Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hamparan savana Gunung Lawu seolah tak pernah gagal memikat siapa pun yang datang. Pesonanya bukan hanya memamerkan keindahan bentang alam saja, tapi juga pada adat dan tradisi yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitarnya. Tak jauh dari basecamp Cetho, sekitar lima belas menit berjalan kaki, berdiri rumah kecil berdinding kayu dan beralaskan tanah. Di salah satu sudutnya masih terletak sesajen sebagai tanda warisan budaya yang masih tetap dijaga. Di sanalah aku dilahirkan.
Namaku Bagas Adi Prasetyo. Orang-orang biasa memanggilku Bagas, atau kadang Adi, bahkan Tio. Saat ini aku tengah menempuh studi perfilman di jantung Ibu Kota, kampus Institut Kesenian Jakarta.
Sebelum berangkat merantau, Bapak sempat berpesan, “Jaga perilaku dan tata krama di perantauan ya, Le. Jangan lupa sama tempat asalmu.”
Nasihat itu terus terngiang di kepalaku, terlebih kami berasal dari keluarga yang begitu kuat memegang nilai adat. Bapak adalah seorang seniman tradisional, sedang Ibu seorang pembatik yang cukup dikenal di daerah kami. Darah seni mengalir deras di tubuhku, dan mungkin itulah yang membawaku ke dunia perfilman.
Cita-citaku sederhana, ingin merekam sejarah kampungku, membingkainya dalam visual, dan membawanya ke layar lebar agar dunia tahu bahwa tanah kecilku memiliki cerita dan nilai tradisi yang kuat. Tapi impian itu tidak semudah menyusuri savana Lawu saat menjelang malam.
Orang-orang kampung menatap curiga pada pilihanku.
“Dunia film itu rusak,” kata mereka. “Penuh kekerasan, pornografi, pelaku tak bermoral.” Bahkan tak jarang tetangga mencibir secara langsung.
“Kamu itu lahir dari keluarga budayawan, kok malah milih dunia penuh maksiat begitu? Mau jadi berandalan ya kamu?” celetuk tetangga dengan logat Jawa yang kental.
Aku menahan emosi dan menjawab tenang,
“Aku ingin jadi produser film terkenal, Bu. Biar kampung ini dikenal dunia.”
Tetangga itu menatap sinis.
“Alah, dikenal apanya. Di Lawu aja kemarin ada syuting film tapi malah mesum.”
Aku hanya tersenyum.
“Itu kan oknum, Bu. Masih banyak kok rumah produksi yang punya etika.”
“Alasanmu itu aja terus,” katanya dengan tawa mengejek.
Ucapan seperti itulah yang kerap kuterima sejak memutuskan untuk kuliah di kota. Namun, Ibu selalu menenangkanku.
“Jangan diambil hati omongan mereka ya, Nak. Yang penting kamu jaga dirimu,” katanya sambil mengelus rambutku sebelum keberangkatanku.
“Iya, Bu. Doakan aku ya,” ucapku, berusaha menyimpan tekad dalam dada.
Di Jakarta, aku tinggal satu kos dengan Danu, teman satu daerah yang berasal dari Semarang.
Kami dipertemukan dengan ketidaksengajaan saat ospek. Kala itu, aku mendengar suara akrab dalam bahasa Jawa di kantin kampus. Mendengar percakapan itu, tanpa ragu aku menghampiri dan menyapanya duluan.
“Mas, orang Jawa juga ya?” tanyaku.
“Nggih, Mas. Sampeyan juga dari Jawa, to?” jawabnya ramah.
“Nggih, Mas. Aku dari Karanganyar.”
“Oalah, Gunung Lawu to,” katanya sambil tertawa kecil.
Kami pun berbincang panjang sambil menyantap gudeg dari warung kantin. Sejak saat itu, kami bertukar nomor dan tak lama Danu pun memutuskan ngekos bersamaku, meninggalkan rumah Budhenya yang terlalu jauh dari kampus.
“Kalau lapar mampir ya, Nak. Budhe masakin masakan yang enak. Kamu juga ajak Bagas sekalian ya, Le,” kata Budhenya saat mengantar Danu pindah kos.
Sejak saat itu, kami pun semakin dekat. Meski beda jurusan—aku perfilman dan Danu desain komunikasi visual—tapi kerja sama kami kerap berjalan dengan baik. Ia sering membantuku membuat poster film untuk proyek yang sedang kukerjakan, dan aku membantunya dalam produksi visual tugas kuliahnya. Kami pun beberapa kali ikut pameran seni di Jakarta demi mencari pengalaman dan relasi baru di industri ini.
Sampai suatu malam, Danu tampak murung.
“Gas, aku mau out kuliah,” katanya dalam bahasa Jawa.
“Loh, loh. Kenapa to?”
“Anak-anak sini mulutnya kejam banget. Sering banget diejek kampungan lah, gayanya nora, katro. Gaya doang mereka, padahal karyaku kalau diadu juga gak kalah hebat dibanding mereka.”
Aku menatapnya dalam.
“Kenapa kamu gak laporin ke dosenmu?”
“Wong orang tuanya aja artis dan pejabat. Siapa yang mau denger aku?”
Aku ingin menenangkannya, tapi Danu langsung meledak,
“Kamu jangan sok bijak ya, Gas. Kamu juga suka dihina, tapi sok-sokan kuat aja!”
Aku terdiam. Danu benar. Aku juga sering dianggap sebelah mata. Tapi aku tak pernah menunjukkannya kepadanya. Alhasil, kami bertengkar malam itu. Dua anak desa yang sama-sama mengalami perundungan dan tak bisa mengerti satu sama lain.
Kami bahkan hampir memutuskan keluar dari kampus. Tapi berita itu sampai ke telinga Pakdhe dan Budhe Danu. Mereka datang, mengajak kami makan, dan bicara dari hati ke hati.
Budhe ternyata juga alumni IKJ. Ia tahu kerasnya dunia seni.
“Kamu harus tahu, kultur kota itu beda jauh sama di Jawa. Mereka itu banyak gaya aja. Kalau kalian punya kehebatan, buktikan, bukan malah pergi gitu aja.”
Kata-kata Budhe membuka mata kami. Kami akhirnya mengubur niat keluar dan memutuskan: kami akan membuktikan diri lewat karya-karya kami.
Begitu tugas akhir tiba, kami menyusun sebuah pameran seni film. Proposal kami susun sendiri, perizinan kami urus sendiri, konsep kami racik hingga matang. Aku bahkan pulang ke kampung dua minggu demi mengambil footage dan riset langsung. Danu ikut, bahkan Pakdhe dan Budhe juga membantu produksi saat liburan ke Tawangmangu.
Sampai hari pameran pun tiba. Tapi memang benar, realitas tak selalu seindah rencana.
Pengunjung pameran kami sepi. Teman-teman sesama mahasiswa senior bahkan tak datang. Lagi-lagi, kami nyaris patah.
“Gas, kayaknya emang bener kata orang-orang. Dunia ini gak cocok buat kita,” keluh Danu.
Aku hampir mengiyakan. Apalagi cibiran kampung kembali berdatangan.
“Tuh kan, gagal juga. Dunia film itu cuma buat orang gak waras aja.”
Namun, orang tuaku tetap berdiri di sisiku. Bapak berkata dalam gawainya suatu malam,
“Kalau kamu menyerah karena ejekan, berarti kamu percaya mereka lebih tahu hidupmu.”
Omongan itu membuatku tersadarkan.
Meskipun Bapak dan Ibu tidak menyaksikan kehidupanku secara langsung, energi mereka membangkitkanku untuk terus berjuang.
Tiga bulan kemudian, aku dan Danu dipanggil ke gedung penghargaan film nasional. Aku dan Danu sempat syok dan saling berteriak penuh kebanggaan.
Ternyata, filmku mendapat Piala Citra sebagai Film Pendek Terbaik. Poster karya Danu bahkan dinobatkan sebagai Poster Favorit Penonton.
Kami menangis. Bukan karena piala saja, melainkan karena perjuangan kami yang tidak sia-sia.
Dari situ, nama kami mulai dilirik. Kami diundang ke Busan International Film Festival, Locarno di Swiss, dan Sundance di AS.
Dunia yang dulu menertawakan kami, kini membuka pintu lebar-lebar.
Di sebuah sore yang hangat, kami duduk di tepi pantai Santa Monica, California, memandangi matahari tenggelam.
“Andai waktu itu kita nyerah ya, Gas. Gak bakal ada kayaknya kita di sini,” kata Danu pelan.
Aku tertawa kecil.
“Iya, dan mungkin kalau gak ada Budhe, Pakdhe, atau Ibu dan Bapak, kita juga udah pulang kampung dengan rasa malu.”
Danu mengangguk.
“Kadang ya, Gas... gak semua omongan harus kita dengerin. Karena orang yang paling keras suaranya juga belum tentu paling ngerti soal hidup kita.”
Kami terdiam sejenak, memandang cakrawala yang memerah. Di atas ombak yang berkejaran, kami melihat harapan yang dulu hampir tenggelam. Kini, ia perlahan naik dan bersinar menjadi bintang yang akan kami jaga selamanya.