Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah sepekan Surya pulang selalu larut malam. Neneknya yang renta tak mengerti apa yang dilakukan oleh cucunya itu. Ia sudah tak banyak bergerak dan bicara. Tubuhnya kurus, tulangnya seperti mau copot. Tak ada yang bisa ia harapkan selain cucunya. Anak-anaknya entah pergi kemana. Mereka tak pernah kembali padanya.
Selama ini, Surya tak pernah tulus dan niat mengurus neneknya. Bukan tanpa alasan, hal ini ia lakukan sebagai buah dari dendam kepada orang tuanya. Surya ditinggalkan orang tuanya sejak ia berumur 10 tahun. Tanpa ada percakapan dan persetujuan, mereka pergi begitu saja. Parahnya lagi, orang tua Surya tidak memberikan uang atau apapun itu agar ia tetap bisa makan atau memenuhi kebutuhan lainnya.
***
Seperti biasa, pasar pagi hari memang selalu ramai. Pagi ini juga, Surya sudah ada di pasar itu. Kaus panjang bertudung warna abu-abu, celana jeans yang penuh robekan, sebatang rokok terselip di jarinya, Surya bersandar pada tiang lampu di ujung pasar. Memperhatikan pedagang yang sibuk menata dagangannya, orang yang berlalu-lalang, hingga anak kecil yang merengek minta dibelikan jajan oleh ibunya. Ia hanya diam, tak ada juga orang yang mengajaknya bicara. Lagipula orang lain akan sibuk dengan urusannya sendiri. Memang seperti itulah manusia.
Bukan. Surya bukanlah seorang preman pasar. Bukan juga seorang yang dibayar untuk menagih utang warga pasar. Tatapannya tajam, tertuju pada seorang lelaki dengan tubuh jakung di kios pasar paling ujung. Pandangannya tak pernah lepas dari sana. Surya tak boleh lupa jika di pasar itu juga banyak orang. Jangan sampai tingkah dan gerak-geriknya dicurigai oleh warga pasar atau pembeli yang ke sana kemari.
Sejak pekan lalu ia sudah seperti ini. Mengamati gerak-gerik orang lain di pasar. Tentu saja Surya mengenal orang itu. Pria yang terus ia pandangi adalah Kardi, pamannya. Dua minggu yang lalu, setelah bertahun-tahun, pamannya datang menemui nenek Surya. Saat Kardi datang, ia hanya melihat ibunya yang kurus tak berdaya sendirian di rumah. Ia duduk pada kursi busa yang sudah banyak berlubang seperti roti yang asal dicomot. Sekian lamanya nenek tak berinteraksi dengan orang lain selain cucunya, ketika Kardi datang, ia tak mengenali anaknya itu. Melihat kondisi ibunya yang kemalangan seorang diri itu membuat Kardi ingin menghajar Surya. Namun, ketika ia bertanya kepada nenek dimana cucunya, nenek tak menjawab karena ia pun tak tahu.
“Kau siapa?”
Pertanyaan tiba-tiba muncul memecah keheningan ketika kepala Kardi mulai mendidih. Rupanya setelah ia bertanya ini itu kepada ibunya, masih saja ia dianggap orang asing. Kardi yang sedari tadi berdiri akhirnya memilih duduk dekat dengan ibunya dan berbicara dengan halus.
“Aku Kardi, Bu, anakmu. Lihatlah, aku anakmu!”
Nenek hanya diam dengan tatapan kosong mengarah pada seorang laki-laki yang duduk sambil memegang tangannya. Pandangan yang kabur, ingatan yang hilang, ditambah perutnya yang keroncongan membuat nenek semakin tak mengerti bahwa yang dihadapinya adalah anaknya.
Lama mereka berdua terdiam, Surya datang dan terkejut melihat nenek tidak sendirian. Tanpa ada kata yang keluar dari mulut mereka bertiga, Kardi beranjak, menarik tangan keponakannya dan menyeretnya keluar. Jauh Kardi menyeret Surya hingga mereka sampai di pekarangan belakang rumah, dekat dengan hutan. Mereka berdiri berhadapan dan hanya terdiam. Kardi menatap tajam Surya.
“Kalau kau tak segera bicara, aku yang akan segera pergi.” Surya yang mulai ogah menatap orang didepannya, memulai pembicaraan.
Kardi yang sedari tadi sudah kesal, dibuat makin kesal oleh ucapan keponakannya. Matanya melotot, telinganya memerah. Tangan Kardi yang kurus, namun penuh dengan ototnya yang menonjol, dalam sedetik menghantam muka Surya. Tak sekali, tangan itu sangat ringan mengayun dan mendarat pada tubuh Surya.
“Kenapa kau biarkan nenekmu seperti itu? Bodoh! Kau harusnya menjaga nenekmu. Merewat nenekmu. Kau kemana saja? Bodoh sekali!”
Pertanyaan, makian, dan hantaman terus menembus badan Surya. Puas Kardi menghajar tubuh yang ia rasa sangat lemah itu. Rasa menang telah menyelimuti dirinya. Ia tak memberi kesempatan Surya menjawab, bahkan sekedar bicara memohon ampun. Belum sempat Surya membalas penganiayaan, bahkan belum sempat pula mulutnya terbuka, Kardi sudah pergi jauh meninggalkannya. Beruntung ia selalu memakai pakaian panjang. Kalau tidak, sepertinya rasa perih akan semakin erat lekat pada tubuhnya.
***
Marahnya yang terpendam membuat Surya mengambil putusan singkat tanpa timbangan. Kini ia sudah mengetahui apa saja yang pamannya lakukan, buah dari membuntutinya. Rencana yang ia pikirkan sudah mulai berjalan sejak sepekan. Ia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan misinya.
BRUK…
Dua orang laki-laki dengan pakaian lusuh dan penuh keringat jatuh bersamaan dengan drum berisi ikan yang dibawanya. Pasar ini memang masih beralaskan tanah dan air berkubang dimana-mana. Hujan semalam membuat pasar ini terlihat makin kumuh. Ikan di dalam drum tercecer keluar, tepat di seberang kios Kardi. Memanfaatkan perilaku baik dibalik niat jahatnya, Kardi menolong dua orang itu memasukkan kembali ikan ke dalam drum. Namun, dua orang yang terburu memasukkan ikan sebelum bos mereka tahu nampaknya menjadi momen keberuntungan bagi Kardi. Dengan lincah, tangan Kardi menyabet beberapa ikan, lalu memasukkan ikan-ikan itu ke dalam kantong plastik yang dibawanya. Kantong plastik itu sudah diisi barang lain agar nampak bahwa kantong yang dibawanya itu memang benar-benar miliknya.
Surya yang sejak tadi melihat dan mengetahui perbuatan licik Kardi hanya terkekeh. Rupanya dia memang orang yang bobrok, sama saja sepertiku. Begitu pikir Surya. Ia sudah melihat hal konyol pagi ini. Rasanya ia semakin penasaran, apalagi yang akan terjadi hari ini.
***
Matahari mulai meninggi, Surya berpindah tempat mencari tempat yang teduh. Surya menebak jika setelah ini Kardi akan pergi meninggalkan kiosnya dan pergi menuju kampung sepi penduduk yang tak jauh dari pasar ini. Meninggalkan istrinya yang sibuk berjualan, Kardi benar-benar pergi menurut dugaan Surya. Namun, Kardi berjalan ke arah yang berbeda. Ia tak menuju utara seperti biasanya, ia berjalan keluar pasar melalui pintu timur. Surya yang menyadari perubahan itu segera membuntuti Kardi.
Jalanan pagi menjelang siang itu begitu ramai. Kali ini orang-orang sibuk berebut jalan. Jalan utama selalu dilewati oleh siapa saja yang hendak kemana saja. Tak sedikit pula orang-orang yang berdiri pada bahu jalan menunggu angkutan umum lewat. Kardi lincah berjalan melewati orang-orang yang memenuhi jalanan dan orang-orang yang sibuk menatap ponselnya. Bunyi klakson terus bersahutan menyaingi kicauan burung yang kini tak lagi terdengar.
Sampai pada perimpangan, Kardi menyebrang lalu berbelok menuju gang pertama kiri jalan. Surya heran, mengapa Kardi berjalan menuju rumah ibunya. Jika Kardi ingin menemui orang di sekitar kampung Surya tinggal, maka itu akan makin terasa aneh karena tak ada orang kampungnya yang mengenal Kardi. Jika Kardi memang benar ingin mengunjungi ibunya, maka untuk apa ia lakukan itu karena selama ini ia tak pernah pulang kecuali dua minggu yang lalu. Apakah Kardi memang berniat untuk merawat ibunya? Pikiran Surya sudah dipenuhi pertanyaan. Pandangannya tak pernah lepas dari Kardi yang ternyata benar saja, Kardi pulang ke rumah ibunya.
Dengan perasaan tak yakin, Surya kini menambah kehati-hatiannya karena jalanan kampungnya sepi. Bisa-bisa ia ketahuan jika megambil jarak terlalu dekat. Kardi masuk ke dalam rumah dengan gelagat yang aneh. Ia seperti memastikan jika tak ada orang yang melihatnya. Dalam rumah itu tentu ada nenek yang sendirian. Rupanya nenek sedang tertidur di kamarnya. Surya mengintip pada jendela samping rumah.
Kardi langsung menuju kamar nenek. Melihat ibunya yang terlelap itu, terlihat senyum tipis kemenangan pada bibirnya. Tak buang-buang waktu, ia membuka lemari kayu tua yang sudah sedikit rapuh. Kini Surya paham, lemari kayu itu satu-satunya tempat nenek untuk menyimpan barang-barangnya. Meskipun nenek tak punya uang, tapi Surya dan Kardi sama-sama tahu jika nenek memiliki kalung emas dan cincin pernikahan pemberian kakek.
Surya terheran-heran melihat perbuatan Kardi. Meskipun Surya tidak pernah dengan benar mengurus nenek dan ia juga sama sekali tidak punya uang, tak pernah ada niatan dari dirinya untuk mengambil barang milik nenek. Selain itu, ia heran Kardi beraksi pada siang ini, bahkan matahari saja belum setengah hari menampakkan dirinya. Sepertinya ini pertama kalinya Kardi mengambil harta nenek, karena rupanya harta nenek juga tersisa itu saja. Juga tersisa rumah yang tetap berdiri meski sudah keropos termakan usia, sama seperti nenek. Sebenarnya, dulu Kardi pernah membawa pulang beberapa perabotan seperti piring dan vas bunga di rumah ini. Tetapi, Surya selalu membiarkan itu karena ia merasa tak terlalu membutuhkan barang-barang itu.
Setelah mendapat apa yang ia inginkan, Kardi segera keluar dari rumah itu. Terlihat kini senyumnya melebar dan misinya berjalan mulus tanpa ia sadari bahwa ada mata yang mengawasinya sejak tadi.
***
Perbuatan Kardi yang dilihat oleh matanya sendiri menurutnya sudah kelewatan. Tekadnya semakin bulat untuk menghabisi Kardi. Tetapi, tidak pas rasanya jika siang-siang begini ia menghabisinya. Surya terlalu banyak berpikir tentang apa rencana selanjutnya yang akan ia lakukan, hingga ia kehilangan jejak Kardi. Menyadari Kardi sudah tak ada dalam pandangannya, Surya berlari ke arah jalan raya. Di ujung jalan, ada toko kelontong kecil dan Kardi berdiri di depannya. Ia nampak bercakap-cakap dengan pemilik toko itu, namun Surya tak bisa mendengarnya karena ia terlalu jauh.
Rupanya setelah menunggu lama dan memperhatikan Kardi dengan pemilik toko berbincang panjang lebar, Kardi pergi dari sana tanpa membawa apa-apa. Ia beranjak dari toko itu dan berjalan ke arah barat menuju pasar. Sebelum masuk ke pasar, Kardi terlihat memasuki salah satu toko emas yang berjajar di pinggir jalan besar. Sudah jelas jika ia akan menjualkan emas yang telah ia curi dari kamar nenek. Dengar-dengar dari berita yang disiarkan radio di pasar pagi tadi, tahun ini harga emas meningkat drastis. Harga jual satu gram emas sudah mencapai kisaran lima ratus ribu rupiah.
“Wah! Setelah ini ada orang kaya dadakan!” Surya bergumam sendiri.
Dari jauh, Surya melihat banyak uang lembaran berwarna merah dalam genggaman Kardi. Sepertinya Kardi memang sering mencuri lalu menjual kembali hasil curiannya. Surya ingat jika selama ia diam-diam memperhatikan Kardi, kiosnya di pasar tak ramai pembeli. Namun, ketika malam ia selalu berkumpul dengan teman-temannya di perkampungan sepi penduduk untuk berjudi dan minum alkohol.
Pasar sudah kembali sepi. Tersisa beberapa pedagang yang masih mengobrol dengan pedagang lain sembari membereskan dagangannya. Kardi kembali ke kiosnya, membantu istrinya untuk beberes dan menutup kios. Kardi dan istrinya keluaar pasar menuju arah selatan, pertanda mereka pulang ke rumahnya. Surya tak lagi mengikuti Kardi karena tak ada kegiatan menarik yang Kardi lakukan di rumahnya. Ia akan kembali memantau Kardi saat malam tiba.
***
Malam hari sekitar pukul sembilan, Surya sudah berada di salah satu rumah kosong di perkampungan sepi penduduk. Kampung itu tidak benar-benar kosong, ada sekitar enam rumah yang masih terisi dari belasan rumah yang ada. Rumahnya berjarak, tidak sedikit pula yang sudah hancur. Namun, penduduk di sana jarang ada yang keluar rumah karena kondisi yang terlalu sepi dan berbahaya. Semua orang tahu jika memang rumah-rumah kosong yang ada di sana menjadi sarang maling, sarang judi, dan bahkan sarang mesum. Namun, mereka membiarkannya begitu saja seolah itu adalah hal yang lumrah.
Di seberang rumah tempat Surya bersembunyi adalah tempat dimana Kardi dan teman-temannya berkumpul. Tetapi saat itu, yang ia lihat adalah dua orang laki-laki, yang satu bertubuh kecil namun nampak lebih tua dibanding orang yang satu lagi. Surya tak pernah melihat mereka. Tak berselang lama, Kardi terlihat berjalan menuju rumah itu bersama dengan pemilik kelontong yang ia lihat siang tadi.
“Banyak uang kau rupanya.”
Seorang yang bertubuh kecil tertawa melihat Kardi datang. Kardi tak menjawab, ia hanya memasang senyum yang lebar. Semua wajah terlihat sumringah. Orang yang bertubuh kecil bersama dengan temannya tadi, kini mendapat banyak uang, sedangkan Kardi kini mendapatkan barang yang diincarnya. Dua botol minuman keras bermerek terkenal yang tak pernah ia rasakan. Selama ini, ia hanya meminum minuman keras oplosan bersama teman-temannya.
Tak sabar, Kardi membuka botol itu dan menuangkan ke gelas-gelas yang memang sudah ada di rumah itu. Ia mempersilakan tiga orang lainnya untuk minum bersamanya. Namun, ketiganya menolak. Mereka malah mempersilakan Kardi untuk bersenang-senang dengan minumannya itu. Dengan senang hati, ia menenggak dan sampai pada kesadaran yang meninggalkannya. Tiga orang lainya hanya tertawa melihat Kardi yang teler seperti bayi yang kekenyangan meminum susu.
Melihat Kardi yang sudah tak lagi sadar, tiga orang itu bersama-sama memukuli Kardi sampai ia tak dapat mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Surya yang melihat itu terkejut, tetapi ia merasa puas melihat Kardi yang dipukuli seperti ia dipukuli Kardi waktu lalu. Tak hanya sampai situ, pemilik toko mengambil sisa uang yang masih ada dalam kantong celana Kardi. Tidak banyak memang, namun uang itu cukup untuk dibagi menjadi tiga bagian. Mereka pergi meninggalkan Kardi sambil menertawakan kebodohan Kardi. Satu botol minuman keras yang masih tersisa pun mereka bawa pergi juga.
Rupanya mereka bertiga adalah komplotan yang lebih mahir dalam menipu orang. Tidak seperti Kardi yang hanya menipu kalangan bawah. Surya mendekat ke rumah kosong itu. Tampak Kardi yang babak belur dan tak bergerak. Meski Surya tak berniat menjalankan misinya hari ini, namun ia rasa sekarng adalah waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya kepada Kardi.
Ia kembali ke rumah di seberangnya, dan mengambil minyak tanah yang sudah ia siapkan sejak lama di sana. Beruntung tidak ada yang tahu jika ia menyimpan barang di dalamnya. Melihat Kardi yang tidak kunjung sadar, buru-buru Surya menyiramkan minyak tanah ke seluruh bagian rumah, termasuk pada tubuh Kardi. Tak lama, ia menjatuhkan korek api pada rumah itu. Sekejap saja, api langsung menyebar menghanguskan rumah serta tubuh Kardi.
Surya yang puas melihat kobaran api menyala-nyala pergi dengan santai meninggalkan perkampungan sepi itu. Tak ada seorang warga pun yang tahu karena jarak antara rumah yang berpenghuni dan yang tidak cukup jauh. Setelah berjalan jauh, Surya membalikkan tubuhnya. Ia melihat nyala api yang mulai memudar. Sama seperti cahaya dan sinar dalam arti namanya yang mulai meredup. Seorang remaja labil berisua 18 tahun kini telah menghilangkan nyawa seseorang dengan tangannya sendiri. Atau sebenarnya Kardi telah kehilangan nyawanya sebelum itu?
***
Tiga hari setelah Kardi tewas terpanggang, muncul berita dalam koran harian. Surya rela membeli sebuah koran hanya untuk membaca berita itu. Disebutkan jika identitas Kardi sudah diketahui oleh pihak kepolisian dan polisi menangkap tiga orang yang melakukan trensaksi bersama Kardi. Polisi menetapkan ketiga orang tersebut sebagai tersangka. Membaca kabar itu, Surya hanya menertawakan kebodohan Kardi, tiga orang yang bersama Kardi, dan polisi. Menurutnya, mereka semua sama-sama bodoh dan gegabah. Lagi-lagi Surya mendapat hal konyol pada pagi hari. Akankah Surya mendapatkan hal konyol lagi di lain pagi?