Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Demo
Jalanan di bawah sana ramai sekali.
Ramai bukan karna kendaraan yang berlalu lalang, bukan bunyi klakson mobil dan motor yang bersahutan, bukan pula kendaraan umum yang sembarangan menurunkan penumpang sehingga menghalangi kendaraan lain melintas.
Bukan karena itu jalanan ramai.
Melainkan karna orang-orang di bawah sana. Berlarian mengejar dan dikejar. Kekerasan dimana-mana. Gas air mata berterbangan. Asap mengepul tebal dimana-mana. Mobil-mobil terbakar menghiasi kengerian yang sedang terjadi. Toko-toko di sekitar dijarah habis-habisan, barang-barang dirusak, dibakar, bahkan dicuri.
Ribuan mahasiswa memberontak. Menyerang secara fisik kepada pemerintahan. Demo terbesar sepenjang sejarah. Ribuan orang menjadi korban jiwa, mulai dari mahasiswa sampai warga sipil yang tidak bersalah.
Aku berdiri mematung di atap sebuah gedung dengan empat lantai. Menatap jerih kengerian di bawah sana. Melihat darah yang terciprat membasahi jalanan beton. beberapa orang yang tergelatak bersimbah darah. Ayah, apakah ini yang kau harapkan?
Ucapan Selamat Tinggal
"Bu..., Ayah mau kemana?"
Usiaku saat itu genap menginjak enam tahun. Bertanya dengan polosnya kepada ibuku yang tengah menahan air mata membanjiri pipi. Melihat ayahku yang perlahan menghilang dibalik pintu.
Ayah pergi menggunakan seragam rapi. Berwarna abu-abu dengan topi aneh tertempel di kepalanya. Di punggungnya terdapat sebuah tulisan, tapi saat itu akuu belum bisa membaca tulisan itu. Mungkin nama pekerjaannya.
Beberapa menit sebelum Ayah pergi entah kemana, Ayah menghampiriku terlebih dahulu. Mengendongku.
Tubuhku kecil sekali saat itu. Mudah saja bagi Ayah mengangkatku. Selain karna tubuhnya yang tinggi besar, dia juga sering belajar di suatu perguruan beladiri yang membuat tenaganya menjadi lebih kuat lagi.
Aku menatap matanya lamat, begitu bersinar. Raut wajahnya begitu bersahabat. Gerahamnya kokoh. Tatapannya tajam. Sangat tampan.
Ayah tersenyum kepadaku. Senyuman itu adalah senyum yang sangat tulus. Jika aku sudah besar saat itu, mungkin aku akan menangis melihatnya.
Suasana lengang.
Atmosfer menyedihkan mulai terasa pekat. Walau tak ada sepatah katapun yang terucap.
Ibu yang berada di belakang Ayah meneteskan setetes air mata. Dia sudah tidak tahan lagi.
Setelah beberapa detik Ayah menggendongku, akhirnya dia berkata.
"Ayah pergi dulu ya nak..., doakan semoga Ayah kembali dalam waktu dekat. Jangan nakal! patuhi semua ucapan ibumu. Di suatu saat nanti, ayah yakin kau akan menjadi anak yang kuat. Anak yang tangguh." Ayah berhenti sejenak. Mengendalikan dirinya agat tetap tersenyum di depan anaknya, walau hati meronta-ronta tersiksa oleh kesedihan yang mendalam.
Ayah menghela nafas. Melanjutkan perkataannya.
"Di luar sana banyak sekali orang jahat nak..., banyak sekali. Sekarang penjahat-penjahat itu semakin sulit di taklukan. Malah semakin menyebar. Menyebar bagai wabah virus. Mengalir dari dunia bawah yang gelap. Lalu menerobos keluar secara membabi buta. Hingga orang yang paling kita percaya, bisa jadi dialah penjahatnya. Hingga ada yang bersemayam dengan nyaman bersama kemewahan. Mengendalikan rakyat semaunya. Masalah rakyat mereka tutup telinga. Ada yang mengusiknya? eksekusi mati solusinya. Mereka serakah! egois!. Mereka adalah bandit. Bedebah. Tidak lebih dari sekedar tikus berdasi." Wajah Ayah serius sekali. Matanya berkaca-kaca.
Aku hanya mengangguk pelan. Walau belum mengerti apa maksud dari perkataannya. Tapi Ayah pasti mempunyai alasan tersendiri mengatakan hal itu kepada anak sekecil diriku.
Ayah menurunkanku. Air matanya pecah. Setetes demi setetes air mata jatuh menghantam lantai ubin.
Dia tersenyum. Memelukku. Membisikan sesuatu ke telingaku.
"Ayah yakin sekali kau akan menjadi anak yang hebat. Anak yang sangat kuat. Berjanjilah pada ayah Yudi! tegakkan keadilan dengan segenap jiwamu. Lawan semua orang yang menghalangimu. Walau itu adalah ayahmu sendiri."
Ayah melepaskan pelukannya. Mencium keningku. Menatapku dengan penuh harapan. Bola matanya seakan sedang melihat seorang pemuda yang tangguh. Seorang pemuda yang rela mengorbankan nyawanya demi menegakkan sebuah kebenaran.
Sejak saat itu Ayah pergi. Suara langkah kakinya yang keras perlahan mengecil. di iringi sebuah irama perpisahan yang memilukan.
Ayah pergi entah kemana. Meninggalkanku dan Ibu di rumah sederhana tengah kota.
Udara pagi masih terasa dingin. burung-burung di luar sana bernyanyi dengan indah menyambut kedamaian di pagi hari.
Aku dan ibuku masih mematung menatap pintu yang sedang terbuka lebar. pemandangan di luar sana langung terarah ke jalan raya. mobil dan motor berlalu lalang di luar sana.
"Ayah akan pergi berjuang nak..., doakan semoga dia baik-baik saja. Doakan..." Ucapan Ibu terhenti. Air mata mengalir sempurna dari matanya. Kini Ibu benar-benar menangis.
Aku hanya bisa memeluk ibuku. Ibuku balas memelukku dengan erat.
Aku menengadah ke atas. Berusaha melihat wajah ibuku.
"Doakan apa bu?..." Aku dengan polosnya bertanya. meminta ibuku melanjutkan perkataannya.
"Doakan.... doakan agar ayahmu..., tetap berada di jalan yang benar. Tetap berada di pihak keadilan." Ibuku menjawab sambil terisak.
Aku hanya bisa terdiam. Menatap kosong keluar pintu. Belum mengerti dengan semua kejadian ini.
Belum...
Dia Telah Pergi
Sejak kepergian Ayah. Aku dan ibuku sama sekali tidak pernah mengetahui kabar Ayah sedikitpun setelah bertahun-tahun lamanya.
Aku tumbuh tanpa sosok Ayah yang menemani.
Disaat orang lain bahagia bersama Ayah mereka. Aku hanya bisa terdiam menatap mereka. Tersenyum tipis. Berharap aku ada di posisi mereka.
Tapi aku akan selalu sabar menunggu.
Lima tahun berlalu sejak kepergian Ayah.
Rotasi waktu yang lama sekali bagi bocah kecil bernama Yudi. Seorang bocah yang tidak pernah absen menunnggu ayahnya di depan rumah. Setiap hari. Dari mulai senja yang menyinari rumahnya dengan indah. Hingga senja itu menghilang. Membiarkan kegelapan melahap seluruh isi bumi. Sunyi. Begitupun hati bocah itu. Tapi ia tetap menunggu.
Pandangannya tak pernah luput dari pintu. Membiarkan harapan sebesar langit menari-nari di hatinya. Namun, yang ditunggu tak kunjung tiba. Bayangannya tak kunjung muncul. Sosoknya yang tinggi besar hanya menjadi angan-angan.
Hingga kabar buruk itu tiba-tiba muncul.
BUKK!!
Satu pukulan menghantam perutku. Keras sekali. Aku terpental dua langkah. Meringis menahan sakit.
Lawan di depanku tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera mengirim tendangannya ke arah kepalaku. Kakinya mengayun buas. Dengan cepat aku segera mengankis serangan mematikan itu dengan tangan kiriku.
Dia menarik kembali kakinya. Mengirim serangan susulan. Tangannya terkepal kencang. Mengayunkannya kearahku.
WUT! WUT!
Serangan bertubi-tubi.
Aku susah payah menghindarinya. Sementara lawan tidak sedikitpun menghentikan serangannya. Aku mulai tersudut. Lawan berada di atas angin.
Tapi aku tidak akan kalah.
Aku menangkis satu pukulannya. Menagkap tangan kirinya. Memutar badan lalu memantingnya sekuat tenaga.
Aku segera mundur dua langkah. Mengambil kuda-kuda
Jantungku berdegup kencang.
Lawanku belum kalah. Dia bangkit dan tersenyum kearahku. Tatapannya mengintimidasi. Ikut mengambil kuda-kuda.
Dia merangsek maju. Cepat sekali pergerakannya. Dalam hitungan detik dia telah berada di hadapanku. Tangannya terangkat. Bersiap mengirim pukulan mematikan. Tapi pukulan itu dapat kutangkis dengan mudah. Tidak puas dengan serangannya, dia mengirim serangan susulan. Pukulan beruntun. Aku dengan tangkas menangkis semua serangan yang dia lancarkan.
Hingga satu pukulan mengenai bahuku.
BUK!
Tapi itu adalah kesempatanku. Lawan terlalu percaya diri hingga pertahanannya terbuka. Aku mengepalkan tangan. Sekuat tenaga aku menghantam perutnya.
BUK!!
Dia mundur satu langkah. Wajahnya memerah.
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Aku melompat. Melakukan tendangan memutar. Kakiku menghantam kepalanya dengan kuat.
DUAK!!
Dia terpental. Tersungkur tak berdaya. Mulutnya menngeluarkan banyak darah. Dia sudah tak bisa bangkit lagi.
PRITT!!
Suara peluit terdengar pekak. Tanda pertarungan dihentikan.
Aku masih menatap lawanku. Nafasku masih tersenggal. Sorakan penonton terdengar keras sekali.
"Selamat Yudi..., kau menang!," Seorang guru yang meniup peluit tadi berteriak."Kemampuan bertarungmu semakin meningkat." Wajahnya tersenyum bangga.
Saat itu umurku lima belas tahun. Usia yang sangat muda. Tapi tinggiku melebihi anak seusiaku. Aku mewarisi fisik ayah yang tinggi besar.
Aku mengikuti perguruan beladiri sejak usiaku sepuluh tahun. Ibuku membawaku ke tempat ayahku dulu belajar beladiri. Mungkin Ibu ingin aku bisa sekuat ayahku. Oleh karena itu ia memasukanku ke perguruan yang sama.
Aku menyukai seragam beladiri di sini. Terutama pelatihnya. Dengan warna hijau gelap dihiasi aksara China di bagian punggung. Ditambah ukiran garis kuning yang melilit bagian celana.
Aku yang saat itu masih berumur sepuluh tahun datang bersama ibuku ke sebuah lapangan besar yang terletak di atas bukit.
Suasana di sana sejuk sekali. Pepohonan terlihat subur dengan warna hijau yang menyejukan mata. Bergerak-gerak mengikuti arah angin. Kicau burung terdengar berahutan dengan merdunya.
Di sebelah lapangan luas itu. Terdapat sungai yang mengalir dengan tenang. Airnya yang jernih menambah kesukan dan kedamaian di tempat ini. Batu-batu yang di terjang air terlihat begitu kokoh. Sesekali terlihat ikan melopat dari sungai itu.
Lapangan itu cukup ramai. Murid-murid terlihat sedang giat berlatih. Wajah mereka begitu antusias. Melompat kesana kemari dengan lincah. Indah sekali melihat meraka melakukan itu. Seperti sedang melihat manusia terbang. Bahkan mereka bisa melompati delapan orang yang berbaris rapi. Melompat bagai seekor Harimau yang gagah berani.
Aku di tuntun oleh ibuku ke sebuah rumah panggung yang terletak tidak jauh dari lapangan. Kami menemui seseorang yang tidak kukenal. Aku tidak peduli siapa yang hendak ditemui dan apa yang akan dibicarakann Ibu. Aku hanya fokus melihat aksi akrobat dari lapangan itu, Sangat memukau.
Tanpa kusadari seseorang memanggilku.
Aku menolah ke arah suara itu datang.
Seorang kakek tua. Kurang lebih usianya tujuh puluh tahun. Wajahnya yang keriput terlihat tegas. Rambutnya telah memutih seluruhnya. Matanya yang teduh sempurna menatapku. Dia tersenyum. Senyuman yang tulus.
Kakek tua itu berjalan kearahhku. Jarak kami kini hanya satu langkah. Aku dapat melihat setiap kerutan di wajahnya. Tapi Tubuhnya terlihat sangat bugar.
Dia memegang bahuku. Menepuk-nepuknya.
"Yudhistira!.. anak dari murid terbaikku." kakek tua itu tersenyum. Matanya berbinar.
"Aku mengirimnya kesini untuk menuntut ilmu bersamamu..." Ibuku tersenyum sambil membungkuk sopan. " Tolong bimbing dia agar kuat seperti ayahnya."
Kakek itu tertawa. Diikuti ibuku.
Hari sudah mulai senja. Matahari mulai meredup tanda tugasnya hampir selesai. Akan tetapi aktivitas di lapangan masih belum berakhir. Sesekali terdengar teriakan garang dari sana.
"Baiklah..." Kakek itu menghentikan tawanya. Mata yang teduh itu kini menatapku lamat." Selamat datang di keluarga besar kami. Di perguruan beladiri Shurulkhan. Aku yakin kelak kau akan sekuat ayahmu. Atau bahkan lebih kuat lagi," Senyumannya melebar. "tapi luruskan terlebih dahulu niatmu belajar di sini. Jangan karena didasari oleh dendam yang besar sehingga engkau ingin menjadi lebih kuat untuk membalaskannya. Jangan sampai kau terjerumus ke jalan yang salah anakku..., jangan ikuti hawa nafsumu. Bersihkan hatimu agar kau dapat menjadi pejuang yang selalu membela kebenaran."
Aku hanya mengangguk perlahan. Tidak tahu harus bicara apa.
Besoknya aku mulai berlatih. Para murid lainnya menyambutku dengan ramah. Membuatku semakin bersemangat untuk berlatih di tempat ini.
Kemampanku dalam beladiri berkembang sangat pesat. Beberapa teknik dasar mampu ku kuasai dengan mudah. Seperti Minpo, Godiak, Dan teknik-teknik lainnya dapat ku kuasai dalam waktu satu bulan.
Yang membuatku kagum dari perguuruan ini adalah seluruh teknik atau gerakannya mengandung makna filosofis. Ditambah setiap di akhir latihan kakek tua itu sering memberikan nasihat-nasihat yang menyentuh hati. Menggerakkan ruh jihad dari dada kami.
Di tahun pertama aku berlatih, aku dapat mengalahkan seluruh teman seangkatanku. Kakek tua itu selalu memujiku setiap aku berhasil mengalahkan lawanku.
Di tahun kedua, aku mulai bisa menandingi para seniorku. Tapi setiap senior yang kulawan selalu berakhir imbang. Tanpa pemenang.
Tapi kali ini aku dapat mengalahkan salah satu seniorku. Wajahnya yang lebam tersenyum kepadaku. Dia di bawa kepinggir arena. Darah segar masih mengalir di mulutnya.
Aku balas tersenyum. Lalu beranjak meninggalkan arena. Diiringi dengan sorakan dari para penonton yang tidak lain adalah murid-murid perguruan ini.
"Kau hebat Yudi!!" Temanku Rama merangkul bahuku. Wajahnya tersenyum bangga. "Sepertinya saat ini aku bukan tandinganmu lagi kawan..."
"Dari dulu kau memang bukan tandinganku Rama! lagi pula tadi aku hanya beruntung."Aku menyeringai.
"Bagaimana mungkin tadi kau hanya beruntung bodoh!, jelas sekali kau menendang kepalanya tadi, sulit sekali bagi petarung biasa melakukan gerakan sehebat itu. Dan posisimu dengannya hanya berjarak satu langkah, SATU LANGKAH!!, dan kau dapat melompat dengan leluasa lalu mengayunkan kakimu tepat menghantam kepalanya!. Serangan tadi fatal sekali."
"Sudahlah Rama..., gerakan tadi mudah saja dilakukan. Kau pun pasti dapat melakukannya."
"TIDAK!! gerakan itu sulit!." Wajahnya memerah.
Aku menyeringai. Lucu sekali melihat wajahnya yang memerah.
Kami berdua berjalan turun. Hendak pulang.
"Kau sedang tidak ada jadwal pertarungan Rama?"
"Ada... tapi giliranku masih lama... dan lagi-lagi aku selalu mendapat lawan yang mudah. Kau ingat si gendut berkacamata itu? dia akan menjadi lawanku nanti."
"Bukankah kau pernah melawannya bulan lalu? mengapa kau melawannya lagi?."
"Entahlah..., mungkin dia ingin membalas kekalahannya dulu."
"Kau harus berhati-hati! bisa saja dia dapat mengalahkanmu kali ini..., karna akhir-akhir ini kuperhatikan dia berlatih lebih giat dari biasanya."
"Kau bergurau Yudi?, mana mungkin dia bisa mengalahkanku..., kau ingat dulu aku hampir mengalahkanmu?, walau hasilnya tetap kau yang menang. Tapi setidaknya kemampuanku masih jauh melebihi di gendut itu."
"Jangan kau remehkan dia Rama! kau akan malu jika dia berhasil mengalahkanmu."
"Terserah kau sajalah..., kita lihat saja nanti." Rama menghela nafas perlahan. Dia meninggalkanku. berjalan ke arah yang berlawanan.
Aku tetap melanjutkan perjalanan. Jarak rumahku ke tempat ini cukup jauh. Dan aku setiap hari ke tempat ini.
Tiba-tiba wajah ayahku terlintas di kepala. Wajahnya yang teduh tersenyum ke arahku. Aku merindukannya. Ayah.., kapan kau akan pulang?.
TIDAK!! Ayah tidak akan pulang!!
Di saat aku telah sampai di depan rumah. Mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Aku mengetuknya kembali.
"Ibu?..."
Aku mengetuknya kembali. Tetap tidak ada jawaban. Ke mana ibuku? Aku mulai merasa cemas. Khawatir terjadi sesuatu terhadap ibuku.
Aku membuka pintu. Ternyata tidak terkunci. Segera aku memasuki rumah. Langsung mencari keberadaan Ibu. Aku memangil-manggilnya. Tidak ada jawaban.
Hingga sampailah ke kamar ibuku.
Aku sangat terkejut saat melihat ibuku yang tidak sadarkan diri tergeletak di lantai. Tepat berada di sanping ranjang. Dengan cepat aku mengahampiri ibuku. Berusaha menyadarkannya. Aku sangat risau. Fikiranku kacau. Melihat ibuku tidak sadarkan diri.
Apa yang terjadi dengan ibuku?
Aku meraih tangan ibuku, mengecek urat nadinya. Aman, nadi Ibu masih berfungsi. Ibu hanya pingsan.
Kekhawatiranku sedikit berkurang. Aku mengangkat tubuh ibuku. Membaringkannya di atas kasur. Aku menatap wajah ibuku. Terlihat suram sekali. Seperti baru saja mendapat kabar yang sangat buruk. Tunggu..., kabar buruk?
Instingku berdenting sangat kuat. Merasakan keganjilan yang sebenarnya dari peristiwa ini. Aku segera meraba-raba tempat ibuku tidak sadarkan diri tadi. Aku mulai merasa sangat cemas. Sattu menit. Tanganku memegang sesuatu. Sebuah kertas. Dengan stempel resmi dari kepolisian. Aku menemukannya di bawah ranjang. Tepat di samping tempat ibuku tidak sadarkan diri.
Tanganku bergetar saat aku membaca surat itu. Tulisannya sedikit luntur. Sepertinya terkena tetesan air mata ibu. Aku membacanya perlahan kata demi kata yang tertulis di surat itu. Kini aku mematung. Astaga.... surat ini pasti hanya tipuan!. TIDAK MUNGKIN!! Seketika air mataku pecah. Berteriak kencang.
"AYAAHH!!!"
Aku merobek kertas sialan di tanganku. Meremasnya sekuat tenaga. Kabar itu sangat menyakitkan bagiku. Hatiku seperti tersayat sembilu. Apa salah ayahku? Mengapa ia bisa di eksekusi mati? Bukankah di bagian dari kepolisian?
Ribuan pertanyaan muncul di kepalaku. Berputar bagai roda. Membiarkan pertanyaan itu merusak akal sehatku. Menggerogoti fikiranku. Merobek-robek hati nuraniku. Hingga menjadi sebuah dendam. Dendam yang sangat besar. Melahap seluruh kebaikan dihatiku.
Benar... ini salah mereka! ini salah para penjahat yang dimaksud Ayah. Aku mengerti. Merekalah penjahatnya. Mereka yang seolah baik di depan kamera. Padahal sebenarnya adalah bajingan terbesar di negara ini.
Kini aku mengerti maksud Ayah. Dan mulai saat ini, akan ku wujudkan semua harapan Ayah.
Amarah berkoar-koar di dadaku. Membakar isi kepalakku.
Hingga terbentuk sebuah tekad.
Tekad yang gila.
Kalian sesuka hati mempermainkan rakyat jelata? mentang-mentang kalian tidak dapat tersentuh oleh hukum. Menjadikan hukum yang kalian buat sebagai alat untuk menindas! kalian hanya tertawa riang menyaksikan kami tertindas tak berdaya. Sesuka hati memakan hak kami. Membiarkan kami menderita. Mengendalikan kami seperti sebuah boneka. Kalian hanya bergelimang harta dengan uang kami. Kalian pikir kalian manusia setengah dewa HAH?! yang selalu ingin diangap selalu benar selamannya. Omong kosong! Kalian tidak lebi dari sekedar cebong! Cebong yang kotor dan menjijikan.
Kalian pikir hanya kalian yang dapat mempermainkan kami?. Mengontrol dan mengendalikan kami sesuka hati.
Jangan kaget..., Apabila kamilah yang akan mempermainkan kalian. Sistem negara Otoriter?? membosankan. Mungkin akan seru jika merubah sedikit sistem konyol itu.
Aku tertawa dalam hati. Tersenyum ganjil.
Siapa Penjahat Sebenarnya?
Aku masih mematung di atas gedung dengan empat lantai.
Jalanan di bawah sana masih ramai. Entah kapan ini akan berakhir. Akupun tak berharap ini berkahir.
Udara sore hari malah semakin panas. Asap yang berasal dari mobil-mobil dan toko-toko yang dibakar semakin menebal. Para penjarah yang tidak beradab memanfaatkan kerusuhan ini untuk merampok sebagian besar toko-toko di sekitar. Terutama toko-toko yang pemiliknya adalah orang Tiongkok.
Para penjarah itu leluasa berbuat onar di antara masyarakat yang tidak bersalah tanpa ada pihak yang berwajib yang menahan mereka. Kemana para pihak berwajib itu?. Mereka sedang di sibukan oleh kebrutalan para mahasiswa saat itu. Mereka bersusah payah menghentikan aksi sadis yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah yang sudah menjabat selama tiga puluh tahun.
Angin diatas sini berhembus perlahan. Memainkan rambut. Mengobati udara panas yang sedang menyelimuti kota. Cahaya matahari di atas sana semakin meredup. Burung-burung semakin banyak yang melintas. Kembali ke sarang mereka. Diiringi dengan kicauannya yang merdu, walaupun terdengar samar karena kegaduhan di bawah sana.
Jujur..., Jika tidak ada asap yang menghalangi. Pemandangan ini akan terlihat indah.
Kontras sekali dengan pemandangan di bawah.
Mengerikan.
Jalanan beton di bawah semakin memerah oleh cipratan darah. Kekerasan tak kunjung berhenti, Malah semakin memuncak. Semakin banyak properti yang hancur. Dibarengi dengan semakin banyaknya koran yang berjatuhan. Mahasiswa buas ini seperti tidak ada habisnya. Membuat para polisi semakin kewalahan.
Yang membuatku kaget adalah, para polisi di sana semakin tidak segan untuk membunuh para mahasiswa di sana.
"Sedang apa kau di sini Yudi?. Bukankah kau sangat mengharapkan kerusuhan ini?. Ayolah my friend, kita berpesta di bawah."
Aku menoleh ke belakang. Seseorang berdiri di sana. Rama. Teman lamaku. Tangannya terlumuri darah. Mungkin dia baru saja menghajar banyak polisi di bawah sana.
"Bagaimana kau tahu aku disini?" Aku bertanya dengan nada yang datar.
Rama tertawa.
"Kau terlihat jelas di bawah sana dasar bodoh!. Diam..., tidak melakukan apa-apa seperti orang yang kebingungan. Padahal jika kau turun dan menghadapi polisi-polisi itu, mungkin mereka semua akan terhabisi dengan cepat."
"Kau selalu saja melebih-lebikan. Mana mungkin aku sendirian mengalahkan ribuan polisi di bawah sana. Lihat polisi-polisi itu."aku menunjuk beberapa orang polisi di bawah sana. Mereka terlihat lebih kuat dibandingkan dengan polisi-polisi lainnya.
"Kau takut dengan meraka?" Rama tertawa dengan pertannyaannya.
"Bukan berarti aku takut pada mereka dasar bodoh! aku hanya memperingatimu untuk berhati-hati. Aku khawatir kau akan terpental saat melawan salah seorang dari mereka."Kini aku yang tertawa. Tertawa jahat.
"Baiklah bajingan! ayo kita buktikan kemampuan bertarung siapa yang paling hebat saat ini." Rama berlari ke ujung gedung dengan empat lantai tepat setelah kalimatnya berakhir.
Aku menatap Rama kebingungan.
Rama berteriak kencang.
"HEY PARA POLISI SOK KUAT DI SANA! KEMARILAH! LAWAN KAMI, DI SINI ADA SEORANG RAMA DAN YUDHISTIRA YANG SIAP MELAYANI KALIAN!!!." Rama berjalan mendekatiku. " ita tunggu beberapa saat."
Aku tersenyum sombong. Kuakui itu ide yang bagus.
Aku mendongak ke bawah. Melihat respon para polisi di sana.
Namun ada satu polisi yang menarik perhatianku. Dia mematung melihatku. Tidak bergerak sedikitpun.
Polisi itu menutupi sebagian besar wajahnya menggunakan buf. Aku tidak dapat melihat wajahnya sama sekali. Tetapi dia dapat melihat wajahku dengan jelas.
Aku terheran oleh polisi di sana. Siapa dia?
Aku menarik wajahku. Menoleh kepada Rama yang sedang merenggangkan badan. Padahal baru saja dia menghajar polisi-polisi di sana.
"Rama... Kemarilah! Lihat ini."
Rama menghampiriku. Wajahnya terlihat penasaran.
"Ada apa?"
"Lihat ke bawah!"
Sepuluh detik Rama mendongak ke bawah. Hingga dia kembali dengan wajah yang amat bersemangat.
" Ini saatnya!! mereka bersiap datang ke mari" Ucap Rama antusias.
Apa? aku segera mendongakkan kepalaku ke bawah.
Polisi aneh itu. Dia sedang membariskan kurang lebih dua puluh orang polisi. Mereka berbaris tepat di depan pintu masuk gedung dengan empat lantai tempat kami berada. Mereka benar-benar serius ingin menyerang kami berdua. Tapi kenapa?. Kenapa saat Rama berteriak yang sekalipun teriakannya tidak sekeras para mahasiswa di bawah sana membuat dua puluh polisi berkumpul ingin menyerang kami?.
Aku merasakan kejanggalan yang besar.
"Ada apa?. Kau takut?." Rama menegurku. Memecah lamunanku
"Ada yang aneh...," Aku berkata perlahan. Rama mengernyitkan dahinya.
"Apa yang aneh?" Rama bertanya dengan nada yang cepat. Dia sudah tidak sabar.
Saat aku menjelaskan kepada Rama. Tanpa di ketahui aku dan Rama, para polisi di bawah sudah bergerak memasuki gedung dengan empat lantai tempat aku dan Rama berada.
Mereka berlari secara beraturan. Tetap dalam barisan yang rapih. Senyap. Tanpa suara.
Sementara itu aku dan Rama masih belum menyadari pergerakan dari para polisi tadi.
"hmm..., benar juga." Rama semakin mengernyitkan dahi. Dia sekali lagi mendongakkan kepalanya ke bawah.
Rama menarik kembali kepalanya. kembali menatapku.
"Sepertinya mereka sudah bergerak menuju kemari."
"Baiklah. Sementara kita hadapi mereka. Sembari kita cari tahu misteri saat ini."
Rama menangguk antusias. Matanya menatap tajam ke arah pintu yang menjadi satu-satunya akses untuk sampai di atap gedung dengan empat lantai ini.
Kami berbarengan memasang kuda-kuda.
Lima detik. Pintu terdobrak. Aku sedikit tersentak saat hantaman pintu besi dan kaki salah satu dari polisi itu. Keras sekali. Membuat pintu besi itu terpental kedepan.
Satu per satu polisi keluar. Jumlahnya tepat dua puluh orang. Ditambah pemimpin mereka yang berjalan dengan santai keluar. Jumlah total lawan yang harus kami hadapi ialah dua puluh satu orang.
Kami tetap kokoh dalam kuda-kuda.
"Siapkan senjata!." Pemimpin dari para polisi itu memberi instruksi dengan suara yang menggelegar.
Sedangkan aku dan Rama sangat terkejut mendengar kalimat itu. Bagaimana mungkin tidak terkejut? mereka membawa senjata.
Aku dan Rama saling tatap.
Aku mengusap wajah. Ini sangat tidak mungkin. Bagaimana mungkin kami berdua bisa melawan puluhan polisi bersenjata?.
"Ini buruk Yudi.., hanya butuh hitungan detik untuk mereka memuntahkan isi peluru mereka ke arah kita berdua. Sepertinya mereka serius sekali ingin membunuh kita," wajah Rama mulai terlihat pucat."Sekarang apa yang akan kita lakukan? melawan mereka? aku lebih baik lompat dari gedung ini daripada mati dibunuh oleh orang-orang keji seperti mereka."
"Tidak Rama! kita masih bisa menghadapi mereka." Pandanganku sekarang sempurna menatap pemimpin dari polisi-polisi itu. "Apakah tidak pengecut? kalian datang kemari dengan jumlah sebanyak ini dengan tujuan hanya menyerang kami berdua? dan lihat itu! AK47?" Aku menunjuk salah satu senjata yang mereka bawa. Aku berkata dengan suara yang keras. mencoba memanasi mereka semua. Dengan harapan mereka mengurungkan niat untuk menyerang kami dengan senjata berbahaya itu, dan mengahadapi kami dengan tangan kosong.
Pemimpin polisi itu tertawa.
"Sebenarnya kami tidak mau melakukan ini, terutama untukku pribadi. Membuang-buang waktu.. tapi setelah nama itu di sebut..." Pemimpin polisi itu menghentikan ucapannya. Menundukkan kepala.
"Kalian sebenarnya hanya di peralat...," Kata pemimpin polisi itu. Intonasinya merendah. "Tanpa kalian sadari kalian di gerakkan bagai sebuah boneka oleh orang yang bahkan lebih jahat daripada orang yang hendak kalian gulingkan saat ini." Kini pemimpin itu menatapku. "Bukankah..., kau akan selalu berada di jalan yang benar Yudi?"
Apa? Bagaimana dia tahu nama panggilanku? Bukankah tadi Rama hanya menyebutkan nama panggilanku? Apakah kita pernah bertemu? Ataukah??
Beribu pertanyaan menyerang pikiranku. Apa sebenarnya yang terjadi?
Aku dan Rama saling tatap. Rama pun terheran akan peristiwa ini.
"Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku tahu tentang mu.., dan kau pasti penasaran siapa diriku..heh, nanti kau akan tahu siapa diriku...," Pemimpin polisi itu membalikkan badan. " Aku kecewa padamu."
Pemimpin polisi itu mengangkat tangannya. Dia berteriak.
"Turunkan senjata kalian!!" Serentak semua polisi menurunkan senjatanya.
Aku dan Rama saling tatap. Menguatkan posisi kuda-kuda.
"Matilah kau!" Pemimpin polisi itu mendesis. Lalu berteriak. "SERANG!!"
Mendengar teriakan dari pemimpin mereka. Para polisi yang berjumlah dua puluh orang itu maju serempak. Menyerang kami berdua. Aku dan Rama segera memisahkan diri. Hingga dua front terbentuk.
Sepuluh polisi maju menyerangku secara bersamaan. Tangan mereka terangkat. Salah satu polisi mengirim pukulan kearah wajahku. Tapi aku tidak menghindarinya. Aku segera memukul perutnya dengan kuat, bahkan sebelum pukulan polisi itu mengenai wajahku. Polisi itu terpental satu langkah. Masih bertahan. Polisi lainnya yang berada di belakangku mengambil ancang-ancang menendang punggungku. Dia berlari, melompat, melakukan flying kick. Namun aku lebih dulu menyadarinya. Aku menggeser badan kesamping. Membiarkan tendangan yang dilancarkan polisi itu mengenai rekannya sendiri yang tadi berada di hadapanku. Saat menyadari tendangannya mengenai rekannya. Kakiku telah menghantam dengan telak ke kepalanya. Dua polisi tersungkur dalam hitungan detik. Tersisa delapan.
Di sisi satunya. Rama telah mengamuk. Dia ingin membuktikan kekuatannya saat ini. Rama memukul wajah setiap polisi yang berada di dekatnya. Tiga polisi sempoyongan. Terjatuh tak sadarkan diri. Namun saat itu pertahanan Rama terbuka. Salah satu polisi menendang kakinya. Rama sedikit kehilangan keseimbangan. satu pukulan telak mengenai bagian belakang kepalanya. Keras sekali. Rama terpental ke depan. Dia hampir tumbang. Tapi dia masih bisa bertahan. Kembali mengambil kuda-kuda.
Salah satu polisi mengambil tangan Rama. Hendak membantingnya. Namun Rama berbalik menggenggam tangan polisi itu. Menariknya kedepan. Menyimpan tengan polisi itu di bahu. Dengan sakali putaran sambil menghentakan bahu, Polisi itu telah terangkat ke udara. Lalu dengan sekuat tenaga Rama membantignya.
Serangan yang sangat fatal. Dan serangan itu mungkin membunuh polisi itu seketika.
Aku masih sibuk mengurus delapan polisi di hadapanku. Mereka tiada hentinya menyerangku tanpa memberikanku kesempatan untuk menyerang balik. Saat salah satu polisi mulai terdesak, yang lainnya maju mengisi serangan. Aku habis-habisan mencoba tetap bertahan. Hingga saat salah salah satu polisi menyerangku. Tangannya terkepal. Meluncur deras kearah wajahku. Segera aku berkelit menghindarinya. Pukulan itu mengenai udara kosong. Tanganku telah siap menyerang balik. Memukul dagunya dengan sangat kuat. Satu polisi di depanku berlari kearahku. Namun dengan cepat, dan sebelum polisi itu sampai di hadapanku. Aku berputar. Mengayunkan kaki. Kakiku berayun seperti seekor ular. Menendang polisi itu diantara tubuh polisi yang masih terhuyung setelah dagunya kupukul. Tendanganku telak mengenai wajahnya.
Polisi lainnya berlari kearahku. Melompat sambil mengepalkan tinju. Dengan cepat aku berkelit menghindari serangan itu. Menyadari serangannya gagal, dia mengirim tendangan. Tapi dapat kutangkis dengan mudah. Satu polisi lagi mengisi serangan. Namun dengan cepat aku menendang wajahnya hingga polisi itu tersungkur yang bahkan sebelum dia menyerangku. Polisi tadi masih menyerangku. Dia menyerangku bertubi-tubi. Namun tiada satupun pukulannya yang mengenaiku.
Segera aku menangkap tangan kirinya. Menyimpannya di bahuku. Membalikan badan hingga tangannya mulai terbelit. Dan hanya dengan satu hentakan
TRAKK!!
Polisi itu berteriak kencang sekali. Tangannya patah seketika.
Tersisa empat polisi di hadapanku.
Keempat polisi itu menatapku tajam. Di wajahnya tidak ada sedikitpun rasa takut. Tidak peduli teman-teman mereka yang tersungkur dimana-mana. Mereka tidak gentar sedikitpun.
Namun, enam polisi yang sedang menyerang Rama tiba-tiba berlari mundur menghampiri pemimpin mereka. Juga empat polisi lainnya yang hendak menyerangku.
Kondisi Rama sangan memprihatinkan. Babak belur. Wajahnya banyak yang telah membiru. Sendi-sendinya terlihat banyak yang bergeser. Kakinya patah sebelah.
Para polisi di depan sana membentuk formasi. Mencabut AK47 mereka serentak. Bersiap memuntahkan seluruh isi peluru.
Demi melihat AK47 yang sempurna terarah kepada kami berdua. Spontan aku berteriak pada Rama.
"MENHINDAR!!"
Mendengar seruanku, Rama dengan cepat melompat kesamping. Berlindung di balik saluran udara. Walau kakinya patah, Rama masih tetap bisa melompat saat kondisi yang super darurat. Akupun ikut melompat. Peluru ditembakan tepat saat kami melompat. Aku melompat dan berguling menghindari peluru. Menghampiri saluran udara terdekat. Dan saat telah hampir sampai, aku melompat. Lompatan yang jauh sekali. Melompat bagai seekor macan yang sedang menerjang mangsanya.
Beruntung aku dapat berlindung tanpa ada satupun peluru yang mengenaiku.
Aku menghela nafas. Menenangkan diri. Jantungku berdebar kencang sekali. Tak pernah terfikirkan olehku menghindari ratusan hujan peluru seperti tadi.
Aku melirik ke samping. Rama berada di seberang. Ternyata dia baik-baik saja. Duduk bersandar dengan desingan peluru bersahutan.
Tiba-tiba hujan peluru itu terhenti. Hening seketika. Bau mesiu tercium pekat.
Aku dan Rama saling tatap. Jarak kami terpisah sepuluh meter. Aku memberi instruksi kepada Rama untuk tetap berada di tempat.
Rama di seberang sana mengangguk.
Aku menjulurkan sedikit jariku keluar.
TRAT! TAT! TAT! TAT!
Sontak aku menarik tanganku. Para polisi itu tidaklah main-main ingin membuhuh kami berdua.
Kini kami berada diujung tanduk. Tidak ada lagi jalan keluar.
Hingga tiba-tiba Rama berteriak.
"HEY PARA POLISI BAJINGAN!!" Keras sekali teriakannya. "KALIAN MUNGKIN SEDANG MEMBAYANGKAN MAYAT KAMI TERGELETAK PENUH DARAH DIHADAPAN KALIAN!..." Rama terdiam sejenak. Tersenyum kepadaku. Aku hanya bisa terdiam keheranan. Rama menarik nafas. "NAMUN AKU BERFIKIR MAYAT KALIANLAH YANG AKAN TERGELATAK DI HADAPAN KAMI." Dia mengankat kedua tangannya. " SAKSIKANLAH MALAPETAKA INI!!" Rama tertawa kencang. Tawa yang menyeramkan.
Tawannya dibarengi dengan desingan baling-baling helikopter. Aku terhenyak demi melihat sebuah helikopter yang terbang menghampiri gedung dengan empat lantai tempat kami berada. Terbang dengan gagahnya di langit.
Melihat sebuah helikopter mendekat. Para polisi itu segera menembaki helikopter itu.
TRAT! TAT! TAT! TAT!.
Helikopter diatas sana balas mengirim tembakan.
TRAT! TAT! TAT! TAT!.
Adu tembakan terjadi di atas sana. Di tengah kepulan asap yang semakin menebal seiring waktu. Suara peluru bersahutan memekakkan telinga. Aku hanya terdiam menahan nafas melihat kejadian ini.
Satu per satu polisi itu bertumbangan. Darah segar terciprat kemana-mana. Mayat para polisi mulai bergelimpangan.
Tembakan peluru mereda bersamaan dengan habisnya polisi di sana. Tidak ada lagi satupun yang masih berdiri.
Tembok di sekitar berlubangan. Bau mesiu tercium sangat pekat. Desingan baling-baling helikopter masih terdengar kencang. Anginnya berhembus kencang.
Terdapat dua orang di dalam helikopter itu. Dan salah satunya sangat kukenali. Ardhan.
Ardhan terlihat tertawa sambil menjulurkan lidah. Dan tanggannya membentuk lambang metal.
Helikopter kembali terbang mendekat. Hingga tepat berada tepat diatas gedung dengan empat lantai tempat kami berada. Bunyi baling-baling helikopter semakin memekakkan telinga. Juga anginnya yang semakin kuat.
Dari helikopter itu turun sebuah tali. Tali itu berayunan di atas gedung dengan empat lantai ini.
terlihat Ardhan yang sedang menuruni tali itu. Dipunggungnya tertempel sebuah Shotgun.
Ardhan adalah teman seperguruanku. Dialah yang selama ini Rama sebut sebagai si gendut berkacamata. Yang kutahu. Setelah Rama mengalahkannya dulu, dia menjadi pelayan bagi Rama. Walau itu tidaklah di bolehkan oleh perguruan. Namun Rama tetap melakukannya secara dia-diam. Dan kini dia membuktikan kesetiaannya kepada Rama dengan membantu di saat kami sedang berada diujung tanduk.
Tali itu perlahann berayun seiring dengan turunnya Ardhan. Dengan tubuhnya yang gendut, sulit dipercaya jika dia dapat menuruni tali itu dengan mudah.
Aku perlahan berdiri. Terlihat di seberang sana mayat-mayat polisi yang bergelimpangan. Mengerikan sekali. Tapi... ada yang aneh.
Ardhan yang baru saja menjejakkan kaki di gedung dengan empat lantai ini tersenyum. Kacamata tebal masih terpasang di wajahnya. Pipinya sangat gempal saat dia tersenyum.
Rama yang sedari tadi tetap berada di tempat perlahan beraanjak. Menghampiri Ardhan dengan terpincang-pincang.
Helikopter diatas sana terbang menjauh. Meninggalkan Ardhan sendirian disini. Desingan baling-baling mulai terdengar hingar bingar.
"Kau terlambat sekali mengirim bantuan sialan!!" Wajah Rama terlihat buruk sekali. Sepertinya ia sangat kewalahan saat melawan polisi-polisi tadi.
"Maafkan aku tuan Rama..., ini salahku karena terlambat mengirim bantuan untukmu. Sungguh ini salahku." Kata Ardhan. Di lihat dari nada Ardhan bicara, seperti bukan untuk memberi penghormatan, akan tetapi nada bicara itu seperti sindiran. Apakah dia benar-benar menjadi pelayan Rama. Atau jangan-jangan...
"Ya!, ini salahmu, Lihat kakiku! pincang, kau harus bertanggung jawab atas kakiku!"
"Astaga..., ada apa dengan kakimu tuan?, kemarilah! biar ku obati."
"Kaulah yang kemari dasar pelayan tidak tahu diri!. Kau mau ku pukul!?"
"Tunggu Rama!" Kataku. " Aku merasakan ada hal yang aneh dari..."
"Apa yang aneh tuan Yudi?" Ardhan tiba-tiba memotong. Menghentikan omonganku. "Tenang saja.., aku ini orang yang baik."
"Tapi.."
"Ssstt.., anda tolong diam." Kata Ardhan sambil tersenyum ke arahku. "Aku hanya ingin mengobati tuanku. Aku bisa terkena masalah jika mengabaikannya."
"Biarkanlah dia Yudi," Kata Rama. Membuatku memutuskan untuk diam. "Baiklah pelayanku yang jelek seperti Babi!. Tolong obati kakiku!"
"Aku senang kau menyanjungku tuan...,". Ardhan berjalan menghampiri Rama. "Yap! mari kita selesaikan ini tuan. Aku akan menyembuhkan kakimu dengan instan. Dan dengan begitu.., dendamku terbalaskan."
Ardhan meraih Shotgun di punggungnya. Dengan gerakan yang cepat, moncong senjata itu telah mengarah pada kaki kiri Rama.
"Astaga! Apa yang akan kau lakukan?!"
DOR!
Teriakan Rama terdengar keras sekali. Kakinya kini berlubang. Timah panas telah tertanam di kakinya. Darah segar mengalir deras dari kakinya. Membasahi lantai beton tempat berpijak. Rama tumbang. Terkulai lemas. Ia meringis kesakitan.
Sontak kakiku telah meluncur deras ke kepala Ardhan. Aku tidak terima kawanku mati begitu saja.
Namun Ardhan dapat menghindari seranganku dengan mudah.
Menyadari seranganku gagal. Aku mengirim serangan susulan. Tanganku dengan cepat memburu wajahnya. Kini amarahku memuncak.
BUK!
Ardhan terpental cukup jauh. Tapi ia bangkit kembali. Dan kini dia mengarahkan moncong Shotgun miliknya ke arahku. Yang membuatku terdiam.
"Bisakah kau diam sejenak tuan?" Matanya menatapku tajam.
"HEY! Apa yang hendak kau lakukan pada Rama!!" Aku kini meneriakinya. Tidak peduli jika moncong itu tiba-tiba mengeluarkan pelurunya.
"Ini bukan urusanmu..., jadi diamlah!. Atau aku akan mengeluarkan isi kepalamu dengan Shotgunku ini." Ardhan berjalan menghampiri Rama yang sedang meringis kesakitan. Ketakutan terpancar dari wajah Rama.
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" Rama berkata lirih.
"Aku dendam padamu tuan..." Jawabnya singkat.
"Apa salahku?"
"Hahah.., kau memang benar-benar bajingan tuan! dengan mudahnya kau bertanya itu? apa kau gila? kau tidak sadar dengan apa yang selama ini kau lakukan kepadaku? KAU! MEMPERLAKUKANKU SEPERTI HEWAN!!. Aku sudah lama ingin melakukan ini padamu. Namun aku ingin membunuhmu pada momen yang paling tepat. Dan inilah momen itu. Aku akan membunuhmu di depan sahabat terbaikmu."
"Aku tidak akan membiarkan kau mem..."
"SUDAH AKU BILANG INI BUKAN URUSANMU!" Ardhan memotong kalimatku."Tolong diamlah sebentar! kau merusak suasana kerenku saja!"
Orang ini benar-benar sudah gila!. Ingin rasanya aku mencongkel matanya saat ini juga.
"Baiklah Ardhan..., jika kau ingin membunuh kawanku. Maka lawankah aku terlebih dahulu. Jika kau menang kau boleh membunuhnya sesukamu. Tapi jika kau kalah..., Kau harus melompat dari gedung ini. Agar kau tenang di alam sana." Kini aku menatapnya tajam.
Ardhan tertawa.
Lalu dengan gerakan yang super cepat, ia telah mengarahkan moncong senjatanya ke arahku.
"Itu tawaran yang bagus..., tapi sayangnya aku menolak tawaranmu!. Dan alangkah lebih baik jika aku membunuhmu terlebih dahulu..., hahahaha.."
Suasana saat ini sangat mencekam. Dengan Ardhan yang menjadi sumber utama ketakutan ini.
Sementara Rama...., kesadarannya mulai menghilang.
"Baiklah Yudi!... Selamat tinggal."
DOR!
Aku menutup mata, tidak terjadi apa-apa pada diriku. Aku mengusap tubuhku. Tidak ada yang kurang. Aku masih hidup.
Tapi siapa yang tertembak?
Aku menoleh kedepan. Dan alangkah terkejutnya saat melihat Ardhan yang telah tersungkur tidak sadarkan diri, dengan lubang di bagian belakang kepalanya. Darah terciprat kemana-mana. Akupun mengenai cipratan tersebut. Tapi siapa yang menembak Ardhan?.
Ternyata orang itulah yang menembak Ardhan. Orang yang berdiri diantara tumpukan mayat para polisi. Dia berdiri tegak dengan pistol colt 1911 terngenggam ditangannya. Asap kecil keluar dari ujung pistol itu.
Inilah Takdirku
Pemimpin polisi itu. Dia berdiri kokoh diantara mayat-mayat anggotanya. Entah bagaimana dia bisa bisa selamat dari ribuan peluru yang menghujani mereka tadi.
Suasana kini semakin mencekam. Aura kengerian terpancar sangat pekat dari pemimpin polisi itu. Bahkan melebihi kengerian dari Ardhan tadi.
Aku hanya berdiri memandang pemimpin polisi itu. Asap di langit sudah mulai menipis. Namun kerusuhan di bawah masih terus berlanjut. Sesekali terdengar suara ledakan dari bawah. Tapi apakah mereka tidak menyadari jika tadi baru saja terjadi tembak menembak antara helikopter dan sepuluh orang polisi?.
Kakiku sedikit gemetar. Jantungku bedegup semakin kencang. Kepalaku mulai terasa pusing.
Pemimpin polisi itu masih tetap memandangku tajam. Hingga dia berjalan perlahan menghampiriku.
Melihat pemimpin polisi itu berjalan mendekat. Aku segera memasang kuda-kuda. Berjaga-jaga jika kalau terjadi sesuatu yang tak diduga.
Pemimpin polisi itu membuanga pistol colt 1911 miliknya. Pistol itu terbanting di lantai beton. Peluru berhamburan dari dalamnya.
"Dulu aku ingin sekali melihatmu menjadi pemuda yang tangguh dan selalu berada di jalan yang benar Yudi..., tapi sekarang, kau malah memilih jalan yang salah. Kau memihak kepada orang yang salah!. Aku kecewa padamu. KECEWA!!"
"Tunggu! apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti. Jalan yang salah? jalan yang benar? apa makudmu ini...? memangnya siapa kau bisa merasa berhak berbicara itu kepadaku?"
Pemimpin polisi itu menghentikan langkahnya. Dia menunduk.
"Kau kira masuk akal jika ayahmu di eksekusi mati tanpa alasan yang jelas?" Pemimpin polisi itu kini menatap tajam ke arahku.
"Apa?"
Belum habis kalimatku, pemimpin polisi itu telah menerjang dengan buas ke arahku. Tangannya terangkat. Bersiap melancarkan pukulan mematikannya. Aku tidak sempat menghindar. Gerakannya terlalu cepat dan tidak terduga.
Belum genap dua detik, pemimpin polisi itu telah berada di hadapanku. Kepalan tangannya mengenai wajahku dengan telak.
BUK!!
Aku benar-benar terpental sangat jauh. Hampir sejauh enam meter kebelakang.
Namun serangannya belum habis sampai disitu saja. Tanpa kusadari tubuhnya telah berada di sampingku saat aku mencoba untuk berdiri. Dia menendang pinggangkuu dengan sangat keras. Aku berguling kesamping. Meringis menahan sakit yang sangat luar biasa.
Apakah inilah akhir dari hidupku?
Aku terlentang di sana. Tubuhku sulit sekali untuk digerakan. Sakit menyerang seluruh bagian tubuhku.
Pemimpin polisi itu berjalan kearahku. Dengan mata yang tajam menatapku.
Dia duduk di perutku. Menatap wajahku yang sedang meringis.
"Inilah yang terbaik untukmu. Aku tidak akan membiarkanmu tersesat bersama orang yang sangat jahat. Jadi alangkah baiknya jika kau mati saja." Pemimpin polisi itu mengangkat tangannya. Mengapalkan jari-jari. Bersiap melancarkan serangan pamungkasnya.
"Selamat tinggal..."
Tunggu? tatapan itu? sorot mata yang sangat kukenali. Tatapan mata yang penuh harap memancar dari matanya. Aku tahu!. Aku sangat mengenali intonasi saat ia mengatakan selamat tinggal tadi, nada bicara yang selama ini sangat kurindukan.
Seketika tubuhku kembali pulih. Rasa sakit di tubuhku berkurang. Ini bukan akhir dari hidupku.
Aku segera menghindar tepat sebelum pukulan mematikan itu menghantam wajahku. Pukulan itu mengenai lantai beton. Membuatnya retak. Aku bisa membayangkan bagaimana jika pukulan itu benar-benar mengenai wajahku.
Aku mendorong tubuh pemimpin polisi yang sedang duduk diatasku. Dia terguling sebentar. Lalu bangkit.
Aku ikut bangkit, lalu memasang kuda-kuda yang kokoh. Mataku menatap tajam ke wajahnya. Aku melihat pancaran keheranan dari sorot matanya.
"Aku selama ini menunggumu..." Kataku sambil tersenyum. "Kau jahat sekali telah menipu kami..., telah memberi harapan palsu kepada kami. Apa sebenarnya alasanmu melakukan itu?"
"Sepertinya kau telah menyadarinya. Kuakui kau memang pintar. Dan aku minta maaf telah meninggalkan kalian. Dan dengan kejam menipu kalian..." Dia menunduk kembali. "Itu semua karna dia.."
"Siapa?" Tanyaku.
"Aku terpaksa melakukan ini demi keselamatan kalian. Aku diancam jika aku tidak mengabdi selamanya pada dia, maka dia akan membantai kalian. Ini adalah pilihan yang berat. Di satu sisi aku ingin sekali bersama kalian selamanya. Menjadi seorang ayah yang selalu menjaga keluarganya. Namun jika aku memilih itu, kalian yang akan mati. Oleh sebab itu aku mengirim surat palsu itu, agar kalian tidak menunggu aku pulang."
"Siapa orang itu Ayah? katakan!"
"Aku tidak akan menyebutkannya."
"Kenapa?"
"Karna kau akan mati jika kau tahu siapa dia. Dialah yang sebenarnya membuat kerusuhan ini. Dan aku kecewa padamu. Kecewa karna kau termasuk di dalam orang-orang yang digerakan olehnya."
"Aku begini karena aku mendengar kabar kematianmu! aku dendam kepada siapapun itu yang memerintahkan untuk mengeksekusimu. Dan aku mengira jika pemimpin negara inilah yang bertanggung jawab atas kematianmu!"
"Tapi nyatanya, kau telah terhasut oleh rasa dendam. Dendam itu telah menguasai akal sehatmu hingga kau tidak bisa lagi berfikir jernih." Ayah menghela nafas. "Anakku.., sebenarnya aku tidak ingin kau mati. Sedari tadi aku sangat berharap kau bisa mengalahkanku dan membunuhku tanpa tahu siapa aku sebenarnya. Namun ini sudah terlanjur. Jadi, mari selesaikan pertarungan ini. Dan kuharap kau bisa mengalahkanku."
Ayah telah memasang kuda-kuda. Kakinya terlihat kokoh menginjak lantai beton.
Aku ikut memasang kuda-kuda. Tapi aku tidak bisa melakukan ini. Dia ayahku, mana mungkin aku membunuhnya?.
Namun Ayah tetap merangsek maju. Gerakannya cepat sekali seperti seekor Cheetah. Namun aku telah siap. Aku mencoba mengirim tendangan kedepan.
Dia tidak mudah diserang. Dengan cepat Ayah menghindari tendanganku dengan mudah. Geakan kakinya sangat cepat. Ayah melancarkan pukulannya kearah perutku. Ayunannya terlihat buas. Tapi dengan cepat aku menangkisnya. Menarik tangannya dan dengan gerakan yang sulit aku menendang perutnya. Telak sekali tendanganku. Membuatnya mundur tiga langkah.
Pertarungan berlangsung sengit hingga satu jam lamanya. Selama itu aku jual beli pukulan dengan ayahku. Jual beli tendangan pun tak tertinggal. Kondisiku sudah sangat memprihatinkan. Seluruh tubuh terasa remuk. Juga ayahku di sana. Dia sudah sangat babak belur.
Kami sama-sama tidak bisa bergerak.
"Ayo nak! bunuh aku sekarang juga!" Ayahku disana berteriak.
"Tidak! aku ingin kau pulang! aku tidak akan pernah bisa membunuhmu. Aku mencintaimu Ayah! cinta seorang anak kepada ayahnya. Aku selama ini menunggumu pulang walau surat palsu sialan itu tiba. Aku tetap tidak mempercayai itu. Aku masih bisa merasakan kau masih hidup."Aku berhenti sejenak. Air mata menetes satu per satu dari mataku. "Ayolah Ayah..., ibu menunggumu di rumah."
Suasana kini menjadi menyedihkan seiring dengan semakin gelapnya hari. Matahari di ujung sana telah berkali-kali mengucapkan selamat tinggal. Semburat cahaya jingga semakin lama semakin menipis. Asap tebal sudah tidak terlihat di atas. Namun di bawah para mahasiswa seperti tidak ada lelah sama sekali. Mereka masih belum berhenti.
"Drama yang bagus!" Seseorang berkata. Suaranya yang kencang berasal dari pintu yang masih terbuka.
Aku dan ayahku menoleh ke asal suara. Seorang wanita. Dengan pakaian batik tradisional berdiri disana. Tersenyum kearah kami berdua.
Di belakang wanita itu. Bermunculan juga sekitar sepuluh orang TNI dengan AK47 di tangan mereka. Para TNI itu berbaris rapi lalu mengarahkan moncong senjata itu ke arah kami berdua.
"Sebenarnya aku masih ingin melihat kelanjutan dari drama kalian berdua. Tapi sayang.., aku sudah lelah. Ingin tidur saja." Wanita itu membalikan badan dan berkat. "Habisi mereka!"
Ratusan peluru pun di tembakan. Peluru itu dengan buas menembus tubuhku dan juga ayahku.
Aku terjatuh ke belakang saat tembakan itu telah berhenti. Tubuhku di selimuti oleh darah yang terus menerobos keluar. Aku sudah tamat.
Inilah akhir dari perjalananku....
"Heh, dasar hama." Wanita itu beranjak pergi. Diikuti oleh pasukannya dari belakang.