Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ndang ujarakarna wawa ne kaider ku lupa. Katutupan ku si lupa. Apanya ning amingét. Kasilip ka silipkeun. Ku mala jati ning raga. Keuna ku tutur ning jagat. Malapat di sarira. (Sanghyang Raga Dewata) [1]
Aku sering dijenguk oleh Harimau Putih. Tidak. Dia ini tidak seperti bangsa Kappa yang mengunjungi pasien di rumah sakit jiwa dalam cerita Akutagawa Ryunosuke yang terkenal itu—ah, meskipun, aku kini juga ditahan di rumah sakit jiwa, sih. Tetapi, percayalah, harimau ini bukan mahkluk mitos atau pun sebangsa jin. Aku yakin seratus persen dia hanyalah bayangan imajiner yang tercipta karena aku ini adalah orang yang sangat waras.
Apa coba yang tidak bisa otak manusia ciptakan? Toh, ini hanya bayangan. Sangat mudah untuk mencitrakannya. Tidak perlu alat dan bahan. Hanya otak yang masih sehat. Ah, kawan, kamu pasti menyanggah: Bagaimana, sih, tadi, kamu berkata bahwa otakmu itu sehat, tetapi kenyataannya, kau ini seorang pasien rumah sakit jiwa!
Hmmm... Kawan, kenyataannya, jalan yang ditempuh untuk menjalani hidup memang terkesan dramatis. Atau, aku yang terlalu berlebihan memaknainya, sehingga aku terlarut dalam cerita dan berakhir cengeng karena berujung menjadi tragedi. Tetapi, ironi memang selalu terjadi. Sungguh. Cerita hidup memang sedikit lucu. Seperti lakon komedi yang tidak akan pernah kehilangan panggungnya.
Seperti langit malam ini yang sangat cerah dan tanpa awan sedikit pun. Ada Afrodit yang berusaha tidak mau kalah terang dengan purnama. Pada kebanyakan cerita, Kawanku, kondisi cuaca merupakan gambaran kondisi hati. Seakan-akan semesta mendukung suasana dan perasaan seorang tokoh. Padahal tidak begitu. Kawan, bukankah bintang-bintang itu lucu? Mereka mencoba tetap bersinar dan tak mau tertelan gelap, padahal sebenarnya mereka telah lama mati. Dan, orang awam percaya bahwa apa yang mereka lihat adalah kebenaran—ya, mereka percaya bahwa bintang yang sedang berbinar itu terang saat ini juga.
Akh, tidak! Itu bukan hidup. Cerah tidak selalu bahagia, Kawanku, Tuan Redaktur Yang Terhormat. Bisa saja, saat suasana yang mendukung untuk riang seperti ini, ada seseorang yang mati atau kalah—Seperti kusebut tadi, Ironi. Semua hal nyata tentang hidup terkadang sangat berseberangan. Seperti seekor kancil yang berdoa untuk tetap hidup saat sedang berhadapan dengan harimau lapar. Apakah karena suasana di hutan sedang bahagia lantas Si Harimau enggan memakan Si Kancil?
Tidak begitu, kan? Karena itulah, kini aku mencitrakan seekor Harimau Putih di kamar ku. Jujur saja, Kawanku, sesuatu yang aku takutkan adalah mati. Sebelum dan sesudah aku dimasukan ke dalam bangsal ini pun ketakutanku masih sama. Tetapi, ah, tetapi. Tunggu sebentar kawanku, izinkan aku jongkok di dalam ceruk itu. Nah, iya di situ. Di bawah meja obat. Kamu mau ikut? Tidak boleh. Ini hanya muat untuk satu orang. Kamu diam saja di sana dekat Si Harimau Putih.
Baik, Kawanku. Biar ku ceritakan sedikit. Ah, kau lihat wajahku ketakutan bukan? Ya, itu karena aku sedang takut mati. Takut mati. Tetapi, Kawanku. Kurang ajar sekali teori arketipe[2] ini. Menurut si filsuf Plato—bukan Mag si filsuf Negeri Kappa—jiwa manusia sudah ada dan independent di alam arketipe sebelum keberadaan tubuh. Ah, kawanku, tetaplah di sini, aku takut kepada harimau itu. Lihat taringnya! Juga tatapannya yang bengis! Ya, kawanku. Betul. Aku pun masih ingat. Tadi, Aku berkata: Harimau Putih itu adalah sebuat citra dari pikiranku belaka. Tetapi sebenarnya, Harimau putih itu adalah jiwa murni yang ku bawa dari arketipe. Hohoho. Jangan salah paham terlebih dahulu, bukankah, orang pintar selalu berkelit untuk keuntungannya sendiri? Begitu juga aku kawanku, biarkan saja otak warasku ini bekerja sebagaimana adanya, agar jalan cerita ini tidak mandek.
Baik ... Kita kembali lagi kepada Si Harimau Putih. Dia tidak memiliki tubuh, kawanku. Dia adalah jiwa murni. Jadi, Dia tidak mengalami proses lupa karena bersatu dengan materi, seperti halnya Aku. Aku ... Awalnya, Aku ingin dia memakan seluruh jiwaku. Agar jiwaku sepenuhnya mati dan kembali ke arketipe. Agar seluruh pengetahuan tentang alam semesta ini dapat ku ingat kembali, sehingga aku bisa menulis dengan sangat indah dan meyakinkan. Tetapi, saat dia hadir dan muncul dari bulan purnama. Lalu dia melompat-lompat dari satu bundaran di angkasa berwana perak itu ke bintang kecil yang berkelap-kelip. Lalu ke bulan lagi. Lagi. Lagi. Terus menerus melompat. Kemudian dia bertengger di pucuk beringin. Sampai akhirnya dia mendarat di kamarku—Aku merasa belum siap untuk mati baik jiwa maupun raga.
Ah, kawan, mari kita sandingkan teori Plato ini dengan keyakinan kaum Jabariyah. Dokrtin mereka hampir senada: Manusia sejatinya tidak memiliki kehendak sedikitpun. Semua sudah diatur oleh takdir. Semua, kawan. Semuanya! Dan, mari kawan, kita renungkan dengan akal yang masih waras. Bukankah, hidup itu sejatinya adalah simulasi untuk mati? Benarkan, akalku ini masih sehat, kan? Sangat brilian dan tak terbantahkan. Sejak kita hidup dan menghirup oksigen, sel di tubuh kita akan menuju kematian itu sendiri. Dengan kata lain, kita bernafas pun sejatinya adalah untuk mati.
Tetapi, sayangnya, pada masa hidup Plato dan Ja’ad bin Dirham belum ada judi slot online. Bayangkan saja kawanku, aku yang seorang jenius dan terpelajar. Harus kehilangan semua hartaku karena meyakini bahwa semua ini adalah takdir. Seharusnya, pada saat kalah berapa pun itu saat berjudi, aku tidak merasa kesal bahkan marah sampai-sampai aku membunuhmu—kawan baiku, seorang Redaktur koran. Ah, seharusnya, aku tertawa bukan terluka, lalu berkata, “Aahahaha aku kalah dan ini adalah jalan hidup ku. Aku berjudi pun ini jalan hidupku.” Seharusnya seperti itu kan, Kawan? Dan, aku bertanya, kenapa pada saat itu, saat aku memegang gawaiku untuk bertaruh, jiwaku tidak terangkat ke arketipe dan mengetahui bahwa judi itu bisa membuatku miskin?
Seharusnya aku tahu kawanku, dan kuharap kau mengerti kenapa aku membunuhmu kala itu. Bagaimanapun mencari uang itu tidak gampang. Dan, aku sampai harus berhutang kepada rentenir untuk terus bermain judi slot itu. Aku ingin membayar kekalahanku dengan terus menaikan taruhan. Bukannya menang, aku malah kalah semakin dalam. Dan kamu seenaknya berkata saat aku memelas untuk menerbitkan tulisanku agar mendapat sedikit uang:
“Judi memang sangat bisa membuat orang terpelajar sekalipun menjadi goblok!”
Omong kosong macam apa itu? Bukankah dulu kamu pernah berkata seperti ini:
“Kamu terlalu muda untuk menjadi bijak, pengalaman hidupmu baru seumur jagung—ah, kata-kata bijak yang keluar dari tulisanmu itu, memang bagus, tetapi ... sudah kubilang kan, Nak, kamu harus masih mengalami hidup lebih lama lagi agar tulisanmu itu meyakinkan. Atau minimal kamu merasakan pahitnya kehidupan yang sesungguhnya.”
Persetan! Jadi, menurutmu sejatinya aku tidak layak menulis apapun? Meskipun aku mengalami kejadian nyata dalam hidupku? Sampai-sampai hidupku hancur dan merasa ... Karenamu, Kawanku aku harus rela terkena sakit seumur hidup dan diburu rentenir. Aku mencoba para pelacur murahan agar tahu rasanya bersetubuh tanpa cinta. Aku pun mencoba jatuh cinta dengan salah satu dari mereka. Dan, semua kesenangan itu harus ditempuh dengan uang. Aku menjual semua warisanku untuk mendapat uang, hingga semuanya habis dan kamu, kawan, masih tetap merendahkan derajat tulisanku.
Aku mencoba berbagai cara untuk terus mendapatkan pengalaman hidup sampai terpaksa meminjam uang kepada lintah darat itu untuk modal berjudi. Semua itu ku lakukan agar aku bisa membeli pengalaman dan juga buku yang banyak. Tujuan utamaku adalah membuat tulisanku bermutu seperti apa yang kau bilang kepadaku. Kenyataannya ... Ah, Kamu menghakimiku dan menyebutku goblok karena tindakanku itu.
Dan, aku hanya bisa berpasrah dan menganggap semua ini sudah takdir dan memang ada di arketipe. Tetapi, kenyataanya, jiwaku—dulu—tidak pernah sampai ke arketipe. Ah, kawanku. Mengenang itu. Pikiranku memutar kenangan serupa vidio monokrom di dalam kepala. Adegannya kau tahu, Kawanku? Ya betul. Itu adalah rekaman tentang kita yang sedang beristegang di meja redaksi. Aku tidak mempunyai senjata kecuali gigi. Kamu bernasib sama seperti Anwar Sadat[3], tewas dengan cara digigit hingga urat lehernya pun putus. Namun, itu salahmu sendiri karena membuatku kesal.
Bayangkan saja, aku ini sudah hidup dalam tekanan tujuh gunung di pundak sekaligus. Dan kamu berkata sepeti menaruh sebuah lemon[4] di puncak ke tujuh gunung itu. Kawanku, kamu hanya memiliki peran seberat lemon itu, tetapi, itu cukup untuk membuatku runtuh dan, yah, tubuhku adalah bom waktu yang meledak dan menghamburkan emosi.
Nah, setelah peristiwa pembunuhan itu lah, jiwaku melayang ke arketipe. Perasaanku campur aduk. Antara sesak dan bahagia. Sakit tetapi membuatku ketagihan. Mungkinkah itu rasa mati tergantung? Kau, tahu, kata orang: kehabisan oksigen ke kepala mengakibatkan kontolku orgasme? Tidak tahu. Aku juga belum mengalaminya. Dan, seperti ku bilang, kan, aku takut mati. Tetapi, saat itu kawan. Darah segar mengalir dari mulutku. Darahmu yang anyir dan amis. Aku meneguknya. Adai saja itu darahku yang berasal dari jantung, maka aku akan membuat puisi untukmu seperti ini:
Ku tulis puisi untumu dari perasan jantung, untuk kau teguk segelas puisi merah. Darah adalah tintanya.
Kawanku, meskipun kamu selalu meremehkan kualitas tulisanku, tetapi, perlu kamu ketahui: Aku selalu menulis apapun dengan sangat sungguh-sungguh. Jika harus hiperbola, aku menulis dengan berdarah-darah, sebuah frasa yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Ingat kata Fyodor, “andai aku tidak miskin dan kecanduan judi, mungkin aku bisa menulis lebih baik dari ini.” Seperti itulah, kawanku. Dan, sebenarnya, Kawanku, Aku mulai meyakini, dengan kamu tidak menerima tulisanku, aku sudah tidak bisa lagi hidup di dunia ini dengan hanya menulis. Kamu saja—kawan baikku—tidak menerimanya, apalagi orang lain.
Kawanku, apakah sekarang kamu juga menggigil? Apa kamu menyesal? Atau kamu bahagia sudah merasakan mati? Kawanku, temani aku di sini sebentar saja. Sekarang aku sudah merasa siap untuk diterkam Harimau Putih itu. Ternyata ketakutanku akan mati juga ada hubungannya dengar keterbukaan hatiku padamu. Ketahuilah, di sini, Aku tidak mempunyai apapun bahkan buku. Ah, buku-buku ku. Apa kabar kalian di sana? Mari kita bertaruh, Kawan, siapa yang terlebih dahulu dimakan rayap-rayap zaman--Aku atau buku ku? Buku ku meskkipun aku jatuh miskin dan menjadi waras sejati, aku tidak akan pernah menjual kalian. Ah, dan kau Harimau Putih, ayo, lekas, terkam aku.
***
Seperti biasa, tugas jaga malam di rumah sakit jiwa adalah hal yang paling aku hindari. Tetapi, sialnya, mau tidak mau aku kebagian juga. Aduh, kenapa juga orang penakut sepertiku harus bekerja di tempat seperti ini? Belum lagi, Nira, teman kerjaku bercerita bahwa ada beberapa sudut ruangan rumah sakit yang angker. Dia juga berkata, bahwa sebenarnya, orang gila itu bisa melihat hantu. Seluruh bulu kuduk ku merinding mengingat ceritanya itu.
Aku berjalan sendirian. Berpatroli menyusuri lorong panjang sambil membawa gerobak obat. Mengecek bangsal satu persatu. Mereka ada dan tengah tertidur pulas. Ah, kamar di sini belum jadwal diberi obat, batinku. Aku kemudian berjalan ke area hitam. Langkah sedikit tersendat. Aku coba memastikan pintu dari bangsal-bangsal itu benar-benar sudah terkunci, bisa gawat kalau pasien hitam sampai kabur. Aman. Aku berjalan lagi dan tiba di salah satu ruangan. Terbuka.
Seketika, seluruh urat sarafku menegang. “Sial. Siapa yang berjaga sore tadi? Teledor banget, sih!” gerutuku. Dengan langkah perlahan dan sedikit mengendap-endap, Aku mencoba menengok ke dalam kamar. “Gawat, pasiennya lepas dari pasungan kasur!” Segera aku masuk dan memeriksa. Ketemu, si pasien sedang meringkuk di bawah meja obat. Tubuhnya menggigil. Saat aku hendak mengambil obat bius, dia mengerling dengan tatapan yang menakutkan, lalu sekonyong-konyong dia menggera, dan menerkam ke arahku seperti seekor harimau.
[1] Artinya: “Ini ucapan orang-orang yang tenggelam dalam ketidaksadaran. Tertutup oleh ke-alpaan. Karena mereka tidak sadar. Terlangkahi tersembunyikan. Oleh pangkal kenistaan pada tubuh. Terpengaruhi oleh cerita-cerita dunia. Membayangi dalam diri.” Terdapat dalam Naskah Sanghyang Raga Dewata
[2] Alam ide teori Plato (428-346 SM).
[3] Tokoh yang tewas dalam Lelaki Harimau, Eka Kurniawan.
[4] Lemon adalah cerpen Kajii Motojiro.