Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Sinden Jugala
1
Suka
126
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Apa itu?

Suara indah di tengah alunan instrumen musik yang sebelumnya tidak pernah kudengar. Kukira musik jadul yang selalu dibanggakan Acep tidak akan terdengar semerdu ini di telingaku.

Orang-orang berbaju Pangsi menabuh alat musik begitu bersemangat, beberapa ada juga yang memainkan angklung serta kecapi. Suara dari semua alat musik tersebut menjadi harmonisasi yang begitu indah. Terlebih adanya nyanyian dari seorang wanita paruh baya yang duduk anggun di samping orkestra membuat suasananya lebih meriah.

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku pada apa pun selain memandangi wanita itu yang tampak menikmati nada indah yang keluar dari pita suaranya sendiri. Ia dengan mata yang terpejam bergerak ke kanan dan ke kiri bagaikan pohon yang berayun pelan, diterpa angin malam yang berembus.

Aku terpaku. Ketika aku melihat matanya yang terpejam perlahan terbuka dan ia mengulas senyum tipis, entah mengapa panas seketika menjalar cepat ke tubuhku. Padahal sebelumnya aku kedinginan karena hanya memakai kaos oblong berlengan pendek di malam yang dingin ini.

Rasa kesal yang sebelumnya kurasakan saat Acep menarik paksa celanaku hingga hampir melorot untuk menonton pertunjukan Tari Jaipongan hilang entah ke mana. Sekarang berganti dengan perasaan menggelitik yang membuatku malu tanpa sebab.

Mungkinkah suaranya yang kelewat merdu itu yang menyihirku untuk tidak berpaling? Alunan dari suaranya indah sekali! Meski aku tidak mengerti apa yang ia nyanyikan, tapi aku paham satu hal bahwa makna lagu ini pasti sangatlah dalam.

“Naha maneh seuri kitu?”

Acep yang duduk di sampingku menoel bahuku dengan cengiran menggodanya. Ia mengerlingkan matanya, sibuk melirik penari-penari di depan sana.

“Geulis-geulis, nyak?” selorohnya yang membuat wajahku kian memanas.

Aku tahu maksud Acep berkata seperti itu adalah untuk menyindirku. Ia tertawa puas melihatku yang mendadak kikuk. Tampaknya sepupuku itu senang sekali mengerjai saudaranya. Hampir saja aku merasa beruntung karena ia telah membawaku ke acara Khitanan tetangga kami untuk menonton Tari Jaipongan bersama. Kutarik kembali rasa terima kasihku.

Dengan tampang kesal, aku menatap wajahnya lamat-lamat. Ia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyambut kedatanganku di desa ini. Sebulan yang lalu setelah sidang perceraian selesai, Mama langsung membawaku ke kampung halamannya. Ia menangis sejadi-sadinya di hadapan Nenek, membuatku tidak berani menanyakan mengapa Papa tidak ikut bersama kami kali ini.

“Setelah ini, jangan bertanya apa-apa lagi tentang papamu, Camar. Jangan mengungkit tentangnya lagi. Anggap saja dia tidak pernah ada. Sekarang yang ada hanya kau dan Mama. Ingat itu!”

Itulah yang dikatakan Mama saat kami berada di bandara. Mungkin Mama sadar akan kegelisahanku yang bolak-balik menoleh ke belakang berharap Papa tidak ketinggalan pesawat. Ternyata hari terakhir di persidangan itu adalah hari terakhir aku melihat papaku.

Setelah seminggu berada di desa ini pun, Mama kembali ke Jakarta untuk bekerja dan meninggalkan aku sendirian dengan ponsel yang tidak berguna karena di sini memang susah mendapat sinyal. Mama berkata ia tidak bisa berlama-lama tinggal di sini karena keterbatasan akses internet membuat pekerjaannya terganggu, ia juga tidak bisa meninggalkan aku sendirian di rumah kami karena kemungkinan besar Papa akan mencoba merebutku darinya. Makanya ia menitipkan aku pada kakaknya. Setidaknya aku tidak akan kesepian karena ada Acep.

Itu memang benar, karena selama ini yang mengajakku bermain adalah bocah bersinglet dekil yang jahil ini. Ia mengajakku memanjat pohon—tentu saja aku tidak melakukannya—mencuri buah kedondong di kebun Kakek, membantu Nenek memungut cengkeh-cengkeh yang jatuh dari pohonnya dan melihat proses pembuatan gula aren di rumahnya.

Aku cukup menikmati hari-hariku di sini dibandingkan saat di Jakarta. Di sana sepulang sekolah aku harus mengikuti les lagi, mengerjakan tugas dan berkutat dengan buku hingga tidak pernah berpikir untuk bermain. Hal itu membuatku cukup tercekat, rasanya menyesakkan tapi kalau bersama Acep, sedikit demi sedikit aku bisa merasa lega.

“Maneh suka sama penari itu? Penari yang mana? Nanti Bapak urang bisa titipkan salam sabab besok Bapak mau jenguk Ibu Euis ke padepokan.”

“Huh?”

Aku yang terlampau kaget hanya bisa menatapnya bingung. Sekarang apa yang Acep pikirkan? Aku tidak menyukai penari-penari itu, jadi tidak perlu menitipkan salam apalagi kepada Wak Akung. Walaupun tidak bisa dipungkiri aku tertarik kepada penyanyi bersuara merdu itu. Lagipula kalau ingin memberi salam, aku bisa langsung menghampirinya.

“Wak Akung mau ngapain ke sana? Memangnya mereka tinggal di daerah sana?”

“Eiihh … maneh mah, dikasih tau urang malah ngeyel. Ibu Euis, itu sudah dianggap sodara sama Bapak. Itu yang tampil Tari Jaipongan itu anak didiknya Ibu Euis. Sanggar mereka jauh di kota.”

Aku mengangguk seraya membentuk bibirku serupa dengan huruf ‘o’ setelah mendengar penjelasannya.

“Ka-kalau gitu … aku ikut Wak Akung saja besok.”

Keputusan yang terlalu mendadak yang tercetus begitu saja dari pikiran anak 14 tahun. Bagaimana aku bisa menjelaskan situasi ini? Malam itu aku izin kepada Wak Akung untuk ikut pergi ke kota dengan alasan tertarik pada seni tradisional Sunda yang baru kulihat untuk kali pertama di hidupku. Wak Akung tentu saja senang mendengarnya hingga membangunkan aku pagi-pagi buta untuk langsung berangkat ke Kota Bandung.

“Perjalanannya jauh, Jang. Wawak harus mampir dulu ke Gudang Cengkeh baru ke Padepokan Jugala,” ujar Wak Akung sesaat sebelum berangkat.

Saat itu aku hanya mengangguk sekilas dan langsung menaiki truk yang sudah bermuatan cengkeh. Tidak kusangka seketika rasa kantukku menguap setelah beberapa kilometer perjalanan meninggalkan desa. Perjalanan yang kukira akan mulus-mulus saja berakhir dengan banyaknya aku memuntahkan isi perutku. Selamat tinggal burayut, bandros, gurandil dan juga combro yang kumakan di acara semalam. Kini mereka sudah tidak berbentuk apa pun selain bubur asam yang keluar dari kerongkonganku.

Jalanan yang kami lalui tidak ada bedanya dengan roller coaster yang ada di Dufan. Naik turun dan menukik tajam apalagi Wak Akung mengendarainya dengan kecepatan yang mengerikan terlebih di sisi kiri kami sudah jurang yang curam. Aku berkali-kali teriak ketakutan karena membayangkan truk yang kami naiki akan jatuh ke bawah sana. Jantungku berdegup kencang. Kusesali keputusanku untuk ikut Wak Akung ke kota. Kalau tahu begini lebih baik titip salam saja kepadanya.

“Sabar, nyak? Jalanan Cidaun teh naék-turun siga kieu. Sebentar lagi sampai di kebun teh, kita mampir heula, sarapan.”

Wak Akung tampak prihatin melihatku hanya meringkuk di sampingnya. Aku mengangguk menanggapinya, tidak ingin melihat ke luar jendela lagi, tapi Wak Akung sibuk mengedikkan kepalanya seraya berkata, “Tah, tingali éta! éndahna pamandangan, sayang kalau kamu nggak lihat, jarang-jarang orang kota lihat pemandangan alam ini.”

Karena Wak Akung terus memaksa, aku akhirnya melongok ke luar jendela dan benar saja, di luar sana pemandangannya begitu indah. Aku bisa melihat banyak sekali air terjun di tengah hutan yang rindang. Di bawahnya terdapat sungai yang mengalirkan air yang begitu deras. Di sela-sela perbukitan, aku dapat melihat secercah cahaya matahari yang perlahan menyinari pepohonan di seberang sana.

Kabut embun pagi seakan tersingkap, mempersilakan sinar mentari itu memasuki areanya, menerangi semesta, membuka tabir baru untuk memulai hari. Pemandangan itu membuatku sejenak lupa akan rasa sakit dan mual yang belum lama kurasakan. Wak Akung memutarkan kakawihan Sunda dan membuat suasana menjadi lebih tenang hingga kami sampai di kebun teh.

“Apa ini?” tanyaku saat Wak Akung menyodorkan semangkuk makanan asing yang berkuah bakso.

Jika dirasakan, ini bukan bakso biasa. Rasanya seperti memakan siomay yang berkuah. Ada beberapa varian lain di dalam mangkuk, seperti siomay goreng, batagor, tahu kukus dan juga bakso aci. Aku menyeruput kuahnya perlahan, menikmati kaldu yang perlahan menghangatkan perutku. Dingin-dingin seperti ini memang cocok untuk menyantap makanan berkuah yang berkaldu sambil menikmati pemandangan kebun teh.

“Itu namanya Cuanki. Nama asalnya itu dari chaon kie yang artinya rezeki.”

Aku mengangguk-angguk sambil memakan cuanki dengan lahap. Cacing-cacing di perutku sudah menagih santapan karena santapan yang sebelumnya terbuang sia-sia. Setelah menghabiskan cuanki, Wak Akung membiarkan aku bermain menyusuri kebun teh. Jadi aku berkeliling menikmati dinginnya angin pagi.

Pikiranku berkeliaran memikirkan apa yang sebaiknya kukatakan pada penyanyi itu? Kata Acep, orang yang bernyanyi semalam dinamakan sinden. Aku duduk di sebuah batu besar, memandangi hamparan tanaman teh yang tumbuh teratur seluas mata memandang. Kukeluarkan secarik kertas dan pena. Aku akan mengutarakan perasaanku lewat surat itu dan mungkin beberapa puisi. Suasana di sini sangat mendukungku untuk menulis. Di tengah birunya langit dan kebun teh yang serupa labirin ini, aku menuliskan surat untuknya dengan perasaan yang meletup-letup dan pastinya wajah yang bersemu merah.

***

“Bohong!”

Aku berteriak kencang di hadapannya. Kuremas surat yang sudah kutulis sepenuh hati itu hingga kertasnya lecek. Aku tidak terima ini. Rasanya seperti habis ditipu. Bagaimana bisa sosok wanita cantik yang memiliki suara paling merdu yang pernah kudengar itu adalah sosok yang sama dengan sosok di hadapanku yang sedang berias diri.

“Sudah kukatakan berkali-kali. Sinden yang kemarin itu aku. Kau siapa? Sejak bertemu kau hanya terpaku dan tiba-tiba berteriak seperti itu,” ujarnya tenang seraya tetap fokus memoles kelopak matanya dengan bubuk warna-warni.

“Dia dan kau berbeda! Suaranya … suaranya merdu, bukan sepertimu!”

Aku terus menyangkalnya walaupun aku tahu ia masih mengenakan kebaya yang sama seperti yang dipakai oleh sinden itu tadi malam, tapi aku tidak ingin mengakuinya! Bagaimana bisa sinden yang memiliki suara merdu dan begitu menawan adalah orang yang sama dengan pemilik suara berat dan kaki penuh bulu tersebut? Aku tidak bisa menerima ini semua. Perlahan mataku mulai berair. Dadaku sesak. Semuanya sia-sia. Perjalanan panjang yang hampir membunuhku, surat yang sudah kutulis sepenuh hati, kini tidak ada artinya. Aku merasa telah dikhianati.

“Kenapa kau jadi sinden?! Kau kan pria! Kau tidak pantas jadi sinden, dasar Bencong!”

Aku berteriak sekali lagi, menangis tergugu hingga bersimpuh. Kubuang surat itu dan berlari terseok meninggalkannya.

Namun langkahku terhenti ketika aku mulai mendengar senandung dari seseorang yang suaranya sudah terpatri di pikiranku. Suara merdu yang membuat jantungku berdebar-debar. Aku menoleh ke belakang dan melihatnya bernyanyi sambil jalan melenggak-lenggok ke arahku. Ia membacakan puisi di secarik kertas yang telah kusut. Puisi buatanku untuknya. Aku diam mematung hingga ia berada tepat di hadapanku.

“Apa yang kamu katakan barusan sangat berbanding terbalik dengan yang tertulis di sini. Terkadang tulisan tidak bisa berbohong … dan puisi adalah ungkapan isi hati yang tak bisa diutarakan oleh lathi.”

Ia membungkuk, mensejajarkan tingginya denganku.

“Aku sangat mencintai diriku saat aku bernyanyi. Namun aku tidak bisa leluasa bernyanyi jika menampilkan diriku yang sebenarnya. Maka akan lebih baik aku bersembunyi di dalam penampilan ini. Aku tidak bermaksud untuk menipumu, Camar.”

Kini ia tersenyum lembut kepadaku. Binar di matanya berpendar lembut, seakan membendung secercah harapan nun jauh di masa depan.

“Seandainya saja ada waktu di mana kita bisa menjadi apa yang kita mau tanpa memikirkan perihal kelamin. Kuharap bernyanyi dan menari bukan hanya untuk perempuan."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Sinden Jugala
Lail Arahma
Flash
Karma Datang sebagai Sebuah Hukuman (surat 3)
Lail Arahma
Cerpen
Putus, Tapi Nggak Putus Asa
Tresnaning Diah
Novel
Bronze
JANDA & THE TABLE
glowedy
Cerpen
Asap dan Kopi
Penulis N
Novel
Diary Bipolar
Farikha Salsabilla Putri
Flash
Lelah Normal
imagivine
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Cerpen
Melintasi Dimensi
Kirana
Cerpen
Pemuda Di Kamar 17
Sucayono
Flash
Perempuan
lidia afrianti
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Novel
From now to 1414 years ago
Dinda Kusuma Ati
Cerpen
MADILOG: Jalan Sunyi Si Pemikir Muda
Dede Nurrahman
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Rekomendasi
Cerpen
Sinden Jugala
Lail Arahma
Flash
Karma Datang sebagai Sebuah Hukuman (surat 3)
Lail Arahma
Cerpen
Bronze
Armaghan Knight and The Fertility Goddess
Lail Arahma
Flash
Bronze
Dreamcore Room
Lail Arahma
Flash
Bahagia Bukan Hanya Soal Rasa (surat 2)
Lail Arahma
Cerpen
Cara Teraman Mencintaimu
Lail Arahma
Flash
Bronze
Perspectives on Love
Lail Arahma
Flash
Secangkir Caramel Latte
Lail Arahma
Cerpen
Oiran and The Summer Crow
Lail Arahma
Cerpen
I'd Be a Fool Not to Love You
Lail Arahma
Flash
Bronze
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Flash
Sebuah Bayangan Mengusikku (surat 1)
Lail Arahma
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma