Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
*****
Sihir. Adalah hal yang mengerikan bagiku dan sebisa mungkin aku menghindar agar tidak bersentuhan dengan hal-hal mistis semacam itu. Tapi, kita ini makhluk sosial yang membutuhkan banyak jalinan kerjasama. Bertetangga, misalnya. Atau berwirausaha yang harus menjaga keharmonisan dengan pelanggan dan sesama wirausaha lain. Pun sekedar bersosialisasi lewat sosmed. Di antara jutaan koneksi yang terjalin antar manusia tentu ada yang namanya pro dan kontra juga jeoulsy. Hal terakhir itulah yang kerap mendatangkan kebencian. Yang tidaklah mustahil dapat menuntun ke hal-hal yang diharamkan Allah. Sihir.
Keluarga kami memiliki usaha kuliner, dirintis oleh mendiang Bapak sejak beliau masih perjaka. Dari hasil bagi waris Mbak Kakung, Bapak menggunakannya sebagai modal usaha. Kecintaan beliau terhadap kuliner tradisional begitu menggebu sehingga tanpa restu keluarga pun, beliau gigih memperjuangkan passion-nya. Akhirnya Bapak memutuskan untuk merantau ke Semarang, meninggalkan calon istrinya di desa -yang mana kelak akan menjadi Ibu kami- untuk membangun cikal-bakal masa depannya bersama sang kekasih kelak.
Mungkin Allah sangat sayang pada Bapak karena beliau begitu taat dalam beribadah. Shalat tidak pernah bolong, rajin tahajjud, puasa Sunnah Senin-Kamis, rajin bersedekah dan tutur kata beliau selalu tertata sopan. Usaha yang Bapak rintis sukses tanpa halangan berarti. Bapak akhirnya menikahi Ibu dan memboyongnya ke Semarang, melahirkan kami di kota tersebut. Kurang sempurna bagaimana? Usaha kuliner yang kian pesat, istri yang setia dan penurut dan anak-anak yang rukun dan harmonis. Hingga badai itu datang. Sihir.
Aku masih SMA saat kejadian itu, adik baru menginjak kelas lima SD. Kami sedang mengaji sehabis shalat Maghrib, berlomba menghafal ayat-ayat Allah. Itu sudah menjadi rutinitas kami sedari kecil. Bapak yang membiasakan. Lantunan kami mendadak terhenti ketika terdengar suara teriakan sahut-menyahut. Itu suara dua kakak laki-laki kami. Soleh dan Hasan. Belakangan ini mereka memang sering bertengkar. Alasannya adalah usaha kuliner yang kian sepi. Bapak mempercayakan masing-masing anak sebuah cabang usaha. Karena yang sudah mencukupi umur ada tiga orang, maka Bapak membuka tiga cabang yang tersebar di kota Semarang. Tapi, dalam setahun satu cabang bangkrut. Cabang yang terletak di daerah Kota Lama yang dikelola oleh kakak pertama, Fatimma. Bersamaan dengan itu kakak jatuh sakit. Sering demam dan muntah hingga badannya kurus. Fatimma merupakan primadona kaum Adam, sudah teramat sering lamaran datang ke rumah kami untuk Kak Fatimma. Sayang, dia selalu menolak dengan alasan ingin fokus mengembangkan cabang usaha.
"Mbak Nur ..." Tiba-tiba adikku menangis. Kupikir, ia ketakutan dengan suara pertengkaran dua kakak kami, tapi tidak. Tubuhnya gemetar dengan pandangan fokus ke depan pada satu titik. Tersirat ketakutan di sorot matanya. Aku menoleh ke belakang, melewati jendela di samping ruang ibadah kami. Tidak ada apapun! Tapi, entah kenapa seluruh tubuh meremang.
"Ayo, kita baca ayat kursi keras-keras. Bareng-bareng ya?" Ahmad, adikku mengangguk.
Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. Laa ta'khudzuhuu sinatuw wa laa naum. Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh. Man dzal ladzii yasyfa'u 'indahuu illaa bi idznih. Ya'lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai'im min 'ilmihii illaa bimaa syaa' wasi'a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya'uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal 'aliyyul 'adhiim.
"Sudah cukup! Hasan, Soleh! Kau tidak dengar adik-adikmu sedang mengaji. Datang-datang tidak salam malah bertengkar, shalat Maghrib dulu, sana! Baru kita bicarakan baik-baik."
Aku mendengar suara Bapak memerintah tegas, lalu pertengkaran pun berhenti. Tapi kemudian kudengar teriakan lain, itu suara Kak Fatimma. Ia mengerang kesakitan.
"Panas! Panas Ibu, air!" Air mataku luruh. Kudekap erat tubuh adikku sembari terus mengajaknya melantunkan ayat kursi. Tangan kananku meraih sebuah buku tuntunan yang terletak di rak terbawah di sampingku. Kubuka buku itu di hadapan kami. Itu buku tentang ayat-ayat penangkal sihir.
"Baca ini juga ya? Jangan hiraukan mereka! Kak Fatimma, Insya Allah akan segera baik-baik saja." Ahmad mengangguk dan menurut.
Aku merupakan salah satu saksi bagaimana kebesaran Allah itu nyata. Salah satunya adalah, mulianya sifat Bapakku. Kesabaran dan keikhlasannya yang tak pernah surut dalam menghadapi cobaan hidup membuatku terkagum. Bagaimana beliau sebisa mungkin menerapkan tauladan Nabi Muhammad SAW dalam situasi apapun. Meski napas beliau terus memburu, beliau selalu memberi petuah pada kami, ke empat anaknya yang tersisa.
"Jangan dibalas ya, ikhlaskan saja! Innalillahi wa Inna lillahi rojiuun. Semua dariNya dan sewaktu-waktu akan kembali padaNya. Tugas kalian sekarang adalah mendoakan kakak perempuan kalian dan Ibu kalian."
Kami terkena sihir. Beberapa kyai yang pernah menangani kami berkata ada seseorang yang iri dengan kesuksesan Bapak. Dia mengirimkan sihir santet pada keluarga dan usaha kami. Ibu dan Kak Fatimma meninggal tanpa penyebab yang jelas. Dokter tidak menemukan indikasi penyakit apapun dalam tubuh mereka. Lalu usaha kami satu persatu gulung tikar. Tapi Bapak tidak pernah menanyakan siapa dalang di balik semua kemalangan ini, meskipun Kak Soleh dan Kak Hasan memaksa untuk tahu. Beliau berkata, cukup Allah saja yang tahu. Semua itu Bapak lakukan agar kami tidak menyimpan rasa benci apalagi dendam.
"Aku rasa Nurul melihat Nabiyullah SAW dalam diri Bapak." ucapku satu ketika saat menemani Bapak di Rumah Sakit.
"Tidak, Nur. Tidak boleh begitu! Tidak ada yang bisa menandingi kemuliaan sifatnya. Ialah kekasih sejati Gusti Allah. Bapakmu ini hanyalah umat beliau."
Itulah kenangan terakhirku bersama Bapak. Tepat jam tujuh pagi, pihak Rumah Sakit mengkonfirmasi kematian Bapak. Kak Soleh, kakak keduakulah yang mengurus segala tetek-bengek pemulangan jenazah hingga pemakaman. Sedangkan aku menemani Ahmad, berusaha memupuk ketegarannya di saat ketegaranku sendiri goyah. Dan Kak Hasan bertugas menerima para pelayat. Di saat itulah aku melihatnya dari balik jendela. Seorang pria seusia Bapak berdiri di tepi pojok mengenakan baju serba hitam, sedang berkomat-kamit seolah merapal mantra. Sontak, aku berucap, "Audzubikalimatillahi Tammati Min Syarri Ma Khalaq."
"Ada apa Mbak Nur?"
"Tidak apa-apa, Ahmad. Kamu bisa Mbak tinggal sebentar? Sudah masuk Ashar, nanti kita shalat bergantian. Kamu nunggu di sini dulu, berani kan nungguin jenazah Bapak?"
Ahmad mengangguk, "Itu ada Ibu-ibu datang, Mbak. Biar Ahmad yang menemani, Mbak Nur shalatlah!"
Aku bersimpuh dalam sujudku yang berurai airmata, dengan segala kerendahan hati memohon perlindungan kepadaNya. Sihir yang menyelubungi keluarga kami sudah begitu pekat. Hingga memakan tiga nyawa dan menghilangkan banyak harta. Aku hanyalah manusia biasa yang penuh kekalutan dan ketakutan akan hal-hal diluar batas pengetahuan dan kemampuanku. Pasrah, adalah satu-satunya cara.
"Tunjukilah hamba jalanMu, Ya Allah. Agar kami bisa memutus ikatan sihir ini."
Jenazah diberangkatkan selepas Ashar dan langsung dikebumikan. Para pelayat banyak yang turut serta mengantar. Siapa sih yang tidak mengenal sosok Bapak? Beliau itu halus tutur katanya, penyabar dan dermawan. Aku melihat tangis begitu serempak terlantun dari hampir semua pelayat. Mereka menyesalkan kepergian Bapak. Rumor tentang santet yang santer terdengar bahkan membuat beberapa pria berang. Mereka adalah orang-orang yang pernah ditolong almarhum Bapak semasa hidup hingga beberapa dari mereka sukses besar. Aku sedikit mencuri dengar percakapan kelimanya tentang pembalasan dan sesuatu yang bersangkutan dengan orang serba hitam yang tadi mencurigakan. Mereka sepertinya mengenalnya.
"Kita jual usaha dan rumah kita di sini lalu pergi! Kita mulai sesuatu yang baru di tempat lain!" buka Kak Soleh setelah kami selesai mengadakan tahlil. Ia mengajak kami berembug soal kemelut yang menimpa keluarga kami tanpa mengikutsertakan Ahmad.
"Mas, usaha Bapak itu tidak main-main lho. Apa tidak sayang kalau dilepas? Kenapa tidak cari kyai lain untuk menangani sihir ini? Atau kita ke dukun saja!" Kak Hasan sepertinya kurang setuju dengan keputusan sepihak Kak Soleh. Ia masih tidak rela usaha yang dirintis Bapak puluhan tahun harus hancur tak bersisa.
"Mas, Nur setuju dengan Mas Soleh. Kita ikhlaskan saja, Nur lebih sayang sama Ahmad dan kebersamaan kita ketimbang mempertahankan harta yang sudah tidak seberapa. Terkadang mengalah dan menjauh bisa menjadi pilihan yang tepat. Ini sihir Mas yang menjadi musuh kita."
"Aku akan cari pekerjaan dan aku tahu kau suka fotografi, belum terlambat jika kau ingin kuliah untuk memperdalam bidang itu. Nurul juga, kejar impianmu sebagai penulis. Mas yakin, bukan bertahan yang Bapak inginkan, tapi melepaskan jika itu semakin menenggelamkan kita." Kak Soleh berusaha memberi pengertian pada Kak Hasan. Terkadang, ia memang keras kepala tapi jika diajak kerjasama, dia bisa diandalkan.
"Baiklah, akan kupikirkan lagi, Mas."
Kudengar selintingan kabar orang itu mati mengenaskan dengan cara tak wajar. Salah satu putranya bahkan menjadi sasaran amuk warga karena perilaku asusilanya. Kami tidak menyinggung masalah ini di tengah kebersamaan kami. Kami tahu, dialah pelakunya tapi masing-masing dari kami berusaha untuk menjalankan wasiat terakhir Bapak, untuk diam dan menyerahkan semua kepada Allah.
Dan Allah sungguh menunjukan kebesaranNya. Dia menguji keluarga kami dengan begitu banyak kehilangan, kemudian ketika kami memutuskan pasrah, Ia menggantinya dengan sesuatu yang baru. Kak Soleh sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang putri. Kak Hasan berhasil menggapai impiannya. Ia sering bepergian lintas negara karena tuntutan pekerjaan, tapi, masih menjaga komunikasi dengan kami. Aku sendiri? Aku berencana membukukan kisah kami menjadi buku kelimaku. Bahkan aku mendapatkan tawaran menulis naskah series untuk serial Netflix. Ahmad, ia masih kuliah saat ini, berusaha mengikuti langkah kami dalam mewujudkan impiannya sebagai seorang pelukis.
Nikmat apalagi yang kami tampik? Bukankah janji Allah kepada hamba-hambaNya yang bersabar adalah nyata? Aku tahu sesulit apa dulu ujian yang kami hadapi, ujian yang nyaris menggerus keyakinan kami akan KuasaNya. Namun, semua itu telah berakhir, tersimpan rapi sebagai memori di relung hati. Sebuah pengingat pasti apabila kami kembali lupa diri.
*****