Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Sihir Si Tunasihir
2
Suka
3,429
Dibaca

Desa Cigenep, Pulau Bening, Selat Sunda, Jawa Barat.

Rabu, 5 Desember 2018.

“Penyihir?” tanya Sunu tak percaya. Matanya menatap kuat KTP yang ia pegang, milik perempuan usia 40-an tahun—tertulis di situ—di depannya. Kulit keningnya mengerut, mencoba memahami alasan aparat kelurahan mengizinkan seseorang mengisi kolom pekerjaan di KTP-nya dengan “Penyihir”.

“Begitulah,” sahut Iyut yang duduk dengan posisi tegak di depan mejanya. “Tapi saya sudah pensiun. Pensiun dini. Tidak enak jadi penyihir. Dan saya berniat tinggal di desa ini untuk menikmati hidup tanpa sihir. Ketenangan desa ini sudah lama saya dengar dan menggelitik hasrat saya untuk hijrah ke sini.”

Sunu, Ketua RT 06 RW 06 Desa Cigenep itu, tidak memedulikan penjelasan panjang Iyut. Dengan tetap mempertahankan kerut di keningnya, ia menurunkan kaca mata dan menggeser tatapannya ke wajah Iyut. “Tapi masih bisa menyihir?”

“Di tempat asal saya, penyihir yang pensiun harus rela melepaskan ilmunya. Jadi, ya, saya sekarang tunasihir.”

“Tapi di KTP Ibu masih tertulis ‘Penyihir’.”

“Saya sebetulnya mau saja diganti. Nanti sekalian membuat KTP baru di sini.”

“Diganti apa maunya?”

Iyut menyahut lirih, “Penyihir purnakarya.”

 

Kamis, 6 Desember 2018.

Sejak sore kemarin orang-orang dari berbagai usia dan lintas desa berdatangan tanpa henti. Tunasihir Iyut justru berhasil menyihir mereka untuk bergerombol memenuhsesaki tanah lapang di seberang jalan depan rumahnya. Tujuannya jelas cuma satu: untuk melihat wujud sang penyihir. Di zaman modern begini masih ada penyihir, tentulah menggelitik rasa penasaran.

Tapi situasi berbalik 180 derajat pagi ini. Kerumunan berangsur buyar setelah Iyut keluar rumah untuk menjemur pakaian dengan santainya. Mereka kecewa karena tebakannya keliru, tapi sekaligus puas karena rasa penasarannya terjawab dengan fakta di depan mata. Yang disebut ‘penyihir’ itu cumalah sesosok emak pengguna daster murah dan sandal karet berjepit merah. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan tergerai basah. Hidung besar dan mata pandanya membuat wajah ‘si emak’ terlihat 20 tahun lebih tua dari usia yang infonya diviralkan Sunu di grup WA.

Yang beginian, sih, di sini berjibun,” terdengar suara nyaring perempuan membelah kerumunan. Sengaja disetel dengan volume tinggi agar terdengar oleh objek yang disasar. Orang-orang yang mendengar cibiran itu menanggapi dengan mengikik sambil berjalan meninggalkan tanah lapang.

Iyut sengaja menulikan pendengarannya. Ia malas menanggapi.

 

Kamis, 13 Desember 2018.

 Sepekan tinggal di Desa Cigenep, hari-hari Iyut diwarnai dengan olok-olok. Setiap ia keluar rumah ada saja kata-kata bernada meledek, mengejek, nyinyir, hingga melecehkan, yang ditujukan padanya. Bahkan, anak-anak pun dibiarkan oleh orang tua mereka untuk melempari Iyut dengan botol kemasan air minum.

 Iyut acuh tak acuh. “Aku tidak membuat masalah dengan mereka. Mereka sendirilah sumber masalah mereka,” ia membatin.

 Pagi itu, Iyut berjalan menyusuri los sayur di pasar, mencari bahan-bahan untuk ia masak di rumah. Ia merasakan tatapan mata dari hampir semua pedagang di pasar itu mengikuti gerak-geriknya.

“Kalau mau cari kodok dan kadal di los belakang, Bu,” ledek seorang pria penjual sayur lalu terbahak-bahak.

“Hati-hati kalau ngomong, Kang,” timpal pedagang di sebelahnya. “Lidahmu jadi bercabang lima, baru tahu kau.”

Sambil memilih sayuran, Iyut tersenyum kecut di dalam hati. Aku jamin mereka tidak bakal ngomong begitu kalau hidup di zamanku 120 tahun lalu.

“Aku percaya,” sebuah suara yang berbisik di telinganya mengejutkan Iyut. Ia memutar tubuhnya dan mendapati seorang laki-laki tua berdiri memandang wajahnya dengan tatapan kosong. Usianya sekitar 80-an tahun—terlihat dari kerutan kulit di sebagian besar wajahnya dan uban yang menyeruak dari balik udeng hitam kumal yang ia kenakan. Sama kumalnya dengan baju yang membalut tubuhnya.

“Maaf?” Iyut menyahut, memastikan apakah laki-laki tua tersebut sedang membaca pikirannya.

“Aku percaya lidah kadal bercabang lima. Lihat….” Laki-laki tua itu menjulurkan lidahnya. “Aku kadal.”

Sontak terdengar kikik dan tawa dari para pedagang. Mengejek, tentu saja.

“Cocok buat judul film: Penyihir dan Si Fakir!” seru seorang bapak yang diikuti tawa yang lain, yang makin lama makin bergemuruh. Sejumlah bocah melempari mereka dengan sayuran. Yang punya dagangan diam saja, malah ikut melempari.

Iyut melindungi tubuh laki-laki tua itu. Wajahnya memerah marah. “Dasar kepar….” Kalimat makiannya terhenti oleh kesadarannya yang tiba-tiba muncul. Penyihir purnakarya yang mengutuk akan menerima kutukan sihirnya sendiri.

Iyut mengajak laki-laki tua itu menyingkir dari pasar. Mereka berjalan biasa selepas itu. Gelak tawa dan cibiran masih terdengar sayup-sayup di telinga Iyut. “Rasanya aku salah informasi tentang desa ini,” gumamnya.

“Aku Danur.”

Iyut menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia benar-benar lupa dengan laki-laki fakir itu, yang sekarang masih saja mengajak bersalaman.

“Saya Iyut,” katanya menyambut tangan Danur. “Bapak mau ke mana?”

“Mau ikut kau.”

Iyut tersenyum, menduga Danur sedang bercanda. “Kenapa ikut saya?”

“Bosan jadi kadal. Aku mau kau sihir jadi kuda.”

Kali ini Iyut nyengir. “Saya sudah tidak bisa menyihir, Pak Danur.”

“Sudahlah, mengaku saja.”

Danur mendekatkan wajahnya ke telinga Iyut lalu berbisik, “Ayo berbagi rahasia.” katanya. “Aku ini intel. Sedang menyamar jadi kadal.”

Danur menarik tubuhnya. “Nah, sekarang giliranmu. Mengakulah kau masih bisa menyihir.”

Iyut memandang datar wajah Danur. Rasa ibanya terhadap Danur makin tebal.

“Ayolah, Penyihir. Sihir aku jadi kuda. Penyamaranku sudah mulai terbongkar oleh beberapa orang,” kata Danur.

“Oke,” sahut Iyut akhirnya. “Mulai sekarang Pak Danur aku sihir menjadi kuda. Tapi ada syaratnya agar sihirnya efektif. Pak Danur harus berpikir dan berperilaku seperti kuda.”

          

Senin, 17 Desember 2018.

Empat hari berlalu setelah Danur ‘disihir’ oleh Iyut menjadi seekor kuda. Danur selalu mengekor ke mana pun Iyut pergi—dengan merangkak, meringkik, dan sesekali menyepak. Orang-orang yang melihat tingkah Danur justru menanggapi dan memperlakukan dia sebagai seekor kuda. Maka, Danur pun makin yakin bahwa dirinya adalah seekor kuda.

Sesekali Danur minta disihir menjadi hewan lain, dan Iyut menyanggupinya—dengan tetap memberikan syarat utamanya kepada Danur. Namun, pada akhirnya Danur selalu minta dikembalikan menjadi seekor kuda.

Iyut mendirikan sebuah tenda di halaman rumahnya untuk Danur menginap, lengkap dengan sajian makan tiga kali sehari, plus sejumlah pakaian layak pakai yang dia beli di pasar. Danur merasa nyaman hidup bersama Iyut. “Sepertinya penyihir itu sudah menyihirku menjadi sahabatnya,” ucap Danur di dalam hati.

Malam itu Danur meringkik tiada henti, membuat Iyut tidak bisa tidur. Tepat ketika ia bangkit untuk memeriksa, tiba-tiba terdengar ketukan—lebih tepatnya, gedoran—di pintu depan. Iyut membukakan pintu dan langsung kaget ketika dua laki-laki berbadan kekar berambut cepak menangkap dan memaksanya masuk ke dalam sebuah mobil van. Di dalam mobil sudah ada Danur yang terduduk lunglai. Ia hanya melirik ke arah Iyut. 

Iyut dibawa ke sebuah rumah megah, yang ia tahu itu adalah milik Harja, sang Kepala Desa. Kedua lelaki kekar tadi membawa Iyut menghadap penguasa Cigenep yang sudah siap duduk di ruang tamu dengan angkuhnya. Salah satu lelaki kekar mendorong paksa Iyut untuk berlutut di depan Harja.

“Kau sudah tahu mengapa dibawa ke sini?” tanya Harja.

Iyut menatap Harja tanpa ekspresi. “Sama, itu juga pertanyaan saya,” sahutnya.

Harja terkekeh. “Baiklah, kau tahu siapa pria tua yang kau ajak tinggal di rumahmu itu? Ah, maaf, seharusnya aku tidak bertanya. Membaca pikiran ternyata bukanlah keahlianmu.”

Iyut tidak merespons kalimat bernada menyindir itu.

“Pak Danur itu bapakku,” kata Harja. “Dan kau kutangkap karena sudah berani menculiknya.”

Iyut membelalakkan matanya. Eh, saya….”

“Tidak ada pembelaan,” potong Harja. “Bukti dan saksi sudah kuat.”

Harja memberi isyarat pada anak buahnya—si lelaki kekar—untuk melakukan sesuatu.

         

Selasa, 18 Desember 2018.

"Kau terkena senjata Harja,” kata Mimi, perempuan muda berkulit legam itu, pada Iyut. “Begitulah cara dia merekrut pekerja—dengan mencari-cari kesalahan calon pekerjanya.”

 Mereka sedang berada di dalam sebuah kerangkeng buatan berterali besi milik Harja. Ada 11 tahanan di dalamnya. Terbagi ke dalam dua bilik yang terpisahkan teralis. Bilik pertama berisi sembilan laki-laki, dan bilik kedua berisi Mimi dan Iyut.

“Pekerja?”

“Ya, pekerja paksa. Keringat kami diperas untuk bekerja di beberapa usaha hasil korupsinya, tanpa upah. Hanya diberi makan.”

“Atas dasar apa dia memaksa kalian?”

“Masing-masing kami punya dosa hukum. Kebanyakan, mencuri—termasuk aku. Selain itu main hakim sendiri, berkelahi, dan kamu paling parah—menculik. Itulah yang dijadikannya senjata. Kalau kami tidak mau dipekerjakan, maka kami akan diserahkan ke polisi.”

“Aku tidak menculik.”

“Tapi bukti mengarah ke situ, kan? Aku pun sama.”

“Hei, Penyihir,” seorang lelaki tua menyahut dari bilik sebelah. “Cobalah kau sihir keadaan ini menjadi berbalik.”

“Maksudnya?”

“Keluarkan kita dari penjara, dan masukkan Harja dan antek-anteknya ke penjara. Mereka yang seharusnya menghuni bilik ini. Perbuatannya sungguh tidak bisa diterima sebagai manusia.”

“Ya, bahkan bapaknya sendiri disia-siakan,” timpal seorang lelaki lainnya. “Setelah depresi karena memikirkan perbuatan korup anak satu-satunya, Pak Danur malah dibuang ke jalan.”

“Dan, aku yang mencoba menolongnya justru dituduh menculik,” gumam Iyut sambil berdiri dan memandangi langit-langit. Tangannya bersedekap. Menyesal aku pensiun. Masih banyak kebobrokan yang harus dilawan dengan sihir.

 

Rabu, 19 Desember 2018.

Sembilan penghuni sel laki-laki baru saja digiring keluar oleh dua anak buah Harja untuk menjalankan rutinitas mereka—bekerja.

“Kau libur hari ini?” tanya Iyut begitu menyadari Mimi tidak diminta keluar sel.

“Aku kerja malam.”

“Duh, kerja di mana memangnya?”

“Harja punya sebuah kafe di perbatasan desa. Di sana aku diminta melayani para pembeli minuman keras. Kau bisa bayangkan potensi terburuk yang bisa terjadi padaku, kan? Laki-laki, minuman keras, dan seorang wanita di tengah-tengahnya….”

“Dan kau tidak boleh menolak,” sahut Iyut.

Mimi mengangguk.  

Di dalam kepalanya, Iyut menebak-nebak pekerjaan yang bakal diberikan oleh Harja kepadanya. Tiba-tiba matanya melebar. Iyut melihat Danur di kejauhan. Pria tua itu terlihat melangkah keluar rumah, menutup kembali pintunya pelan-pelan, lalu melambaikan tangan ke arah Iyut. Danur menoleh ke segala arah, lalu berjalan pelan menuju sel Iyut. Sayang, baru maju tiga langkah, Harja muncul dan langsung meraih tangan Danur, lalu menariknya ke dalam rumah. Sepintas, Harja melirik tajam ke arah Iyut, memberikan ancaman untuk tidak mendekati Danur lagi.

Iyut memandangi Danur tanpa daya.     

          

Jumat, 21 Desember 2018.

Pada hari ketiganya menghuni bui, Iyut belum juga dipekerjakan. Dan ia tidak mau menebak-nebak. Kata Mimi, Iyut berpeluang bekerja di toko kelontong, karena kalau di kafe dan panti pijat rasanya tidak mungkin, mengingat usia Iyut yang ‘tidak layak’ di kedua usaha Harja tersebut. “Tapi selalu ada pengecualian, kan? Kalau ada tamu yang membutuhkan tentu ketidakmungkinan bisa menjadi mungkin,” kata Mimi.

Malam itu, lelaki tua penghuni bilik sebelah kembali memohon Iyut menggunakan sihirnya. Kali ini kedelapan temannya ikut membujuk. Meski Iyut sudah berkali-kali mengaku tak punya kekuatan sihir lagi, mereka tetap bersikeras agar Iyut mencobanya.  

“Baiklah,” kata Iyut akhirnya. “Tapi aku minta tolong kalian semua membantuku. Cukup dengan meyakini dalam hati bahwa sihirku masih ampuh.”

Maka, Iyut mulai duduk bersila merapal mantra. Mimi mundur di sudut ruangan, seperti takut terkena cipratan sihir. Sementara sembilan penghuni bilik sebelah mendekatkan diri ke jeruji pembatas ruangan, menonton sebuah aksi yang mereka duga bakal seru itu. Kedua tangan Iyut melakukan gerakan memutar dan maju mundur, hingga akhirnya terhenti di depan dadanya dengan pose yang terlihat aneh.

Setelah 15 menit bertahan dalam posisi tersebut, Iyut membuka matanya. Dilihatnya sekeliling dengan penasaran, lalu ia menyadari sesuatu. “Sudah kuduga. Tidak akan berhasil,” katanya.

Sontak, semua penghuni sel merasakan tulang-tulangnya lepas dari tubuhnya.

         

Sabtu, 22 Desember 2018.

Malam itu kekhawatiran Iyut mewujud. Seorang anak buah Harja memberi kabar bahwa Iyut akan dipekerjakan di panti pijat mulai besok malam. Iyut menangis. Namun, satu hal lainnya juga mewujud. Tidak lama setelah anak buah Harja meninggalkan sel, terdengar suara letusan sangat keras di angkasa, disusul dengan guncangan hebat di bawah kaki mereka. Tembok dan jeruji bergetar keras, membuat atap di bagian depan runtuh. Akibatnya, pintu jeruji pun terbuka. Para penghuni sel langsung berhamburan keluar mencari tempat aman.

Mereka berhasil mencapai jalanan, jauh dari rumah Harja. Para warga tampak bergerombol di luar rumah, tidak berani kembali masuk, takut terjadi gempa susulan.

“Anak Krakatau marah,” terdengar seorang warga berkata. “Siap-siap saja terjadi bencana yang lebih parah.”

Warga itu jelas bukanlah seorang penyihir. Tapi yang dia katakan itu seketika terjadi. Mendadak terdengar suara gemuruh yang makin keras dari arah utara.

“Tsunami!” teriak Iyut segera setelah melihat gelombang besar di kejauhan. “Cepat selamatkan diri!”

 

Minggu, 23 Desember 2018.

Dini hari yang mencekam. Mayat-mayat berbalut lumpur berserakan menyaru dengan batang kayu dan benda-benda tak berupa. Iyut yang selamat bersama teman-teman sebui ikut membantu tim SAR mengevakuasi korban. Iyut menemukan Danur tergeletak tanpa daya di rubanah rumah Harja. Napasnya masih nyata. Tak jauh darinya, Harja merintih kesakitan karena tubuhnya terjepit di antara reruntuhan dan sebuah peti besi sebesar lemari. Iyut yakin tulangnya banyak yang remuk.

Hari itu juga, semua media massa di seluruh negeri mengangkat kepala berita sejenis: “Gunung Anak Krakatau Erupsi, Tsunami Terjang Pantai Banten hingga Lampung. Lebih dari 400 Jiwa Tewas.”

 

Epilog

Harja dan antek-anteknya—yang selamat maupun yang tidak selamat dari bencana—diadili. Mereka terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua hartanya, termasuk emas dan uang tunai di dalam peti besi yang ditemukan di dalam rubanah, disita.

“Sihir” Iyut yang tunasihir ternyata masih ampuh. Dia berhasil membalikkan keadaan seperti yang diminta teman-teman sebui: Harja dan anak buahnya dipenjara, sementara dia dan para tahanan bebas.

Iyut meminta Danur tinggal di rumahnya. Tapi Danur memberi satu syarat. Ia minta disihir menjadi ayah Iyut agar mereka bisa terus bersama.


*** 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Sihir Si Tunasihir
hyu
Flash
Unknown You
Tri Wulandari
Novel
TEGURAN MISTERIUS
Virgorini Dwi Fatayati
Novel
MISTIS & MEDIS
Linda Fadilah
Cerpen
Bronze
Perawat Siska
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Nemu
Ron Nee Soo
Skrip Film
News Anchor Screenplay
Risna Pramesti
Novel
Gold
KKPK Misteri Cermin Pengisap
Mizan Publishing
Flash
PRIA MISTERIUS
Arthur William R
Flash
BLUE EYES
Hary Silvia
Cerpen
Bronze
Cerita-cerita Kuno Winasari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
TUNANGAN
Yant Kalulu
Cerpen
Bronze
Dari Aku Untukku
Christian Shonda Benyamin
Novel
Di Balik Kekuasaan, Dalam Pelukan Rahasia
Rini Jumarni
Cerpen
Bronze
Bayang - Bayang Kaktus Berdarah Seri 01
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Cerpen
Sihir Si Tunasihir
hyu
Cerpen
Bronze
Memilih Takdir
hyu
Flash
Sam
hyu
Cerpen
Raksasa dan Si Tua
hyu
Cerpen
Risalah Masa
hyu
Cerpen
Bronze
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Novel
Bronze
Dua Sejiwa
hyu
Flash
Izin Tuhan
hyu
Cerpen
Ada Apa dengan Cinta(ku)
hyu
Cerpen
Di Ujung Pelangi
hyu
Cerpen
Bronze
Berhitung
hyu
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Cerpen
Dendam Sofia
hyu
Flash
Singgah
hyu