Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sibuk sedang Beristirahat
1
Suka
80
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Alex duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Suara ketikan keyboard dan dering telepon di sekitarnya sudah tidak terdengar lagi seperti biasanya. Berulang dan setiap hari, jadwalnya penuh dengan rapat, email yang tak ada habisnya, dan deadline yang terus berdatangan, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam pantai. Ia sudah terbiasa dengan ini—kerja keras, tak kenal waktu, selalu fokus pada target yang semakin jauh.

"Aku nggak punya waktu untuk istirahat," pikir Alex, dengan cepat mematikan alarm yang mengingatkannya untuk makan siang. Makan? Itu hanya gangguan. 

Terlebih lagi, kantor sedang sibuk, dan ia baru saja mendapat tugas besar yang harus diselesaikan dalam waktu sempit. Sudah berbulan-bulan ia merasa seperti ini—terus bekerja tanpa henti, terjebak dalam siklus yang sama. Tidur hanya empat jam semalam dan jam tidur yang terus menyusut seiring dengan semakin banyaknya pekerjaan yang menumpuk.

"Kalau aku berhenti sekarang, aku akan tertinggal. Semua orang di sini mengandalkan aku, dan kalau aku berhenti, semuanya bisa berantakan," gumamnya pelan. 

Tapi meskipun ia terus memaksa diri untuk bekerja lebih keras, tubuhnya mulai memberikan sinyal yang tidak bisa ia abaikan. Punggungnya pegal, matanya mulai kabur, dan kadang-kadang pikirannya melayang, tidak fokus pada pekerjaan yang ada. Namun, Alex mengabaikan itu semua. Istirahat? Tidak ada waktu untuk itu. Mimpinya untuk naik jabatan, untuk mendapatkan pengakuan yang layak, lebih penting daripada apapun.

"Aku bisa melakukannya. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi," bisik Alex pada dirinya sendiri, menenangkan kekhawatiran yang mulai merayapi dirinya. Seakan-akan ada semacam rasa bersalah jika ia tidak terus bekerja keras. Ini adalah cara hidupnya, dan ia sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.

Ia kembali menatap layar komputernya, melanjutkan pekerjaan yang tak pernah berakhir, tanpa tahu bahwa tubuh dan pikirannya sudah mulai lelah—lebih lelah daripada yang ia sadari.

Pagi itu, Alex terbangun dengan rasa pusing yang hebat. Kepala terasa seperti dihantam palu, dan setiap gerakan tubuhnya terasa berat. Namun, ia tak punya waktu untuk memperhatikannya. Masih ada rapat penting yang harus dihadiri, laporan yang harus diselesaikan. 

"Nanti saja, kalau sudah selesai, aku bisa tidur lebih lama," pikirnya, sambil merapikan diri dan bergegas keluar rumah.

Di kantor, suasana sudah penuh dengan aktivitas. Pekerjaan terus berdatangan, dan Alex hanya bisa berfokus pada satu hal: menyelesaikan semuanya. Namun, semakin lama ia bekerja, semakin parah pula rasa sakit yang ia rasakan. Punggungnya nyeri, matanya mulai kabur, dan tubuhnya terasa kaku. 

"Aku pasti bisa mengatasinya," pikirnya, meskipun suara hati kecilnya mulai berbisik untuk berhenti sejenak dan beristirahat.

Saat rapat tengah berlangsung, Alex merasa seperti dunia mulai berputar. Tiba-tiba, keringat dingin mengucur di dahinya, dan ia terhuyung-huyung. 

"Apa ini?" pikirnya panik. Sebelum ia bisa berkata apapun, pandangannya gelap, dan tubuhnya jatuh ke lantai. Semua menjadi gelap.

. . . 

Saat sadar, ia mendapati dirinya terbaring di ruang rumah sakit. Seorang dokter tengah berdiri di sampingnya, wajahnya serius. "Kamu menderita burnout akut, Alex. Kamu harus beristirahat total dan menghindari stres selama beberapa waktu."

Alex merasa kebingungannya semakin dalam. "Aku… jatuh sakit karena kelelahan? Aku? Ini gila!" pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya kejadian sekali seumur hidup. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menahan beban yang terlalu lama ia pikul.

"Aku kira aku kuat," bisik Alex dalam hati, "tapi ternyata aku sudah melewati batas." Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa tak berdaya, dan disaat itulah kesadarannya mulai meresap. Ia benar-benar harus berhenti—atau semuanya akan hancur.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Alex akhirnya keluar dan memutuskan untuk mengikuti saran dokter untuk beristirahat total. Bos di tempat kerjanya juga melarang Alex untuk berangkat.  

Ia merasa cemas, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Menjalani hari-hari tanpa pekerjaan adalah konsep yang sulit dipahami. "Apa yang akan aku lakukan? Aku sudah terbiasa dengan rutinitas ini," pikirnya, meski ia tahu ia tak bisa melanjutkan hidupnya seperti ini lagi.

Dokter menyarankan Alex untuk menghindari stres, dan ia memutuskan untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kota. Tanpa banyak berpikir, ia memesan tiket untuk pergi ke sebuah desa kecil di pegunungan yang jauh dari kebisingan dunia. Desa itu sepi, dengan udara yang segar dan pemandangan alam yang memukau—sesuatu yang selama ini tidak pernah ia hiraukan.

Hari pertama di desa terasa aneh. Alex merasa canggung, tidak tahu harus berbuat apa selain duduk di teras rumah kecil yang disewanya, menatap hamparan sawah yang hijau dan pegunungan di kejauhan. Pagi yang cerah, angin yang lembut, suara burung yang bernyanyi—semua ini terasa asing. 

"Apa aku benar-benar bisa menikmati ini?" pikirnya, masih merasa terikat dengan dunia pekerjaan yang seolah memanggilnya kembali.

Namun, semakin lama ia duduk, rasa cemas itu perlahan menghilang. "Aku belum pernah berhenti seperti ini sebelumnya," gumamnya. Hari-hari berlalu, dan Alex mulai menjelajahi desa. Ia berjalan kaki setiap pagi di antara ladang, memperhatikan betapa tenangnya dunia di sekitar. Tidak ada deadline yang menunggu, tidak ada rapat yang harus dihadiri. Hanya ada udara segar, suara alam, dan kedamaian yang ia rasakan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.

Di malam hari, Alex duduk di beranda, membaca buku yang selama ini ia tinggalkan. "Aku lupa betapa nikmatnya membaca," pikirnya, merasa senang dengan hal sederhana yang dulu tak pernah diberi ruang dalam hidupnya. Ia juga mulai memasak makanannya sendiri, mencoba resep-resep baru dari bahan lokal yang dibelinya di pasar desa. 

Suatu pagi, saat berjalan di tepi sungai, Alex duduk di batu besar, menatap air yang mengalir jernih. "Aku mulai paham. Ini yang hilang dalam hidupku," katanya pelan.

Ia terdiam, merenung dalam diam. Tiba-tiba, sebuah senyuman muncul di wajahnya. Tanpa disadari, matanya mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. Semua perasaan cemas, beban yang selama ini ia rasakan, mulai perlahan-lahan menghilang. 

"Mungkin aku bukan hanya untuk pekerjaan ini. Mungkin aku butuh waktu untuk diriku sendiri." Alex akhirnya menyadari, setelah semua yang terjadi, bahwa beristirahat bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan dasar untuk bisa bertahan dan terus tumbuh.

Hari-hari di desa menjadi titik balik dalam hidupnya. Tanpa tekanan, tanpa deadline, hanya ada waktu untuk dirinya sendiri. "Aku tak akan kembali ke rutinitas lama," pikirnya, "Aku akan lebih bijak mengatur waktu. Ini bukan tentang seberapa banyak yang bisa aku capai, tapi tentang seberapa baik aku menjaga diriku."

Alex kembali ke kota beberapa minggu kemudian, bukan dengan perasaan cemas dan terburu-buru, tetapi dengan kedamaian dalam hati. Ia tahu, kali ini, ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Ia akan berhenti sejenak, mengambil nafas, dan menikmati setiap momen dalam hidupnya—seperti yang seharusnya selalu ia lakukan.

Setelah beberapa minggu kembali ke kota, Alex merasa seperti orang yang berbeda. Rutinitasnya yang dulu padat dan penuh tekanan kini tampak jauh lebih ringan. Ia mulai merencanakan harinya dengan lebih bijak, membagi waktu antara pekerjaan, hobi, dan yang paling penting, waktu untuk diri sendiri. Tidak ada lagi rasa cemas yang menggerogoti setiap detik kehidupannya.

Alex mulai sadar bahwa ia tidak harus selalu bekerja untuk merasa berharga. Ia memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan sinyal tubuh dan pikirannya. Jika ia merasa lelah, ia akan berhenti—tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang menumpuk. "Aku bisa mengatur ritme hidupku," pikirnya, "dan aku tak perlu merasa bersalah untuk itu."

Di tempat kerjanya, Alex pun mulai mengambil pendekatan baru. Ia lebih terbuka pada rekan-rekannya tentang pentingnya keseimbangan kerja dan istirahat. Ia mulai berbagi pengalamannya tentang burnout, dan bagaimana ia menemukan cara untuk menghindarinya di masa depan. Alex juga mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya, berjalan-jalan di taman, atau sekadar duduk santai menikmati kopi. Semua itu terasa lebih berharga sekarang—sesuatu yang dulu sering ia anggap sepele.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Bronze
TRIJATHA
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Marriage Deadline
Nadya Atika
Cerpen
Bronze
Waktu
precious
Cerpen
Bronze
HRD Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Juru Kunci Makam yang Tertangkap KPK
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Sebentar
eSHa
Cerpen
Mati Itu Pasti; Lapar Itu Setiap Hari
Andriyana
Cerpen
REKAM
Yutanis
Cerpen
Day to day
Keyda Sara R
Cerpen
Bronze
Dua Puluh Dua Desember
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Jalan Cemara No. 8
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Laskar Pengarsip
Foggy FF
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Rekomendasi
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
Jejak yang Hilang
zain zuha
Cerpen
Pak Tua Penunjuk Jalan
zain zuha
Cerpen
Vampir yang Merindukan Rumah
zain zuha
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Cawan Ajaib
zain zuha
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Terlahir Kembali
zain zuha
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Buku yang Hilang II
zain zuha
Cerpen
Pemburu Suara
zain zuha
Cerpen
Batu Eramis
zain zuha
Cerpen
Satu Astronot Telah Pergi
zain zuha
Cerpen
Bahasa Bunga
zain zuha
Cerpen
Pergi Bersama
zain zuha