagus atau tidak. Aku tidak suka game yang dibuat dengan setengah hati,” Jelas Lewar menatap Sari, seolah menguji keseriusan dari wanita itu.
“Saya mengerti. Untuk itulah saya membawa prototypenya, agar anda bisa melihat kualitasnya secara langsung,” Sari menyerahkan sebuah VR berwarna putih.
“Saya membuat game dengan format farming. Seperti jenis game pada umumnya, pemain punya misi untuk mengembangkan peternakan dan menyelesaikan misi di kota Sintak Mangilas. Dan juga nama kota ini pun menjadi nama permainannya yaitu Sintak Mangilas.” Saking antusiasnya Sari, membuat ia tidak menyadari bahwa Lewar sudah menguap beberapa kali.
“Ini tampak biasa. Apa istimewanya?” Lewar menyenderkan punggungnya ke sofa.
Sari tersenyum percaya diri,” Sintak Mangilas menyediakan hadiah menarik yang berbeda dengan game sejenisnya. Hadiah tersebut bisa didapatkan sesuai tingkat kesulitan. Di Tingkat Easy, hadiahnya adalah uang senilai 10 juta. Tingkat kesulitan Medium, hadiahnya 10 buah emas dengan tingkat kemurnian paling tinggi. Terakhir adalah Hard, khusus untuk tingkat kesulitan ini, pemain bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan meski keinginan itu terdengar sangat mustahil, dan hadiah akan dikirimkan saat itu juga,”
Tawa Lewar membuncah, meski ini terdengar untuk marketing, tapi tetap saja terlalu berlebihan untuk sebuah game. Bukannya memberi keuntungan, bisa-bisa kebangkrutan yang menanti didepan mata.
“Perusahaanmu dalam sebulan pasti sudah bangkrut, jika memakai trik marketing seperti ini,” ejek Lewar.
“Jika anda meragukannya, saya menyarankan untuk memainkannya langsung. Kalo misal ucapan saya bohong, anda bisa menuntut saya,” ujar Sari penuh tekad, membuat Lewar merasa tertantang untuk melihat sehebat apa game yang ia buat ini.
“Baiklah. Saya akan memainkannya,” Lewar menyetujuinya. Ketika ia berniat mengambil VR tersebut, ucapan Sari membuat pria itu terhenti.
“Satu hal lagi, saya tidak menyarankan anda untuk memainkan Sintak Mangilas ini di tingkat Hard, hal itu dikarenakan masih dalam proses pengembangan, sehingga tidak ada jaminan keamanan,” tambah Sari dengan raut wajah yang berubah menjadi serius.
Lewar mengernyitkan dahi,”Apa maksudnya?”
“Berbeda dari tingkat kesulitan easy atau medium, dimana pemain jika mati bisa direspawn lagi, di tingkat kesulitan Hard ini setiap damage yang didapat akan menimbulkan rasa sakit yang sama pada pemain,” Sari lalu mendekatkan dirinya berbisik di telinga Lewar,”bahkan bisa menimbulkan kematian mendadak,”
Selama beberapa saat Lewar terdiam,”Kamu bercanda?”
“Saya serius pak,”
Lewar menghela nafas,”Baiklah aku mengerti. Tapi jika ini bohong akan kutuntut kamu,” ancamnya.
….
Lewar memainkan game Sintak Mangilas, seperti game pada umumnya. Begitu masuk ke dalamnya, ia disuguhkan dengan tampilan menu. Misi yang diberikan pun tidak terlalu sulit baginya, yaitu mengembangkan peternakan dan menyelesaikan masalah di desa. Apa yang dikatakan Sari tentang Sintak Mangilas, benar adanya. Lewar setelah mencoba level Easy dan menyelesaikan permainannya. Sebuah paket datang dengan nominal uang yang tidak sedikit. Lewar mengira itu semacam lelucon, tapi setelah melihat alamatnya. Membuat keraguan dalam dirinya semakin mengikis.
Lewar pun penasaran dengan tingkat kesulitan Medium, dengan hadiah yang didapat adalah 10 batang emas dengan kemurnian paling tinggi. Lewar mencoba untuk memainkan Sintak Mangilas di level Medium. Awalnya, Lewar kesulitan untuk menyelesaikan permainannya, sehingga ia harus berulang kali mengulang di level yang sama. Namun, setelah beberapa jam dan hari, akhirnya ia bisa berhasil menaklukan tingkat kesulitan Medium. 10 batang emas dikirim langsung ke rumahnya, bahkan Lewar pun pergi ke toko emas untuk membuktikan keasliannya.
“Ini asli pak,”ujar pemilik toko setelah memeriksa emas milik Lewar.
Berkat Sintak Mangilas, perekonomian Lewar semakin stabil. Ia tidak perlu bergantung pada pekerjaannya. Bahkan dengan uang ini, Lewar bisa memulihkan perusahaannya. Namun, namanya terlanjur kotor. Pria itu tidak memiliki tempat di masyarakat. Komentar jelek terus muncul tanpa henti, sebentar saja Lewar keluar rumah, para awak media akan mengerubunginya bersamaan dengan orang-orang yang sudah diliputi kebencian.
Lewar pun mulai teringat dengan game Sintak Mangilas, salah tingkat kesulitannya bisa mengabulkan permohonan apapun, meski itu mustahil.
“Satu hal lagi, saya tidak menyarankan anda untuk memainkan Sintak Mangilas ini di tingkat Hard, hal itu dikarenakan masih dalam proses pengembangan, sehingga tidak ada jaminan keamanan,”
Keraguan muncul dalam diri Lewar. Namun ia sadar bahwa situasi ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Ia ingin segera mengembalikan hidupnya.
Tampilan menu di tingkat kesulitan Hard, berbeda dari Easy dan Medium. Pemilihan warna merah yang digabungkan warna hitam, menambah kesan menyeramkan. Ditambah dengan sebuah peringatan yang terpampang bertuliskan:
-Selesaikan atau mati-
“Apa ini? Semacam trik marketing? Terlihat murahan, bahkan aku bisa membuatnya lebih dari ini,” gumam Lewar dengan bangga.
Permainan pun dimulai, Lewar pikir hanya tampilan menunya saja berbeda. Bahkan isi gamenya juga, seharusnya begitu dimulai, karakter game akan berada di sebuah ladang. Namun ini malah berada di sebuah gang sempit yang baru pertama Lewar lihat.
Kemudian tampilan menu muncul:
Misi: kuasai kota dan buat perubahan. Jangan sampai dimakan!
Lewar mengernyitkan dahi heran, begitu membaca kata dimakan,”Ini pasti bercanda. Sebaiknya segera kuselesaikan, agar aku mendapatkan apa yang kuinginkan,”
Ketika keluar dari gang, betapa terkejutnya Lewar melihat situasi kota, dimana ia melihat banyaknya laki-laki yang diperlakukan buruk. Ia merasa kembali ke zaman perbudakan, di leher para laki-laki itu ada semacam garis hitam yang melingkar, tersambung ke tali yang dipegang perempuan.
Disaat perempuan memakai pakaian yang beragam, para lelaki itu justru hanya memakai pakaian dengan warna yang sama, yaitu jingga.
“Hei kau!” teriak seseorang. Lewar pun menoleh, seorang wanita kekar dan bahkan lebih tinggi darinya, menatap tajam padanya. Wanita itu memakai setelan khas polisi.
“Mana tanda pengenalnya?” polisi wanita itu dengan garang bertanya pada Lewar.
“Eh? Anu, aku tidak punya,”jawab Lewar bingung. Tentu saja ia merasa begitu, karena sejak kapan VR membutuhkan tanda pengenal ketika memainkannya. Namun tanpa diduga, Lewar diseret oleh polisi wanita itu.
Lewar berpikir ini pasti bagian dari jalan cerita Sintak Mangilas. Oleh karenanya, ia hanya pasrah begitu polisi wanita itu membawanya. Ia kesal karena Sari tidak memberitahu bahwa kesulitan di tingkat Hard perbedaannya ternyata sekontras ini.
Lewar dibawa ke sebuah tempat, yang mirip Koloseum khas Romawi. “harusnya ini game peternakan kan? Kenapa jadi game pertarungan seperti ini,” batinnya.
Sebuah blender besar diletakkan di tengah arena, yang diseret kesana pun ternyata tidak hanya Lewar saja, melainkan banyak orang yang juga mengalami hal sama. Kemudian Lewar menyadari sesuatu, kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Ia tidak menemukan laki-laki di kursi penonton, seolah kota ini disetting hanya dikuasai perempuan.
“Nona-nona, di hari yang cerah ini. Aku sangat yakin bahwa Dewi Lops telah memberkati kita untuk menyaksikan penebusan dari para serigala ini,” seorang wanita berdiri di tribun yang terletak di sisi utara arena. Dilihat dari pakaiannya yang mewah, Lewar bisa tahu bahwa wanita itu adalah ratunya.
“Hidup Ratu Raus! Hidup Ratu Raus!” sorak penonton dengan meriah menyambut pidato dari Ratu Raus.
Kemudian muncul wanita yang punya ukuran tubuh seperti raksasa, langkah besarnya membuat sekitar bergetar. Lewar pikir kemunculan wanita raksasa itu akan menghancurkan arena, tapi ternyata tidak. Ada semacam Barrier yang melindungi kursi penonton dan Kolosseum.
Tangannya yang besar, menangkap pria-pria itu, lalu wanita raksasa memasukkannya ke blender. Mata pisau blender mencabik tubuh para pria itu, menyaksikan hal itu Lewar merasa mual dan kemudian muntah.
“Konyol sekali aku muntah karena game. Kuakui Bundela Corp punya potensi yang melebihi perkiraanku,” Lewar mengusap bibirnya. Begitu tangan wanita raksasa itu meraih pria yang ada di depan Lewar, sontak orang tersebut menabraknya membuat ia tersungkur ke tanah. Rasa perih terasa ditangannya.
“Aneh, seharusnya game tidak bisa menimbulkan rasa sakit seperti ini,” Lewar tampak bingung. Darah itu menetes, ketika Lewar menyentuhnya, ia pun meringis kesakitan.
“Mungkin hanya perasaanku saja, pasti ada semacam bug yang belum diperbaiki. Wajar saja, ini masih dalam perkembangan,” Lewar berniat keluar dari Sintak Mangilas, tapi ia tidak menemukan tampilan menu. Mau berapa kali pun ia terus mengatakan Restart atau Exit game, tetap saja tidak ada yang terjadi.
Lewar mulai panik,”Sialan mana tombol keluarnya!”
Situasi di Kolosseum semakin kacau, jumlah pria yang berada di arena juga semakin sedikit. Hanya tinggal menunggu waktu saja, untuk giliran Lewar dimasukkan ke blender besar itu. Lewar menyadari bahwa ini bukan mimpi, rasa sakit ditangannya masih terasa. Ini bukan lagi game, tapi dunia lain yang tanpa sengaja ia masuki. Termasuk rasa mual yang ia rasakan tadi.
Ia berusaha untuk kabur, tapi para penjaga wanita berbadan kekar itu menghalanginya. Lewar berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia menggunakan kemampuan bela dirinya, begitu wanita kekar itu melakukan serangan, dengan gesit Lewar berhasil menghindarinya, lalu setelah wanita tersebut lengah, Lewar memukulnya.
Karena jumlah penjaga yang terlalu banyak, Lewar mengambil senjata milik penjaga yang berhasil ia kalahkan. Ia berlari menerobos gerombolan wanita kekar, dan menyerang mereka tanpa pandang bulu.
Lewar berhasil keluar dari arena. Namun para penjaga itu tetap mengejarnya.
“Sial! Sampai kapan mereka akan mengejarku?” gerutu Lewar.
Lewar tidak sengaja menabrak seorang pekerja yang baru saja pulang dari kantor. Ia panik karena bisa saja perempuan itu akan melaporkannya. Namun tanpa diduga, justru perempuan itu malah menolongnya, dengan menyembunyikan ia di sebuah bak sampah.
“Kamu lihat pria yang lewat sini?” tanya salah satu penjaga wanita.
“Dia tadi lari ke arah sana,” jawab perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah lain.
Sepeninggalnya para penjaga tersebut, Lewar pun keluar. Ia menghela nafas lega. Perempuan itu mengamati Lewar dengan tatapan yang dalam.
“Aku merasa pernah melihatmu. Tapi tidak tahu dimana, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Lewar menggeleng,”kurasa tidak, ini bahkan pertama kali bagiku melihatmu,”
“Begitu ya,” perempuan tersebut mengulurkan tangannya,”Aku Molas,”
Awalnya Lewar merasa ragu, karena bisa saja Molas adalah bawahan Ratu Raus.
“Tenang saja, aku bukan bagian dari penjaga tadi,” ujar Molas sambil tersenyum seakan menebak isi pikiran Lewar.
“Aku Lewar,”
“Nama yang bagus. Sepertinya banyak yang perlu dibahas, terutama kenapa kamu dikejar penjaga. Aku tahu tempat yang aman, ayo ikut aku,” Molas mengenggam tangan Lewar tanpa sungkan. Pria itu pun merasa heran bagaimana ia bisa dengan tenang bersikap seakan ia sudah saling mengenal.
Molas membawa Lewar ke perumahan yang jauh dari perkotaan ketika ia diturunkan dalam game Sintak Mangilas. Entah suatu kebetulan atau bukan, rumah Molas sangat mirip dengan rumah ibunya. Cat berwarna biru sedikit keabuan dengan kusen jendela putih, di terasnya ada semacam bangku yang terbuat kayu.
Kenapa Lewar?
“Menyebalkan,” gumam Lewar ketika tiba-tiba teringat dengan sesuatu. Molas yang berada disampingnya pun sontak menoleh.
“Aku tahu ini menyebalkan, rumah ini jauh kemana-mana. Tapi hanya tempat yang kuanggap aman,” sesal Molas.
“Akhirnya kamu datang juga. Orang-orang sudah menunggumu didalam,” ujar seorang pria yang keluar dari rumah tersebut. Sama seperti Lewar, tidak ada garis hitam dilehernya.
“Maaf tadi bosku mendadak menyuruhku mengerjakan sesuatu,” sahut Molas. Pria itu lalu menoleh pada Lewar.
“Ini Sani, temanku,” Molas pun inisiatif memperkenalkan pria itu pada Lewar.
Sani mengulurkan tangannya, namun Lewar tidak menyambutnya.
“Aku Lewar,”
Sani menarik tangannya, tersenyum canggung,”Senang bertemu denganmu,”
Rumah Molas ternyata dijadikan semacam perkumpulan dari para pria yang tidak memiliki kartu gender. Molas menjelaskan bahwa alasan Lewar dikejar dan diperlakukan seperti itu, karena ia tidak punya kartu gender. Sebuah kartu yang menunjukkan kualifikasi seseorang, jika memenuhi kriteria maka laki-laki akan dikategorikan dalam batas aman dan mudah dijinakkan. Sementara orang-orang yang dimasukkan ke blender besar adalah laki-laki yang dianggap cacat atau membahayakan.
Lewar berpikir ini dunia yang mengerikan, ketika mendengarnya langsung ia tidak bisa menahan keterkejutannya. Ia menyesal karena tidak mengikuti saran Sari. Namun nasi sudah menjadi bubur, tidak ada gunanya menyesali sesuatu di situasi seperti ini.
Lewar sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi, ia terpaksa menyamar perempuan ketika keluar menemani Molas berbelanja. Ia bahkan banyak membantu Molas dalam urusan dapur ketika perempuan itu bekerja.
Dingin terasa menusuk kulit Lewar, membuat beberapa kali mengusap tangannya sambil mendekat ke perapian. Sementara itu Molas sedang membaca buku.
“Dulu perempuan dan laki-laki hidup saling berdampingan dan hidup tentram di bangsa Ris dibawah kepemimpinan Raja Sokta. Ia bukan hanya Raja yang baik, tapi Ayah dan suami yang hebat sampai penjuru negeri ingin sepertinya,” Sani menyalakan puntung rokok lalu menghirupnya, asap menguar membentuk lingkaran dari mulutnya.
“Awalnya semua orang berpikir begitu, sampai perang saudara itu pecah diantara Putri Raus dan Pangeran Lambar. Perang tersebut dimenangkan oleh Putri Raus, lalu ia melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan,” jelas Sani.
Lewar yang sedang duduk sambil memeluk dirinya sendiri di perapian pun bertanya,”Kenapa Putri Raus melakukannya sejauh itu? Jika Raja Sokta Ayah yang baik, seharusnya tidak ada perang saudara dan kudeta kan?”
“Di antara anak-anaknya, Raja Sokta dan Ratu Maria lebih menyayangi Pangeran Lambar. Putranya itu memiliki potensi untuk menjadi penguasa hebat di masa depan, sementara Putri Raus, dia hanya gadis biasa yang bisa kamu temukan dimana saja. Tidak ada yang spesial, mungkin karena itu masyarakat tanpa henti terus membandingkannya, bahkan dikalangan bangsawan pun, perbandingan kehebatan antara Putri Raus dan Pangeran Lambar masih terjadi,”
Lewar terkekeh,”Itu karma yang sepadan untuk Raja Sokta, karena terlalu fokus dengan putranya,” ia pun menyenderkan punggungnya ke sofa,”Tapi kenapa ia hanya menargetkan para pria dan memusnahkannya,”
“Karena ia disiksa oleh Ayahnya, pria itu menuntut kesempurnaan dari putrinya. Kebencian Putri Raus bukan hanya karena dibandingkan dengan saudaranya, melainkan kekerasan yang ia dapat sejak kecil,” tambah Sani selama beberapa saat menghela nafas,”Ditambah Ratu Maria yang selalu mengabaikan Putri Raus. Mereka sangat kacau bukan? Aku ketika mendengar pertama kali dari Gillbert, seorang pelayan disana pun bergidik ngeri,”
“Meski begitu, merenggut hak hidup orang lain tidak bisa dibenarkan. Aku mengerti ia tidak tahan dengan penderitaannya, tapi melampiaskan rasa sakit dengan melukai seseorang, ia tidak bedanya dengan Ayahnya kan?” suara Molas seperti menahan getir.
“Sangat mudah mengatakan itu salah, karena kamu tidak berada di posisinya. Salah atau benar, siapa yang menentukannya? Kemanusiaan? Ketika si pelaku melakukan kejahatannya, ia hanya akan dihukum atau mati, setelah itu dosanya dianggap sudah ditebus. Tapi korbannya? Ia menanggung rasa sakit itu seumur hidup,” tekan Lewar menatap dingin Molas,”manusia hanya punya pilihan, dimakan atau memakan, itu mutlak,”
Sani beranjak berdiri, menenangkan Lewar. Molas terlihat berkaca-kaca seperti menahan tangisannya.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa trauma yang dialami Ratu Raus itu salah. Aku hanya berpikir bahwa ia berhak bahagia tanpa harus menyakiti dirinya sendiri dan orang lain,” Molas pun pergi meninggalkan Lewar.
….
Semenjak kejadian semalam, Lewar masih tidak berbicara dengan Molas. Untuk pertama kalinya Lewar merasa bersalah, ia merasa aneh dengan dirinya karena tidak biasanya seperti ini. Ia berusaha menepis jauh-jauh pikiran tersebut.
“Ini untukmu,” Molas memberikan segelas susu coklat, membuyarkan lamunan Lewar. Kemudian perempuan itu mengambil salah satu kursi plastik dan duduk disampingnya.
“Maaf soal semalam, ucapanku sedikit menyakitimu,” sesal Molas. Lewar berpikir ia tidak perlu meminta maaf padanya. Namun Lewar tidak berani mengatakannya.
“Tidak masalah,” Lewar meminum segelas susu coklat.
Molas tersenyum,”Seandainya laki-laki dan perempuan bisa hidup dengan setara, mungkin perbudakan yang kita lihat sekarang, tidak akan pernah ada,” kedua mata Molas menerawang ke arah pepohonan yang rindang.
Tiba-tiba Lewar terpikirkan dengan para perempuan di duniannya yang memberontak meminta keadilan. Lewar rasa itu akan berhasil untuk mengubah dunia.
“Kurasa kita bisa mengusahakan dunia yang seperti itu,” celetuk Lewar membuat Molas menoleh padanya.
“Oh ya? Jangan bilang dengan kudeta, aku tetap tidak setuju dengan kekerasan,”
Lewar menghela nafas, ia geram karena Molas masih saja naif, “kamu tidak bisa bersikap naif seperti itu untuk membuat perubahan besar,”
“Tapi—”
“Gini saja, kita kudeta pemerintahan ini dengan syarat tidak membunuh siapa-siapa, gimana?” usul Lewar. Tentu itu ide yang mustahil untuk dilakukan. Namun pria itu terpaksa berbohong agar Molas menyetujui idenya.
“Emang bisa?” Molas ragu.
“Tentu saja bisa, biar aku yang susun rencananya,” ujar Lewar dengan yakin.
Kemudian Lewar menyusun rencana, ia mengumpulkan para pria yang bernasib sama untuk melakukan kudeta pada pemimpin negara ini. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyebarkan terror atau rumor, Sani yang mengambil peran ini karena ia kenal dekat dengan koki istana. Rencana tersebut berhasil, kepercayaan masyarakat terhadap Ratu Raus mulai menurun. Pemberontakan terjadi dimana-mana, bahkan para perempuan pun ikut andil dalam kekacauan tersebut.
Situasi Kota Ris menjadi semakin kacau, ditambah dengan konflik internal kerajaan yang memperparah keadaan. Ritual penebusan dosa kepada Dewi Lop, hanya akal-akalan Ratu Raus untuk menghapus peran pria dalam tatanan masyarakat.
Lewar memanfaatkan kericuhan ini, mengirimkan pasukan kudeta diam-diam tanpa sepengetahuan Molas. Perempuan tidak akan marah, selama bukan ia yang melakukannya secara langsung. Tugasnya disini, hanya menyampaikan pidato yang mengajak masyarakat untuk sadar dengan kesetaraan terhadap gender.
Ratu Raus diturunkan dari takhtanya, wanita itu tidak dihukum atas permintaan Molas. Kemenangan berada di pihak Lewar.
“Aku ingin menolongnya. Ia berhak mendapat kesempatan kedua,” ujar Molas. Lewar merasa bahwa ide Molas itu, konyol. Seorang pembunuh yang diberi kesempatan kedua, hanya ada dalam dongeng saja. Bisa saja keinginan membunuh Ratu Raus sewaktu-waktu. Namun Lewar menghargai keputusan Molas.
Tiba-tiba sebuah notifikasi muncul, setelah sekian lama Lewar menantikannya, akhirnya tiba juga saat ia bisa keluar dari game ini. Namun harapan Lewar pupus, karena bukan penanda misi selesai yang keluar, melainkan misi baru yang harus dilakukan.
Bunuh Molas
Keraguan menguar dalam diri Lewar, ia tidak bisa melakukannya karena berkat Molas dan Sani ia bisa sampai sejauh ini. Namun jika ia menolak misi tersebut, maka tidak ada yang tahu resiko apa yang akan ia hadapi. Bisa saja itu kematian.
“Ini hanya game. Tentu saja semua orang yang disini juga hanya karakter game, untuk apa aku peduli dengan itu,” batin Lewar meyakinkan dirinya. Molas mengenggam tangan Lewar, sambil memperlihatkan raut wajah khawatir.
“Kamu baik-baik saja?”
Lewar mengangguk,”aku baik-baik saja,”
Malam harinya, Lewar mengendap-endap ke kamar Molas. Perempuan itu sedang tertidur pulas. Selama beberapa saat ia menatapnya.
“Ia bisa ditemukan dimana saja. Tenangkan dirimu Lewar, kehidupanmu lebih penting,” batin Lewar. Kemudian ia mengangkat pisaunya berniat menusuk Molas. Namun tiba-tiba Molas terbangun. Menyadari hal itu, Lewar menusuk tepat di dada Molas.
Molas menatap Lewar sambil meringis kesakitan. Air mata keluar dari pelupuk matanya.
“Kenapa Lewar?” tanya Molas.
Kenapa kamu harus jadi anak Ibu?!
Lewar terkejut dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Ia merasa melihat Ibunya dalam diri Molas.
“Kenapa kamu begitu enggan melihat dirimu sendiri?” Pertanyaan Molas membuat Lewar bingung.
“Kamu yang paling paham rasanya tidak dipedulikan,” Molas terbatuk-batuk, darah keluar dari mulutnya, lalu ia memeluk Lewar,”Tapi kamu menyakiti orang lain dan dirimu sendiri, kenapa kamu tidak pernah mau mengakui bahwa tidak sempurnanya kamu adalah wajar?”
Lewar terkekeh, melepaskan pelukan Molas,”Tidak sempurna? Wajar? Yang benar saja! Jangan seenaknya mengatakan seolah kamu paham segalanya. Aku Lewar, punya bakat yang hebat dan orang-orang mengakui itu,” meski ia mengatakannya, tapi airmatanya tetap menetes. Lewar pun bingung.
“Berhenti keras pada dirimu sendiri,” pinta Molas. Kemarahan Lewar tersulut, ia menusuk Molas berulang kali. Namun, tanpa diduga ternyata ia juga terluka, seolah berbagi luka yang sama. Dan seketika Lewar kehilangan kesadarannya.
…
Kasus menggemparkan, seorang pria ditemukan terbunuh dengan cara menusuk dirinya sendiri di Apartemen Gloria. Korban adalah CEO dari perusahaan Air Sean. Diduga motif dari bunuh diri korban adalah faktor stress. Saat ini kepolisian, tengah menyelidiki lebih lanjut…
Ginting mematikan televisi.
“Sayang sekali, padahal aku pikir ia akan berubah pikiran. Bahkan sampai akhir pun, ia hanya mementingkan dirinya sendiri,” keluh Ginting yang kemudian mengambil popcorn dan memakannya.
Dokter Sari terdiam sambil mengamati berkas yang bertuliskan Sintak Mangilas. Senyuman tersungging dibibirnya.
“Dokter senang meski hasilnya seperti ini? Bukankah kita terlalu memaksakan alam bawah sadar subjek 216 dengan menekan trauma dan memberi sediki rasa takut?” Ginting menopang dagunya sambil menatap Dokter Sari.
“Jika dibilang memaksakan, tidak juga. Aku hanya menstimulus reaksi subjek 216, aku ingin mengetahui sejauhmana ia mempertahankan sikap angkuhnya,” Dokter Sari meletakkan berkas tersebut ke dalam laci, “Molas adalah bagian dari diri Lewar, setiap pria punya sisi kelembutannya. Namun kebanyakan dari mereka menolak keberadaan itu, sehingga timbul rasa percaya diri yang melewati batas, atau kita kenal dengan NPD. Mereka membenci kelemahan itu, sehingga dari kebencian itu laki-laki menganggap bahwa perempuan yang suka mencari perhatian, derajatnya lebih rendah dari laki-laki,” ujar Dokter Sari.
“Setiap orang punya sisi lembutnya, Jung menyebut itu sebagai anima. Fungsinya adalah menjadi penyeimbang antara logika dan empati, namun jika anima ditolak, maka kemungkinan gangguan psikis seperti depersonalisasi akan muncul. Lewar yang menolak Molas adalah bentuk kegagalannya dalam menyatukan logika dan emosi, ia hanya hidup dalam dunia yang rasional, sehingga jiwanya kehilangan arah,” jelas Dokter Sari sambil menyeduh teh.
“Begitu ya, sepertinya aku mulai memahaminya. Aku pikir trauma bisa membuat seseorang belajar untuk menghargai orang lain,” komentar Ginting.
“Tidak setiap orang belajar dari traumanya. Beberapa dari mereka memilih untuk menyakiti orang lain. Sebenarnya Lewar punya trauma yang cukup rumit, ia diabaikan oleh Ibunya dan mendapat kekerasan dari Ayahnya, mungkin karena itulah ia membenci perempuan serta menganggap bahwa laki-laki selalu mendapat peran yang lebih kuat. Padahal tidak begitu, entah perempuan atau laki-laki, punya peran yang sama setaranya,” ujar Dokter Sari menjelaskan. Ginting yang mendengar pun dibuat takjub.
“Ah hebat, aku tidak menyangka akan mendengar kalimat semanis itu darimu,” Ginting bertepuk tangan, yang kemudian disambut tatapan sinis Dokter Sari.