Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Senyap yang Menipu
Dunia Adrian adalah sebuah siksaan, sebuah orkestra mengerikan yang tak pernah berhenti. Ia adalah seorang komposer musik klasik, seorang maestro yang pernah dikenal akan kepekaannya terhadap melodi dan harmoni, namun kini, kepekaan itu telah menjadi kutukan. Ia menderita hiperakusis ekstrem, sebuah kondisi langka di mana suara-suara biasa terasa seperti pukulan palu di gendang telinganya, setiap desibelnya menusuk hingga ke saraf terdalam. Bisikan angin, tetesan air dari keran yang bocor, gesekan kain, bahkan detak jantungnya sendiri—semuanya adalah suara memekakkan telinga yang tak henti-hentinya.
Trauma masa lalunya memperparah penderitaannya. Lima tahun lalu, sebuah kecelakaan tragis di sebuah konser orkestra, di mana sebuah set panggung runtuh dengan suara ledakan yang memekakkan telinga, telah merenggut nyawa kekasihnya, seorang pemain biola virtuoso, dan meninggalkan Adrian dengan kondisi pendengaran yang rusak parah, bukan tuli, melainkan sebuah sensitivitas berlebihan yang menghancurkan. Sejak itu, ia mengasingkan diri, mencari keheningan mutlak.
Ia mendengar tentang "Rumah Gema", sebuah properti tua terpencil di tengah hutan lebat, jauh di pegunungan Jawa Barat. Kabar burung mengatakan rumah itu dibangun oleh seorang musisi eksentrik di awal abad ke-20, dengan akustik yang unik—suara-suara seolah menghilang begitu saja di dalamnya, ditelan oleh dindingnya, menghasilkan keheningan yang sempurna. Bagi Adrian, ini adalah janji surga, sebuah tempat di mana ia bisa menemukan ketenangan yang ia dambakan dan mungkin, sekali lagi, menciptakan mahakaryanya.
Perjalanan menuju Rumah Gema adalah siksaan tersendiri. Setiap getaran mesin mobil, setiap klakson dari kendaraan lain, setiap percakapan samar dari pengemudi, menusuknya seperti ribuan jarum. Ia menutupi telinganya dengan earmuff berlapis tebal, namun itu nyaris tak membantu. Ia hanya ingin tiba, ingin merasakan senyap yang dijanjikan.
Ketika mobil yang disewanya akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi berkarat yang diselimuti tanaman merambat, Adrian merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia melangkah keluar, melepas earmuff-nya. Udara dingin pegunungan segera menyambutnya, membawa serta aroma pinus dan tanah lembap. Dan kemudian, keheningan itu datang. Sebuah keheningan yang begitu pekat, begitu absolut, hingga terasa seperti sebuah pelukan yang dingin. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran angin yang nyata, tidak ada dengungan serangga. Hanya keheningan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Adrian merasakan kedamaian yang sejati.
Rumah itu sendiri adalah sebuah mahakarya arsitektur, namun juga terasa angker. Terbuat dari kayu gelap yang telah lapuk termakan usia, dengan menara-menara kecil dan jendela-jendela tinggi yang diselimuti lumut. Aura dingin terpancar darinya, sebuah keheningan yang terlalu sempurna untuk menjadi alami. Adrian membuka pintu utama yang berderit pelan. Aroma debu, kayu tua, dan sesuatu yang samar-samar seperti logam dingin, memenuhi udara.
Di dalam, rumah itu terasa seperti gua yang luas. Ruang tamunya membentang lebar, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela besar yang mengarah ke hutan yang diselimuti kabut. Perabotan lama yang tertutup kain putih berdiri kaku seperti hantu. Adrian berjalan perlahan, setiap langkah kakinya nyaris tak terdengar, seolah suara itu diserap oleh lantai kayu dan dinding yang tebal. Ini adalah keheningan yang ia impikan.
Ia membawa peralatan musiknya, synthesizer portabel, headphone kualitas tinggi, dan sebuah piano tua yang ia beli dari seorang penduduk desa. Ia meletakkannya di ruang tamu yang luas, yang ia bayangkan akan menjadi studionya.
Hari pertama dan kedua berlalu dalam sebuah euforia yang rapuh. Adrian menghabiskan waktunya membersihkan rumah, membuka jendela-jendela yang terkunci rapat, membiarkan cahaya samar dari hutan masuk. Setiap pekerjaan dilakukan dalam keheningan yang mutlak. Ia mulai duduk di depan piano, jari-jarinya menari di atas tuts yang berdebu. Suara yang dihasilkan piano itu terdengar aneh, seperti disaring, kehilangan resonansinya, mati begitu saja di udara. Itu bukan suara yang buruk; itu adalah suara yang terputus, sebuah nada yang tanpa gema, tanpa kelanjutan. Itu sempurna untuk hiperakusisnya.
Namun, di tengah keheningan yang s...