Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Nada Terakhir Sang Maestro
Cahaya senja yang temaram menyusup melalui jendela kaca patri perpustakaan arsip kampus, memendar di antara rak-rak tinggi yang berjejer rapat, dipenuhi oleh tumpukan naskah dan partitur tua yang menguning. Elio, seorang mahasiswa musik dengan rambut ikal sebahu dan kacamata bertengger di hidungnya, menghela napas panjang, debu-debu halus menari-nari di udara seiring setiap embusan. Seharusnya ia sudah pulang, menikmati sisa sore yang damai di kafe langganannya, tapi rasa penasaran yang tak bisa dijelaskan menahannya. Ia telah menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya di sini, menelusuri katalog-katalog usang dan risalah-risalah yang nyaris tak pernah disentuh.
Ketertarikannya muncul dari bisikan-bisikan samar di antara para dosen dan sesama mahasiswa tentang Amadeo Veltz, seorang pianis dan komposer eksentrik dari abad ke-19. Nama Veltz jarang disebut dalam silabus resmi, seolah ada upaya sistematis untuk menghapusnya dari sejarah musik. Konon, karya-karyanya terlalu 'gelap', terlalu 'mengganggu'. Elio, dengan sifatnya yang selalu tertarik pada hal-hal yang tidak biasa, merasa terpanggil untuk menyelidiki. Ia menemukan beberapa artikel lama yang menyebutkan Veltz sebagai seorang jenius yang brilian namun terasing, dengan komposisi yang seringkali menantang batas-batas harmoni konvensional, bahkan dituduh menggunakan ritus-ritus okultisme untuk mencapai inspirasi.
Pencariannya membawa Elio ke sebuah bagian terpencil di arsip, area yang jarang dikunjungi, tempat naskah-naskah yang dianggap 'bermasalah' atau 'tidak signifikan' disimpan. Debu tebal menyelimuti setiap permukaan, dan udara terasa dingin, seolah waktu berhenti di sudut ruangan itu. Setelah hampir putus asa, matanya menangkap sebuah kotak kayu berukir sederhana, nyaris tersembunyi di balik tumpukan risalah keagamaan kuno. Di atasnya, terukir dengan tulisan tangan kaligrafi yang anggun namun tampak terburu-buru: "A. Veltz - Koleksi Pribadi". Jantung Elio berdebar. Ini dia.
Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu. Aroma kertas tua dan tinta yang memudar langsung menyeruak, memenuhi rongga hidungnya. Di dalamnya, tergeletak beberapa lembar partitur yang terikat longgar dengan pita satin yang telah lusuh. Bagian atas halaman pertama tertulis, "Lamenta Nocturna" – sebuah judul yang terdengar begitu melankolis dan menggoda. Di bawahnya, nama "Amadeo Veltz" tertulis dengan guratan tegas. Elio tahu, ini adalah lagu yang sering disebut-sebut dalam desas-desus, sebuah komposisi yang konon tidak pernah diselesaikan atau dipublikasikan, sebuah karya yang terlalu personal bahkan bagi Veltz sendiri. Partitur itu tampak tidak lengkap, beberapa bar terakhir kosong, seolah sang komposer tiba-tiba berhenti menulis di tengah jalan.
Elio segera membawa partitur itu ke ruang latihan piano di lantai dasar. Ruangan itu kosong dan hening, hanya ada gemuruh samar sistem pendingin udara yang beroperasi di kejauhan. Sebuah grand piano klasik, Yamaha C7 yang usianya sudah cukup tua namun masih terawat, berdiri megah di tengah ruangan, memantulkan cahaya redup dari lampu gantung. Elio meletakkan partitur di atas sandaran not, jari-jarinya menelusuri tuts-tuts yang dingin, merasakan getaran antisipasi yang aneh.
Melodi "Lamenta Nocturna" dimulai dengan akor minor yang mendalam, perlahan dan merayap, seolah meniru hembusan angin di tengah malam. Setiap nada yang dimainkan Elio terasa seperti bisikan dari masa lalu, membawa nuansa kesedihan yang mendalam dan kegelapan yang menakutkan. Harmoni yang disajikan unik, tidak sepenuhnya disonan, namun menghasilkan ketegangan yang membuat bulu kuduk merinding. Ada bagian-bagian yang terdengar seperti tangisan yang tertahan, kemudian beralih ke deru badai yang mengamuk, lalu kembali mereda menjadi keheningan yang mencekam. Meskipun partitur itu tidak lengkap, Elio mampu mengimprovisasi bagian akhir dengan keahliannya, membiarkan emosin...