Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SIGNAL [4u]
0
Suka
22
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Warning dulu!!

Hai semua, panggil saja aku Echa. Jangan bosan-bosan ya sama nama ini. Aku hanya seorang gadis biasa yang memiliki mimpi sebagai wanita karir. Dari aku kecil, aku sudah disajikan pemandangan bagaimana ibuku berjuang keras dalam menghidupi aku.

Dan ya, beliau adalah seorang wanita karir yang hebat. Maka dari itu, aku termotivasi untuk memiliki rasa semangat seperti beliau. Mungkin karena rasa semangat itu, aku terus berusaha keras untuk mendapatkan validasi dari orang lain.

“Wih, Echa hebat ya”

“Echa, kamu pintar banget.”

“Coba aja anakku sebaik kamu, Cha.”

Itu hanya sebagian besar dari perkataan orang lain yang memujiku secara langsung. Namun ketika aku tidak berada di sekitar mereka dan tidak sengaja mendengar perkataan mereka, itu sangat menusuk hatiku. Sampai-sampai, aku dibuat menangis karena perkataan mereka.

Pick me? Caper? Fake? Aku tidak bisa menyebutkan perkataan kasar lain yang tidak sengaja aku dengar dari mereka.

Awal masuk sekolah, mereka memang sangat baik. Ketika ada kerja kelompok atau ujian dimana mereka tahu aku sangat ahli dalam bidang itu, mereka langsung mencariku dan memperebutkanku demi keberhasilan mereka sendiri. Namun ketika masa sekolah akan berakhir, keegoisan mereka muncul.

“Dewi, katanya halaman ini bakal muncul di ujian nanti?” tanyaku pada salah satu siswi peringkat atas di angkatanku.

Dia hanya melihatku secara sekilas dan halaman buku yang aku tunjukkan. Sebelumnya, aku mendapatkan kabar dari Hani bahwa halaman ini masuk dalam ujian tapi ia lupa soalnya bagaimana. Jadi aku mencari kejelasan lain karena Hani bilang bahwa anak kelas tahu semua.

“Oh, gak.” jawabnya lalu kembali bercerita dengan teman gerombolannya.

“Oke.” aku terpaksa duduk di bangku kembali. Membaca sekilas teks halaman tersebut lalu membalikkan kertas untuk membaca tulisan materi berikutnya.

Beberapa menit kemudian, guru masuk dengan membawa satu bundle kertas berisi soal ujian. Ketika sampai di depanku, beliau membagikan kertas tersebut dan mempersilahkan kami untuk dapat langsung mengerjakannya. Dan kalian tahu apa? Pertanyaan seputar teks yang aku tunjukin muncul.

Bayangkan, kalian tidak tahu bagaimana isi teks ceritanya seluruhnya namun kamu harus menjawab semua pertanyaan itu. Aku tidak tahu kalau kita harus benar-benar menghafal isi cerita teks itu.

Entah kenapa dadaku seperti tertusuk akan sesuatu. Terasa sakit dan bingung untuk menjawabnya bagaimana. Aku melihat Dewi dari seberang. Terlihat fokus mengerjakan namun bibirnya terus tersenyum riang.

Dia terlihat menulis dengan semangat. Mulai dari itu, aku baru tahu rasanya dibohongi seseorang demi keuntungannya. Antara aku polos atau bodoh pada saat itu.

Waktu SMA, aku mengikuti salah satu kegiatan ekskul yang bisa dibilang memiliki acara terbesar di sekolahku. Pokoknya aku menjadi panitia sekaligus penampil di acara yang kami buat berbulan-bulan. Tentu saja dengan anggaran dari jerih payah jualan kami, beberapa sponsor perusahaan dan sedikit anggaran dari sekolah. Yah, bisa dibilang sukses. Namun selama proses itu yang bikin masa sekolahku sangat berubah.

Aku pikir dengan memilih pramuka, aku tidak akan sangat pusing dengan berbagai macam hal karena aku tidak memilih OSIS supaya menambah nilaiku untuk kepentingan kuliah nanti. Ternyata sama ribetnya. Memang waktu itu banyak juga anak yang satu ekskul sama denganku ikut pramuka juga. Tapi kebanyakan juga sama kayak aku. Hilang-hilangan anaknya.

Mau bagaimana lagi, kami semua juga memiliki kesibukan masing-masing. Belum masalah pelajaran yang dimana sangat penting di sekolah ini. Suasana rumah lagi kacau-kacaunya.

Dulu yang awalnya aku selalu membawa semuanya dengan santai menjadi tegang.

Pikiranku terasa penuh dan seringkali pusing. Kepalaku terasa ditusuk bertubi-tubi hingga aku tidak kuat untuk melakukan apa-apa lagi.

Aku harus kuat, menahan rasa sakit ini dan mencoba membeli obat pereda nyeri dari apotik.

Awalnya memang dua hari sekali kambuh. Namun lama-kelamaan, rasa sakit ini mulai muncul tiap hari. Bahkan sehari itu pernah beberapa kali kambuh dan aku terus meminum obat itu hingga aku merasa puas dan tenang.

Itu dilarang ya. Dengan meminum obat melebihi dosis saran dokter bisa bahaya. Mungkin memang bukan sekarang, tapi efeknya bisa nanti. Aku tidak tahu ini termasuk efeknya atau tidak, namun aku merasa beberapa hal dariku sudah berbeda dari yang dulu.

Aku jadi pendiam sekali. Suka memendam perasaan dan masalah sendiri. Ketika bersosialisasi dengan siapa saja, hatiku mulai berdebar dengan kencang karena gugup.

Susah berbicara dan otak seketika berjalan melambat dari biasanya. Seolah-olah aku menjadi linglung.

Kini aku sudah menjadi seorang wanita yang baru saja menginjak usia kepala dua. Namun bukannya enak seperti yang dibayangkan waktu kecil, menjadi orang dewasa lebih tidak mengenakan. Banyak tanggung jawab yang harus dibebankan namun tiap harinya selalu bertambah.

Aku bekerja di sebuah pabrik yang berbeda sekali dengan mimpi masa kecilku. Disini aku sebagai operator produksi yang bertanggung jawab untuk menghasilkan produk perusahaan dengan kualitas sesuai SOP dan mencapai target setiap harinya. Tertekan? Sudah pasti.

Tidak hanya karena target yang harus dicapai, lingkungan sekitar terutama rekan kerja juga berpengaruh dalam perubahan kehidupanku.

Aku jadi semakin sulit mengambil keputusan sendiri dan takut bertanya karena dari awal takut dengan ekspektasi jawaban rekan kerja. Makin lama makin tidak karuan hingga beberapa kali tubuhku memberi sinyal supaya aku butuh istirahat lama. Namun aku harus tetap bekerja karena keluarga sudah berharap lebih padaku. Ujung-ujungnya, aku melampiaskan semuanya pada diriku sendiri.

Di kamar kos yang hanya aku sendiri memang pas membangun suasana kesedihan yang terus berlarut. Dengan pikiran yang sangat kacau, beberapa ide terus terlintas di benakku seolah otak menyetujui bisikan setan padaku untuk mencoba mengakhiri hidupku.

Aku mencoba mencengkram leherku dengan kedua tanganku. Semakin lama aku mencekiknya dengan kuat. Pandangan mulai kabur dan telinga mulai berdenging.

Beberapa saat kemudian, aku melepasnya kembali. Menetaskan air mataku begitu mengingat keluargaku yang selama ini mendukungku. Apa yang baru saja aku lakukan? Apa aku harus mengakhiri semua ini begitu saja? Tapi tak aku sangka, ini hanya sebuah permulaan dari tujuan hidupku.

Beberapa bulan kemudian, aku mulai berani menggoreskan tanda di pergelangan tanganku.

Dengan berpikir panjang, namun setiap aku tidak tahu bercerita semua masalahku pada siapa, aku langsung melakukannya. Hingga tanda terakhir membekas karena menggoresnya terlalu dalam, aku ketahuan oleh saudaraku bernama Bimo

“Apa ini?” tanyanya terlihat terkejut sambil memegang pergelanganku.

“Gak papa.” Aku mencoba melepaskan genggamannya. Namun ia dengan cepat menggenggamku kembali dan semakin kuat.

“Cewe kalo bilang gak papa tuh berarti ada apa-apa. Jujur!” perintah dia sambil menarikku hingga mata kami bertemu. Tatapan tajamnya membuatku takut padanya.

“Eksperimen.” bohongku. Dia tertawa sebentar.

“Kamu pikir aku gak tahu?” Bimo terus mengintrogasiku. Aku cuman menunduk tidak berani menjawabnya. Beberapa saat kemudian, Bimo terdengar menghela nafasnya dengan panjang. Aku melihat wajahnya kembali seakan ia pasrah denganku.

“Sejak kapan? Jangan bilang yang dalem ini tuh luka baru kemaren.” lanjutnya.

“Udahlah, kamu pulang aja sana! Ini kos cewek.” Aku mencoba mengalihkan topik.

“Gak, sebelum kamu cerita. Cha, kita disini merantau bareng. Kamu tuh harusnya cerita sama aku kalau ada apa-apa. Aku disini kakakmu, aku punya tanggung jawab buat jagain kamu. Apalagi kamu cewe, rawan.” ucap Bimu mencoba menasihatiku.

“Lah, orang kamu sibuk.”

“Sesibuk apapun, kamu ngabarin Cha. Kalau aku gak inisiatif kesini, kamu bakal kayak gini terus?” Mendengar perkataan Bimo, aku langsung terdiam.

“Kita jalan-jalan aja yuk! Cepet naik!” ajak Bimo dengan santainya menyuruhku untuk naik motor.

“Pacarmu gimana? Malam minggu loh.”

“Biarin. Sekarang aku mau fokus sama adikku dulu.”

“Dih!”

Aku tidak menyangka, dia beneran mengajakku berkeliling kota dengan motornya.

Menghirup udara segar memang membuat hatiku sedikit tenang. Membiarkan angin menabrakku dan pergi sambil membawa beberapa masalahku. Sesekali Bimo melontarkan candaan yang kadang terasa garing. Tapi kenapa aku masih merasa sedih ya.

Air mataku jatuh kembali dan segera mengusapnya supaya Bimo tidak melihatnya. Ia terdengar ceria karena bersemangat cerita sisi lucu rekan kerja di kantor. Walaupun atasan dia terkenal dengan sifat kolotnya, namun dia tetap santai karena atasannya terkenal juga dengan pelupa. Mungkin karena usianya sudah lansia dan sebentar lagi harus pensiun.

“Jadi, Cha. Tahan dulu ya disini, setahun aja.” pinta dia sambil memakan es krim.

“Gak bisa.” jawabku dengan lugas.

“Semua tempat kerja kayak gitu, Cha. Coba kamu tahan bentar, masa magangmu juga mau berakhir kan?” ucapnya yang terlihat memelas karena membujukku.

“Kakak itu kerjanya di kantor, beda sama aku yang di produksi langsung.” aku mencoba menjelaskannya.

“Iya memang beda. Setiap jabatan, setiap orang punya tanggung jawab mereka masing-masing. Aku juga punya tanggung jawab besar. Cha, sekarang cari kerja lagi tuh susah. Kamu mau cari dimana lagi? Mumpung kamu udah dapet, coba pertahanin dulu.”

Bimo berhenti memakan es krimnya dan duduk berhadapan denganku. Seakan ia siap berdebat denganku.

“Pertahanin sampai kapan? Sampai aku harus gimana? Aku capek, kak. Selama ini kerja di tempat sebelum-sebelumnya dan di bagian yang sama, gak kaya gini” jelasku dengan sesenggukkan. Air mataku akhirnya mengalir deras di hadapannya. Ia terlihat terkejut.

“Tapi, Cha …” suaranya mulai melembut.

“Aku mau pulang sekarang.” potongku langsung beranjak pergi ke tempat parkiran.

Sepanjang perjalanan pulang, kami hanya diam. Menatap jalanan yang penuh dengan kendaraan tanpa saling mengajak bicara kembali. Aku melihat sosok Bimo dari belakang sambil memegang pundaknya.

Aku mulai merasa bersalah padanya. Aku juga merutuki diriku sendiri mengingat hari ini aku menjadi emosional. Mungkin karena masih sedang masa-masa ujian semester kuliah dan masalah pekerjaan, jadi semuanya terasa berat sebab menumpuk di pikiranku.

Setelah sampai, aku langsung turun dari motor. Melihat Bimo menunduk dan tidak menatapku kembali walaupun ia menerima helm dariku. Aku mencoba menenangkan diri dan menghela nafas.

"Kakak pulang dulu, pacarmu nyariin" ucapku mencoba membuka pembicaraan diantara kami. Ia langsung mendongak dan memegang tanganku dengan lembut.

"Cha" panggilnya dengan lirih.

"Aku masuk dulu" Aku langsung melepaskan tangannya dan pergi masuk ke kamar.

Begitu melihatnya sudah jauh dari kosku, aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya dengan rapat. Entah kenapa, aku tidak memiliki tenaga kembali.

Badanku terasa lemas dan kakiku tidak mau menuruti kemauanku. Dadaku terasa sakit yang luar biasa dan seketika tangisanku langsung pecah.

Aku mengingat kembali semua masalah yang aku terima selama ini. Aku mencoba meremas rambutku dan memukul kepalaku sendiri dengan keras. Namun rasa sakit ini masih terasa pada diriku.

Tanpa berpikir panjang kembali, aku menggoresnya kembali. Aku terus mencoba menggoresnya hingga rasa sakit ini menghilang dari tubuhku.

Sungguh sia-sia. Semuanya tetap sama walaupun cairan merah mulai mengalir tanpa henti. Aku pun berbaring di ranjangku dengan perlahan.

Menatap langit-langit kamar berwarna putih sambil memegang leherku dengan kedua tanganku. Semakin lama, cengkraman ku semakin kuat. Telingaku berdenging dan pandanganku mengabur. Hingga semuanya menjadi gelap.

Beberapa saat kemudian, ternyata aku masih bisa membuka mataku. Secara perlahan aku bisa melihat sekitarku dengan jelas dan aku berada di tempat yang asing. Dapat aku ambil kesimpulan, bahwa sekarang aku berada di rumah sakit.

Tanganku yang di perban dan tangan yang lain tersambung dengan infus. Aroma rumah sakit yang khas di hidungku membuatku yakin aku berada di sana.

Aku melihat ke jendela. Terlihat Bimo duduk menunduk yang ternyata bersama dengan keluarga kami untuk mengerubungi dia. Ibuku dan tanteku terus mengusap punggung Bimo, seakan mereka berusaha untuk menenangkan dia. Hingga mataku bertemu dengan Bimo.

Ia langsung terkejut dan pergi masuk ke dalam ruanganku. Dengan segera, ia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Ia terus menangis dan merutuki dirinya yang tidak hati-hati dalam menjagaku.

Ia selalu sibuk dengan dirinya dan kekasihnya hingga melupakan adiknya yang kesepian karena selalu sendirian kemana saja. Mereka mengatakan bahwa aku tidak sadar selama 3 hari. Bimo yang langsung mendobrak pintu kamar kosku setelah mendapat kabar dari kenalannya yang ternyata anak kos sebelah kamarku.

Gadis itu merasa curiga karena seharian aku tidak keluar dari kamar setelah ia melihatku keluar bersama Bimo malam minggu. Jadi, ia langsung menelpon Bimo karena pemilik kos sedang di luar kota.

Aku menangis, merasa bersalah karena sudah membuat mereka khawatir dan menjadi repot akibat ulahku yang terlalu dramatis. Aku meminta maaf ke semua orang dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Semua anggota keluarga menghargai keputusanku dan aku pun dibawa ke psikiater. Begitu aku menceritakan semua masalahku, aku langsung masuk ke ruang isolasi.

Beberapa saat kemudian, aku mencoba mengintip keadaan luar. Terlihat orangtuaku menangis akibat perkataan dokter. Mereka menyarankan supaya aku langsung dibawa ke rumah sakit khusus. Yah, lebih tepatnya RSJ.

Aku keluar dari ruangan dan terlihat mereka terkejut mengetahui aku berada di dekat mereka. Mereka pun memelukku dengan erat dan menangis begitu lama.

"Aku gak papa ma, pa." Aku mencoba tersenyum.

Setelah berdiskusi panjang, mereka menghargai pendapatku ini. Aku istirahat di sana dan cuti berkuliah sementara.

Semua orang memang memiliki masalah mereka masing-masing. Dan kemampuan mereka untuk menghadapi semuanya juga berbeda-beda tingkat kebatasannya. Tapi sebenarnya hal ini terjadi karena aku pikir, aku melewati semuanya sendirian.

Aku melupakan peran keluargaku dan temanku yang setia memantau perkembanganku. Dari jauh mereka terus mendukungku dan mengingatku supaya jangan melupakan Tuhan.

Jujur, aku mempertanyakan apa yang aku terima dari Tuhan selama ini. Aku terus memintanya untuk berada disisinya supaya aku bisa memberitahu semua pernyataan ku. Kenapa takdirku seperti ini?

Dari aku kecil hingga sekarang, aku selalu diberi tantangan berat darinya. Ini kan bukan permainan ponsel yang jika kalah atau mati, aku masih memiliki 2 nyawa lagi atau aku bisa klik cheat mode.

Sepertinya aku sudah mulai jauh dari Tuhan hingga pemikiran ini sudah muncul di benakku. Mungkin karena aku tidak mengejar Tuhan seperti dulu waktu kecil, kebahagiaan ku mulai diambil olehnya? Aku tidak tahu.

Yang jelas kali ini Tuhan memberi kesempatan padaku untuk merubah diriku menjadi lebih baik, lagi.

-Juli 2025

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
API DENDAMMU
Syaras Qotimah
Cerpen
SIGNAL [4u]
Echana
Novel
Gold
Turtles All The Way Down
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Four of us
yelartcreation
Novel
Siapa Tau?
Airlangga Kusuma
Cerpen
Bronze
Ohrwurm
Foggy FF
Cerpen
Bronze
Pembunuh Cicak
Muram Batu
Novel
Bronze
kosong
ayi-r
Skrip Film
Nge-Band! 108
Yorandy Milan Soraga
Novel
Kelana Warna
Bamby Virdawanti
Skrip Film
Kata-Kata Kunci Dari Ayah
Ega Pratama
Flash
Jam Lima
SIONE
Novel
YAPPA MARADDA
Sika Indry
Cerpen
Menyayangi anakmu tanpa orang lain tau
Beben mahesta
Skrip Film
KPK (KUCINTA PRIA KORUPTOR)
zae_suk
Rekomendasi
Cerpen
SIGNAL [4u]
Echana
Cerpen
ALASAN SEBENARNYA
Echana
Cerpen
Bunga Layu di Taman Hati
Echana
Cerpen
Jangan Ada Penasaran
Echana
Cerpen
SEKUTU
Echana